3. Tipe Etnografi
Ada banyak bentuk etnografi, misalnya etnografi pengakuan, riwayat hidup, auto
etnografi, etnografi feminis, novel etnografis, dan etnografi visual yang terdapat dalam fotografi,
video, dan media elektronik (Denzin, 1989a; Fetterman, 2010; LeCompte, Millroy, & Preissle,
1992; Pirnk, 2001: Van Maanen, 1988). Dua bentuk etnografi yang populer akan ditekankan di
sini: etnografi realis dan etnografi kritis.
Etnografi realis adalah pendekatan tradisional yang digunakan oleh para antropolog
kebudayaan. Dijelaskan oleh Van Maanen (1988), etnografi realis merefleksikan suatu pendirian
tertentu yang diambil oleh peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Etnografi realis
adalah suatu laporan objektif tentang situasi, biasanya ditulis dalamn sudut pandang orang ketiga
dan melaporkan secara objektif informasi yang dipelajari dari para partisipan di suatu tempat.
Sang etnografer tetap berada di belakang sebagai seorang reporter yang mengetahui semuanya.
Sang realis juga melaporkan data objektif dalam satuanya yang terukur yang tidak
terkontaminasi oleh bias pribadi, tujuan politik, dan pertimbangan politis.
Bagi banyak etnografer, etnografi sekarang ini menggunakan suatu pendekatan "kritis"
(Carspecken & Apple, 1992; Madison, 2005; Thomas, 1993) dengan memasukkan ke dalam
risetnya perspektif advokasi. Etnografi kritis adalah satu jenis riset etnografis di mana para
penulisnya memperjuangkan emansipasi bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan
(Thomas, 1993). Para peneliti kritis biasanya merupakan individu yang berpikiran politis yang
berusaha, melalui riset, untuk menentang ketidaksetaraan dan dominasi (Carspecken & Apple,
1992). Contohnya, para etnografer kritis mungkin mempelajari sekolah yang menyediakan hak-
hak istimewa bagi kelompok murid tertentu, atau praktik konseling yang ditujukan untuk
mengetahui kebutuhan dari beberapa kelompok yang kurang terwakili. Komponen utama dari
etnografi kritis di antaranya adalah orientasi bermuatan-nilai, memberdayakan masyarakat
dengan memberi mereka otoritas, menentang status dan mengemukakan persoalan tentang
kekuasaan dan kontrol.
5. Tantangan
Etnografi sangat menantang diterapkan dengan beberapa alasan berikut:
1) Peneliti harus memiliki pemahaman tentang antropologi kebudayaan, makna dari sistem
social budaya, dan konsep yang biasanya diekplorasi oleh mereka yang sedang
mempelajari kebudayaan.
2) Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan informasi sangat lama
3) Narasinya ditulis dalam pendekatan literer, hamper seperti penuturan cerita yang
mungkin akan membatasi audiensi dari karya tersebut
4) Terdapat kemungkinan peneliti menjadi pribumi atau terancam gagal dalam studi tersebut
Struktur melekat, Para etnografer menggunakan alat-alat retoris melekat, misalnya kata-kata
figurative atau metafora (Fetterman, 2010; Hammersley & Atkinson, 1995). Metafora misalnya
menyediakan gambaran visual dan spasial atau karakterisasi dramaturgical dari aksi sosial
sebagai teater. Kata-kata figurative lain adalah synecdoche, dimana para etnografer menyajikan
contoh ilustrasi, kasus, dan atau sketsa yang membentuk bagian yang mewakili keseluruhan.
Terakhir adalah ironi, dimana para peneliti menyoroti kontras dan kerangka, dari refernsi dan
rasionalitas yang bersaing.
9. Riset Etnografis
Etnografer Spindler dan Spindler (1987) menekankan bahwa persyaratan paling penting
bagi pendekatan etnografis adalah menjelaskan perilaku dari sudut pandang penduduk asli atau
pribumi dan sistematis dalam merekam informasi ini dengan menggunakan catatan, tape
recorder, dan kamera. Poin-poin ini diperkuat dalam sembilan kriteria dari Spindler dan Spindler
untuk entografi yang baik:
Kriteria I. Pengamatan dikontekstualkan
Kriteria II. Hipotesis muncul in situ selama studi berlangsung
Kriteria III. Pengamatan berlangsung lama dan berulang
Kriteria IV. Melalui wawancara, pengamatan, dan prosedur pengumpulan data yang lain,
pandangan penduduk asli tentang realitas diperoleh
Kriteria V. Para etnografer memperoleh pengetahuan dari para partisipan-informan dalam
carayang sistematis
Kriteria VI. Instrumen, kode, jadwal, kuisioner, agenda untuk wawancara, dan seterusnya
dihasilkan in situ sebagai hasil dari peneletian.
Kriteria VII. Perpektif komparatif transkultural sering kali menjadi asumsi yang tidak
dinyatakan
Kriteria VIII. Etnografer membuat eksplisit apa yanag implisit dan bersikap tahu sama
tahu dengan para informan
Kriteria IX. Pewawancara etnografis tidak boleh menentukan terlebih dahulu respons
menurut jenis dari pertanyaan yang diajukan (Spindler & Spindler, 1987)
Adapun kriteria untuk etnografi yang baik mencakup:
Identidikasi yang jelas tentang kelompok kebudayaan sama
Spesifikasi tentang tema kebudayaan yang akan dipelajari yang terkait dengan kelompok
berkebudayaan sama ini
Deskripsi detail tentang kelompok kebudayaan tersebut
Tema yang dihasilkan dari pemahaman tentang kelompok kebudayaan tersebut
Identifikasi persoalan yang muncuk di lapangan yang terkait dengan hubungan antara
peneliti dan para partisipan, watak interpretatif dan pelaporan, dan sensitivitas serta
resiprositas dalam penyusunan bersama laporan tersebut
Penjelasan menyeluruh tentang bagaiman kelompok berkebudayaan tersebut berjalan
Pengungkapan diri dan refleksivitas oleh sang peneliti tentang posisinya dalam riset
tersebut
10. ETNOGRAFI
Dalam grounded theory berfokus pada memunculkan teori yang di dasarkan pada data.
Dalam etnografi berfokus pada deskripsi dan pemahaman tentang dinamika dan komunitas
kampus sebagai kelompok berkebudayaan sama.
Penutup yang metodelogis:
Sebagian dari “fakta” atau hipotesis mungkin membutuhkan pemeriksaan atau pengujian
apakah telah membawa analisis pada arah yang seharusnya. Agar lebih interpretative dapat
dilakukan dengan mewawancarai orang-orang dari lingkungan tersebut sehingga dalam
pembahasan, dapat diketahui bahwa realitasnya lebih kompleks.
ETNOGRAFI
Analisis tentang kelompok berkebudayaan-sama: Pada tahap ini etnografer
mengembangkan tema kebudayaan-dalam analisis datanya. Teori ini merupakan proses
peninjauan kembali semua data dan mengelompokannya menjadi serangkaian tema umum,
yang didukung oleh bukti data tersebut.
Artefak: Hal ini merupakan fokus perhatian dari sang etnografer ketika ia menyelidiki apa
yang dibuat dan digunakan oleh masyarakat misalnya pakaian dan perkakas.
Bahasa: Hal ini merupakan fokus perhatian dari sang etnografer ketika ia memperhatikan
apa yang dikatakan oleh orang.
Deskripsi tentang kelompok kebudayaan sama: Salah satu tugas pertama dari seorang
etnografer adalah mendeskripsikan kelompok berkebudayaan sama dan insiden dan
aktivitas yang mengilustrasikan kebudayaan tersebut.
Emis: Istilah ini menunjuk pada jenis informasi yang sedang dilaporkan dan ditulis
menjadi etnografi ketika peneliti melaporkan pandangan dari para partisipan.
Etis (etic): Istilah ini memenunjuk pada jenis informasi yang sedang dilaporkan dan ditulis
menjadi etnografi ketika peneliti melaporkan pandangan pribadinya (Fetterman, 2010).
Etnografi (etnography): Merupakan studi tentang kelompok kebudayaan atau kelompok
berdasarkan pada pengamatan dan kehadiran sang peneliti di lapangan dalam waktu yang
sama (Thomas, 1993; Wolcot, 1987).
Etnografi kritis: Etnografi ini meneliti sistem-sistem kultural dari kekuasaan, prestise, hak
istimewa, dan otoritas dalam masyarakat (Madison, 2005; Thomas, 1993).
Etnografi realistis: Pendekatan tradisional dalam etnografi yang digunakan oleh para
antropolog kebudayaan, pendekatan ini melibatkan peneliti sebagai pengamat “objektif”,
merekam fakta dan memaparkan studi tersebut dengan sikap yang tahu segalanya dan tidak
memihak (Van Maanen, 1988).
Fungsi (function): Merupakan tema atau konsep tentang sistem sosial-budaya atau
kelompok yang diteliti oleh etnografer yang menunjuk pada hubungan sosial di antara para
anggota kelompok tersebut yang membantu mengatur perilaku (Fetterman, 2010).
Gatekeeper: Hal ini merupakan istilah dalam proses pengumpulan data dan menunjuk pada
individu yang harus didatangi oleh peneliti sebelum memasuki kelompok atau lingkungan
kebudayaan dan memperoleh persetujuan oleh individu ini (Hammersle dan Atkinson,
1995).
Holistik (holistic): gambaran yang komprehensif dan lengkap tentang kelompok sosial
yang mencakup sejarah, agama, politik, ekonomi, dan/atau lingkungan dari kelompok
tersebut. (Fetterman, 2010).
Informan penting: Merupakan individu yang ditemui oleh peneliti dalam proses
pengumpulan data karena mereka memiliki pengetahuan yang baik, mudah diakses, dan
dapat memberikan petunjuk tentang informasi lain (Gilchrist, 1992).
Kebudayaan (culture): Seorang etnografer dapat melihat, mendeskripsikan, dan
menafsirkan kebudayaan dengan cara mengamati dan berpartisipasi dalam kelompok
kebudayaan yang sama (Wolcott, 1996, 2010). Kebudayaan itu dapat dilihat dalam
perilaku, bahasa, dan artefak (Speadley, 1980).
Kelompok kebudayaan sama: Merupakan satuan analisis dari etnografer ketika ia
berusaha memahami dan menafsirkan perilaku, bahasa, dan artefak dari masyarakat.
Etnografer biasanya akan berfokus pada kelompok secaara keseluruhan (memiliki perilaku
yang sama) atau pada bagian sistem sosial budaya.
Kerja lapangan: Dalam pengumpulan data etnografis peneliti melaksanakan
pengumpulan data di lapangan dengan datang ke tempat atau beberapa tempat dimana
kelompok berkebudayaan sama tersebut diteliti (Sanjek, 1990).
Nonpartisipan/ pengamat sebagai pertisipan: Peneliti merupakan seorang outsider dari
kelompok yang sedang diteliti, menyaksikan dan membuat catatan lapangan dari kejauhan.
Partisipan sebagai pengamat: Peneliti berpartisipasi dalam aktivitas di tempat penelitian.
Peran partisipasi lebih mencolok daripada pengamat, yang dapat membantu peneliti
memperoleh pandangan insider dan data subjektif.
Partisipan sempurna: Peneliti terlibat secara penuh dengan masyarakat yang sedang
diamatinya, yang dapat membantunya membangun hubungan yang lebih baik dengan
masyarakat yang sedang diamati (Angrosino, 2007).
Penafsiran tentang kelompok berkebudayaan yang sama: Peneliti membuat penafsiran
tentang makna dari kelompok berkebudayaan yang sama, yang mana penafsiran diperoleh
melalui literaturm pengalaman pribadi, atau perspektif teoretis (Wolcott, 1994).
Pengamat sempurna: Peneliti tidak terlihat dan tidak diperlihatkan oleh masyarakat yang
sedang diteliti.
Pengamat partisipan: Etnografer mengumpulkan informasi dalam banyak cara, tetapi
pendekatan utamanya adalah dengan mengamati kelompok berkebudayaan sama tersebut
dan menjadi partisipan dalam lingkungan kebudayaan tersebut (Jorgensen, 1989).
Penipuan: Hal ini berkaitan dengan tindakan peneliti yang secara sengaja menipu
informan untuk memperoleh informasi, misalnya dengan menyembunyikan tujuan riset,
menahan informasi penting terkait dengan tujuan dari penelitian atau mengumpulkan
informasi secara rahasia.
Perilaku: Merupakan fokus perhatian dari etnografer ketika berusaha untuk memahami
apa yang dilakukan masyarakat (perilaku kebudayaan) (Spradley, 1980).
Potret kebudayaan: Salah satu komponen penting dalam riset etnografis adalah
menyusun pandangan holistik tentang kelompok berkebudayaan sama, dengan hasil akhir
berupa gambaran atau potret mengenai lingkungan kebudayaan tersebut, yang ditamoilkan
dalam semua kompleksitasnya (Spradley, 1979).
Refleksitas: Hal ini berarti bahwa peneliti menyadari bias, nilai, dan pengalaman yang
dibawanya ke dalam studi penelitian kualitatif (Hammersley dan Atkinson, 1995).
Struktur: Merupakan suatu tema atau konsep tentang sistem atau kelompok sosial budaya
yang hendak dipelajari oleh etnografer, misalnya struktur kekerabatan atau politik dari
kelompok sosial-budaya tersebut (Fetterman. 2010).
Tenggelam: Etnografer menenggelamkan diri di lapangan dengan tinggal di lapangan
dalam waktu yang lama.
11. Apendiks E
Studi Etnografi - “Telaah tentang Perlawanan Subkultural: Nilai-nilai Utama dari
Gerakan Straight Edge Movement”
Ross Haenfler
Abstrak
Artikel ini merekonseptualisasi perlawanan subkultural berdasarkan penelitian etnografis
tentang gerakan straight edge movement. Menggunakan nilai-nilai utama dari straight edge,
analisis ini berpijak pada teori subkultural baru untuk mengemukakan sebuah kerangka tentang
bagaimana para anggota menggambarkan dan memahami pengalaman subjektif.
Para teoritisi subkebudayaan generasi awal di Brimingham University’s Center for
Contemporary Cultural Studies (CCCS) berkonsentrasi pada pemuda yang secara simbolis
melawan masyarakat aliran utama melalui gaya, termasuk pakaian, tingkah laku, dan gaya
bahasa (Hebdige, 1979). Para teoritisi mendapati bahwa para laki-laki muda kulit putih kelas
pekerja bergabung dengan kelompok yang menyimpang untuk menolak menyesuaikan diri. Para
sarjana telah memberi perhatian yang sangat besar pada apakah subkebudayaan pemuda ini
melawan atau justru memperkuat nilai dan struktur sosial yang dominan (Hebdige,1979; Willis,
1977; Brake, 1985; Clarke, Hall, Jefferson, dan Roberts, 1975). CCCS menekankan meskipun
gaya subkultural merupakan satu bentuk perlawanan terhadap subordinasi, sesungguhnya
perlawanan tersebut justru hanya mempertegas hubungan kelas (Cogen, 1980; Willis, 1977).
CCCS telah mengundang kritik substansial karena dianggap mengabaikan subjektivitas
para partisipan, gagal meneliti secara empiris kelompok yang hendak mereka jekaskan, terlalu
memfokuskan pada penjelasan dan teori besar yang berbasis Marxis/ kelas, mereifikasi konsep
tentang subkebudayaan, dan terlalu menekankan gaya (Muggleton,2000; Clarke[1981], 1997;
Blackman, 1995; Widdicombe dan Wooffitt, 1995). Leblanc (1999) yang meneliti para punk
perempuan, mendapati bahwa perlawanan tersebut mencakup komponen subjektof maupun
objektif. Mereka mendorong kita untuk mempelajari autentitas subkultural dari sudut pandang
para partisipan, memberikan perhatian utama pada sifat individualistis, terpecah-pecah, dan
heterogen dari subkebudayaan (Muggleton, 2000; Rose, 1994; Gromberg, 1992). Dilihat dengan
cara ini, keterlibatan subkultural lebih merupakan pencarian personal untuk individualistas,
ekpresi tentang “diri yang sejati”, daripada sejenis tantangan kolektif. Bahkan kebanyakan
anggota memiliki “sensibilitas subkultural anti-struktural” (Muggleton, 2000; hlm.151),
memandang gerakan terorganisasi dengan kecurgiaan, dan sebaliknya mengkritik “masyarakat
aliran-utama” dalam cara individual (Gottsschalk, 1993 hlm. 369).
Analisis saya didasarkan pada teori-teori subkultural baru untuk memperlihatkan
bagaimana para anggota menggambarkan dan memahami pengalaman subkultural subjektif
mereka. Saya kolektif tentang perlawanan dan mengekspresikan perlawanan mereka melalui
metode personal maupun politik. Lebih lanjut, mereka secara sadar mengadakan perlawanan
pada level mikro, meso, dan makro sebagai reaksi terhadap subkultur lain daripada sekedar
melawan kebudayaan “dewasa” yang ambigu. Perlawanan tidak dapat lagi dikonsepkan dalam
istilah neo-Marxis tentang perubahan struktur politik atau ekonomi, sebagai penolakan semata
pada kebudayaan aliran-utama., atau sebagai ekspresi stylistis simbolis. Konsep tentang
perlawanan harus mempertimbangkan perlawanan individual terhadap dominasi, “politisasi diri
dan kehidupan sehari-hari” (Taylor dan Whittier, 1992 hlm. 117) di mana para pelaku social
mempraktikkan masa depan yang mereka lihat (Scott, 1985; Melucci, 1989, 1996).
Sebagai gerkana yang yang relatif tidak banyak diprlajari, gerakan straightedge (sXe)
menyediakan kesempatan untuk memikirkan kembali dan memperluas pengertian tentang
perlawanan. Gerakan tersebut muncul di wilayah pesisir timus Amerika Serikat dan subkultur
punk pada awal 80-an. Para pemuda pelopor sXe memandanb pemberongakan punk yang
bersifat memperturutkan keinginan diri bukan sebagai pemberontak sama sekali, dan
mengemukakan bahwa dalam banyak hal masyarakat punk justru memperkuat gaya hidup tang
memabukkan dari kebudayaan aliran-utama dalam kedok penampilan jaket kulit mowhak.
Sejak permilaannya, gerakan tersebut telah berkembang ke selurug dunia, dan memiliki
pulhan ribu anggota di kalangan muda. Para straight edgers membedakan diri mereka dengan
membuat ciri khas berupa tanda X besar, sebagai simbol dari gerakan tersebut, pada masing-
masing tangan sebelum menghadiri konser punk. Sementara itu, para sarjana telah meneliti
secara mendalam subkebudayaan lain, seperti hippie, punk, mod, dab rocker (misalnya, Hall dan
Jefferson, 1976; Hebdige, 1979; Brake, 1985).Ajaran dari sXe cukup sederhana, para anggota
berpantang sepenuhnya dari narkoba, alkohol dan seks bebas. Aturan itu bersifat mutlak dan
untuk semua anggota.
Artikel ini mengisi kesenjangan dalam literarur dengan memberikan informasi empiris
tentang gerakan sXe yang berpusat pada deskripsi tentang nilai-nilai utama dari kelompok
tersebut. Peneliti memulai dengan menyajikan tinjauan, membahas keterlibatannya, meneliti
nilai-nilai utama dari kelompok tersebut, dan menyediakan kerangka baru untuk menganalisis
pengalaman para anggota sXe yang mencakup beragam makna, tempat, dan metode perlawanan.