Anda di halaman 1dari 32

RISET ETNOGRAFI

1. Definisi dan Latar Belakang


Seorang peneliti grounded theory mengembangkan teori dengan mempelajari banyak
individu yang mengalami proses, aksi atau interaksi yang sama, para partisipan cenderung tidak
berada di tempat yang sama. Etnografi berfokus pada kelompok yang memiliki kebudayaan yang
sama (kelompok kecil, seejumlah pengajar, pekerja sosial). Maka dari itu etnografi merupakan
suatu desain kualitatif yang penelitiannya mendeskripsikan dan menafsirkan pola yang sama dari
nilai, perilaku, keyakinan, dan bahasa dari suatu kelompok berkebudayaan sama (Harris, 1968).
Sebagai suatu proses sekaligus hasil riset (Agar, 1980), etnografi merupakan suatu cara untuk
mempelajari sebuah kelompok berkebudayaansama sekaligus produk akhir tertulis dari riset
tersebut. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang luas terhadap kelompok
tersebut, sering kali melalui pengamatan partisipan, yang penelitinya menenggelamkan diri
dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat tersebut, mengamati dan mewawancarai para
partisipan dalam kelompok tersebut. Para etnografer mempelajari makna dari perilaku, bahasa,
dan interaksi di kalangan para anggota kelompok berkebudayaan sama tersebut.
Pada tahun 1920an dan 1930an, para Sosiolog seperti Park, Dewey, dan Mead
mengadaptasi metode bidang antropologi untuk mempelajari kelompok kebudayaan di Amerika
Serikat (Bogdan & Biklen,1992). Sekarang ini, pendekatan imiah dalam etnografi telah meluas
mencakup "ajaran" atau sub-sub tipe etnografi dengan beragam tujuan dan orientasi teoretis,
seperti fungsionalisme struktural, interaksionisme simbolis, antropologi budaya dan kognitif,
feminisme, Marxisme, etnometodologi, teori kritis, studi kebudayaan, dan postmodernisme
(Atkinson & Hammersley, 1994).
Ide-ide utama tentang etnografi yang dikembangkan dalam pembahasan ini akan
mengambil pada pendekatan dari Fetterman (2010) dan Wolcott (2008a). Wolcott (2008a)
mengambil pendekatan yang lebih topikal dalam bidang studi etnografi, tetapi pembahasannya
tentang "Ethnography as a way of seeing” (Etnografi sebagai Cara untuk Melihat) merupakan
bacaan yang bagus untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang watak etnografi, studi
tentang kelompok, dan pengembangan pemahaman tentang kebudayaan.
2. Ciri Utama Etnografi
Adapun beberapa ciri utama etnografi yang baik yaitu:
1) Etnografi berfokus pada pengembangan deskripsi yang kompleks dan lengkap tentang
kebudayaan dari kelompok, yaitu kelompok berkebudayaan sama. Etnografi bukanlah
studi tentang kebudayaan, tetapi studi tentang perilaku social dari kelompok masyarakat
yang dapat diidentifikasi.
2) Dalam etnografi peneliti mencari berbagai pola seperti perilaku social adat, kebiasaan,
aktivitas mental kelompok seperti ide dan keyakinan yang diekspresikan melalui bahasa,
bagaimana mereka berperilaku dalam kelompok yang diamati oleh peneliti (Fetterman,
2010).
3) Kelompok berkebudayaan sama telah berinteraksi dalam waktu yang cukup lama hingga
dapat membangun pola kerja yang jelas.
4) Teori memainkan peran penting dalam memfokuskan perhatian peneliti ketika
melaksanakan etnografi. Contohnya para etnografer memulai dengan teori suatu
penjelasan umum tentang apa yang mereka harapkan untuk ditemukan.
5) Untuk dapat menggunakan teori tersebut, dan untuk menemukan pola dari kelompok
berkebudayaan sama, peneliti harus terlibat dalam kerja lapangan yang lama,
mengumpulkan data terutama melalui wawancara, pengamatan, symbol, dan artefak
(Fetterman, 2010).
6) Penafsiran kebudayaan adalah deskripsi tentang kelompok dan tema yang terkait dengan
konsep teoritis yang sedang dieksplorasi dalam studi tersebut.
7) Menghasilkan pemahaman tentang bagaimana kelompok berkebudayaan sama berjalan,
yaitu bagaimana kelompok tersebut berfungsi, dan bagaimana cara hidup dari kelompok
tersebut.

3. Tipe Etnografi
Ada banyak bentuk etnografi, misalnya etnografi pengakuan, riwayat hidup, auto
etnografi, etnografi feminis, novel etnografis, dan etnografi visual yang terdapat dalam fotografi,
video, dan media elektronik (Denzin, 1989a; Fetterman, 2010; LeCompte, Millroy, & Preissle,
1992; Pirnk, 2001: Van Maanen, 1988). Dua bentuk etnografi yang populer akan ditekankan di
sini: etnografi realis dan etnografi kritis.
Etnografi realis adalah pendekatan tradisional yang digunakan oleh para antropolog
kebudayaan. Dijelaskan oleh Van Maanen (1988), etnografi realis merefleksikan suatu pendirian
tertentu yang diambil oleh peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Etnografi realis
adalah suatu laporan objektif tentang situasi, biasanya ditulis dalamn sudut pandang orang ketiga
dan melaporkan secara objektif informasi yang dipelajari dari para partisipan di suatu tempat.
Sang etnografer tetap berada di belakang sebagai seorang reporter yang mengetahui semuanya.
Sang realis juga melaporkan data objektif dalam satuanya yang terukur yang tidak
terkontaminasi oleh bias pribadi, tujuan politik, dan pertimbangan politis.
Bagi banyak etnografer, etnografi sekarang ini menggunakan suatu pendekatan "kritis"
(Carspecken & Apple, 1992; Madison, 2005; Thomas, 1993) dengan memasukkan ke dalam
risetnya perspektif advokasi. Etnografi kritis adalah satu jenis riset etnografis di mana para
penulisnya memperjuangkan emansipasi bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan
(Thomas, 1993). Para peneliti kritis biasanya merupakan individu yang berpikiran politis yang
berusaha, melalui riset, untuk menentang ketidaksetaraan dan dominasi (Carspecken & Apple,
1992). Contohnya, para etnografer kritis mungkin mempelajari sekolah yang menyediakan hak-
hak istimewa bagi kelompok murid tertentu, atau praktik konseling yang ditujukan untuk
mengetahui kebutuhan dari beberapa kelompok yang kurang terwakili. Komponen utama dari
etnografi kritis di antaranya adalah orientasi bermuatan-nilai, memberdayakan masyarakat
dengan memberi mereka otoritas, menentang status dan mengemukakan persoalan tentang
kekuasaan dan kontrol.

4. Prosedur Pelaksanaan Etnografi


Beberapa langkah pelaksanaan etnografi realis dan kritis diantaranya:
1) Menentukan apakalh etnografi merupakar desain yang paling tepat digunakan untuk
mempelajari permasalahan riset yang dimaksud. Etnografi sangat tepat digunakan jika
kebutuhannya adalah untuk mendeskripsikan bagaimana kelompok kebudayaan berjalan
dan untuk mengeksplorasi berbagai keyakinan, bahasa, perilaku, dan persoalan yang
mereka hadapi misalnya masalah kekuasaan, perlawanan, dan dominasi.
2) Mengidentifikasi dan menentukan suatu kelompok berkebudayaan sama yang hendak
dipelajari. Biasanya, kelompok ini adalah kelompok yang para anggotanya telah hidup
bersama dalam waktu yang lama, sehingga bahasa, pola perilaku, dan sikap mereka telah
terbentuk menjadi pola yang dapat dilihat. Kelompok ini mungkin juga kelompok yang
telah dipinggirkan oleh masyarakat. Oleh karena itu etnografer harus menemukan satu
atau lebih individu yang dapat mempersilahkan peneliti masuk kedalam kelompok
tersebut yaitu gatekeeper atau informan penting. Sang enografer hemudian berlanjut pada
analisis pola atau topik yang memperlihatkan bagaimana kelompok kebudayaan tersebut
berjalan dan diakhiri dengan suatu "gambaran menyelurah tentang bagaimana satu sistem
bserjalan" (Fetterman 2010, hlm 10).
3) Menyusun rangkaian aturan atau teori tentang bagaimana kelompok berkebudayaan sama
tersebut berjalan sebagai hasil akhir dari analisis ini. Hasil akhimya adalah potret
kebudayaan yang holistik dari kelompok tersebut vang mencakup pandangan dari para
partisipan dan juga pandangan dari peneliti.

5. Tantangan
Etnografi sangat menantang diterapkan dengan beberapa alasan berikut:
1) Peneliti harus memiliki pemahaman tentang antropologi kebudayaan, makna dari sistem
social budaya, dan konsep yang biasanya diekplorasi oleh mereka yang sedang
mempelajari kebudayaan.
2) Waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan informasi sangat lama
3) Narasinya ditulis dalam pendekatan literer, hamper seperti penuturan cerita yang
mungkin akan membatasi audiensi dari karya tersebut
4) Terdapat kemungkinan peneliti menjadi pribumi atau terancam gagal dalam studi tersebut

6. STUDI ETNOGRAFI (Haenfler, 2004; lihat Apendiks E)


Studi etnografi ini mendeskripsikan berbagai nilai utama dari gerakan straight edge
movement (sXe) yang muncul di Pesisir Timur Amerika Serikat dari subkultur punk pada awal
1980-an. Gerakan tersebut muncul sebagai respon terhadap kecenderungan nihilistic dari
subkultur punk pada penyalahgunaan obat-obatan/alcohol, dan pergaulan bebas. Para sXer
mengadopsi ideology “hidup bersih” dengan menghindari alcohol, tembakau, obat-obatan legal,
dan pergaulan bebas. Melibatkan terutama para laki-laki kelas menengah kulit putih yang berusia
antara 15-25 tahun, gerakan tersebut dikaitkan dengan dunia masuk genre punk, dan para straight
edgers membuat tanda X besar pada masing-masing tangan sebelum mereka memasuki konser-
konser punk. Sebagai sebuah studi yang merekonseptualisasi resistensi dan oposisi, etnografi ini
meneliti bagaimana para anggota kelompok subkultur mengekspresikan penentangan secara
individual sebagai reaksi terhadap sub-subkultural lain daripada terhadap kebudayaan “orang
dewasa” yang ambigu.
Sang penulis menggunakan metode pengumpulan data etnografis, termasuk berpartisipasi
dalam gerakan tersebut selama 14 tahun dan menghadiri lebih dari 250 penampilan music,
mewawancarai 28 laki-laki dan perempuan dan mengumpulkan dokumen dari sumber seperti
cerita surat kabar, lirik music, halaman website, dan majalah aXe. Dari berbagai sunber data itu
peneliti itu pertama-tama menyajikan deskripsi detail tentang subkebudayaan tersebut (misalnya,
slogan T-shirt, lirik lagu, dan penggunaan simbol X). Desiripsi tersebut juga mengungkapkan
perpaduan yang aneh dari perspektif konservatif dari fundamentalisme agama dan pengaruh
progresil dari nilai pensonal yang ekspresif. Mengikuti deskripsi ini sang penulis
mergidentifikasi lima tema: hidup dalam cara yang bersih dan positif (misalnya, menjadi
vegetarian) menempatkan seks dalam kerangka hubungan yang serius (mi- salnya, seks harus
menjadi bagian dari hubungan emosional yang dilandaskan pada kepercayaan);: mendorong
realisasi diri (misalnya, racun seperti obat-obatan terlarang dan alkohol menghalangi orang dari
mencapai potensi maksimalnya), menyebarkan pesan (misalnya para sXer menyebarkan nilai-
nilai mercka kepada teman sebaya mereka); dan terlibat dalam gerakan progresif (misalnya,
gerakan hak-hak binatang dan lingkungan). Artikel tersebut ditutup dengan sang peneliti
menyampaikan pemahaman umum tentang nilai dari para sXer. Partisipasi dalam subkultur
pemuda tersebut memiliki makna individual maupun kolektif. Demikian juga, perlawanan para
sXer tersebut berada pada level makro ketika diarahkan pada kebudayaan yang memasarkan
alkohol dan tembakau kepada kalangan pemuda; dan berada pada level meso ketika ditujukan
pada subkultur lain, misalnya subkultur punk; dan berada pada level mikro ketika para sXer
melakukan perubahan pribadi. Perlawanan terlihat bersifat personal dalam aktivitas sehari-hari
dan dalam perlawanan politik terhadap kebudayaan pemuda. Singkatnya, per- lawanan terjadi
pada beragam level, bersifat kontradiktif, dan secara personal dan sosial bersifat mendorong
perubahan
Etnografi dari Haenfler ini mengilustrasikan dengan baik unsur-unsur dari studi etnografi dan
aspek dari studi etnografi kritis.
 Etnografi ini merupakan studi tentang kelompok berkebudayaan sama yang melibatkan
nilaidan keyakinan pokok dari para anggotanya.
 Peneliti tersebut pertama-tama mendeskripsikan kelompok kebudayaan ini dalam sudut
pandang ide para anggotanya, kemudian menjabarkan 5 tema tentang perilaku dari
kelompok tersbut, dan mengakhirinya dengan level abstraksi yang luas yang keluar dari
tema tersebut untuk mengemukakan bagamana sub kebudayaan tersebut berjalan.
Kelompok ini telah berimleraksi untuk beberapa waktu dan mengembangkan cara-cara
berperilaku.
 Konsisten dengan etnografi kritis, peneliti tersebut menggunakan teori tentang resistensi
dan oposisi oleh kelompok pemuda kontrabudaya dalam menjelaskan bagaimana
kelompok tersebut berjalan. Kelompok tersebut melawan kebudayaan yang dominan
dalam cara yang kompleks dan beragam level (misalnya, makro, meso, dan mikro).
Peneliti tersebut juga berbicara tentang potersi pendorongan perubahan personal dan
sosial dari keikutsertaan dalam kelom pok berkebudayaan-sama tersebut. Tidak seperti
pendekatan kritis lain, pendekatan itu tidak diakhiri dengan seruan bagi transformasi
sosial, tetapi studi tersebut secara keseluruhan mendukung pengkajian kembali
perlawanan subkultural.
 Peneliti tersebut memosisikan diri dengan medeskripsikan keterlibatannya dalam
subkultur tersebut dan perannya sebagai seorang pengamat partisipan bagi kelompok
tersebut selama bertahun-tahun. Sang penulis juga terlibat dalam kerja lapangan dengan
melaksanakan wawancara mendalam yang tidak terstruktur.
 Dari data etnis ini dan catatan lapangan dari sang peneliti (data etis) dibuatlah penafsiran
kultural tentang bagaimana kelompok tersebut berjalan. Para anggota dari subkebudayaan
pemuda tersebut membangun makna individual maupun kolektif bagi partisipasi mereka.
Perlawanan terjadi pada beragam level. Metode perlawanan bersifat personal dan juga
politis. Studi ini menyisakan pandangan kompleks tentang bagaimana gerakan sXe
tersebut berjalan sebagai kelompok dan kebudayaan mereka.

7. Analisis dan Penyajian Etnografis


Untuk riset etnografis, saya merekomendasikan tiga aspek analisis data yang dikembangkan
oleh Wolcott (1994b): deskripsi, analisis, dan penafsiran tentang kelompok berkebudayaan-sama.
Wolcott (1990b) meyakini bahwa salah satu titik-tolak yang baik untuk menulis etnografi adalah
dengan mendeskripsikan kelompok ber- kebudayaan-sama tersebut dan lingkungannya:
“Deskripsi adalah fondasi dari penelitian kualitatif. Di sini Anda menjadi penulis cerita,
mengajak pembaca untuk melihat melalui mata Anda apa yany telah Anda lihat. Dimulai dengan
meryajikan deskripsi langsung tentang latar dan peristiwa. Tidak ada catatan kaki, tidak ada
analisis intrusif-hanya fakta, yang secara menarik dan teliti disajikan dan saling ditubungkan
pada tingkat perincian yang tepat “ (hlm 28).
Melalui perspektif interpretatif, peneliti hanya dapat menyajikan satu rangkaian fakta; fakta
lain dan penafsirannya menunggu pembacaan etnografi tersebut oleh partisipan dan yang lain.
Akan tetapi, deskripsi ini dapat dianalisis dengan menyajikan informasi dalam urutan kronologis.
Peneliti membuat deskripsi dengan cara semakin memfokuskan deskripsi tersebut atau menyusun
rentetan cerita satu "hari dalam kehidupan" dari kelompok atau individu tersebut. Terakhir,
teknik lain melibatkan fokus pada peristiwa kritis atau penting, mengembangkan "cerita" lengkap
dengan alur dan karakter, menulisnya sebagai "misteri", mempelajari kelompok yang sedang
berinteraksi, mengikuti kerangka analisis, atau memperlihatkan beragam perspektif melalui
pandangan dari partisipan.
Analisis menurut Wolcott (1994b) adalah prosedur pemilahan "sisi kuantitatif dari penelitian
kualitatif" (hlm. 26). Analisis ini melibatkan penyorotan bahan spesifik yang dimasukkan dalam
fase deskriptif atau menampilkan temuan melalui tabel, grafik, diagram, dan bagan. Peneliti juga
menganalisis dengan menggunakan prosedur sistematis seperti yang dikembangkan oleh
Spradley (1979, 1980), yang menvarankan pembentukan taksonomi, pembuatan tabel
perbandingan dan pengembangan tabel sistematis. Barangkali prosedur analisis yang paling
populer adalah percarian keteraturan berpola dalam data. Bentuk analisis lain diantaranya adalah
dengan membandingkan kelompok kebudayaan tersebut dengan yang lain, mengevaluasi
kelompok tersebut dalam sudut pandang standar dan menarik hubungan antara kelompok
berkebudayaan sama tersebut dan kerangka teoritis yang lebih besar. Langkah analisis lain
diantaranya adalah dengan mengkritisi proses riset dan mengusulkan perancangan kembali studi
tersebut.
Membuat penafsiran etnografis tentang kelompok berkebudayaan sama juga merupakan
rangkaian langkah transformasi data. Di sini peneliti keluar dari database dan menyelidiki apa
yang dihasilkan dari database. Peneliti membuat spekulasi penafsiran komparatif yang
memunculkan keraguan atau pertanyaan dari pembaca. Peneliti menarik kesimpulan dari data
atau beralih pada teori untuk menyediakan struktur bagi penafsirannya. Peneliti juga
mempersonalisasi penafsiran tersebut. “Inilah yang saya hasilkan darinya” atau “Inilah
bagaimana pengalaman riset mempengaruhi saya”. Terakhir, peneliti membuat penafsiran
melalui ekspresi, seperti puisi, fiksi, atau penampilan pertunjukan.
Beragam bentuk analisis menyajikan pendekatan etnografis dari Fetterman (2010). Dia tidak
memiliki prosedur lockstep tetapi merekomendasikan untuk mentriangulasikan data dengan
menguji satu sumber data terhadap yang lain, mencari pola pemikiran dan perilaku, dan berfokus
pada peristiwa penting yang dapat digunakan oleh etnografi tersebut untuk menganalisis
kebudayaan (misalnya Ibadah Ritual Hari Sabbath). Para etnografer juga menggambar peta dari
lingkungan tersebut, mengembangkan grafik, merancang matriks dan terkadang menggunakan
analisis statistik untuk mempelajari frekuensi dan besaran. Mereka juga dapat mengkristalkan
pemikiran mereka untuk membangun kesimpulan sementara, pandangan baru atau epiphany
yang menyebar.
Etnografi disajikan di Apendiks E oleh Haenfler (2004) menerapkan perspektif kritis pada
prosedur analisis dari etnografi ini. Haenfler memberikan deskripsi detail tentang nilai utama
dari perlawanan terhadap kebudayaan lain, kemudian membahas lima tema yang terkait dengan
nilai utama ini (misalnya cara hidup yang positif dan bersih). Kemudian kesimpulan untuk artikel
tersebut mencakup penafsiran luas tentang nilai utama dari kelompok tersebut, misalnya
pemaknaan individual dan kolektif bagi partisipasi dalam subkebudayaan tersebut. Akan tetapi,
Haenfler memulai pembahasan tentang metode dengan pengungkapan diri, memosisikan
pernyataan tentang latar belakang dan partisipasinya dalam gerakan straight edge movement
tersebut. Positioning ini juga disajikan dalam bentuk kronologi dari pengalamannya sejak 1989
hingga 2001.

8. Struktur Penulisan Etnografi


Struktur Keseluruhan
Struktur penulisan keseluruhan untuk Studi Etnografi sangatlah beragam. Sebagian Etnografi
ditulis sebagai cerita realis, laporan yang menyediakan gambaran langsung, berdasarkan fakta,
tentang kebudayaan yang dipelajari tanpa banyak informasi tentang bagaimana para etnografer
menghasilkan gambaran tersebut. Dalam jenis cerita ini peneliti menggunakan sudut pandang
impersonal, mengusung perspektif “ilmiah” dan “objektif”. Cerita kesaksian (konfesional)
mengambil pendekatan yang berlawanan, dimana peneliti lebih berfokus pada pengalaman kerja
lapangannya daripada kebudayaan tersebut. Jenis terakhir cerita impresionistis adalah laporan
personal tentang “kasus kerja lapangan dalam bentuk dramatis”. Laporan ini memiliki unsur
penulisan realis dan konfesional. Dalam cerita konfesional maupun impresionistis, digunakan
sudut pandang orang pertama, mengusung gaya penulisan personal. Van Maanen menyatakan
terdapat juga jenis cerita lain, misalnya cerita kritis, yang berfokus pada isu-isu sosial, politik,
simbolis atau ekonomi yang lebih luas, cerita formalis, yang membangun, menguji,
menggeneralisasi dan menampilkan teori; cerita literer dimana sang etnografer menulis seperti
para jurnalis, meminjam teknik penulisan fiksi dan para novelis; dan cerita gabungan dimana
studi ditulis bersama oleh para pekerja lapangan dan para informan, menghasilkannarasi bersama
dan diskursif.
Pada catatan yang sedikit berbeda, tetapi masih terkait dengan struktur retorika yang lebih
besar, Wolcott (1994) menyediakan tiga komponen yang merupakan ciri utama dari penulisan
etnografi yang baik dan langkah dalam analisis data. Pertama, seorang etnografer menulis
deskripsi tentang kebudayaan yang menjawab pertanyaan “apa yang sedang terjadi disini?”
Kedua, setelah mendeskripsikan kebudayaan tersebut dengan menggunakan salah satu
pendekatan ini, peneliti menganalisis data. Analisis mencakup penyorotan temuan, penyajian
temuan, pelaporan prosedur kerja lapangan, identifikasi pola dalam data, pembandingan kasus
tersebut dengan kasus yang telah dikenal, evaluasi informasi, kentekstualisasi informasi dalam
kerangka analitis yang lebih luas, kritik proses riset, dan usulan perancangan kembali studi
tersebut.
Ketiga, penafsiran dimasukkan dalam struktur retorika. Hal ini berarti bahwa peneliti
dapat memperluas analisisnya, membuat kesimpulan informasi, melakukan sebagaimana yang
diarahkan atau disarankan oleh para gatekeeper, beralih ke teori, berfokus kembali pada
penafsiran itu sendiri, menghubungkannya dengan pengalaman personal, menganalisis atau
menafsirkan proses penafsiran atau menggali format alternatif.
Pedoman yang lebih detail dan terstruktur untuk etnografi terdapat dalam penelitian Emerson,
Fretz, dan Shaw (1995). Narasi tematis ini dibangun secara induktif dari ide atau tesis utama
yang mencakup beebrapa tema analisis spesifik dan dijabarkan di seluruh bagian studi tersebut.
Studi ini disusun sebagai berikut:
 Pertama, adalah kata pengantar yang menarik perhatian pembaca dan memfokuskan studi
tersebut.
 Setelah itu, peneliti mengenalkan setting (lingkungan) dan metode untuk
mempelajarinya.
 Peneliti menyajikan klaim analitis, dimana seorang penulis memasukkan poin analitis,
menyediakan informasi orientasi tentang poin tersebut.
 Di bagian akhir peneliti, peneliti berefleksi dan menjabarkan tentang tesis yang diajukan
pada bagian awal.

Struktur melekat, Para etnografer menggunakan alat-alat retoris melekat, misalnya kata-kata
figurative atau metafora (Fetterman, 2010; Hammersley & Atkinson, 1995). Metafora misalnya
menyediakan gambaran visual dan spasial atau karakterisasi dramaturgical dari aksi sosial
sebagai teater. Kata-kata figurative lain adalah synecdoche, dimana para etnografer menyajikan
contoh ilustrasi, kasus, dan atau sketsa yang membentuk bagian yang mewakili keseluruhan.
Terakhir adalah ironi, dimana para peneliti menyoroti kontras dan kerangka, dari refernsi dan
rasionalitas yang bersaing.

9. Riset Etnografis
Etnografer Spindler dan Spindler (1987) menekankan bahwa persyaratan paling penting
bagi pendekatan etnografis adalah menjelaskan perilaku dari sudut pandang penduduk asli atau
pribumi dan sistematis dalam merekam informasi ini dengan menggunakan catatan, tape
recorder, dan kamera. Poin-poin ini diperkuat dalam sembilan kriteria dari Spindler dan Spindler
untuk entografi yang baik:
 Kriteria I. Pengamatan dikontekstualkan
 Kriteria II. Hipotesis muncul in situ selama studi berlangsung
 Kriteria III. Pengamatan berlangsung lama dan berulang
 Kriteria IV. Melalui wawancara, pengamatan, dan prosedur pengumpulan data yang lain,
pandangan penduduk asli tentang realitas diperoleh
 Kriteria V. Para etnografer memperoleh pengetahuan dari para partisipan-informan dalam
carayang sistematis
 Kriteria VI. Instrumen, kode, jadwal, kuisioner, agenda untuk wawancara, dan seterusnya
dihasilkan in situ sebagai hasil dari peneletian.
 Kriteria VII. Perpektif komparatif transkultural sering kali menjadi asumsi yang tidak
dinyatakan
 Kriteria VIII. Etnografer membuat eksplisit apa yanag implisit dan bersikap tahu sama
tahu dengan para informan
 Kriteria IX. Pewawancara etnografis tidak boleh menentukan terlebih dahulu respons
menurut jenis dari pertanyaan yang diajukan (Spindler & Spindler, 1987)
Adapun kriteria untuk etnografi yang baik mencakup:
 Identidikasi yang jelas tentang kelompok kebudayaan sama
 Spesifikasi tentang tema kebudayaan yang akan dipelajari yang terkait dengan kelompok
berkebudayaan sama ini
 Deskripsi detail tentang kelompok kebudayaan tersebut
 Tema yang dihasilkan dari pemahaman tentang kelompok kebudayaan tersebut
 Identifikasi persoalan yang muncuk di lapangan yang terkait dengan hubungan antara
peneliti dan para partisipan, watak interpretatif dan pelaporan, dan sensitivitas serta
resiprositas dalam penyusunan bersama laporan tersebut
 Penjelasan menyeluruh tentang bagaiman kelompok berkebudayaan tersebut berjalan
 Pengungkapan diri dan refleksivitas oleh sang peneliti tentang posisinya dalam riset
tersebut

10. ETNOGRAFI
Dalam grounded theory berfokus pada memunculkan teori yang di dasarkan pada data.
Dalam etnografi berfokus pada deskripsi dan pemahaman tentang dinamika dan komunitas
kampus sebagai kelompok berkebudayaan sama.
Penutup yang metodelogis:
Sebagian dari “fakta” atau hipotesis mungkin membutuhkan pemeriksaan atau pengujian
apakah telah membawa analisis pada arah yang seharusnya. Agar lebih interpretative dapat
dilakukan dengan mewawancarai orang-orang dari lingkungan tersebut sehingga dalam
pembahasan, dapat diketahui bahwa realitasnya lebih kompleks.
ETNOGRAFI
 Analisis tentang kelompok berkebudayaan-sama: Pada tahap ini etnografer
mengembangkan tema kebudayaan-dalam analisis datanya. Teori ini merupakan proses
peninjauan kembali semua data dan mengelompokannya menjadi serangkaian tema umum,
yang didukung oleh bukti data tersebut.
 Artefak: Hal ini merupakan fokus perhatian dari sang etnografer ketika ia menyelidiki apa
yang dibuat dan digunakan oleh masyarakat misalnya pakaian dan perkakas.
 Bahasa: Hal ini merupakan fokus perhatian dari sang etnografer ketika ia memperhatikan
apa yang dikatakan oleh orang.
 Deskripsi tentang kelompok kebudayaan sama: Salah satu tugas pertama dari seorang
etnografer adalah mendeskripsikan kelompok berkebudayaan sama dan insiden dan
aktivitas yang mengilustrasikan kebudayaan tersebut.
 Emis: Istilah ini menunjuk pada jenis informasi yang sedang dilaporkan dan ditulis
menjadi etnografi ketika peneliti melaporkan pandangan dari para partisipan.
 Etis (etic): Istilah ini memenunjuk pada jenis informasi yang sedang dilaporkan dan ditulis
menjadi etnografi ketika peneliti melaporkan pandangan pribadinya (Fetterman, 2010).
 Etnografi (etnography): Merupakan studi tentang kelompok kebudayaan atau kelompok
berdasarkan pada pengamatan dan kehadiran sang peneliti di lapangan dalam waktu yang
sama (Thomas, 1993; Wolcot, 1987).
 Etnografi kritis: Etnografi ini meneliti sistem-sistem kultural dari kekuasaan, prestise, hak
istimewa, dan otoritas dalam masyarakat (Madison, 2005; Thomas, 1993).
 Etnografi realistis: Pendekatan tradisional dalam etnografi yang digunakan oleh para
antropolog kebudayaan, pendekatan ini melibatkan peneliti sebagai pengamat “objektif”,
merekam fakta dan memaparkan studi tersebut dengan sikap yang tahu segalanya dan tidak
memihak (Van Maanen, 1988).
 Fungsi (function): Merupakan tema atau konsep tentang sistem sosial-budaya atau
kelompok yang diteliti oleh etnografer yang menunjuk pada hubungan sosial di antara para
anggota kelompok tersebut yang membantu mengatur perilaku (Fetterman, 2010).
 Gatekeeper: Hal ini merupakan istilah dalam proses pengumpulan data dan menunjuk pada
individu yang harus didatangi oleh peneliti sebelum memasuki kelompok atau lingkungan
kebudayaan dan memperoleh persetujuan oleh individu ini (Hammersle dan Atkinson,
1995).
 Holistik (holistic): gambaran yang komprehensif dan lengkap tentang kelompok sosial
yang mencakup sejarah, agama, politik, ekonomi, dan/atau lingkungan dari kelompok
tersebut. (Fetterman, 2010).
 Informan penting: Merupakan individu yang ditemui oleh peneliti dalam proses
pengumpulan data karena mereka memiliki pengetahuan yang baik, mudah diakses, dan
dapat memberikan petunjuk tentang informasi lain (Gilchrist, 1992).
 Kebudayaan (culture): Seorang etnografer dapat melihat, mendeskripsikan, dan
menafsirkan kebudayaan dengan cara mengamati dan berpartisipasi dalam kelompok
kebudayaan yang sama (Wolcott, 1996, 2010). Kebudayaan itu dapat dilihat dalam
perilaku, bahasa, dan artefak (Speadley, 1980).
 Kelompok kebudayaan sama: Merupakan satuan analisis dari etnografer ketika ia
berusaha memahami dan menafsirkan perilaku, bahasa, dan artefak dari masyarakat.
Etnografer biasanya akan berfokus pada kelompok secaara keseluruhan (memiliki perilaku
yang sama) atau pada bagian sistem sosial budaya.
 Kerja lapangan: Dalam pengumpulan data etnografis peneliti melaksanakan
pengumpulan data di lapangan dengan datang ke tempat atau beberapa tempat dimana
kelompok berkebudayaan sama tersebut diteliti (Sanjek, 1990).
 Nonpartisipan/ pengamat sebagai pertisipan: Peneliti merupakan seorang outsider dari
kelompok yang sedang diteliti, menyaksikan dan membuat catatan lapangan dari kejauhan.
 Partisipan sebagai pengamat: Peneliti berpartisipasi dalam aktivitas di tempat penelitian.
Peran partisipasi lebih mencolok daripada pengamat, yang dapat membantu peneliti
memperoleh pandangan insider dan data subjektif.
 Partisipan sempurna: Peneliti terlibat secara penuh dengan masyarakat yang sedang
diamatinya, yang dapat membantunya membangun hubungan yang lebih baik dengan
masyarakat yang sedang diamati (Angrosino, 2007).
 Penafsiran tentang kelompok berkebudayaan yang sama: Peneliti membuat penafsiran
tentang makna dari kelompok berkebudayaan yang sama, yang mana penafsiran diperoleh
melalui literaturm pengalaman pribadi, atau perspektif teoretis (Wolcott, 1994).
 Pengamat sempurna: Peneliti tidak terlihat dan tidak diperlihatkan oleh masyarakat yang
sedang diteliti.
 Pengamat partisipan: Etnografer mengumpulkan informasi dalam banyak cara, tetapi
pendekatan utamanya adalah dengan mengamati kelompok berkebudayaan sama tersebut
dan menjadi partisipan dalam lingkungan kebudayaan tersebut (Jorgensen, 1989).
 Penipuan: Hal ini berkaitan dengan tindakan peneliti yang secara sengaja menipu
informan untuk memperoleh informasi, misalnya dengan menyembunyikan tujuan riset,
menahan informasi penting terkait dengan tujuan dari penelitian atau mengumpulkan
informasi secara rahasia.
 Perilaku: Merupakan fokus perhatian dari etnografer ketika berusaha untuk memahami
apa yang dilakukan masyarakat (perilaku kebudayaan) (Spradley, 1980).
 Potret kebudayaan: Salah satu komponen penting dalam riset etnografis adalah
menyusun pandangan holistik tentang kelompok berkebudayaan sama, dengan hasil akhir
berupa gambaran atau potret mengenai lingkungan kebudayaan tersebut, yang ditamoilkan
dalam semua kompleksitasnya (Spradley, 1979).
 Refleksitas: Hal ini berarti bahwa peneliti menyadari bias, nilai, dan pengalaman yang
dibawanya ke dalam studi penelitian kualitatif (Hammersley dan Atkinson, 1995).
 Struktur: Merupakan suatu tema atau konsep tentang sistem atau kelompok sosial budaya
yang hendak dipelajari oleh etnografer, misalnya struktur kekerabatan atau politik dari
kelompok sosial-budaya tersebut (Fetterman. 2010).
 Tenggelam: Etnografer menenggelamkan diri di lapangan dengan tinggal di lapangan
dalam waktu yang lama.
11. Apendiks E
Studi Etnografi - “Telaah tentang Perlawanan Subkultural: Nilai-nilai Utama dari
Gerakan Straight Edge Movement”
Ross Haenfler
Abstrak
Artikel ini merekonseptualisasi perlawanan subkultural berdasarkan penelitian etnografis
tentang gerakan straight edge movement. Menggunakan nilai-nilai utama dari straight edge,
analisis ini berpijak pada teori subkultural baru untuk mengemukakan sebuah kerangka tentang
bagaimana para anggota menggambarkan dan memahami pengalaman subjektif.
Para teoritisi subkebudayaan generasi awal di Brimingham University’s Center for
Contemporary Cultural Studies (CCCS) berkonsentrasi pada pemuda yang secara simbolis
melawan masyarakat aliran utama melalui gaya, termasuk pakaian, tingkah laku, dan gaya
bahasa (Hebdige, 1979). Para teoritisi mendapati bahwa para laki-laki muda kulit putih kelas
pekerja bergabung dengan kelompok yang menyimpang untuk menolak menyesuaikan diri. Para
sarjana telah memberi perhatian yang sangat besar pada apakah subkebudayaan pemuda ini
melawan atau justru memperkuat nilai dan struktur sosial yang dominan (Hebdige,1979; Willis,
1977; Brake, 1985; Clarke, Hall, Jefferson, dan Roberts, 1975). CCCS menekankan meskipun
gaya subkultural merupakan satu bentuk perlawanan terhadap subordinasi, sesungguhnya
perlawanan tersebut justru hanya mempertegas hubungan kelas (Cogen, 1980; Willis, 1977).
CCCS telah mengundang kritik substansial karena dianggap mengabaikan subjektivitas
para partisipan, gagal meneliti secara empiris kelompok yang hendak mereka jekaskan, terlalu
memfokuskan pada penjelasan dan teori besar yang berbasis Marxis/ kelas, mereifikasi konsep
tentang subkebudayaan, dan terlalu menekankan gaya (Muggleton,2000; Clarke[1981], 1997;
Blackman, 1995; Widdicombe dan Wooffitt, 1995). Leblanc (1999) yang meneliti para punk
perempuan, mendapati bahwa perlawanan tersebut mencakup komponen subjektof maupun
objektif. Mereka mendorong kita untuk mempelajari autentitas subkultural dari sudut pandang
para partisipan, memberikan perhatian utama pada sifat individualistis, terpecah-pecah, dan
heterogen dari subkebudayaan (Muggleton, 2000; Rose, 1994; Gromberg, 1992). Dilihat dengan
cara ini, keterlibatan subkultural lebih merupakan pencarian personal untuk individualistas,
ekpresi tentang “diri yang sejati”, daripada sejenis tantangan kolektif. Bahkan kebanyakan
anggota memiliki “sensibilitas subkultural anti-struktural” (Muggleton, 2000; hlm.151),
memandang gerakan terorganisasi dengan kecurgiaan, dan sebaliknya mengkritik “masyarakat
aliran-utama” dalam cara individual (Gottsschalk, 1993 hlm. 369).
Analisis saya didasarkan pada teori-teori subkultural baru untuk memperlihatkan
bagaimana para anggota menggambarkan dan memahami pengalaman subkultural subjektif
mereka. Saya kolektif tentang perlawanan dan mengekspresikan perlawanan mereka melalui
metode personal maupun politik. Lebih lanjut, mereka secara sadar mengadakan perlawanan
pada level mikro, meso, dan makro sebagai reaksi terhadap subkultur lain daripada sekedar
melawan kebudayaan “dewasa” yang ambigu. Perlawanan tidak dapat lagi dikonsepkan dalam
istilah neo-Marxis tentang perubahan struktur politik atau ekonomi, sebagai penolakan semata
pada kebudayaan aliran-utama., atau sebagai ekspresi stylistis simbolis. Konsep tentang
perlawanan harus mempertimbangkan perlawanan individual terhadap dominasi, “politisasi diri
dan kehidupan sehari-hari” (Taylor dan Whittier, 1992 hlm. 117) di mana para pelaku social
mempraktikkan masa depan yang mereka lihat (Scott, 1985; Melucci, 1989, 1996).
Sebagai gerkana yang yang relatif tidak banyak diprlajari, gerakan straightedge (sXe)
menyediakan kesempatan untuk memikirkan kembali dan memperluas pengertian tentang
perlawanan. Gerakan tersebut muncul di wilayah pesisir timus Amerika Serikat dan subkultur
punk pada awal 80-an. Para pemuda pelopor sXe memandanb pemberongakan punk yang
bersifat memperturutkan keinginan diri bukan sebagai pemberontak sama sekali, dan
mengemukakan bahwa dalam banyak hal masyarakat punk justru memperkuat gaya hidup tang
memabukkan dari kebudayaan aliran-utama dalam kedok penampilan jaket kulit mowhak.
Sejak permilaannya, gerakan tersebut telah berkembang ke selurug dunia, dan memiliki
pulhan ribu anggota di kalangan muda. Para straight edgers membedakan diri mereka dengan
membuat ciri khas berupa tanda X besar, sebagai simbol dari gerakan tersebut, pada masing-
masing tangan sebelum menghadiri konser punk. Sementara itu, para sarjana telah meneliti
secara mendalam subkebudayaan lain, seperti hippie, punk, mod, dab rocker (misalnya, Hall dan
Jefferson, 1976; Hebdige, 1979; Brake, 1985).Ajaran dari sXe cukup sederhana, para anggota
berpantang sepenuhnya dari narkoba, alkohol dan seks bebas. Aturan itu bersifat mutlak dan
untuk semua anggota.
Artikel ini mengisi kesenjangan dalam literarur dengan memberikan informasi empiris
tentang gerakan sXe yang berpusat pada deskripsi tentang nilai-nilai utama dari kelompok
tersebut. Peneliti memulai dengan menyajikan tinjauan, membahas keterlibatannya, meneliti
nilai-nilai utama dari kelompok tersebut, dan menyediakan kerangka baru untuk menganalisis
pengalaman para anggota sXe yang mencakup beragam makna, tempat, dan metode perlawanan.

Subkebudayaan Pemuda Terdahulu


Hippie muncul pada pertengahan 60-an dari subkultur beatnik dan folnik lama (Irwin,
1977; Miller, 1999). Gaya hidup mereka merupakan reaksi terhadap homogenitas yang kaku
pada 1950an. Menekankan keragaman di atas keseragaman dan kebebasan di atas kekakuan
(Miller, 1991). “Jika hal ini menyenangkan, maka lakukanlah sepanjang tidak merugikan orang
lain” merupakan kredo dari kelompok tersebut. Nilai-nilai utama hippie mencakup perdamaian,
harmoni, rasial, kesetaraan, kebebasan seksualitas, cinta, dan kehidupan bermasyarakat (Miller,
1991). Mereka menolak konsumerisme yang dipaksakan, hasil yang ditunda, dan keberhasilan
materi (Davis, 1967). Akan tetapi, “dope” (narkoba jenis morfin) menjadi salah satu ciri paling
terlihat dari kelompok tersebut (Miller, 1991; Irwan, 1997). Dope berbeda dari narkoba jenis
lain; dope, misalnya LSD dan mariyuana, adalah bagus, sementara itu narkoba lain, misalnya
speed dan downer, adalah jelek. Bagi para hippie, dope dapat mengembangkan pikiran,
menghilangkan hambatan, meningkatkan kreativitas, dan merupakan bagian dari revolusi. Dope
merupakan sarana untuk menemukan etika baru, meningkatkan kesadaran, dan “memahami dan
mengatasi keburukan dari budaya Amerika” (Miller, 1991, 34). LSD “memberi otak kekuatan
yang lebih besar untuk memilih, untuk mengevaluasi, bahkan, barangkali, untuk berfikir”
(Earisman, 1968, 31). Seperti halnya dope, seks, dalam dirinya, bersifat revolusioner. “Free love”
menolak konsekuensi yang normalnya berlaku pada hubungan seksual. Dengan mempraktikkan
apa yang pada saat itu disebut seks bebas, kelompok hippie mempertotonkan ketidaksopanan
mereka terhadap nilai-nilai kelas menengah di hadapan masyarakat yang dominan.
Skinhead mendapat banyak perhatian selama 1990-an, Skinhead muncul di Britania pada
akhir 1960-an sebagai cabang dari subkultur mod. Kelompok Skinhead lebih menyerupai kelas
pekerja,sedangkan kelompok mod berusaha untuk menyerupai kelas menengah, gaya hp 1960-
an. Kerja keras dan independensi merupakan sebagian dari nilai-nilai utama kelompok skinhead,
skinhead sangat nasionalis dan patriotis. Setelah bekerja seharian, mereka menikmati minum bir
dengan teman-teman di pub local. Meskipun terdapat sejumlah perempuan sebagai anggotanya,
subkultur tersebut didominasi oleh laki-laki dan sering kali menekankan nilai-nilai patriarkat
tradisional tentang maskulinitas.
Skinhead yang asi meminjam banyak pada kebudayaan Indian Barat, mengadopsi music,
tata cara, dan gaya mereka. Sementara itu, mereka tidak rasis yang keras pada level kelompok
neo-Nazi yang mutakhir, para skin ini, baik hitam maupun putih, terlibat dalam kekerasan
terhadap para imigran Pakistan. Akhirnya, dengan peralihan reggae pada Rastafarianisme dan
Black pride, banyak skinhead putih menjadi semakin rasis. Pada peralihan paruh abad tersebut,
terdapat tiga jenis skinhead: neo-Nazi, Skinhead yang menentang rasisme, dan skinhead non-
politik, yang tidak mengambil sikap rasis maupun antirasis. Meskipun para skin nonpolitis dan
antirasis lebih banyak. Sangat jarang, seorang skinhead sekaligus sXe.
Dalam banyak hal, punk merupakan sebuah reaksi terhadap “romantisisme hippie” dan
kebudayaan kelas menengah, punk mendukung kemunduran dan chaos. Punk Generasi awal
meminjam banyak pada gaya dari Lou Redd, David Bowie dan para artis glam-rock dan new-
wave yang lain. Para punk mengusung motto- “mo Future”, mendukung dan tidak menyesali
kemunduran dunia. Mereka menganut alienasi dan “estetika nihilis” mereka mencakup
“kebebasan seks, individualisme obsesif, dan rasa dari yang terfragmentasi”.
Seperti Skinhead, punk mengecam hippies, akan tetapi, tidak seperti kelompok skin,
tetapi seperti kelompok hippie, para punk memilih untuk menolak masyarakat, kerja
konvensional dan patriotism. Straight edge muncul relative awal di tengah masyarakat punk dan
memiliki kesamaan dalam nilai dan gaya tertentu dengan punk, jippie, dan skin, Sementara itu
sebagian punk hari ini adalah sXe, kedua komunitas tersebut telah menjadi relative berbeda, dan
gerakan sXe telah mengganti banyak nilai antisosial dari punk dengan nilai prososial.
Metode
Dalam kontak pertamakali penulis dengan sXe pada 1989 melalui keterlibatannya dalam
komunitas punk Midwest, banyak anak-anak sXe membuat gambar X besar di tangan-tangan
mereka sebelum mereka mendatangi suatu konser. Tanda X tersebut melambangkan gaya hidup
bersih dari sXe dan banyak anggota bunk di lingkungan tersebut telah menganut gaya hidup yang
bebas narkoba dan alcohol. Keterlibatan sXer local dalam politik progresif dan organisasi aktivis
menumbuhkan ketertarikan penulis pada keadilan social dan environmentalisme. Data yang
disajikan penulis dihasilkan dari lebih empat belas tahun pengamatan terhadap geralan sXe
tersebut dalam beragam lingkungan dan peran serta dari wawancara dengan para anggota
komunitas tersebut.
Hun pengamatan terhadap gerakan sXe tersebut dalam beragam lingkungan dan peran serta dari
wawancara dengan para anggota komunitas tersebut.
Selama masa kuliah, keterlibatan saya dengan sXe mengalami penurunan, dan selama
beberapa tahun hanya melakukan sedikit kontak dengan kelompok tersebut. Setelah
menyelesaikan kuliah S-1 saya pindah ke “Clearweather”, suatu area metropolitan di Amerika
Serikat Barat, untuk memulai pendidikan S-2 saya. Saya tinggal di kota universitas yang di
dominasi kulit putih yang memiliki komunitas sekitar 90 ribu orang. Untuk belajar di universitas
riset besar yang memiliki 25 ribu mahasiswa. Segera setelah tiba, saya mencari komunitas
hardcore local dan mulai menghadiri berbagi pertunjukannya. Kekayaan lingkungan dan
ketertarikan saya akhirnya mengantar saya untuk memanfaatkan situasi riset yang sangat baik ini
(Riemer, 1977). Empat tahun ketidakterlibatan saya dengan komunitas tersebut memungkinkan
saya untuk melihat komunitas tersebut dengan perspektif yang relative segar. Sementara itu
keterlibatan saya dan pengetahuan saya tentang ideology sXe memungkinkan saya untuk masuk
kedalam komunitas local tersebut dengan cepat. Sejak musim gugur 1996, saya berpartisipasi
dalam komunitas sXe tersebut sebagai seorang anggota penuh (Adler & Adler, 1987).
Saya mengumpulkan data terutama melalui pengamatan partisipan longitudinal (Agar,
1996) dengan para sXer dari 1996 hingga 2001. Para sXer yang saya teliti kebanyakan adalah
siswa SMA atau mahasiswa universitas dari latar belakang kelas menengah. Hubungan saya
semakin meningkat hingga mencakup sekitar 60 sXer di wilayah local tersebut dan 30 sXe yang
lain dan kenalan-kenalan non-sXe yang memiliki hubungan dengan komunitas hardcore
metropolitan yang lebih luas. Interaksi saya dengan kelompok tersebut terjadi terutama pada
berbagai pertunjukan hardcore dan sosialisasi di rumah para sXer.
Untuk melengkapi pengamatan partisipan saya, saya mengadakan wawancara mendalam
yang tidak terstruktur dengan 17 laki-laki sXe dan 11 perempuan antara usia 17-30 tahun. Untuk
memperoleh informasi dari beragam individu, saya memilih para sXer dari beragam level
keterlibatan dalam komunitas tersebut, termasuk para anggota baru dan lama, dan individu-
individu yang telah menjadikan gerakan tersebut sebagai sentral atau bagian pinggiran dari
kehidupan mereka. Saya mengadakan wawancara mendalam di rumah sXer atau di tempat umum
yang bebas dari gangguan atau kebisingan, merekam kemudian mentranskip masing-masing
wawancara tersebut. Meskipun saya mengorganisasikan wawancara tersebut di seputar tema
tertentu, saya tetap membiarkan wawancara tersebut tidak terstruktur sehingga individu tersebut
dapat menyampaikan pemaknaan mereka yang sebenarnya tentang sXe. Keragaman dari
partisipan memungkin saya untuk secara kontinyu melakukan pemeriksaan silang terhadap
berbagai laporan dan mencari bukti yang melemahkan penemuan saya (Champbell, 1975;
Steward, 1998; lihat juga Douglas, 1976). Melalui pengamatan partisipan saya dapat
mempelajari bagaimana prilaku partisipan berbeda dengan tujuan yang mereka nyatakan. Saya
secara sadar menjaga jarak dari lingkungan tersebut untuk memelihara sudut pandang yang kritis
dengan secara kontinyu mempertanyakan pengamatan saya dan berkonsultasi dengan para kolega
untuk memperoleh perspektif outsider. Khususnya, saya memberikan perhatian pada variable
dalam pola yang saya temukan.
Dalam usaha untuk memperluas pengetahuan saya tentang sXe di luar dari lingkungan
kontak saya yang awal, saya melakukan wawancara dengan para penganut di luar dari komunitas
local tersebut, termasuk individu dari kota lain dan para anggota dari band luar Negara bagian
yang bermain di Clearweather. Saya terkadang melakukan kontak dengan individu lain sekitar
kota kami melalui email dengan pertanyaan yang spesifik. Saya juga menghabiskan beberapa
hari di New York City, Los Angeles, dan Connecticut untuk bergaul dengan berbagai komunitas
sXe di sana. Membuat catatan lapangan dan mengadakan wawancara informasi. Di samping
pengamatan partisipan, perbincangan santai, dan wawancara, saya juga mempelajari beragam
sumber lain termasuk surat kabar, lirik music, halaman website dan zines sXe. Mengodekan
potongan informasi yang relevan ke dalam catatan lapangan saya.
Untuk merekam dan mengorganisasikan data saya, saya membuat catatan ringkas pada
berbagai pertunjukan dan peristiwa lain yang kemudian langsung saya kembangkan menjadi
catatan lapangan yang lebih lengkap di computer. Dengan menggunakan heading dan
subheading, saya mengodekan data menurut topic ketertarikan tertentu, memulai
pengorganisasian data menjadi kategori yang berguna dan menarik (Charmaz, 1983). Sepanjang
riset saya mencari pola dan tipe data yang muncul (Lofland dan Lofland, 1995). Meneliti
kembali catatan lapangan yang telah dikodengan dan wawancara yang telah ditranskip
mengantar saya untuk menganalisis beberapa tema, termasuk nilai utama dari subkebudayaan
tersebut. Saya kemudian menyempurnakan tema ini ketika saya mengumpulkan lebih banyak
data melalui analisis induktif yang baru (Becker dan Geer, 1960).
Nilai Utama Straight Edge
Serangkaian nilai utama sXe memandu dan memberikan makna pada prilaku para
anggotanya : positivitas/hidup bersih, melakukan seks untuk hubungan serius, realisasi diri,
menyebarkan pesan, dan keterlibatan dalam gerakan progresif. Para penganutnya berpendapat
bahwa sXe memiliki makna yang berbeda-beda tiap orang. Akan tetapi, meskipun para
anggotanya bebas untuk mengikuti filosofi tersebut dalam beragam cara, dan sering kali
menambahkan penafsiran mereka, nilai fundamental menjadi landasan umum bagi gerakan
tersebut.
Slogan, T-shirt, lirik lagu, tato dan symbol lain menjadi pengingat bagi sXer tentang misi
dan dedikasi mereka. It’s OK Not to Drink, True till Death dan One Life Drug Free adalah di
antara pesan-pesan yang terkenal. Tanda X merupakan symbol universal dari sXe, muncul awal
tahun 1980-an ketika para pemilik klub music memberi tanda X pada tangan-tangan dari para
pengunjung yang masih di bawah umur untuk memastikan bahwa para bartender tidak akan
memberikan alcohol pada mereka (lihat Lahickey, 1997, hlm 99). Maka dari itu, sejak saat itu
anak-anak tersebut dengan sengaja menandai tangan mereka dengan tanda X, pertama sebagai
tanda kepada para pegawai klub bahwa mereka tidak mau minum alcohol dan yang lebih penting
sebagai tanda kebanggaan yang membedakan mereka dari anak-anak lain dipertunjukan tersebut.
Gerakan ini mentransformasi tanda X, yang biasanya merupakan symbol yang bermakna
negative menjadi bermakna disiplin dan komitmen terhadap gaya hidup yang bebas dari obat
terlarang. Para remaja membuat tanda X pada tas ransel mereka, pada baju dan kalung, mereka
menatonya pada tubuh mereka dan menggambarnya pada map sekolah, skateboard, mobil dan
barang-barang lainnya. Tanda X tersebut telah menyatukan kawula muda seluruh dunia yang
mengomunikasikan serangkaian nilai dan pengalaman yang sama. Para straight edger mendapati
kekuatan, persahabatan, loyalitas, dan keberanian dalam gerakan sXe. Bagi banyak anggotanya,
sXe telah menjadi keluarga, persaudaraan, ruang untuk menjadi berbeda. Rasa kebersamaan yang
kuat, yang berlandaskan sebagian besar pada lingkungan music hardcore, merupakan perekat
yang menyatukan sXe dan nilai-nilainya selama dua puluh tahun.
Seperti gerakan pemuda yang lain, sXe merupakan produk dari masa dan kebudayaan
yang mereka lawan; subkebudayaan perlawanan tidak muncul pada masa yang vakum (Kaplan
dan Loow, 2002). Gaya hidup tersebut merefleksikan kemunculan kelompok tersebut pada masa
meningkatnya konservatisme dan Fundamentalisme keagamaan, meningkatnya perang,
meningkatnya perang terhadap obat-obatan terlarang, dan kampanye “justsay no”dari Nancy
Reagan. Fundamentalisme menjadi alternatif yang menarik dikalangan masyarakat yang merasa
bahwa mereka sedang kehilangan kontrol atas jalan hidup mereka (Hunter,1987). Klasifikasi
perilaku hitam putih yang kaku dari sXe serupa dengan keyakinan yang kaku dan lugas dari para
fundamentalis keagamaan (Marty dan Appleby, 1993. Terutama, penekanan sXe pada hidup
bersih kemurnian seksual, komitmen seumur hidup, dan komunitas yang bermakna
mengingatkan para gerakan pemuda evangelis, sementara itu fokus pada kontrol diri
memperlihatkan akar Puritanis. Di samping pengaruh konservatif ini, sXe, dalam banyak hal,
merupakan kelanjutan dari radikalisme kelas menengah kiri baru yang berorientasi pada
“persoalan tentang moral atau watak kemanusiaan”, suatu radikalisme yang tujuannya adalah
“kepuasan emosional yang dihasilkan dari pengekspresian nilai personal melalui aksi”
(Parkin,1968, hlm.41). Nilai utama dari gerakan tersebut mereflesikan perpaduan yang unik dari
pengaruh konservatif dan progrresif.
Hidup bersih dan positif
Fondasi yang melandasi identitas sXe adalah hidup bersih dan positif. Sebagaimana
deikemukakan oleh Darrel Irwin (1999), hidup bersih dan positif ini terutama tentang
perlawanan terhadap dunia alkohol dan penciptaan suatau lingkungan alternatif yang bebas
alkohol dan obat-obatan terlarang. Hidup bersih menjadi pendahulu penting untuk menuju
kehidupan yang positif. Banyak sXe bahkan menghidari kafein dan obat-obatan medis, dan
kebanyakan akhir menjadi vegetarian atau vegan. Hidup positif memiliki makna yang luas,
termasuk mempertanyakan dan melawan norma masyarakat, memiliki sikap yang positif, sebagai
individu memperlakukan orang lain dengan penuh penghargaan dan melakukan aksi untuk
membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Maka dari itu, hidup bersih dan postivitas
tidak dapat dipisahkan, keduanya menjadi fondasi bagi semua nilai sXe yang lain.
Menolak narkoba dan alkohol memiliki banyak makna bagi individu anggota sXe,
termasuk pemurnian, pengendalian diri, dan pemutus pola kehidupan negatif dalam keluarga.
Pemurnian secara harfiaf berarti bebas dari racun yang mengancam kesehatan seseorang dan
berpotensi merusak kehidupan. Slogan t-shit yang populer memproklamasikan “straight edge-my
commitment against society’s poisons”. Para straight edger meyakini obat-obatan terlarang dan
alkohol mempengaruhi orang untuk melakukan hal-hal yang normalnya tidak akan dilakukan
seperti seks bebas, perkelahian dan merusak diri. Dengan melabeli mereka sebagai lebih
“autentik” dari pada teman sebaya mereka yang menggunakan alkohol dan obat terlarang, para
sXer membuat cara yang mudah untuk membedakan diri mereka. Menolak alkohol dan obat-
obatan terlarang melambangkan penolakan terhadap gaya hidup “populer” termasuk nihilisme
dari punk, hippie, dan skinhead.
Gerakan tersebut menyediakan bagi kawula muda cara untuk merasakan kehidupan yang
lebih terkendali. Banyak pemuda merasakan tekanan dari teman sebaya untuk minum alkohol,
mengisap rokok, atau mencoba obat-obatan terlarang. Para straight edger melaporkan bahwa
kelompok tersebut memberi mereka suatu cara untuk merasa diterima tanpa menggunakan
alkohol dan narkoba, dan membatu mereka mempertahankan kendali atas situasi personalnya.
Banyak sXer menikmati bahwa mereka tidak akan pernah mengalami terjaga dari tidur setelah
bermabuk-mabukan dimalam hari dan bertanya-tanya apa yang terjadi tadi malam. Para
penganutnya melaporkan bahwa sXe memungkinkan mereka memiliki pemikiran yang jernih
dan bebas untuk membuat pilihan tanpa pengaruh buatan.
Di samping makna personal yang dimiliki para penganutnya, para sXer memandang
pematangan mereka tersebut sebagai tantanga kolektif. Kelompok tersebut menawarkan cara
yang jelas untuk memisahkan seseorang dari kebanyakan pemuda dan membangun pendirian
kolektif untuk melawan kebudayaan pemuda dan subkebudayaan pemuda yang sebelumnya,
termasuk punk, shinhead dan hippie.
Para straight edger membangun komitmen seumur hidup untuk hidup bersih dan positif
semumur hidup. Mereka menganggap pematangan mereka dan pengadopsian identitas sXe
sebagai janji suci, menyebutnya sebagai “sumpah” atau “janji”. Para anggota tidak membuat
perkecualian pada aturan ini. Patrick, seorang musisi berusia 20tahun dan mantan pemain
sepakbola, berkata, “jika kamu sekedar menyeruput bir, atau menghisap rokok sekali isap saja,
kamu tidak bisa menyebutmu sebagai straight edge.
Sebagian anggota sXe menganut komitmen mereka begitu serius dan menganggap orang
yang memutus sumpah pematangan mereka sebagai pengkhianat. Meskipun dengan penegasan
mereka yang kuat untuk menganut nilai sXe selamanya, relatif sedikit sXer yang
mempertahankan identitas tersebut setelah melewati pertengahan aban ke-20. Banyak yang
mempertahankan nilai terebut dan jarang yang menggunakan alkohol atau obat-obatan terlarang.
Tetapi tanggung jawab dan hubungan “orang dewaasa” merusak keterlibatan mereka dalam
komunitas tersebut. Ketika individu mantan sXe mulai minum-minuman keras, merokok, atau
menggunakan obat-obatan terlarang, para penganut menyatakan mereka telah “berkhianat”.
Meskipun kehilangan identitas tersebut terkadang menyebabkan konflik yang besar, saya
mengamati bahwa lebih sering ikatan persahabatan dari para pemuda tersebutmenggantikan atau
mengatasi kekecewaan itu, dan mereka tetap berteman. Akan tetapi, para sXer teman dari mantan
ini sering mengekspresikan penyesalan yang mendalam dan menolak para pelanggar ini untuk
memperoleh kembali identitas tersebut.
Ketika ada anggota yan terkenal dari komunitas tersebut berkhianat, para sXer
mengatakan seolah-olah seorang pahlawan terjatuh. Sekelompok minoritas yang sangat kecil
sungguh persahabatan mereka pada penganutan nilai-nilai dari gerakan tersebut dan hampir
mempraktikkan “shunning” atau pengeluaran seseorang dari kelompoknya. Meskipun sangat
jarang, dan jenis ini adalah yang membentuk anggapan luar tentang sXe sebagai kelompok yang
dogmatis dan menghakimi. Para pemu
MELAKUKAN SEKS UNTUK HUBUNGAN YANG SERIUS
Menolak gambaran tentang laki-laki predator yang tidak pernah puas, yang selalu
mencari seks dimanapun mereka bisa mendapatkannya. Kent, seorang mahasiswa universitas
dengan beberapa tato berwarna dibadannya berkata pandangan pribadiku adalah harus
melakukannya dengan harga diri dengan menyadari bahwa aku akan bercinta dengan seseorang
yang aku benar-benar memiliki perasaan terhadapnya bukan sekedar seonggok daging. Kyle,
seorang mahasiswa senior jurusan arsitektur berusia 23 tahun berkata bagiku secara pribadi, aku
tidak akan tidur dengan laki-laki hanya untuk kesenangan fisik. Meskipun nilai-nilai sXe tentang
seksualitas tampak konservatif ketika dibandingkan dengan beberapa subkebudayaan pemuda
lain, para sXer bukanlah antiseks dan bukan pula homofobia sebagai sebuah kelompok.
Seks dapat menjadi unsur positif dari hubungan yang serius. Meyakini bahwa seks dapat
menyebabkan kerentanan emosi, para sXer berusaha meminimalkan potensi pengalaman negatif
dengan menolak seks bebas. Bahkan banyak sXer yang menjadi teman saya tumbuh tanpa
keterlibatan agama secara formal dan hampir tidak satupun dari mereka yang sekarang ini
terlibat dalam agama formal. Sementara itu sebagian kecil sXer mengaitkan sXe mereka dengan
identitas kristen, kelompok tersebut tidak memperjuangkan bentuk keagamaan tertentu dan
kebanyakan penganutnya sangat curiga atau kritis terhadap bentuk kepercayaan yang
terorganisasi. Kebanyakan sXer juga meyakini bahwa memperlakukan perempuan sebagai objek
adalah buruk dan salah. Sebuah band sXe lokal mengecam pelecehan seksual dan pemerkosaan :
lagu ini adalah lagu paling penting yang kami nyanyikan.
Aturan tentang penolakan terhadap seks bebas ini lebih sulit untuk ditegakkan dikalangan
anggota gerakan tersebut dan karenanya terdapat keragaman yang lebih besar dalam keyakinan
tentang seks daripada dalam masalah narkoba. Beberapa partisipan penelitian saya, laki-laki
maupun perempuan berusia 21 hingga 23 tahun secara sadar memutuskan untuk tidak melakukan
seks karena tidak menemukan seseorang yang memiliki hubungan intim dan ikatan emosional
dengan mereka. Sebagian penganut bersikukuh bahwa seks hanya boleh dilakukan oleh
pasangan yang telah menikah, sementara itu sebagian kecil meyakini sXe tidak memberikan
batasan pada aktivitas seksual. Hanya ada satu laki-laki muda yang memiliki sedikit hubungan
dengan lingkungan Clearwather yang memiliki reputasi sebagai pemain. Ada sebagian kecil laki-
laki sXe yang lebih mirip dengan stereotipe hipermaskulin yang berusaha ditolak oleh gerakan
tersebut.
REALISASI DIRI
Para straight edger menyatakan bahwa dengan melawan standar dan pengharapan
sosial memungkinkan mereka mengikuti jalan hidup mereka yang lebih bermakna untuk menuju
realisasi diri yang lebih baik. seperti para punk, mereka membenci komformitas dan bersikukuh
untuk menjadi diri yang sejati. Serupa dengan para hippie, para eXer meyakini bahwa ketika
masa kanak-kanak kita memiliki potensi yang sangat besar yang secara perlahan dirusak dan
dihancurkan oleh masyarakat yang distandardisasi dan pengajaran yang bersifat mekanis.
Sub kebudayaan seperti halnya gerakan sosial mengalami konflik dalam masalah
reproduksi kebudayaan, integrasi sosial dan sosialisasi, konflik ini sering kali berkenaan dengan
kualitas hidup, realisasi diri dan pembentukan identitas. Para straight edger meyakini racun
seperti alkohol dan narkoba menghalangi manusia dari mencapai potensi terbaik mereka.
Pandangan ini berbeda tajam dengan versi hippie tentang realisasi diri melalui dope. Seperti para
penganut subkebudayaan sebelumnya, para sXer membangun pandangan tentang dunia sebagai
sesuatu yang tanggung dan tidak sempurna yang meyakini bahwa masyarakat mendorong
anggotanya untuk mengobati diri mereka dengan obat-obatan terlarang, alkohol dan seks untuk
melupakan kesedihan mereka. Para straight edger menganggap keterlibatan para punk, skinhead
dan hippie dengan benda-benda ini menghalangi kesempatan mereka untuk memberikan
perlawanan yang bermakna. Bahan terlarang tersebut dan tekanan sosial mengotori pikiran dan
ekspresi individual. Dengan mengganggap bahwa banyak orang menggunakan bahan terlarang
sebagai alat untuk melarikan diri dari persoalan mereka, gerakan tersebut mendorong para
anggotanya untuk menghindari pelarian diri, menghadapi persoalan dengan pikiran jernih dan
membangun kehidupan yang positif dan sempurna.
MENYEBARKAN PESAN
Usaha perlawanan dari straight edge lebih dari sebatas pemantangan oleh para
anggotanya. Para straight edger sering kali secara aktif mengajak dan mendorong kalangan muda
lain untuk menghindari narkoba dan alcohol. Sebagian hippie meyakini misi social utama
mereka adalah untuk ‘menyalakan dunia’- membuat setiap orang sadar aka potens kebaikan dari
LSD untuk mendukung mereka di era perdamaian, kebaikan, persaudaraan, dan cinta universal
(Davis, 1968, hlm 157). Seperti itu pula, banyak sXer menjalankan misi untuk menydarkan
kalangan sebaya mereka bahwa menghindari narkoba akan membantu mereka menciptakan
dunia yang lebih baik. Sekelompok kecil sXer, yang disebut ‘militant’ atau ‘garis keras’ oleh para
sXer lain, sangat terang terangan menyebarkan pesan Xs dan sXe hampir sepanjang waktu dan
mengonfrontasikan kalangan sebaya mereka yang menggunakan alcohol dan narkoba. Sementara
itu, sXe mempromosikan individualitas dan pemikiran yang jernih dan bebas, bagi sebagian
penganutnya syarat-syarat gaya hidup yang kaku menciptakan komformitas, pandangan sempit
dan intolerasi, jauh dari ‘positivitas’ yang mereka ajarkan. Terdapat keteganagan dan silang
pendapat dalam gerakan tersebut tentang sejauh mana para anggota seharusnya mempromosikan
gaya hidup mereka.
Sementara itu para penganut berpendapat bahwa sXe merupakan pilihan gaya hidup
pribadi dari pada gerakan yang diarahkan kepada kelompok masyarakat lain, banyak anggotanya
berusaha mendorong dan mengajak orange lain untuk mengikuti jalan hidup mereka. Mengenkan
baju atau kaos dengan pesan sXe mungkin merupakan keputusan gaya penampilan pribadi, tetapi
ketika kelompok masyarakat mengenakan baju semacam itu yang secara jelas menentang norma
yang berlaku, gaya semacam itu berpotensi menjadi tantangan kolektif. Dengan memfokuskan
pesan pada keluarga mereka, sub kebudayaan lain yang sebaya dengan mereka, dan masyarakat
yang lebih luas, sXe mencipatakan perlawanan multi-lapis di mana individu dapat menyesuaikan
dengan kepentingannya sendiri.
KETERLIBATAN DALAM GERAKAN PERUBAHAN SOSIAL
Seperti para anggota sub kebudayaan yang lain, para sXer sering kali terlibat dalam
beragam gerakan social. Kalangan muda sXe, dengan siapa saya berkawan, menegaskan bahwa
keterlibatan dalam gerakan perubahan social bukanlah prasyarat bagi sXe. Akan tetapi, banyak
yang menganggap bahwa keterlibatan dalam gerakan perubahan social merupakan kemajuan
logis dari prinsip hidup bersih yang mengantar mereka pada keprihatinan dan menjadi terlibat
secara langsung pada sebagian level. Hidup bersih dan positivitas mengantar pada pikiran yang
jernih, yang pada gilirannya memunculkan hasrat untuk melakukan perlawanan dan realisasi diri.
Keseluruhan proses ini membuka wawasan mereka pada persoalan dunia, dan keprihatinan
mereka semakin meningkat.
Jenny menganggap sXe memberi pengaruh penting pada aktivismenya. Kevin, seorang
seniman beladiri, meyakini bahwa sXe pada dasamya adalah tentang bagaimana menjadi pribadi
yang kuat dalam setiap aspek kehidupan. Kekuatan itu termasuk menolak stereotype dan
prasangka. Kontras dengan hippie, punk, dan skinhead, bagi para sXer, pikiran yang jernih dan
bebas narkoba sangat penting untuk mengembangkan sebuah perlawanan yang sadar. Gerakan
tersebut mendukung pembukaan atau peningkatan kesadaran sosial. Kent, seorang laki-laki muda
pendiam dengan banyak tato berkata, “Aku tidak pernah berpikir menjadi vegetarian atau vegan
jika bukan karena sXe”.
Pada pertengahan 1980 an hingga akhir 1980 an, sXe menjadi semakin terkait dengan
gerakan lingkungan dan hak binatang. Para pemimpin berpengaruh di berbagai band menyerukan
penghentian kekejaman terhadap binatang dan mernyerukan kesadaran akan kerusakan ekologi.
Paling tidak, tiga dari empat sXer adalah vegetarian, dan banyak yang menganut gaya hidup
bebas-kekejaman, atau vegan. Di antara sekitar 60 sXer yang berteman akrab dengan saya, hanya
lima belas yang makan daging Beberapa orang memiliki tato "vegan" di tubuh mereka. Yang lain
memimpin atau berpartisipasi aktif dalam organisasi perlindungan binatang di kampus. Pacda
intinya, gerakan tersebut menganggap (lihat Snow, Rochford, Worden, dan Benford, 1986) hak-
hak binatang apa yang ingin kulakukan sebagai perluasan logis dari kerangka positivitas yang
melandasi keseluruhan gaya hidup sXe, termasuk seks untuk hubungan yang serius dan realisasi-
diri. Brian, seorang pemuda berusia 21 tahun yang luar biasa positif dan gembira, menjelaskan
hubungan vegetarianisme dengan sXe: "Anak-anak sXe membuka pikiran mereka lebih luas.
Mereka lebih sadar tentang segala hal yang ada di sekitar mereka. ... Sebagian orang
menganggap hal ini lebih sehat dan yang lain seperti aku lebih peduli pada masalah pembebasan
binatang."
Sebagian pemuda sXe melibatkan diri dalam gerakan keadilan sosial, seperti
ketunawismaan, hak asasi marusia, dan hak perempuan. Mereka mengadakan konser untuk
menggalang dana bagi pembangunan rumah untuk para tunawisma. Saya mengamati beberapa
sXer berpartisipasi dalam protes lokal menentang Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional
bersamaan dengan protes besar tahun 1999-2000 di Seattle dan Wanhington, D.C, dan beberapa
yang lain ikut dalam kampanye antisweatshop di kampus. Serupa dengan punk progresif,
sebagian permuda sXe memerangi neo-Nazisme, menentang kebrutalan polisi, dan berbagai isu
hak asasi dan lingkungan.
Banyak perempuan sXe mengecam peran perempuan yang lebih tradisional dan
mengapresiasi lingkungan kornunitas sXe sebagai ruang di mana mereka merasakan lebih sedikit
tekanan dan memiliki kesempatan untuk mencapai pengharapan gender, dan gerakan tersebut
mendorong kaum laki-lakinya untuk menolak ciri-ciri hipermaskulinitas dan menentang
seksisme pada level personal. Mayoritas band sXe menulis lagu-lagu yang menentang seksisme,
dan banyak pemuda sXe memperlihatkan pemahaman yang luar biasa tentang penindasan gender
meskipun dengan sia dan pengalarman yang masih sedikit. Akan tetapi, meskipun gerakan
tersebut mengklaim kebersamaan dan keterbukaan, sebagian perempuan sXe merasa terisolasi
dan tidak disambut baik di lingkungan tersebut. Para laki-laki sXe nyaris tidak memperhitungkan
anggota perempuannya, sering kali menciptakan semacam mentalitas "klub laki-laki" yang
terlihat pada seruan “brotherhood" ("persaudaraan") yang berkonotasi maskulin. Nyaris tidak
adanya musisi perempuan di berbagai band sXe, tarian hiper-maskulin dalam pertunjukan, dan
kluk laki-laki memperkuat asumsi gender yang tidak terucap dari gerakan tersebut bahwa para
perempuan tidak sepenting para laki-laki dalam komunitas tersebut dan memastikan bahwa
banyak perempuan tidak akan pernah merasa diterima sepenuhnya.
Sementara itu, sebagian sXer bergabung dengan kelompok gerakan hak asasi manusia,
hak perempuan, lingkungan, dan lain- lain. kebanvakan sebatas berusaha untuk menerapkan
nilai-nilai mereka dalam kehidupan sehari-han dan tidak terlibat dalam protes "politik" yang
lebih konvensional (misalnya, pemogokan ketidakpatuhan sipil, petisi, dan sebagainya).
Daripada menentang perusahaan tembakau, bir, atau daging sapi secara langung, misalnya,
seorang sXer memilih cara dengan menolak produk meeka dan kemungkinan memboikot Kraft
(perusahaan induk dari pabrik rokok Phillip Morris), mengadopsi gaya hidup vegetarian, atau
mengenakan pakaian yang bertuliskan "It's OK not to drink. Straight Edge" atau "Go Vegan!”.
Dalam sXe dan gerakan pemuda yang lain, personal berarti politis. Subkebudayaan itu memiliki
makna politis, dan mereka sering kali berfungsi sebagai jembatan menuju keterlibatan politik
yang lebih jauh.
Di era modern di mana identitas personal terlunta-lunta akibat te kanan modernitas
(Melucci, 1989; Giddens, 1991). Maka dari itu pada level individu, perlawanan memerlukan
pemeliharaan identitas individual. Di samping itu, bagi kebanyakan partisipan, perlawanan
individual merupakan simbol dari kesadaran perlawanan kolektif yang lebih luas. Makna kolektif
yang menjadi pusat dari identitas sXe mencakup antara lain: memberikan contoh kolektif bagi
para pemuda lain, mendukung lingkungan yang bebas narkoba, dan menghindari "racun"
masyarakat yang menumpulkan pikiran. Para pemuda memilih label sXe dan bukan sekadar
"bebas narkoba" terutama karena mereka meyakini pilihan individual mereka dapat mengantar
pada tantangan kolektif. Maka dari itu, perlawanan melibatkan ketidaksetujuan secara kolektif
terhadap sebagian aspek kebudayaan, mempertanyakan tujuan yang dominan, membuat ideologi
yang tidak visibel menjadi visibel, dan memunculkan semacam alternatif. Para anggota dari
subkebudayaan pemuda memahami perlawanan mereka pada level makro, meso, dan mikro.
Teori lama tentang perlawanan menekankan kebudayaan orang dewasa aliran-utama yang
dominan, struktur kelas, atau negara sebagai sasaran perlawanan subkebudayaan pada level-
makro (Hall, 1972). Sungguh, para sXer menolak aspek kebudayaan yang mereka anggap
memasarkan produk alkohol dan tembakau kepada kaum muda, menjadikan penggunaan
alkolhol sebagai norma, mempromosikan komformitas, dan mendukung hubungan seks bebas.
Di samping menentang kebudayaan pada level makro, gerakan pemuda menawarkan perlawanan
pada level meso. Para straight edger memfokuskan pesan mereka pada sesama pemuda, bereaksi
melawan kebudayaan pemuda aliran-utama. Secara keseluruhan, sXe merupakan gambaran
subkebudayaan yang melawan subkebudayaan lain dan juga melawan struktur social yang lebih
besar. Para anggota melawan apa yang mereka pandang sebagai penjerumusan kebudayaan
pemuda pada penggunaan narkoba dan seks bebas: kecenderungan "tiada masa depan dan
nihilistik dari punk; patriotisme, seksisme, dan ideologi kelas pekerja dari skinheads, dan juga
rasisme dari secbagian anggotanya; dan penggunaan narkoba, pasivitas, dan pelarian diri dari
hippie-meyakini bahwa semua ini justru melemahkan potensi perlawanan dari masing-masing
kelompok terscbut. Meskipan demikian, sXe juga mengadopsi banyak nilai dari gerakan pemuda
terdahulu, misalnya mereka mengambil mentalitas "mempertanyakan segala sesuatu" dan musik
agresif pada punk, realisasi-diri dan tantangan kebudayaan pada hippie, dan akuntabilitas
personal dan rasa kebanggaan pada skinhead. Menganalisis gerakan pemuda pada level meso
dalam sudut pandang hubungan mereka dengan kebudayaan pemuda yang lain sangat penting
untuk memperoleh pemahaman yang akurat tentang kelompok ini, dan untuk mengetahui
ketegangan identitas dalam kelompok tersebut. Para pemuda secara refleksif menelit kelompok
mereka sendiri dan berusaha memecahkan kontradiksi yang terjadi dalam kelompok Leblanc
(1999, hlm. 160) menceatat, misalnya, bahwa para perempuan punk "menyubversi subversi dari
punk, sementara itu sebagian sXer menentang "anak-anak keras" yarg militan dalam kelompok
mereka. Semua gerakan pemuda mengecam aliran-utama; bagaimana mereka mengekspresikan
kecaman mereka dan menentang struktur yang ada bergantung sebagian besar pada
subkebudayaan pemuda lain yang menjadi sasaran perubahan mereka pada level-meso. Tidak
diragukan bahwa kontradiksi dalam sXe akan memicu inavasi baru baik dalam sXe sendiri
maupun dari subkebudayaan lain vang berusaha mengungguli keterbatasan sXe.
Terakhir, para sXer juga melaporkan perlawanan pada level mikro ketika mereka
menolak penyalahgunaan obat dan alkohol dalam keluarga mereka dan membuat perubahan
dalam kehidupan pribadi mereka. Banyak sXer menyatakan bahwa mereka menghindari narkoba
dan alkohoł paling tidak sebagian untuk menyelisihi penyalahguraan obat dan alkohol dari para
anggota keluarga mereka atau untuk melawan kecenderungan adiktif mereka. Jelas bahwa makna
keterlibatan subkultural meluas hingga keluar dari masalah kontradiksi dalam kebudayaan orang
dewasa dan struktur kelas
Lebih lanjut, sXe memperlihatkan bahwa subkebudayaan menggunakan banyak metode
perlawanan, baik personal maupun politik. Tidak percaya dengan penentangan politis dan
aktivisme sosial terorganisasi, subkebudayaan sering kali melakukan penentangan yang lebih
individualistis. Banyak sXer berusaha meng ubah kebudayaan pemuda, tetapi metode utama
mereka sangat personal: memimpin dengan contoh, secara pribadi menjalankan perubahan yang
mereka usahakan tersebut, mengekspresikan gaya personal, dan menciptakan ruang untuk
"terbebas" dari tekanan teman sebaya dan kebudayaan aliran-utama. Sebagaimana dicatat oleh
Widdicombe dan Woffitt (1995) dalam studi mereka tentang identitas punk, "Kami terutama
mengamati bahwa penentangan ini tidak berupa aktivitas radikal atau aksi perlawanan yang
bersifat publik, tetapi, mereka melakukannya melalui rutinitas yang bersifat personal" (hlm.
204). Perlawanan melalui gaya hidup sehari-hari juga memiliki konsekuensi politik (Scott,
1985), dan perlawanan (kolektif) dan autentisitas/realisasi (individual) tidak saling terpisah
(Muggleton, 2000). Buechler (1999, hlm. 151) menulis, "Dalam kasus Politik kehidupan, diri
yang politis dan diri yang mengaktualisasi diri menjadi satu dan sama. Mikrofisika kekuasaan
juga merujuk identitas sebagai medan pertempuran dalam bentuk perlawanan kontemporer"
(lihat juga Giddens, 1991).
Meskipun berfokus pada metode perlawanan personal, sXer juga memahami keterlibatan
mereka dalam sudut pandang politk Pemantangan mereka dari narkoba, alkohol, dan seks bebas
merupakan komponen esensial dari perlawanan yang lebih luas terhadap masyarakat yang
dominan dan kebudayaan pemuda alir-utama. Sebagaimana ditunjukkan oleh Buechler (1999),
"Meskipun bentuk politik ini berasal dari identitas personal level mikro, pengaruhnya tampaknya
tidak sebatas pada level in dm 150). Gerakan tersebut terlibat dalam apa yang oleh Gidden
(1991, hlm 214-215) sebut sebagai "politik kahidupan” – “politik pilihan”, ”politik gaya hidup.",
"politik aktualisasi diri", dan "politik keputusan kehidupan". Melalui aksi individual mereka.
sXer berusaha "meremoralisasi kehidupan sosial" (Buechler 1999, hlm 150). Contohnya,
menjadi seorang vegetarian atau vegan mungkin merupakan pilihan diet individual, tetapi ketika
sekelompok orang dalam subkebudayaan pemuda inu melakukannya dan mengadvokasi pilihan
mereka tersebut, ini dapat memberi pengaruh pada para permuda yang lain. Sebagaimana dicatat
oleb Leblanc (1999) tujuan untuk memengaruhi orang lain merupakan salah satu komponen
penting dari perlawanan: "Laporan dan pembahasan tentang perlawanan harus detail, tidak
harrya tentang aksi perlawanan tetapi juga tujuan subjektif yang memotivasi perlawanan
tersebut. ... Perlawanan semacam itu tidak hanya mencakup perilaku, tetapi juga aksi diskursif
dan simbolis" (hlm. 18)
Melihat perlawanan melalui lensa pemaknaan, tempat, dan metode memaksa kita untuk
meneliti kembali "keberhasilan" dari perlawanan subkebudayaan. Menganalisis nilai utama dari
Xe memperlihatkan bahwa pemahaman para anggota tentang perlawanan sangatlah beragam dan
kontckstual. Persoalan tentang perlawanan meluas hingga keluar dari persoalan apakah
subkebudayaan melawan kebudayaan yang dominan hingga mencakup persoalan bagaimana para
anggota menggagas perlawanan dalam situasi dan konteks tertentu. Tentu saja, sXe, sebagaimana
subkebudayaan yang lain, memiliki tendensi ilusif; kontradiksi dalam gerakan tersebut
diantaranya adalah ideologinya yang antiseksis tetapi berpusat laki-laki. Akan tetapi,
mempelajari sXe dengan kerangka yang saya kemukakan tersebut memperlihatkan bahwa
keterlibatan dalam sXe memiliki konsekuensi ril bagi kehidupan dari para anggotanya, kelompok
sebaya yang lain, dan mungkin juga masyarakat aliran-utama. Realisasi-diri dan transformasi
sosial tidak saling terpisah (Calhoun, 1994). Meskipun sXe tidak menciptakan revolusi dalam
kebudayaan pemuda ataupun kebudayaan aliran-utama, sXe telah lebih dari 20 tahun
menyediakan tempat berkumpul dan berlindung bagi kaum muda untuk menantang kebudayaan
dan mengembangkan alternatif.

Anda mungkin juga menyukai