Anda di halaman 1dari 31

GAGURITAN BAGUS DIARSA

(Kajian Antropologi Sastra)

Oleh:
I Made Giri Suyoga Bandem
NIM: 1911021027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA AGAMA


FAKULTAS DHARMA ACARYA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kebudayaan bali merupakan salah satu kebudayaan yang ada di indonesia.
Bali sangat banyak mempunyai kebudayaan yang tidak bisa di hilangkan dari
masyarakat bali, karena sudah menyatu dengan masyarakat Bali dan diwarisi
secara turun temurun. Kebudayaan berasal dari kata culture, kata kultur berasal
dari bahasa latin yaitu cultural. Cultural ini memiliki makna memelihara hasil
karya yang akan menghasilkan kebudayaan. Itu sebabnya budaya ini tidak tidak
bisa dihilangkan dari kehidupan masyarakat
Kebudayaaan yang ada di bali memiliki kaitan atau hubungan terhadap
pengaruh yang sering disebut dengan antropologi. Antropologi adalah kata yang
berasal dari kata antro dan logos, antro memilki makna manusia, dan sedangkan
logos memiliki makna ilmu pengetahuan, jadi antropologi dapat dijadikan ilmu
untuk meneliti prilaku manusia sehari hari.
Berkembangnya pengetahuan modernisasi dan teknologi di segala bidang
menyebabkan masyarakat mempermudah menjalani kehiduopan. Hasil
pengembangan berupa TV, HP, internet dan sebagainya merupakan sebagaian
hiburan yang sangat mengasikan. Tradisi sebagai akar budaya mulai
terpinggirkan. Tradisi berkesenian yang menyatu dengan manusia perlahan lahan
mengalami penurunan minat pendukungnya.
Salah satu jenis hiburan di Bali adalah dengan berkesenian. Jenis hiburan
yang datang dari luar Bali lambat laun menjadi budaya baru di Bali.
Koentjaraningrat (1998:20) menyatakan: berdasarkan indera penglihatan manusia,
kesenian dapat dibagi sebagai berikut, (1) seni rupa terdiri dari (a) seni patung
terdiri atas bahan batu dan kayu, (b) seni menggambar dengan media pinsil dan
crayon, (c) seni menggambar dengan media cat minyak dan cat air; (2) seni
pertunjukan terdiri dari (a) seni tari, (b) seni drama dan (c) seni sandiwara.
Berdasarkan indera pendengaran manusia, maka kesenian dibagi dalam: (1) seni
musik, (termasuk seni musik tradisional) dan (2) seni kesusastraan. Cabang
kesenian yang tersebut terakhir ini juga termasuk dalam bagian ini karena dapat
pula dinikmati dan dinilai keindahannya melalui pendengaran (yaitu melalui
pembacaan prosa dan puisi).
Orang Bali tidak saja berkutat pada kesenian tradisional. Kesenian modern
dan kesenian kontemporer juga telah berkembang cukup pesat. Band-band lokal
bermunculan dan memunculkan penyanyi-penyani lokal yang cukup punya nama
di seluruh Pulau Bali, bahkan sampai keluar pulau. Hiburan jenis band mudah
dinikmati setiap saat dengan beraneka piranti modern. Group band serta
penyanyinya terkenal di mata publik, mendapatkan finansial yang cukup dan ke
mana-mana disambut serta dielu-elukan.
Informasi budaya modern di belahan dunia mudah didapat dengan
mengakses internet, telah muncul peradaban baru di depan mata. Tanpa disadari
modernisasi menyebabkan adanya peminggiran- peminggiran sosial kebudayaan
yang dapat menghilangkan jati diri manusia Bali itu sendiri. Berkesenian dengan
bernyanyi yang merupakan salah satu unsur kebudayan lokal terimbas olehnya.
Penghilangan jati diri manusia akan menyebabkan krisis kehidupan. Manusia
hidup bermasyarakat yang menganut pola kebersamaan akan mengalami krisis
sosial. Krisis sosial dari negara berkembang akan membawa manusia pada
persaingan yang tidak sehat, korupsi, perang saudara, dan berbagai bentuk
kekerasan lainnya. Akibat langsung yang ditimbulkan adalah hilangnya nilai
manusia sebagai subjek sebab nilai sudah terdegradasikan ke dalam manfaat itu
sendiri. Manusia pada giliannya kehilangan akar tradisinya. Bahkan identitas
dirinya sehingga yag tersisa hanyalah cerita mengenai manusia.
Mempermudah kehidupan akan berdampak langsung pada krisis sosial.
Karen semua akan digampangkan pencapaianya dalam kehidupan konsumtif,
ketersediaan, kemudahaan tranportasi dan jasa memperlancar pendistribusian
kebutuhan sendiri. Konsumtivitas menjadikan manusia lupa pada dirinya. Untuk
mnegurangi kehidupan konsumtif dalam dunia modern ini. Agama hindu memiliki
relevansi menyiasati dalam mengarungi kehidupan di dunia dengan jalan
memperdalam ajaran-ajaran agama yang ada di dalamnya. Penyadaran diri pada
kehidupan yang mesti dijalani dapat menjadikan manusia lebih tenang, lebih
santun dan terjaga harkat dirinnya
Menurut Putra (2005:106) "manusia terdiri atas jasmani dan rohani,
kedua-duanya menginginkan kepuasan". Kepuasan jasmani dan kepuasan rohani
terpenuhi dengan keseimbangan dalam pencapaiannya. Kepuasan jasmani tercapai
dengan memenuhi hasrat indria. Kepuasan rohani akan tercapai dengan pengisian-
pengisian kegiatan rohani yang didasari dengan pengendalian diri. Penampakan
pengendalian diri akan muncul dengan wajah yang sumringah, tenang dan
memancarkan kasih pada makhluk. Perilakunya akan nampak lemah lembut,
sabar, sopan santun. Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan membedakan
benar dan salah serta dapat menghindari perbuatan tercela memilih mana baik dan
mana yang buruk yang berdampak pada perkembagan rohaninya
Dengan demikian, pergeseran-pergeseran nilai kemanusiaan, perubahan
pola hidup, mengubah pola pikir manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi
kualitas hidup dapat diminimalisir. Kualitas hidup dapat terangkat bila mana
sastra-sastra agama dipakai sebagai pedoman hidup.
Merambahnya hiburan di masyarakat luas sebagai pemuas jasmani telah
memasuki sendi-sendi kehidupan menyeluruh. Salah mengapresiasi menyebabkan
keruntuhan moral. Penyebaran pengaruh hiburan yang bersifat instan tidak
membedakan status sosial, umur ataupun waktu kesemuanya seolah tanpa batas.
Di Bali, hiburan sedemikian kompleks mengingat Bali adalah salah satu
daerah tujuan wisata. Jenis hiburan beraneka macam untuk memuaskan
pelancong. Kedatangannya di samping menikmati budaya, keindahan alam,
keramahan sosial budaya setempat, mereka juga memerlukan hiburan yang
memang mereka telah miliki dan nikmati di daerah asalnya. Penyediaan layanan
hiburan dari luar daerah yang disajikan secara terus-menerus dalam kurun waktu
yang panjang, menyebabkan orang Bali yang beragama Hindu merasakan secara
langsung-tidak langsung dampaknya. Menjadikan orang Bali memasuki kisaran
budaya global.
Manusia senantiasa mengalami proses diferiansiasi sosial sktruktural dan
suatu generalisasi nilai norma dan makna yanng menyertainya. Dalam hubungan
kebudayaan, pergeseran itu akan sangat memberi kontribusi terhadap pengetahuan
sebagai satuan budaya (Triguna, 2008:432). Mengurangi, sedapat mungkin
menghindari pergeseran budaya orang lain untuk menjaga jati diri kebudayaan
lokal sebagai identitas bangsa patut dipertahankan dan dikembangkan.
Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan
yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di
daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang
meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi
nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah,
akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Kesusatraan Bali secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kesusastraan bali purwa (kesusastraan Bali tradisional) dan kesusastraan bali
anyar atau kesusastraan Bali baru, kesusastraan Bali purwa adalah salah satu
warisan sastra Bali yang dibagun oleh unsur-unsur tradisional masyarakat
penganutnya, yang berupa gaguritan, kakawin, dan kidung. Pembagian
selanjutnya, kesusastraan Bali anyar, yang dibangun oleh bangun-bangun baru
yang didapat dari kebudayaan atau dari sastra baru. Yang berupa cerpen dan
novel. Gauritan adalah salah satu bangun sastra dari bagaian kesusastraan Bali
purwa. Penelitian ini akan melakukan penelitian kesusastraan Bali tradisional atau
Bali Purwa yag berupa gaguritan.
Gaguritan merupakan salah satu karya sastra bali purwa atau Bali
tradisional. Yang akar katanya berasal dari bahasa jawa kuno, berasal dari kata
gurit yang memiliki makna tulis, dan anggurit memiliki makna menulis tembang
yang sering disebut dengan sinom pangkur (Suastika 1997, 309-310). Tembang
seperti ini hanya salah satu bangun kesusastraan Bali purwa yang terikat oleh
yang disebut dengan padalingsa. Membicarakan geguritan tidak sama dengan
membicarakan tentang pacapliring. Karena gaguritan ini menggunakan pupuh-
pupuh yang terikat oleh aturan-aturan yang sering disebut dengan pada lingsa
(Agastia 1980,13). Kata padalingsa ini berasal dari bahasa sansekerta dari kata
pada yang memiliki makna kaki dan lingsa yang memiliki makna suara. Jika
dicari intinya dalam lingkup karya sastra gaguritan, padalingsa merupakan 1.
Banyaknya baris dalam satu bait atau yang sering disebut dengan guru gatra 2.
aturan yang mengikat banyaknya baris pada setiap satu jenis pupuh dan
banyaknya suku kata setiap barisnya yang disebut dengan guru wilang 3, aturan
yang mengikat akhiran atau jatuhnya atau peletakan huruf vokal setiap akhir suku
kata yang disebut dengan guru lagu (Tinggen 1982, 31; Saputra 1992, 8)
Gaguritan yang dibagun oleh pupuh-pupuh yang seperti dijelasakan di atas
lumbrah dinyanyikan dengan macapat atau membaca baris dengan suara patpat-
patpat atau empat-empat. Tembag ini juga disebut dengan sekar alit pupunhnya
juga memiliki jenis yang digunakan menceritakan cerita yang sesui dengan jenis
atau karakteristik pupuh tersebut.
Magaguritan adalah salah satu identitas budaya bali. Magaguritan
memiliki peranan penting dalam pelestarian budaya, dengan aktivitas
mageguritaan dapat mengkomunikasikan nilai-nilai agama baik dari segi tattwa,
susila, maupun upacara. Di dalam geguritan termuat wujud ekpresi pencarian jati
diri, juga di dalamnya memuat sumber pengetahuan. Pengetahuan dalam Weda
lebih mudah dapat dipelajari dan dimaknai dengan belajar geguritan.
Geguritan, mengandung nilai refleksi Weda yang diapresiasi dalam
pesantian-pesantian. Pesantian merupakan wadah kelompok belajar, yang dikenal
dengan nyastra (Tim Peneliti, 1993/1994:42). Konsep malajah sambil magending,
magending sambil malajah adalah cara orang Bali belajar agama, berkesenian,
berorganisasi. Aktivitas dijalankan dengan adanya saling menghargai sesama
tanpa membedakan status sosial. Kelompok-kelompok pesantian ada di dalam
ikatan desa yang bergerak dinamis mendalami ajaran agama Hindu. Satu prinsip
yang tetap ajeg, lestari, mampu memberdayakan diri, berfungsi, dan berperan
luwes, fleksibel, memenuhi kepentingan masyarakat sejalan dengan
perkembangan semangat zaman. (Parimartha ,2003:29).
Geguritan adalah saduran cerita yang berbentuk tembang (Kamus Bali-
Indonesia: 220). Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat nilai-nilai yang universal,
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena itu selalu relevan dengan
perkembangan masyarakat dan dunia. Nilai-nilai ajaran Agama Hindu termuat
dalam geguritan tidak saja sekadar sumber filsafat, etika dan moral, tetapi juga
nilai-nilai spiritual yang luhur untuk mencapai tujuan tertinggi berupa
kebahagiaan lahir dan batin. Geguritan merupakan sajak yang dilagukan dengan
irama tertentu. Secara umum geguritan banyak mengandung nilai-nilai
pendidikan, antara lain adalah pertama nilai Srada yaitu rasa bhakti dan takwa
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi
Saraswati. Kedua nilai Susila, yaitu sifat cinta kasih. toleransi dan tenggang rasa.
Ketiga nilai upacara, yaitu ketulusan hati saat melakukan Yadnya. Di samping itu
juga terkandung nilai budaya, seni dan estetika, sehingga terjadi hubungan yang
harmonis antara; hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama,
manusia dengan alam.
Pembungkusan nilai agama untuk dapat diresapi oleh masyarakat secara
umum sering disampaikan dengan secara menggunakan mitos. Pada hakikatnya
pikiran manusia itu tidak mau menerima begitu saja semua gejala yang
ditangkapnya dengan akal dan pancaindera. Mitos itu dapat berubah sesuai
dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakatnya atau individu dalam
masyarakat di mana mitos itu hidup (Partini, 1986:11). Menurut Nurgiyanto
(Cika, 2006: 24) mitos merupakan penerusan tradisi. Tradisi yang menguatkan
disebut pengukuhan tradisi (myth of concern) sedangkan penolakan tradisi
sebagai mitos pemberontakan (myth of freedom). Kedua hal ini dikatakan sebagai
sesuatu yang wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat
kesusastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan
inovasi.
Sesungguhnya seorang seniman tradisional Bali memiliki kewajiban untuk
membaca karya sastra Kawi atau Jawa Kuno. Karya sastra klasikdi dalamnya
sangat kaya dengan berbagi ajaran. Dari khazanah karya sastra Kawi atau naskah
yang tersimpan di Bali, telah banyak dilakukan pengelompokan, di antaranya oleh
Kadjeng (1929), Pigeaud (1967), dan terakhir oleh I Wayan Cika (2006:4) sebagai
berikut: (1) Arsitektur yang terdiri dari: Hasta Kosala, Hasta Kosali, Hastabhumi,
Dharmaning Sangging; (2) Lelampahan (lakon atau cerita yang dipentaskan): (3)
Kesusastraan seperti: Parwa, Kakawin, Kidung, Geguritan, dan Parikan; (4) Usada
(pengobatan); (5) Sejarah & Mitologi seperti Babad, Pamancangah, Usana, Uwug;
(5) Agama & Etika seperti Weda, Mantra, Puja, Kalpasastra, Tutur, Sasana, dan
Niti.
Dalam karya sastra tradisional kerap dimuat nilai budi pekerti, moral, atau
nilai pendidikan karakter. Dalam karya tradisional Bali, nilai tersebut juga sering
ditemukan, baik dalam karya yang berbentuk kakawin (sekar ageng), kidung
(sekar madya), geguritan (sekar alit), maupun dalam gagendingan (sekar rarel
Salali satu Reguritan yang memuat nilar pendidikan karakter adalah Geguritan
Bagus Diarsa.
Gaguritan I Bgaus Diarsa mengisahkan kehidupan tokoh I Bagus Diarsa
beserta keluarganya. I Bagus Diarsa dilukiskan sebagai tokoh yang senang
bermain judi sabungan ayam, tetapi ia sangat jujur. Ia sering diperdaya oleh Anak
Agung beserta anak buahnya sehingga menyebabkan I Bagus Diarsa sering kalah
dan hartanya menjadi terkuras habis. Meskipun demikian, istri dan anaknya
senantiasa mendampinginya, baik dalam suka maupun duka. Pada suatu ketika
sehabis kalah menyabung ayam, I Bagus Diarsa dihampiri oleh orang tua peminta
minta, yang kelak diketahui adalah jelmaan Sang Hyang Guru (Betara Siwa)
Orang tua peminta minta itu dijamu oleh I Bagus Diarsa dan diperlakukan secara
terhormat. Selesai dijamu, orang tua tersebut pulang dengan mengajak anak I
Bagus Diarsa, I Wiracita dengan suatu pesan bahwa jika kelak I Bagus Diarsa
mengalami kesulitan agar ia menemui orang tua tersebut. Dengan cara melepas
melepas tiga helai bulu ayam yag diberikan orang tua itu dan mengikuti kemana
arahnya pergi
Selang beberapa lama. I Bagus Diarsa ditangtag menyambung ayam oleh
Anak Agung dan anak buahnya. I Bagus diarsa tidak mempunyai ayam yang jago.
Ia segera teringat akan pesan orang tua peminta-minta dahulu, maka dengan
segera ia melepas tiga helai bulu ayam dan mengpikutinya sehingga ia bisa tiba
dan menghadap betara siwa. Betara Siwa segera menghadiahkan seekor ayam
yang sangat jago kepada I Bagus Diarsa untuk meladeni tantangan Anak Agung.
Berkat ayam tersebut, Anak Agung dan anak buahnya bisa dikalahkan dan I
Bagus Diarsa bisa menggantikanya menjadi raja.
Penelitian ini akan meneliti bangun atau struktur naratif gaguritan I Bagus
Diarsa. Dan juga nilai nilai yang berhubungan dengan susila. Dan aspek
antropologi yang ada dalam gaguritan I Bagus Diarsa. Itu yang memnyebabkan
tulisan itu dijadikan objek penelitian. Tujuan tulisan ini yaitu supaya dirasakan isi
budaya miwah nilai-nilai susila yang ada dalam gaguritan I Bagus Diarsa. Dari
latar belakang di atas penulis akan meneliti Gaguritan I Bagus Diarsa. Oleh sebab
itu tulisan ini berjudul Gaguritan I Bagus Diarsa (Nilai Susila dan aspek
antropologi sastra)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mendapatkam suatu rumusan
msalah yaitu:
1. Bagaimana struktur naratif yang ada dalam Gaguritan Bagus Diarsa?
2. Bagaiman nilai-nilai yag berhubungan dengan susila dalam Gaguritan
Bagus Diarsa
3. Aspek Antropologi apa saja yang ada dalam Gagurtan Bagus Diarsa
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian hanya menjadi titik acuan disaat melaksanakan
penelitian, penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini yaitu meneliti nilai kebudayaan yang ada
dalam Gaguritan Bagus Diarsa, supaya bisa diketahui apa manfaat di masyarakat.
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus yaitu digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang
ada dalam penelitian ini yaitu
1. Supaya bisa diketaui struktur naratif yang membangun Gaguritan Bagus
Diarsa
2. Supaya bisa diketahui nilai-nilai yang berhubungan dengan aspek susila
yang ada dalam Gaguritan Bagus Diarsa
3. Mengetahui aspek antropologi yang ada dalam Gaguritan Bagus Diarsa
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan
manfaat praktis manfaat ini akan dijelaskan di bawah ini
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini suapaya bisa memberikan manfaat pada
pengetahuan juga melestarikan karya sastra utamanya pada Gaguritan Bagus
Diarsa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis yaitu seperti yang dijelaskan
pada bawah ini
1. Kepada yang membaca, bisa mengetahui tentang Gaguritan Bagus Diarsa
yang menjadi kebudayaan bangsa
2. Dapat mempergunakan ilmu pengetahuan yang ada pada Gaguritan Bagus
Diarsa
3. Kepada pemerintah, suapaya bisa dipergunakan untuk meningkatkan
pelajaran bahasa Bali dan Kebudayaan Bali
2)BAB II

2.1 Kajian Pustaka


Kajian pustaka adalah kumpulan teori-teori referensi yang menjadi dasar
dalam sebuah penelitian yang menjawab secara teori tentang permasalahan dari
sebuah ide pokok penelitian. Menurut Pohan (2007:42) kegiatan ini (penyusunan
kajian pustaka) bertujuan mengumpulkan data dan informasi ilmiah, berupa teori-
teori, metode, atau pendekatan yang pernah berkembang dan telah di
dokumentasikan dalam bentuk buku, jurnal, naskah, catatan, rekaman sejarah,
dokumen-dokumen, dan lain-lain yang terdapat di perpustakaan. Selain itu, kajian
ini dilakukan dengan tujuan menghindarkan terjadinya pengulangan, peniruan,
plagiat, termasuk suaplagiat.
Tujuan dari kajian pustaka menurut DiCooper dalam Creswell adalah
menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan erat
dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan penelitian dengan
literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah penelitian-penelitian
sebelumnya.
Pada bagian kajian pustaka dipaparkan dengan tujuan untuk mencari tahu
lebih dalam tentang penelitian yang menjadi fokus kita dengan literatur-literatur
yang ada. Dalam proses mencari tahu tersebut, proses pencarian dibagi menjadi
dua, yaitu: Topik penelitian yang sudah diketahui atau dalam artian telah dikaji
sebelumnya maka dapat dijadikan sumber referensi. Untuk dijadikan sebagai
sumber referensi tentunya haruslah diketahui bagaimana memperoleh informasi
mengenai sumber tersebut.
Sumber yang sudah diketahui ada yang telah dituliskan ada pula yang
belum. Sumber yang telah dituliskan maka dapat diperoleh dengan mencarinya di
internet atau di perpustakaan. Sumber-sumber tersebut bisa berupa jurnal, artikel,
buku, dan sebagainya. Namun, sumber-sumber yang belum dituliskan maka jalan
satu-satunya untuk memperoleh informasi tentang penelitian tersebut adalah
dengan mendatangi subjeknya (peneliti sebelumnya) untuk di wawancarai.
Sebagai tambahan, perlu diingat bahwa dalam mengutip teori dalam sebuah
literatur maka haruslah dicantumkan sumber dimana kita mengutipnya berupa
mencantumkan nama pengarang, judul buku, halaman dan sebagainya sesuai
dengan pedoman penulisan.
Topik penelitian yang baru atau objek kajiannya belum diteliti sebelumnya
maka menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti tersebut untuk mengolah
informasi yang ada yang terkait. Setelah informasi dikumpulkan maka selanjutnya
disusunlah komponen-komponennya yang kemudian sebagai landasan untuk
membuat indikator. Dari indikator tersebut kemudian disusunlah instrumen
penelitian.
Gaguritan Bagus Diarsa sudah pernah dianalis dalam bentuk skripsi oleh I
Nyoman Wirya tahun 1998 dengan judul Analisis Struktur dan Fungsi Gaguritan I
Bagus Diarsa. Meskipun demikian dari berbagi aspek kirannya masih perlu
dilakukan agar isisnya dapat dinikmati dan dihayati oleh masyarakat yang lebih
luas.
Ada sebuah penelitian yang sudah relevan digunakan rujukan dalam
penelitian Gaguritan Bagus Diarsa Antropologi Sastra. Yaitu penelitian Ketut
Nama (2016) yang berjudul nilai pendidikan karakter dalam gagurtan Bagus
Diarsa. Tujuan penelitian Nama adalah untuk ikut serta membina, melestarikan
dan mengembangkan karya sastra tradisional sebagai warisan budaya bangsa
dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional pada umumnya
terutama dari segi kesusastraan. Penelitian Nama meneliti nilai pendidikan
karakter
2.2 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di
luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal alin (Tim
Penyusun, 2005:588). Konsep memberikan gambaran menyeluruh terhadap objek
tertentu yang menjadi kajian sebuah penelitian, memaparklan pokok persoalan
dan bagaimana seharusnya persoalan dijawab serta kaidah kaidah apa yang harus
diikuti dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan tersebut
Poerwadarminta (2002:611) mengungkapkan bahwa konsep berarti
rancangan, atau memiliki kedekatan pengertian dengan istilah konsepsi yang
artinya pengertian (Paham) atau rancangan (cita-cita) yang telah ada dalam
pikiran. Konsep dalam penelitian ini merupakan yang dapat digunakan sebagai
acuan dasar dalam menjelaskan permasalahan penelitian.
2.2.1 Gaguritan
Gaguritan merupakan salah satu karya sastra bali purwa atau Bali
tradisional. Yang akar katanya berasal dari bahasa jawa kuno, berasal dari kata
gurit yang memiliki makna tulis, dan anggurit memiliki makna menulis tembang
yang sering disebut dengan sinom pangkur (Suastika 1997, 309-310). Tembang
seperti ini hanya salah satu bangun kesusastraan Bali purwa yang terikat oleh
yang disebut dengan padalingsa. Membicarakan geguritan tidak sama dengan
membicarakan tentang pacapliring. Karena gaguritan ini menggunakan pupuh-
pupuh yang terikat oleh aturan-aturan yang sering disebut dengan pada lingsa
(Agastia 1980,13). Kata padalingsa ini berasal dari bahasa sansekerta dari kata
pada yang memiliki makna kaki dan lingsa yang memiliki makna suara. Jika
dicari intinya dalam lingkup karya sastra gaguritan, padalingsa merupakan 1.
Banyaknya baris dalam satu bait atau yang sering disebut dengan guru gatra 2.
aturan yang mengikat banyaknya baris pada setiap satu jenis pupuh dan
banyaknya suku kata setiap barisnya yang disebut dengan guru wilang 3, aturan
yang mengikat akhiran atau jatuhnya atau peletakan huruf vokal setiap akhir suku
kata yang disebut dengan guru lagu (Tinggen 1982, 31; Saputra 1992, 8)
Gaguritan yang dibagun oleh pupuh-pupuh yang seperti dijelasakan di atas
lumbrah dinyanyikan dengan macapat atau membaca baris dengan suara patpat-
patpat atau empat-empat. Tembag ini juga disebut dengan sekar alit pupunhnya
juga memiliki jenis yang digunakan menceritakan cerita yang sesui dengan jenis
atau karakteristik pupuh tersebut.
Magaguritan adalah salah satu identitas budaya bali. Magaguritan
memiliki peranan penting dalam pelestarian budaya, dengan aktivitas
mageguritaan dapat mengkomunikasikan nilai-nilai agama baik dari segi tattwa,
susila, maupun upacara. Di dalam geguritan termuat wujud ekpresi pencarian jati
diri, juga di dalamnya memuat sumber pengetahuan. Pengetahuan dalam Weda
lebih mudah dapat dipelajari dan dimaknai dengan belajar geguritan.
2.2.2 Atropologi sastra
Rahmat (2019;83) menyebutkan antropologi sastra adalah salah satu teori
atau kajian sastra yang menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama
untuk mengamati bagaimana sastra itu digunakan sehari hari sebagai alat dalam
tindakan bermasyarakat.
Berdasarkan kutipan di atas antropologi merupakan salah satu teori atau
kajian sastra yang yang digunakan untuk menelaah dan mengamati bagaiman
sastra itu digunakan sehari hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat
Berdasarkan dari kutipan diatas, penelitian ini akan meneliti tentang
Antropologi Sastra.
2.3 Landasan Teori
Keberadaan landasan teori dalam penelitian yaitu digunakan untuk
menjelaskan teori teori yang relevan. Sugiyono (2020:88) teori berguna
membantu peneliti untuk membuat beberapa pertanyaan penelitian, memandu
pengumpulan data dan penyajian data. Dalam landasan teori ini diuraikan
beberapa teori yang digunakan membedah masalah penelitian yang diteliti, seperti
di bawah:
2.3.1 Teori Strukturalisme
Strukturalisme memiliki konsep yang kuat bahwa dalam dirinya sendiri
sebuah karya sastra adalah struktur yang otonom yang dipahami sebagai satu
kesatuan yang saling bulat mengikat yang terkait antara satu sama lainnya. Oleh
sebab itu, untuk melihat dan memahami makna karya sastra harus dikaji
berdasarkan strukturnya sendiri. Tak menghiraukan latar belakang sejarah,
ideologi, pembaca, bahkan penulisnya sendiri untuk tujuan dan maksud karya
tersebut lahir. Yang paling penting adalah close reading, pembacaan internal dari
karya sebagai produk bahasa. Strukturalisme berbicara tentang praktik pemaknaan
yang membangun makna sebagai hasil struktur atau keteraturan yang dapat
diperkirakan dan berada di luar individu1. Strukuturalisme antihumanis dalam
menilisik makna dan lebih melihat struktur sistematis yang taerkandung dalam
karya.
Hawkes dalam Jabrohim mengatakan, strukturalisme adalah cara berpikir
tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Struktur
yang merupakan sebuah sistem, yang terdiri dari sebuah anasir, yang di antaranya
tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam
sebuah anasir lain. Dalam Abdul Chaer, Para ahli menyatakan bahwa pendekatan
strukturalisme lahir dari pandangan Ferdinand de Sasusurre, yang dimuat dalam
Course de Lingusitique Generale, yang menyatakan bahwa telaah strukturalisme
berkaitan dengan (1) telaah sinkronik dan diakronik, (2) perbedaan langue dan
parole, (3) perbedaan siginfiant dan signife, (4) hubungan sintagmatik dan
paradigmatik.
Peaget dalam Endraswara mengatakan strukturalisme mengandung tiga hal
pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian –
bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang
menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan
transformasi (Transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi
yang terus – menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga,
gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan
paham-paham dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya,
struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
Struktur adalah sistem transfromasi yang bercirikan keseluruhan dan
keseluruhan itu dikuasai oleh hukum – hukum (rule of composition) tertentu dan
mempertahankan atau bahkan memperkaya dirinya sendiri karena cara
dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak memasukkan unsur – unsur luar.
Strukturalisme menolak keberadaan pihak luar dalam pengkajiannya. Meskipun
demikian, peneliti sastra tidaklah mungkin melepaskan unsur strukturalis dalam
mengkaji karya.
Stanton dalam Pradoppo mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra
terdiri atas tema, fakta cerita, sarana sastra, unsur dalam fakta cerita itu sendiri
terdiri atas plot, tokoh, dan latar. Unsur dalam sarana sastra biasanya terdiri atas
sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga
cara-cara pemilihan judul. Dalam Suharto, Stanton juga menyatakan unsur - unsur
yang dikaji dalam struktur karya sastra adalah tema, fakta, dan sarana sastra.
Fakta dalam sebuah cerita rekaan meliputi alur, latar, tokoh, dan penokohan.
Fakta merupakan unsur - unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan
peristiwa dan esksistensinya dalam sebuah cerita, sedangkan sarana adalah teknik
yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita
menjadi pola yang bermakna.
Secara lebih jelas, Stanton mengatakan bahwa unsur intrinsik fiksi dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu fakta cerita, tema, dan sarana cerita.8 Yang termasuk
dalam katregori fakta cerita meliputi alur, tokoh, dan latar. Istilah lain fakta cerita
disebut sebagai tahapan fakta. Mengenai tahapan fakta: 1) Fakta cerita
digambarkan sangat mendominasi cerita secara keseluruhan dan terlihat jelas. Hal
ini merupakan bagian yang saling berkaitan dalam aspek pembuatan cerita yang
dipandang dengan cara tertentu.2) Makna sebuah cerita yang khusus menerangkan
sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema memiliki persamaan
dengan ide dan tujuan utama pengarang. Aspek ini merupakan unsur utama yang
sejajar dengan makna dalam kehidupan, sesuatu yang dijadikan alat pengingat
dalam cerita. 3) Metode yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun
suatu rangkaian cerita agar tersusun dengan pola yang bermakna. Sarana cerita ini
bertujuan untuk memperlihatkan fakta-fakta cerita yang ditulis oleh sudut
pandang pengarang. Sarana cerita terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan
simbol-simbol pemilihan imajinasi serta pemilihan judul dalam karya sastra.
2.3.2 Teori Antropologi Sastra
Konsep antropologi sastra dapat ara dari kata antropologi dan sastra. Kedua
ilmu itu memiliki makna tersendiri. Masing-masing sebenarnya merupakan
sebuah disiplin keilmuan humanistis. Yang menjadi bahan penelitian antropologi
sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat fakta-fakta sastra dan budaya.
Antropologi adalah penelitian terhadap manusia (Keesing, 1999:2). Yang
dimaksud dengan manusia adalah sikap dan perilakunya. Antropologi sastra
berupaya meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya
sastra. Manusia sering bersikap dan bertindak dengan tata krama. Tata krama
memuat tata susila dan unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah
peradaban. Sastra sering menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu
sama lain yang penuh simbol.
Sebagai ilmu, antropologi jelas sudah tua umurnya. Antropologi yang
bercirikan meneliti bangsa primitif kini telah berubah. Antropologi pun
belakangan tidak hanya mempelajari manusia secara nyata, tetapi juga membaca
sastra. Sastra adalah karya tentang sikap dan perilaku manusia secara simbolis.
Sastra dan antropologi selalu dekat. Keduanya dapat bersimbiosis dalam
mempelajari manusia lewat ekspresi budaya. Sastra banyak menyajikan fakta-
fakta imajinatif. Antropologi yang bergerak dalam fakta imajinatif dapat disebut
antropologi sastra. Interdisiplin ini memang tidak dikenal di Jurusan Antropologi,
tetapi mewarnai penelitian di Jurusan Sastra. Konsep penting antropologi sastra
adalah seperti yang dinyatakan Benson (1993:250) tentang anthropological
poetry, artinya wawasan antropologis terhadap cipta puisi. Biarpun dia belum
menyebutkan istilah antropologi sastra, melainkan istilah antropologi puisi, jelas
cukup beralasan kalau ilmu itu dipelajari lewat antropologi sastra. Antropologi
sastra tampaknya merupakan pengembangan anthropology experience yang
digagas Turner dan Bruner (Benson, 1993:46). Pandangan ini tampaknya terusik
oleh gagasan etnografi fiksi yang berkembang di era posmodernisme. Jagat
posmodernisme sastra dan antropologi telah berlari jauh ke depan. Sastra bukan
hanya sebuah artefak yang penuh estetika, melainkan juga memuat sebuah budaya
yang berisi etika.
Oleh para ahli antropolog, sastra juga dianggap sebagai refleksi kehidupan
manusia yang patut diselami. Sastra sering dimaknai sebagai alat untuk
mengajarkan perilaku budaya. Orang yang banyak mempelajari sastra sering
terpengaruh sikap dan perilakunya. Terlebih lagi jika pembaca mendalami sastra
ajaran (niti), tentu dapat menyelami budayanya. Membatasi sastra memang tidak
mudah. Pandangan klasik memang selalu mengajak agar pembaca mendefinisikan
sastra sebagai ekspresi ajaran budaya leluhur. Definisi klasik ini rasanya memang
perlu dipugar, dilakukan redefinisi. Dalam konteks antropologi sastra, sastra
adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Secara umum, antropologi
diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan perilaku
manusia.
Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai
kelompok variabel yang berinteraksi, sedangkan sastra diyakini merupakan
cermin kehidupan masyarakat pendukungnya. Bahkan, sastra menjadi ciri
identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia secara simbolis.
Simbolsimbol budaya dalam sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi sastra.
Menurut Haviland (1984:7) antropologi adalah penelitian tentang umat manusia
yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat bagi manusia untuk
menuntun perilaku dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman budaya. Pendapat ini memang masih tergolong klasik sebab
awalnya antropologi memang sering membuat generalisasi. Namun, akhirakhir
ini, sejak ilmu simbol merambah antropologi, generalisasi itu tidak menjadi fokus
utama. Generalisasi sudah banyak diikuti oleh ahli sosiologi, maka antropologi
sastra pun banyak mempelajari keanekaragaman kehidupan, tetapi tidak berusaha
menggeneralisasi fakta. Antropologi sastra justru hendak menemukan aneka
ragam kehidupan manusia dari sisi pandang budayanya.
Antropologi sastra dalam pandangan Poyatos (1988:331–335) adalah ilmu
yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Penelitian budaya
dalam sastra tentu diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan. Memang harus
diakui bahwa penelitian yang dimaksud itu sering berkembang pesat menjadi tiga
arah, yaitu (1) penelitian terhadap budaya sastrawan yang disebut antropologi
pengarang, ditelaah sisi antropologisnya dengan mewawancarai dan mengamati
kehidupan budaya pengarang; (2) penelitian teks sastra yang meneliti refleksi
sastra sebagai pantulan budaya; (3) penelitian terhadap antropologi pembaca yang
secara reseptif memiliki andil penting dalam pemaknaan sastra. Arah penelitian
yang ketiga ini dapat menelaah hubungan antara sastra dan budaya, terutama
untuk mengamati bagaimana teks sastra itu digunakan manusia dalam kehidupan
sehari-hari sebagai alat untuk memberikan ajaran tindakan bermasyarakat. Dari
tiga arah ini, peneliti antropologi sastra dapat mengarahkan harapannya. Ahli
antropologi sastra bebas berkarya untuk memahami hidup manusia.
Rahmat (2019;83) menyebutkan antropologi sastra adalah salah satu teori
atau kajian sastra yang menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama
untuk mengamati bagaimana sastra itu digunakan sehari hari sebagai alat dalam
tindakan bermasyarakat.
3)BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk


memperoleh dan mengolah data dalam penelitian. Hal tersebut sependapat dengan
Zuraida (2017, hlm. 20) yang menyatakan, “Metode penelitian adalah cara yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya dengan tujuan
untuk memecahkan masalah yang diteliti agar penelitian terarah sesuai dengan
tujuan yang diharapkan”
Metode penelitian adalah acuan yang berisi cara yang harus dilakukan
untuk memperoleh informasi atau data selama melakukan investigasi. Sejalan
dengan pendapat Suryani (2017, hlm. 53) menyatakan, “Metode penelitian dapat
diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu”.
Metode penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk
mengumpulkan data valid untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Hal tersebut
sebagaimana telah dijelaskan oleh Sugiyono (2015, hlm. 6) yang menyatakan,
“Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data
yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu
pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami,
memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan”.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian adalah cara ilmiah yang dilakukan dalam memperoleh informasi berupa
data yang valid dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang diteliti agar
penelitian terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Menurut Sondak, dkk (2019, hlm. 674) menjelaskan, “Metode
penelitian deskriptif kualitatif adalah metode penelitian yang mendeskripsikan
data yang terkumpul dalam kalimat-kalimat yang memiliki arti lebih mendalam,
karena menggambarkan secara tepat individu, keadaan, gejala, atau kelompok
tertentu, guna menentukan frekuensi adanya hubungan antara satu gejala dengan
gejala lainnya”. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menjelaskan
fenomena sebenarnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Satori dan Komariah dalam
Suwandayani (2018, hlm. 82) mengemukakan, “Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada”.
Selain jenis penelitian, pendekatan juga penting untuk memebatasi agar arah
penelitian jelas, dan tidak berkembang terlalu jauh. Pendekatan adalah cara
mendekati objek sehingga karya budaya, sebagai struktur makna dapat diungkap
dengan jelas. Pendekatan menghandalkan penggunaan salah satu sudut pandang
yang paling dianggap relevan sesuai dengan tujuan penelitian (Ratna,2010:45)
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan mimesis. Pendekatan mimesis
adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa memahami
hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimesis berasal dari
bahasa Yunani yang berarti tiruan, dalam pendekatan karya sastra dianggap
sebagai tiruan alam atau kehidupan.
3.2 Subjek dan Objek Penelitian
Dalam melakukan penelitian, harus dicantumkan objek dan subjek penelitian
yang digunakan kajian dalam penelitian ini, umumnya subjek dan objek penelitian
dijelaskan seperti dibawah ini:
3.2.1 Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek yaitu karya sastra yang berjudul
Gaguritan Bagus Diarsa. Karya sastra ini yang digunakan kajian dalam penelitian
ini
3.2.2 Objek Penelitian
Dalam penelitian ini objeknya adalah Antropologi sastar dalam Gagurita
Bagus Diarsa
3.3 Sumber dan Jenis Data
Sumber data merupakan data yang diperoleh untuk digunakan dalam
melakukan penelitian. Nugroho (2019, hlm. 105) menyatakan, “Sumber data
merupakan subyek dari mana data dapat diperoleh”. Ningrum, dkk (2019, hl,
56) menjelaskan, “Sumber data adalah yang memungkinkan untuk diperoleh
dari segala bentuk informasi baik berupa data maupun lisan tentang beberapa
hal menjadi pusat perhatian”. Mustanir, dkk (2018, hlm. 7) menambahkan,
“Sumber data adalah objek data yang diperoleh untuk mempermudah dalam
pengklasifikasian data”.
Jenis data dalam penelitian ini berupa data kulitatif. Data kuliutatif
merupakan suatau keterangan atau bahan nyata yang berupa kata-kata atau non
statistik yang dapat dijadikan sebagai suatu dasar kajian. Data kualitatif
berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik, berwujud pertanyaan atau berupa
kata-kata.
3.3.1 Data Primer
Data primer merupakan data inti yang akan digunakan dalam penelitian.
Sebagaimana dijelaskan Sugiyono oleh Tanujaya (2017, hlm. 93) menyatakan,
"Data primer merupakan pengumpulan data yang dapat dilakukan dengan cara
wawancara langsung, melalui komunikasi telefon, atau komunikasi tidak langsung
seperti surat, e-mail, dan lain-lain”.
Data primer merupakan data yang berasal dari sumber utama. Hal tersebut
sebagaimana telah dijelaskan oleh Pramiyati, dkk (2017, hlm. 680) y menjelaskan,
“Sumber data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber
utama”. Arikunto dalam Herviani dan Febriansyah (2016, hlm. 23)
menambahkan, “Data primer adalah data yang dikumpulkan melalui pihak
pertama, biasanya dapat melalui wawancara, jejak pendapat, dan lain-lain”.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa data primer adalah
data utama penelitian yang diperoleh secara langsung dari aslinya, berupa
wawancara, jajak pendapat, atau hasil observasi dari suatu objek, kejadian dan
hasil pengujian (benda) yang diambil dari sebuah penelitian dilakukan pada saat
tertentu dan hasilnya pun tidak dapat digeneralisasikan hanya dapat
menggambarkan keadaan pada saat itu sesuai kuesioner. Data primer dalam
penelitian ini berupa teks yaitu teks Gaguritan Bagus Diarsa. Alih aksar dan alih
bahasa oleh I Manda milik Departemen P dan K
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dari
sumber utama. Menurut Sugiyono oleh Tanujaya (2017, hlm. 93) menyatakan,
“Data sekunder adalah pengumpulan data melalui cara tidak langsung atau harus
melakukan pencarian mendalam terlebih dahulu seperti melalui internet, literature,
statistik, buku, dan lain-lain”. Data sekunder adalah data tambahan atau data
pendukung. Menurut Pratiwi (2017, hlm. 212) menyatakan, “Data sekunder
merupakan data yang bersifat mendukung data primer”.
Data sekunder merupakan data yang sudah tercatat dalam buku ataupun
suatu laporan hasil penelitian. Menurut Silalahi dalam Herviani dan Febriansyah
(2016, hlm. 23) mendefinisikan, “Data sekunder merupakan data yang diperoleh
dengan cara membaca, mempelajari, dan memahami melalui media lain yang
bersumber dari literature, buku-buku, dan dokumen”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa data
sekunder adalah sumber data yang diperoleh melalui cara tidak langsung dan
bersifat mendukung. Data sekunder diperoleh melalui membaca, mempelajari, dan
memahami melalui media lain yang bersumber dari buku, jurnal, dokumen,
maupun internet. Oleh karena itu, data sekunder dalam penelitian ini, yaitu data-
data yang diperoleh dari buku-buku, laporan hasil penelitian, majalah, artikel, dan
sebagainya yang dapat dijadikan penunjang penelitian ini. Pemeroleh data
sekunder tersebut dilakukan dengan mengunjungi kepustakaan yang relevan
dengan masalah penelitian.
3.4 Instrumen Penelitian
Secara fungsional kegunaan instrumen penelitian adalah untuk memperoleh
data yang diperlukan ketika peneleiti sudah menginjak pada langkah
pengumpulan informasi di lapangan (Sukardi, 2009:75) dalam penelitian
kualitatif, segala sesuatu yang akan dicari dari objek penelitian bvelum tentu dapat
ditentukan secara pasti. Masalah, sumber data, bahkan hasil yang diharapkan
belum dapat ditentukan dengan jelas sebelumnya. Rancangan penelitian masih
bersifat sementara dana kan berkembang setelah peneliti memasuki objek
penelitian. Selain itu, dalam memandang realitas, penelitian kualitatif berasumsi
bahwa realitas itu bersifat holistik (menyeluruh), tidak dapat dipisah pisahkan, dan
variabelnya sangat banyak. Dengan demikian dalam penelitian kualitatif ini belum
dapat dikembangkan instrumen penelitian sebelum masalah yang diteliti jelas.
Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif dikatakan “the researcher is the key
instrumen” yakni yang merupakan instrumen kunci dari sebuah penelitian
kualitatif adalah peneliti itu sendiri (Sugiono, 2012:306)
Maka dari itu, dalam penelitian ini peneliti adalah sebagai instrumen pokok
dan dibantu oleh instrumen pendukung seperti: alat perekam, buku catattan, dan
alat tulis. Dengan dukungan instrumen tersebut diharapkan akan memperoleh data
yang maksimal dalam penelitian ini.
3.5 Teknik Penentuan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moelong, 2012:90). Informan harus
banyak mempunyai pengalaman tentang latar penelitian. Kegunaan informan
dalam penelitian ini adalah membantu agar peneliti dapat berjalan dengan lancar,
serta memberikan informasi untuk memudahkan meneliti
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pourposive yaitu penyaringan berdasarkan tujuan (pourpose) peneliti. Dimana
peneliti melakuakn observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang
tahu tentang masalah penelitian tersebut. dan hasil penelitian tidak akan
digeneralisasikan ke populasi karena pengambilan sampel tidak diambil secara
random.
Penggunaan teknik purposive dalam penelitian ini dilakukan dengan
beberapa pertimbangan antara lain: pertama, kemampuan yang memadai untuk
memberikan keterangan; kedua, penguasaan yang mendalam tentang kesusastraan
Bali tradisional khususnya Gaguritan Bagus Diarsa. Keterangan yang diperoleh
melalui informan dimaksudkan sebagai penunjang analisis isi sebagaimana
disebutkan dalam jenis penelitian diatas.
Informan yang dipilih telah memenuhi syarat tertentu terutama tingkat
pengetahuan yang dimiliki dan yang tidak kalah pentingnya adalah kejujuran
didalam memberikan keterangan sehingga akan mendapatkan informasi yang
benar berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Informan yang dimaksud
disini adalah orang- orang yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang
karya sastra khususnya gaguritan sehingga secara pasti dapat memberikan data
yang sesuai dengan tujuam penelitian.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara yang dilakukan peneliti
untuk mengumpulkan data. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Imron (2019, hlm.
20) menyatakan, “Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara yang
digunakan penulis untuk mengumpulkan data yang nantinya data tersebut akan
digunakan oleh penulis memperoleh bahan, keterangan, dan informasi mengenai
penelitian ini”. Selanjutnya, Josi (2017, hlm. 2) menjelaskan, “Teknik
pengumpulan data adalah suatu teknik atau cara yang dilakukan peneliti untuk
mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan untuk mengumpulkan
informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian”. Saida dan
Damariswara (2017, hlm. 88) menambahankan, “Teknik pengumpulan data
adalah suatu langkah yang dilakukan peneliti dalam mengumpulkan yang
diperlukan dalam penelitian”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data berupa informasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
penelitian.
3.6.1 Studi Dokumen
Studi dokumen atau teks merupakan kajian yang mengibaratkan pada
analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya. Bahan dapat
berupa catatan yang terpublikasikan, buku teks, surat kabar, majalah, surat-surat,
film, catatan harian, naskah, artikel dan sejenisnya. Untuk memperoleh
kredibelitas yang tinggi peneliti dokumen harus yakin bahwa naskah naskah itu
otentik. Penelitian jenis ini juga dapat menggali pikiran seseorang yang tertuang
di dalam buku atau naskah-naskah yang terpublikasikan.
Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah naskah lontar
Gaguritan Bagus Diarsa. Naskah lontar tersebut dianalisis atau diinterpretasikan
sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Langkah yang akan ditempuh
adalah dengan membaca naskah secara cermat disertai dengan mencatat hal-hal
yang penting yang berkaitan dengan permasalahan
3.6.2 Studi Kepustakaan
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode penelitian studi
kepustakaan. Metode studi kepustakaan adalah penelitian yang menganalisis
kajian-kajian ilmiah. Sejalan dengan pendapat Sugiyono dalam Ramanda, dkk
(2019, hlm. 124) menyatakan, “Studi kepustakaan adalah penelitian yang
berkaitan dengan kajian teoritis dan beberapa referensi yang tidak akan lepas dari
literatur-literatur ilmiah”.
Studi kepustakaan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisis sumber-sumber kepustakaan berupa buku, jurnal, dsb. Hal tersebut
dijelaskan oleh Jariyah (2019, hlm. 67) bahwa, “Metode studi kepustakaan dapat
diartikan sebagai metode penelitian yang menghimpun dokumen-dokumen yang
diperlukan dalam melakukan penelitian yaitu mencakup buku, jurnal, skripsi,
tesis, dan gaguritan-gaguritan dan laporan yang terkait dengan masalah yang
menjadi objek penelitian”.
3.7 Teknik Analisis Data
Moelong (2012:280) menyebutkan bahwa analisis data adalah proses
mengorganisasi dan mengurut data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian
dasar sehingga dapat ditemukan tema dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti
yang disarankan oleh data. Hal senada juga diungkapkan oleh Sugiono (2009:244)
yang menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,
memilih nama yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif sehingga analisis
datanya menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan interpretasif.
Analisis deskriptif kualitatif yaitu suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan jalan menyusun data-data secara sistematis dan disertai dengan
memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang diperoleh sehingga
menjadi lebih jelas dan bermakna. Langkah-langkah analisisnya menggunakan
model analisis Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga alur kegiatan, yaitu: (1)
reduksi data (2) menyajian data (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi
Langkah pertama dalam analisis data setelah peneliti melakukan
pengumpulan data yaitu reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum,
memilah hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari
tema dan polanya (Sugiono, 2006:247). Miles dan Huberman mengungkapkan
bahwa reduksi data dengan demikian merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Setelah data direduksi, langkah berikutnya adalah penyajian data.
Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk uraian singkat atau
bentuk naratif. Penyajian data dalam penelitian kualitatif, dapat dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori, flowchart dan sejenisnya.
Namun yang paling sering digunakan untuk menyajikan data adalah teks yang
bersifat naratif.
Langkah ketiga dalam analisis data adalah penarikan kesimpulan
(rerification). Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan
akan berubah bila ditemukan bukti- bukti yang kuat dan mendukung pada
pengumpulan data berikutnya. Tetapi jika kesimpulan itu sudah didukung oleh
bukti- bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan itu merupakan kesimpulan
yang kredibel.
3.8 Penyajian Data
Moleong (2010: 364) memaparkan tentang gaya penulisan dalam penyajian hasil
analisis, diantarnya gaya penulisan formal yang disamakan dengan gaya penulisan
tradisional yakni penyajiannya yang dilakukan secara deduktif. Selain dengan
gaya penulisan kedua, ia juga mengetengahkan petunjuk penulisan yang diberikan
oleh Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif hendaknya dilakukan secara
informal. Ditekankan pula oleh Semi (2012: 31) bahwa pelaporan penelitian
kualitatif dengan bahasa verbal yang cermat sangat dipentingkan karena semua
interpretasi dan kesimpulan diambil dan disampaikan secara verbal. Selain itu
analisis data cenderung dilakukan secara induktif. Abstraksi- abstraksi dibangun
selagi hal- hal khusus atau data- data yang meyakinkan ditemui.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penyajian analisis dalam penelitian
ini akan menggunakan gaya penulisan informal, sebab data maupun hasil
analisisnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif yakni terurai secara verbal.
melalui kata- kata maupun kalimat. Selain itu juga mengikuti petunjuk penulisan
dari Lincoln dan Guba karena penafsiran dalam penelitian ini akan senantiasa
berpedoman pada data yang ada, bukan merupakan karangan dari peneliti.
Analisis data juga akan disajikan secara induktif, dimana konsep akan dikontruksi
secara lebih jelas di tengah perjalanan kegiatan penelitian, dan bukan menyusun
teka-teki yang gambar akhirnya sudah diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi I : UI-Press, Jakarta
Putra, 2005, Cudamani Kumpulan Kuliah-Kuliah Agama Hindu, Kanwil Dep.
Agama Provinsi Bali, Denpasar
Triguna, I.B.G. Yudha, 2003 Estitika Hindu Dan Pembangunan Bali: Program
Megister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia,
Denpasar.
Agastia, I.B.G. 1980. Gaguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali. Makalah
Dalam Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenan Bali II, Denpasar
Koentjaraningrat. 2011. Pengantar Antropolog: Rineka Cipta. Jakarta
Partini Sardjono Pratodokusumo.1986, Kakawin Gajah Mada (Sebuah Karya
Sastra Kakawin Abad Ke 20, Suntingan Naskah Serta Telaah Struktur,
Tokoh Dan Hubungan Antar Teks: Bina Cipta, Bandung.
Kajeng, I Nyoman, Dkk, 1994. Sarasamuscaya, Hauman Sakti, Jakarta
Moelong, J. Lexy.2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Darmadi, Hamid. 201. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Cika, I Wayan, 2006 Koteks Seni Budaya Bali, Dalam Mudra Vol.14 No 1,
Institut Seni Indonesia, Denpasar
Parimartha, I Gede, 2003, Memahami Desa Adat Desa Dinas Dan Desa
Pakraman: Universitas Udayana, Denpasar
Tinggen, I Nengah. 1982 Aneka Sari Gending Gending Bali: Rikha Dewata,
Singraja
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi: Gajah Mada University
Press, Yogjakarta.
Benson, Paul. 1993. Anthropology and Literature. Chicago: University of Illinois
Press.
Bernard, Russell, H. 1994. “The Literature Research” dalam Research Methods in
Anthrophology. 1994. London dan
New Delhi: Sage Publications.
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Endraswara. Op.Cit., hlm. 50 Jabrohim, Op.Cit,. hlm. 55
Rachmat Djoko Pradoppo, dkk. Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan
dalam Penelitian Sastra:
Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2001) hlm.
56
Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
hlm. 44
Sugiyono, Prof. Dr. 2018. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Alfabeta.
Sugiyono, Prof. Dr. 2018. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods).
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, Prof. Dr. 2020. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sujarweni, Wiratna. V. 2020. Metodologi Penelitian Kualitatif. Wonosari:
pustakabaruprees.
Tinggen, I Nengah. 1982. Aneka Sari Gending-Gending Bali. Singaraja: Rhika
Dewata.
Wijaya, I Made Sura Loka. 2018. Nilai Pendidikan Karakter Ring Geguritan
Wirotama Karya I Ketut Ruma. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan
Pendidikan Bahasa dan sastra Agama. Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar.
Wirawan, I Putu Adi. 2016. Geguritan Pasek Badak (Pamastika Antropologi
Sastra). Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Agama. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Yasa, I Nyoman Ari. 2018. Nilai Pendidikan Karakter Ring Geguritan Dewi
Durgandhini. Skripsi (tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Bahasa
dan sastra Agama. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai