http://journal.ummat.ac.id/index.php/pendekar
ISSN 2615-1421 | 10.31764
Vol. 5 No. 1 April 2022, Hal. 27-32
—————————— ◆ ——————————
nilai-nilai budayanya” (Indonesia, 2002). Konsekuensi setempat atas dunia yang melingkupinya (konsep emik),
logis dari kewajiban konstitusional ini adalah bahwa yang bisa jadi pandangan tersebut berbeda dengan
pelestarian budaya merupakan tanggung jawab bersama perkembangan pada saat ini (konsep etik). Dengan
antara negara dan masyarakat secara berkesinambungan sengaja pendekatan etnografi dipilih dalam studi ini,
(Triwardani & Rochayanti, 2014). Suku Tengger memiliki untuk menggali potensi kearifan lokal yang ada pada
banyak sekali ritual budaya yang berbeda, salah satunya suku Tengger (Laksono, 2020). Termasuk dalam
adalah upacara hari raya Kasada. Masyarakat suku menjawab permasalahan bagaimanakah prosesi Upacara
Tengger melakukan ritual ini dengan melemparkan sesaji Kasada di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura
ke dalam kawah Tengger. Upacara Kasada berlangsung Kabupaten Probolinggo, bagaimana pelestarian Upacara
setahun sekali pada tanggal 1 bulan Kasada menurut kasada yang dilakukan masyarakat di suku tengger di
penanggalan tradisional Hindu Tengger. Upacara ini Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten
didedikasikan untuk Sang Hyang Widhi dan leluhurnya, Probolinggo, serta bagaimanakah nilai-nilai Tradisi
termasuk Roro Anteng dan Joko Seger. upacara kasada di suku tengger di Desa Ngadisari
Upacara Kasada berasal dari kisah Jaka Seger dan Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Peneliti
Roro Anteng yang belum dikaruniai anak. Sehingga mengedepankan realitas yang dibangun dengan tafsir
mereka bertapa untuk meminta petunjuk dari Sang sosial terhadap individu/ interpretative individu.
Hyang Widhi atau leluhur. Lalu mereka mendapatkan Penelitian ini dilakukan di Desa Ngadisari Kecamatan
bisikan gaib untuk mengorbankan anak bungsunya ke Sukapura Kabupaten Probolinggo.
Kawah Gunung Bromo. Setelah dikaruniai anak mereka Peneliti memilih lokasi di Desa Ngadisari dengan
mengingkari janji sehingga sang dewa marah dan mempertimbangkan bahwa di Desa Nga-disari juga
mengancam member malapetaka. Kawasan bromo merupakan salah satu tempat tinggal masyarakat suku
menjadi gelap dan kawah menyemburkan api. Seketika Tengger. Masyarakat suku Tengger yang bertempat
anak bungsunya hilang terjilat api dan masuk ke Kawah tinggal di Desa ngadisari sangat memegang teguh
Bromo. warisan budaya lokal di tengah derasnya arus
Setiap daerah memiliki cerita rakyatnya masing- modernisasi seperti masyarakat suku Tengger pada
masing. Kearifan lokal itu harus dijaga kelestariannya, umumnya. Bertahannya nilai-nilai budaya lokal di Desa
sama halnya di Kawasan Bromo Tengger. Menurut Ngadisari ini, terlihat masih adanya upacara adat, dan
Wiratno, selaku Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam sistem kepercayaan yang berkembang di sana.
dan Ekosistem (KSDAE). bahwa sesuatu ritual ini
memang harus dikembangkan, di mana kesenian budaya C. HASIL DAN PEMBAHASAN
daerah dan perkawinan budaya lama utamanya di 1. Upacara Kasada
Tengger Bromo harus dihidupkan kembali. Nilai-nilai Di Suku Tengger hampir tidak ada hari tanpa
budaya lokal masyarakat suku Tengger bukan tidak upacara tradisional. Upacara adat yang berlangsung
mungkin mengalami pergeseran karena Era Globalisasi. di kawasanTengger sejak dahulu kala diikuti oleh
Oleh karena itu, perlu adanya pelestarian budaya untuk seluruh masyarakat Tengger, termasuk masyarakat
menjaga agar perayaan tradisi upacara kasada tetap yang bukan pemeluk agama Hindu hal ini dilakukan
terjaga dan menjadi sebuah identitas asli Suku Tengger. sebagai bentuk rasa menghargai agama lain yang
Penelitian ini akan membentuk pola, yaitu bagaimana sudah ditanamkan sejak dahulu dan masih diterapkan
sejarah perkembangan Upacara Kasada dan upaya sampai sekarang. Upacara tradisional tersebut antara
pelestariannya. Nilai-nilai budaya lokal sebagai nilai lain adalah upacara tradisional yang dikenal dengan
yang sudah ada sebelumnya, ataukah hadirnya nilai-nilai Upacara Kasada.
baru yang dibawa oleh adanya globalisasi yang Upacara tradisional Kasada ini biasaya
dikhawatirkan akan merusak buadaya Suku Tengger. dilaksanakan pada setiap tanggal 14 atau
Permasalahan tersebut yang menarik perhatian penulis bulanpurnama mangsa Ashada atau Kasada, yang
untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam. didatangi oleh berbagai masyarakat desa di kawasan
Dengan ini tujuan penelitian ini adalah untuk Tengger. Hal itu bermula dari kisah Rara Anteng
mengetahui dan mendeskripsikan Nilai Budaya Lokal (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (Putra
pada Upacara Kasada dalam Upaya Pelestarian Brahmana) yang kemudian menjadi asal mula suku
Kebudayaan Masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari Tengger yang diambil dari nama belakang keduanya.
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun
desa dan kemudian memerintah di kawasan Tengger
B. METODE PENELITIAN dengan sebutan Purbowasesa Mangkurating Tengger,
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan yang mempunyai arti 'Penguasa Tengger yang
pendekatan kualitatif secara etnografis. Pendekatan Budiman'. Mereka tidak di karuniai anak sehingga
etnografi lebih menekankan pandangan masyarakat mereka melakukan semadi kepada Sang Hyang Widhi.
Achmad Zurohman, Nilai Budaya Lokal .... 29
Dalam semedinya mendapat jawaban terkabul namun persembahan saja. Di antara jenis sesaji perorangan
dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, itu ada yang berupa kembang rampai, kemenyan,
anak yang bungsu harus dikorbankan kekawah palawija, dan hasil bumi lainnya. Kedua, Sesaji Desa.
Gunung Bromo. Pasangan Roro Anteng dan Jaka Pada upacara tradisiional Kasada, ada sesaji yang
Seger menyanggupinya dan kemudiandikaruniai 25 dibuat oleh petugas khusus, yang disebut dengan
orang putra-putri. Namun, pengorbanan tidak ongkek dan dibuat untuk kepentingan desa. Ongkek
dilakukan karena keduanya tidak tega. Dewa pun inilah yang merupakan sesaji pokok, dan ongkek ini
marah dengan member malapetaka. Kemudian, biasanya dikerjakan oleh wongsepuh. Bahan pokok
terjadilah gonjangganjing di Gunung Bromo dan untukmembuat ongkek ini terdiri dari bunga kumitir
menyemburkan api. Kusuma, anak bungsunya lenyap atau gumitir secukupnya, bunga tanalayu secukupnya,
dari pandangan terjilat api dan masuk kekawah bunga waluh secukupnya, kentang 10 biji, kobis 2
Bromo. Bersamaan hilangnya Kusuma terdengarlah bungkul, kacang-kacangan beberapa bungkus, daun
suara gaib yang mengatakan bahwa ia telah masuk pakis secukupnya, daun beringin secukupnya, daun
kekawah Bromo. Maka dari itu, agar hidup telotok secukupnya, daun tebu 2 pucuk, jantung
saudaranya dapat damai dan tenteram maka pisang 2 biji, buah pare 2 biji, dan buah pisang 2 sisir.
dilakukan penyembahan Sang Hyang Widhi dan Perwujudan ongkek tersebut direncanakan dan
menjadi pengingat agar setiap bulan Kasada pada diatur sedemikian rupa yang dalam pembuatan dan
hari ke-14 mengadakan upacara adat di kawah persiapannya dibantu oleh masyarakat sebagai nilai-
Gunung Bromo. nilai yang membangun peradaban. Dalam upacara
Dalam acara tersebut Mereka berdatangan tradisional Kasada ini, masing-masing desa di
menuju ke Gunung Bromo untuk ngelabuh atau kawasan Tengger diwajibkan membuat 2 ongkek ,
mempersembahkan palawija atau hasil bumi melalui yang dipersembahkan kekawah gunung Bromo. Da-
kawah Bromo. Upacara adat tradisional yang lam pembuatan ongkek dilarang menggunakan
ditujukan kepada dewa Brahma itu, dimulai dengan garam dan ikan laut.
pembakaran kemenyan yang dilakukan oleh dukun Perlengkapan lainnya adalah bambu yang diatur
tertinggi dan diikuti oleh seluruh dukun bawahannya, sedemikian rupa sehingga berbentuk pikulan.
serta seluruh masyarakat pendukungnya. Dalam Kerangka bambu ini kemudian dihias dengan bahan-
upacara Kasada tersebut ada sebuah mantra yang bahan yang dipersiapkan sebagaimana dikemukakan
harus dirapalkan, yang isinya adalah: “Niti Luriwulan di depan dan selesai dibuat sekitar pukul 16.00 WIB.
Kasada nyekar dhateng kawah gunung Bromo, Selanjutnya, baru sekitar pukul 19.00 WIB ongkek
sartomalih ngelabuh palawija palawiji sakkerapala tersebut dibawa kerumah Carik oleh wong sepuh
kang dipungemeni katura dhateng Sunan Dumeling untuk selanjutnya di pelaspas oleh dukun. Dalam
kang wonten Mungal, Sunan Pernoto kang wonten pelaspasan ongkek, dukun memakai perlengkapan
Poten, Sunan Perniti kang wonten Bejangan, lan pemujaan berupa tempat api, tempat air (sangku)
SunanKusumo kang wonten kawah gunung Bromo. yang bergambar dewa-dewa, kemenyan yang dibakar,
Sampune katur katura Dewo Pandhita Ratu” (artinya daun pisang yang digulung, dipergunakan sebagai
untuk memperingati peristiwa korban kehadapan alat untuk memercikkan air, serta kue dan pisang
Hyang Brahma pada bulanKasada yang terjadi masak yang ditempatkan di depan dukun. Satu hal
sejakdulu, maka mereka mempersembahkan hasil yang unik adalah tempat pemujaan ongkek di
bumi kepada Sunan Dumeling di Mungal, Sunan halaman rumah yang beralaskan tikar.
Pernoto di Poten, Sunan Perniti di Bejangan, Sunan Dalam tugas pelepasan ongkek, dukun memakai
Kusumo di kawah gunung Bromo, serta mohon agar busana khusus, yaitu berkain dan berbaju hitam,
diteruskan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa). Mantra memakai tutup kepala yang biasa dikenal dengan
itu menunjukkan bahwa Kasada adalah suatu upacara istilah blangkon. Dukun berselempang kain kuning
peringatan terhadap perjuangan nenek moyang (cikal yang melintang menyilang di depan dada, yang
bakal) masyarakat Tengger, yang telah membangun ujungnya berisi uang kepeng dan diikatkan pada
dan memberikan perlindungan terhadap hidup rumbai kain kuning yang merupakan selempang
mereka. Dengan demikian, upacara itu berkaitan tersebut. Tidak terlihat dukun memakai genta, dan
dengan legenda cikal bakal masyarakat Tengger. setelah selesai pemujaan, ongkek masih ditempatkan
Sesaji yang dipersembahkan dalam Upacara di rumah Carik sambil menunggu pemberangkatan
Tradisional Kasada antara lain: Pertama, Sesaji yang dilaksanakan sekitar pukul 22.00 – 01.00 WIB.
Perorangan, yakni sesaji atau persembahan yang Selanjutnya, salah satu ongkek yang telah dibuat dan
dibawa dan dipersembahkan secara perorangan pada di pelaspas di rumah Carik dipersembahkan di
upacara Kasada, tidak diberi nama khusus. Dingklik (untuk desa-desa kawasan Pasuruan) atau di
Masyarakat Tengger biasa menyebut dengan istilah Cemoro Lawang (untuk desa-desa di kawasan
30 | Pendekar : Jurnal Pendidikan Berkarakter | Vol. 5, No. 1, April 2022, Hal 27-32
kabupaten Probolinggo), sedangkan ongkek yang agama (agama), tokoh adat (dukun adat), pemerintah
satunya lagi langsung di 6 bawake Poten, yakni suatu dan masyarakat Suku Tengger yang sama.
tempat berupa altar memanjang tempat para dukun Peran komunikatif tokoh agama dalam
melakukan pemujaan di kaki gunung Bromo di masyarakat Tengger berperan penting dalam
tengah-tengah Segara Wedhi. Di tempat itu pula para membangun kerukunan dan melestarikan adat dan
dukun mulai berdatangan, masing-masing membawa tradisi masyarakat Tengger. Seperti kita ketahui
sebuah ongkek, sangku, perapian untuk membakar bersama, kepribadian religius memainkan 3 tugas
kemenyan dan sesaji berupa makanan. Pada sekitar utama, yaitu: 1). Penerus dalam Penyebaran Ajaran
pukul 01.00 WIB calon dukun yang akan diuji dan dan keyakinan, 2). Panutan bagi Pengikutnya serta, 3).
dilantik telah bersiap diri. Ujian calon dukun yang Penjaga Perdamaian /Toleransi. Dalam konteks upaya
disaksikan oleh para dukun dari semua desa di pelestarian adat dan budaya Suku tengger, serta
kawasan Tengger itu disebut Mulunan, sedangkan meminimalisir konflik antar keyakinan dalam
bentuk ujiannya adalah merapalkan mantera-mantera pelaksanaan adat dan budaya Suku Tengger, para
yang telah diajarkan oleh ketua dukun. Seandainya tokoh agama lebih menekankan komunikasi
apa yang telah dipelajari tersebut dapat dirapalkan egalitarianisme artinya komunikasi dilakukan lebih
dengan baik dan dibenarkan para dukun yang hadir, menekankan kesetaraan dan persamaan diantara
maka yang bersangkutan dinyatakan lulus dan berhak sesama warga Suku tengger. Komunikasi
menjadi dukun adat, dengan ditandai pemasangan egalitarianismeyang dilakukan para tokoh agama
atribut selempang kain kuning. Sebaliknya, bila yang memberikan makna komunikasi saling menghormati
bersangkutan salah merapalkan mantera-mantera antar pemeluk agamadengan tetap berpegang pada
dan juga disalahkan oleh para dukun, maka calon prinsip asal kesatuan adat dan budaya yang sama
dukun diijinkan untuk mengikuti ujian lagi pada (Ahwan & Marzuki, 2021).
upacara tradisional Kasada tahun berikutnya. Atribut Singkatnya, Pelestarian Upacara Kasada akan
dukun penguji atau dukun lainnya adalah sama, yakni berkelanjutan jika akan didasarkan pada kekuatan
memakai kain hitam atau batik hitam, berbaju hitam internal, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Oleh
dengan tutup kepala blangkon dan selempang karena itu, perlu untuk penggerak, pengamat, pecinta,
kuning yang kedua ujungnya ditempatkan di dan pendukung kelas sosial yang berbeda. Untuk
samping agak ke belakang dengan uang kepeng alasan ini, perlu untuk mengembangkan motivasi
yang dimasukkan di dalamnya. yang kuat untuk pindah untuk berpartisipasi dalam
Setelah selesai pelantikan dukun baru, tibalah pelestarian, termasuk:
saatnya mempersembahkan sesaji kehadirat Hyang 1) Motivasi untuk menjaga, mempertahankan dan
Maha Agung. Pada saat itu para dukun merapalkan mewariskan warisan budaya yang diwarisinya
mantra, memercikkan air suci dan membakar dari generasi sebelumnya;
kemenyan. Seharusnya pada saat upacara tradisional 2) Motivasi untuk meningkatkan pengetahuan
ini semua dukun harus hadir, kecuali dukun yang dan kecintaan generasi penerus bangsa
sedang menghadapi pantangan hadir, misalnya jika terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa
ada seseorang yang meninggal dunia pada antara 44 dari masa ke masa melalui pewarisan khasanah
hari sebelum pelaksanaan Upacara Kasada. Setelah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata
selesai pemujaan di Poten dan waktu telah mencapai yang dapat dilihat, dikenang dan dihayati;
putih wetan, yaitu matahari sudah mulai terbit, maka 3) Motivasi untuk menjamin terwujudnya
saat itu pula upacara ngelabuh sesaji di kawah keragaman atau variasi lingkungan budaya;
Gunung Bromo telah selesai dilaksanakan. Setelah 4) Motivasi ekonomi yang percaya bahwa nilai
upacara selesai dilaksanakan oleh para dukun, maka budaya lokal akan meningkat bila terpelihara
berakhir pula upacara tradisional Kasada, yang selalu dengan baik sehingga memiliki nilai komersial
dilaksanakan setiap tahun di kawah Gunung Bromo untuk meningkatkan kesejahteraan
(Sriwardhani, 2007). pengampunya; dan
2. Pelestarian Upacara Kasada 5) Motivasi simbolis yang meyakini bahwa budaya
Masyarakat Suku Tengger terkenal dengan ritual lokal adalah manifestasi dari jati diri suatu
adat dan adat istiadatnya yang masih kuat dan kelompok atau masyarakat sehingga dapat
dilestarikan (Batoro, 2017). Kemampuan mereka menumbuhkembangkan rasa kebanggaan,
dalam menjaga adat dan tradisi tersebut membuat harga diri dan percaya diri yang kuat (Karmadi,
suku Tengger dianggap sebagai bagian dari 2007).
masyarakat adat nusantara. Pelestarian adat dan Dari penjelasan di atas terlihat bahwa
budaya dalam masyarakat Suku Tengger merupakan pelestarian budaya lokal juga memiliki muatan
keberhasilan komunikasi strategis antara tokoh ideologis, yaitu gerakan untuk memperkuat budaya,
Achmad Zurohman, Nilai Budaya Lokal .... 31
DAFTAR RUJUKAN
Ahwan, Z., & Marzuki, M. E. (2021). MODEL KONSTRUKSI
KOMUNIKASI ANTAR FAITH BASED
ORGANIZATION DALAM MEMINIMALISIR
INTERFAITHCONFLICT PADA PELESTARIAN ADAT
DAN TRADISI BUDAYA SUKU TENGGER TOSARI
PASURUAN. Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan,
Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam, XIII(1),
136–149.
Anas, M. (2013). TELAAH METAFISIK UPACARA KASADA,
MITOS DAN KEARIFAN HIDUP DALAM
MASYARAKAT TENGGER. Kalam, 7(1), 21–51.
https://doi.org/10.24042/klm.v7i1.367
Bahrudin, B., Masrukhi, M., & Atmaja, H. T. (2017).
Pergeseran Budaya Lokal Remaja Suku Tengger di
Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten
Lumajang. Journal of Educational Social Studies,
6(1), 20–28.
Batoro, J. (2017). Keajaiban Bromo Tengger Semeru:
Analisis Kehidupan Suku Tengger–Antropologi-
Biologi di Lingkungan Bromo Tengger Semeru
Jawa Timur. Universitas Brawijaya Press.
Indonesia, R. (2002). Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat
Jenderal MPR RI.
Karmadi, A. D. (2007). Budaya lokal sebagai warisan
budaya dan upaya pelestariannya. Makalah
Disampaikan Pada Dialog Budaya Daerah Jawa
Tengah Yang Di Sel Enggarakan Oleh Balai
Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional
Yogyakarta Bekerjasama Dengan Dinas Pendidikan
Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, Di
Semarang, 8–9.
Laksono, A. D. (2020). Tengger Bertahan dalam Adat
Studi Konstruksi Sosial Ukuran Keluarga Suku
Tengger (Cetakan Pe). HEALTH ADVOCACY.
Sriwardhani, T. (2007). ASPEK RITUAL DAN MAKNANYA
DALAM PERINGATAN KASADA PADA MASYARAKAT
TENGGER JAWA TIMUR. ACADEMIA.
Triwardani, R., & Rochayanti, C. (2014). IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN DESA BUDAYA DALAM UPAYA
PELESTARIAN BUDAYA LOKAL. REFORMASI, 4(2),
102–110.
Zurohman, A., Kurnia Maulidi Noviantoro, K., & Firdausi,
S. N. (2021). POTENSI DAYA TARIK WISATA TAMAN
NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU (ANALISIS
SWOT OBJEK WISATA BROMO PINTU CEMORO
LAWANG, PROBOLINGGO). AL-FIKRU: JURNAL
PENDIDIKAN DAN SAINS, 2(2), 281–291.