Anda di halaman 1dari 22

MULTIKULTURALISME ISLAM: Terhadap Upacara Kasada Suku Tengger

Di Desa Sapikerep Bromo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Tsalsa Karina, dkk


Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora
Institut Agama Islam Negeri Salatiga
tsalsakarina@gmail.com

Abstract (English)
The abstract should be one paragraph with the same font and format as given here (1 space,
Garamond, 12, Italic, and Justify). Abstract should be between 150-200 words followed by 3-
5 keywords. Write the paper first followed by the abstract which should succinctly describe
your entire paper. Begin with a brief summary of the purpose and then continue on with a
summary of each section of your paper.

Abstract (Indonesian)
Abstrak harus ditampilkan dalam font dan format sebagaimana telah disebutkan dalam
abstrak Bahasa Inggris di atas. Tolong jangan diubah format ini. Jumlah kata dalam abstrak
antara 150-200 kata diikuti oleh 3-5 kata kunci.

PENDAHULUAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan


menurut para ahli sangat beragam, namun dalam konteks ini kebudayaan dilihat
dalam perspektif fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks
perspektif kebudayaan tersebut, maka multikulturalisme adalah ideologi yang dapat
menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya.1

B. Arti Sejarah Multikulturalisme

Secara histories, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang


kemudian diikuti dengan masa yang disebut “era reformasi”, kebudayaan Indonesia
cenderung mengalami disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis
moneter, ekonomi, dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga

1
Parsudi Suparlan.2002.Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.,Jurnal Antropologi
Indonesia. hlm. 1
telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan
negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) tercabik-cabik akibat berbagai
krisis yang melanda masyarakat.Krisis sosial budaya yang meluas itu dapat disaksikan
dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita,
misalnya : disintegrasi social-politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang
nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran social (social temper) dalam menghadapi
realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan
berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan
terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran
narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik dan kekerasan
yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di
Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.
Merebaknya budaya McDonald, juga makanan instant lainnya, dengan demikian,
budaya serba instant; meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme,
kekerasan, dan hedonisme, mewabahnya MTVisasi, Valentine’s day, dan kini juga
pub night di kalangan remaja.2

C. Mengapa Mengambil Tema Multikultural

Disini saya mengambil konsep multikultural karena Konsep multikulturalisme


di sini tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau
kebudayaan yang menjadi cirri masyarakat majemuk (plural society). Karena,
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan 1dalam kesederajatan.
Mengkaji multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari permasalahannya yang
mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hokum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, juga tingkat dan mutu produktivitas.

D. Adat Istiadat Suku Tengger

Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger Orang Tengger kaya akan upacara
adat tetapi hampir tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini
masih diselenggarakan di wilayah Tengger adalah sebagai berikut.

2
Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hlm 75
1. Upacara Kasada. Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang
sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang
diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan
purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini
merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma
alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger,
yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para
saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan
Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu
dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.

2. Upacara Karo. Perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada
bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan Lebaran atau
hari raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia tersebut orang
Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga, untuk
memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-maafan. Perayaan ini berlangsung
selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu berpuluh-puluh ternak, kebanyakan
ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga
yang kurang mampu, pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara
patungan. Upacara Unan-Unan. Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu.
Sewindu menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini
dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan
menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang
sempurna, yaitu Nirwana. Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’, maksudnya
upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama satu
windu. Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih kerbau sebagai kurban.
Upacara Entas-Entas. Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang
telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya
upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-
besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan
sebagian dikurbankan.3

3
Sutarto.Tinjauan Historis dan Sosio-kultural Orang Tengger.Majalah Argapura, Vol. 18 No. 1 dan 2
Th. 1998: 21-37.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan studi
Etnografi, merupakan pekerjaan mendiskripsikan suatu kebudayaan dari sekelompok orang.
Artinya memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Malinowski, di mana tujuan etnografi adalah memahami sudut
pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya
mengenai dunianya. Dengan arti lain adalah etnografi mempelajari masyarakat dan belajar
dari masyarakat.4

A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 juni 2021, lokasi dari penelitian ini berada
di Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa
Timur, meliputi seluruh kawasan wisata alam Gunung Bromo di Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru.

B. Bahan dan alat

Beberapa alat dan bahan yang digunakan untuk menunjang kegiatan penelitian ini
adalah: 1) Alat tulis; 2) Kuesioner; 3) Kamera; dan 4) Laptop.

C. Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

 Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara,
observasi, dan dokumentasi.
1. Wawancara atau interview adalah metode pengumpulan data yang menghendaki
komunikasi langsung antara penyelidik dengan subyek atau informan (Yatim,
2001: 15). Narasumber adalah orang yang memberikan informasi dan yang benar–
benar menguasai permasalahan karena narasumber tersebut telah berkecimpung
dalam permasalahan yang digeluti.

4
Windiani dan Farida Nurul R. 2016. Menggunakan Metode Etnografi Dalam Penelitian Sosial. Jurnal Dimensi.
9(2): 87-92
Wawancara ini dilakukan untuk mencari informasi secara mendalam kepada
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Timur, informasi lebih tentang budaya
suku Tengger, upacara Yadnya Kasada di gunung Bromo.
2. Observasi (pengamatan) ini dilakukan untuk mengamati budaya–budaya lokal
suku Tengger. Observasi ini penting untuk melihat lebih dalam tentang nilai–nilai
budaya lokal yang selama ini dibangun oleh Kabupaten Probolinggo.
3. Dokumentasi dilakukan dengan menggunakan cara mendokumentasikan budaya –
budaya lokal khususnya budaya suku Tengger. Dokumenatasi ini penting untuk
memperdalam data penelitian guna mengetahui budaya–budaya lokal suku
Tengger, disamping itu dokumentasi ini berupa bentuk buku esai foto.
4. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan peneliti dalam melakukan
penelitian untuk mempermudah mendapatkan data, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan intrumen yang meliputi :
a) Instrumen observasi (berupa mengamati objek)
Peneliti menggunakan instrumen observasi dalam mengamati fasilitas
yang bersangkutan tentang keamanan dan kenyamanan tempat penelitian
yaitu Penanjakan 1 Bromo dan objek yang diamatai yaitu fasilitas di
Penanjakan 1 Bromo.
b) Instrumen wawancara (berupa subjek yaitu manusia)
Peneliti menggunakan instrumen ini untuk mendapatkan data atau
informasi yang dicari peneliti melalui pedoman wawancara kepada subjek
manusia. Bertujuan agar penelitian yang dilakukan peneliti terarah dan
tetap relevan.
c) Instrumen dokumentasi
Penelitian ini menggunakan instrumen foto dan tulisan pada saat
melakukan pencarian data dengan cara observasi dan wawancara.
Instrumen ini digunakan dalam melengkapi data yang diperoleh agar
penelitian ini tetap relevan.
5. Analisis Data
Ada empat tahapan yaitu :
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui data yang diperoleh dari peneliti di lapangan,
rangkuman wawancara, dokumen pendukung wawancara, observasi dan
dokumentasi.
b. Kondensasi Data
Data kondensasi mengacu pada proses pemilihan, fokus,
menyederhanakan, dan atau mengubah data yang muncul dalam kerangka
pemikiran dari catatan yang diperoleh di lapangan, wawancara transkip,
dokumen, dan bahan empiris lainya. Oleh karena itu kondensasi akan
membuat data penelitian semakin kuat.
c. Penyajian Data
Penyajian data dalam penelitian kualitatif dengan bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori dan lain sebagainya. Tujuan dari penyajian
data adalah dapat memudahkan dalam memahami apa yang terjadi dan
kemudian merencanakan kerja selanjutnya yang telah dipahami tersebut.
d. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah
merupakan temuan baru yang sebelumnya pernah ada. Peliti berharap
mendapat temuan baru atau gambaran suatu objek yang dulunya kurang
jelas menjadi lebih jelas.

PEMBAHASAN
Masyarakat Tengger merupakan sekumpulan masyarakat yang menjunjung tinggi
persoalan adat-istiadat, yang mana segala urusan dan sistem organisasi kehidupan masyarakat
Tengger dilaksanakan dengan keputusan adat, hal ini bahwa kekuatan yang paling utama
terletak pada sistem adat-istiadat. Dari berbagai macam adat yang ada, salah satu adat yang
dilakukan oleh masyarakat Tengger yaitu Upacara Kasada atau Perayaan hari raya Kasada.
Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya
Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15,
atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di
lazuardi biru.5 Hari raya kasada merupakan bentuk pelaksanaan pesan leluhur masyarakat

5
Sutarto, Ayu. (2002). “Sekilas tentang Masyarakat Tengger”. Makalah. Universitas Jember Jawa Timur,
Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2002 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7-10 Agustus 2001. hlm. 6
Tengger yaitu Raden Kusuma (Kyai Kusuma atau Dewa Kusuma), yakni putra bungsu dari
sepasang suami-istri yaitu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi
kurban demi kesejahteraan orangtua dan para saudaranya. Dalam melaksanakan upacara
Kasada, seluruh masyarakat Tengger yang bukan termasuk pemeluk agama Hindu turut
berpartisipasi bahkan sejak dahulu kala. Hal ini diperkuat oleh Pak Tinggi selaku ketua desa
sekaligus ketua suku Tengger di desa Sapi Kerep, Bromo, Jawa Timur (10/06/21) yang
menyatakan bahwa warga Muslim suku Tengger di desa ini pun turut berkontribusi dalam
merayakan hari raya Kasada dengan berupa bentuk uang atau makanan lalu diberikan kepada
orang lain, dan berbagai bentuk pemberian lainnya. Hal ini tentu saja dilakukan untuk
berkurban di hari raya Kasada yang diyakini dan dipercayai oleh masyarakat Tengger sebagai
suatu bentuk hormat kepada para pendahulu.
Bagi masyarakat Suku Tengger, Upacara Adat adalah salah satu wujud rasa syukur
masyarakat Tengger kepada Tuhan. Ada banyak upacara adat di masyarakat Suku Tengger
yang memiliki tujuan bermacam-macam diantaranya meminta berkah, menjauhkan
malapetaka, wujud syukur atas karunia yang diberikan tuhan kepada masyarakat Suku
Tengger. Adapun tujuan dan makna mengenai upacara Kasada di Tengger, yaitu:
1. Mengungkapkan rasa syukur
Tradisi Kasada merupakan sarana mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas berkah dan perlindungannya karena meningkatnya hasil dari
sektor pertanian, perdagangan, peternakan, dan kerajinan. Kasada ialah salah satu
tradisi warga tengger bromo yang hampir sama dengan sedekah bumi, namun terdapat
perbedaan dalam prosesinya. Pada awal mulanya tradisi ini berkaitan dengan cikal
bakal desa tengger dan pelantikan dukun baru sebagai pemimpin dalam kegiatan yang
terkait dengan pelaksanaan upacara tradisional, serta penghormatan terhadap nenek
moyang masyarakat Tengger yang telah membangun dan memberikan perlindungan
terhadap hidup mereka.
2. Menumbuhkan jiwa rela berkorban,
Ongkek yang telah di buat tersebut dibawa ke rumah Carik oleh wong sepuh
untuk selanjutnya di-pelaspas oleh dukun, Selanjutnya salah satu ongkek
dipersembahkan di Dingklik atau di Cemoro Lawang, sedangkan yang satunya lagi
langsung di bawa ke Poten, yakni tempat para dukun melakukan pemujaan di kaki
gunung Bromo di tengah-tengah Segara Wedhi. Rela berkurban yang dimaksudkan
ialah secara tidak langsung berbagi hasil bumi dengan cara ongkek yang di
persembahkan di dingklik atau cemoro lawang untuk mereka yang berada di kawasan
tersebut dan ongkek yang di bawa ke kawah untuk di lempar kebawah yang mana di
bawah sudah ada yang bersiap – siap untuk mengumpulkannya.
3. Menghargai hasil karya orang lain,
Dalam tradisi kasada terdapat dua jenis sesaji yang harus di persiapkan. Sesaji
tersebut ialah sesaji perorangan dan sesaji desa. sesaji perorangan yakni sesaji yang
dibawa dan dipersembahkan secara perorangan pada upacara Kasada, dan biasanya
hanya di sebut persembahan saja tanpa ada sebutan khusus dan hanya yang mengikuti
agama hindu yang membawanya. Kedua, sesaji desa yakni sesaji yang dibuat oleh
petugas khusus, yang disebut dengan ongkek dan dibuat untuk kepentingan desa.
Ongkek inilah yang merupakan sesaji pokok, dan ongkek ini biasanya dikerjakan oleh
wong sepuh serta setiap desa membuat dua ongkek. Maka adanya sesaji yang
berbagai varian isi tersebut mengajarkan kepada kita akan menghargai setiap hasil
karya orang lain karena sesuai dengan kemampuannya untuk ikut berkontribusi dalam
tradisi tersebut.
4. Meraketkan kebersamaan warga
Tradisi kasada sejak awal persiapan sampai akhir telah melibatkan masyarakat
banyak di lingkungannya. Keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan tradisi
tersebut, menunjukkan bahwa di antara mereka terjalin hubungan saling
membutuhkan untuk bersama – sama dalam pelaksaannya. Hal ini menunjukkan
adanya kebersamaan dan kerukunan di antara masyarakat, karena di samping mereka
membuat sesaji secara perorangan juga membuat sesaji desa yang berfungsi sebagai
unsur utama.
5. Memupuk sifat saling tolong – menolong dan gotong royong
Pada saat pengumpulan bahan-bahan sesaji terdapat sikap saling menolong
dimana tidak hanya satu orang saja melainkan juga bersama – sama serta tidak hanya
dari penganut hindu saja akan tetapi selain hindu juga ikut berkontribusi dalam bahan
untuk membuat ongkek sesuai dengan kemampuannya baik hasil buminya maupun
hasil keringatnya berupa uang, kemudian di saat pembuatan kerangka bambu untuk
pembuatan ongkek dan pembersihan tempat di rumah Carik yang dilakukan secara
gotong royong bersama serta di saat menata bahan hasil pengumpulnya ke ongkek
yang telah di buat dan juga membawanya ke rumah pak carik.
6. Menumbuhkan sifat gigih, tanggung jawab sosial dan patuh
Ongkek yang telah di buat tersebut dibawa ke rumah Carik oleh wong sepuh
untuk selanjutnya di-pelaspas oleh dukun di saat membawanya tersebut yang
membutuhkan tenaga yang tangguh dan gigih karena di bawa secara jalan kaki tidak
hanya berhenti di rumah pak carik saja namun setelah itu di bawa sesuai arah dan
tujuannya baik ke kawah maupun ke dingklik.
Serta dalam tradisi tersebut nampak jelas kepatuhan yang di laksanakan oleh
masyarakat tengger seperti patuh kepada tuhan, serta kepada aturan sebagaimana di
saat menentukan tanggal pelaksaannya yang tidak berani bila di tinggalkannya dan
juga ketelitian dalam jumlah dan penataan bahan sesaji pada ongkek.
7. Keseimbangan masa lalu dan masa depan dalam kelestarian lingkungan,
Cikal bakal tradisi kasada bermula di saat Roro Anteng dan Raden Joko Seger
yang dalam sejarah memiliki 25 putra dan putra yang terakhir atau bungsu yang di
jadikan korban di kawah bromo yang kemudian saat ini di sebut dengan tradisi kasada
di setiap tahun untuk menghormatinya dan pernah sekali tidak melaksanakan tradisi
tersebut maka akan terjadi hal – hal buruk yang tidak di inginkannya seperti hasil
datangnya awan gelap yang mengakibatkan hasil bumi buruk baik sektor pertanian
maupun peternakan.

Upacara Kasada atau Kasodoan ini merupakan sarana komunikasi antara masyarakat
Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu
dilakukan melalui seorang dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger. Kepergian dukun
Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa, melainkan juga untuk minta berkah kepada
yang menjaga Gunung Bromo sekaligus memenuhi amanat. Permintaan dan amanat tersebut
ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan (dilabuh) di Kawah Bromo. Yang
mana pada masa lalu saat sebelum dilabuh, Raden Kusuma berpesan kepada penerusnya yang
berbunyi sebagai berikut: “Dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang,
mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa
sandhang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh
rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya
mesti kinabulna.” Yang artinya: “Saudara-saudaraku yang masih hidup di dunia, di alam
terang, kelak setiap bulan Kasada, kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang
kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti
kukabulkan”).6
Adapun rangkaian acara upacara adat yadnya kasada yaitu; Pertama, pada pagi hari
diawali dengan setiap desa masing-masing membuat sesajen khusus yang disebut ongkek.

6
Ibid., hlm. 7
Ongkek ini adalah hasil bumi dari yang di tanam oleh masyarakat tengger, seperti pisang,
kubis dan hasil bumi lainnya. Hewan seperti ayam, domba juga diperbolehkan. Ongkek yang
dibuat hanya dua buah saja setiap desa, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Dan harus
diketahui bahwa pembuatan ongkek ini, dari masyarakat suku tengger yang bersama-sama
saling membagi hasil buminya untuk dijadikan ongkek. Tetapi jika empat puluh empat hari
sebelum hari H upacara adat yadna kasada, ada yang meninggal di desanya, desa tersebut
tidak boleh membawa ongkek. Masyarakat suku tengger percaya bahwa nanti ada gangguan
metafisika pada desa tersebut. Selain itu setiap pribadi masyarakat suku tengger yang
mempunyai permohonan diperbolehkan membawa ongkek sendiri-sendiri yang nantinya akan
didoakan oleh dukun panditanya. Kedua, yaitu setiap desa mensucikan ongkek atau disebut
semeninga pensucian. Hal ini dilakukan oleh dukun pandita masing-masing setiap desa
dengan membacakan mantra atau doa agar ongkek tersebut bersih atau suci. Ketiga, pada hari
kedua upacara adat yadna kasada, pada pukul 00.00 masyarakat suku tengger yang dipimpin
oleh dukun pandita masing-masing, membawa ongkek ke Pura Luhur Poten melewati
gerbang desa masing-masing yaitu Cemoro Lawang (Tengger Probolinggo), Pakis Bincil
(Tengger Pasuruan), Jemplang (Tengger Malang) dan Gunung Jantur (Tengger Lumajang).
Pada tahap ini harus membuka gerbang terlebih dahulu dengan membaca mantra atau doa
yang dibacakan oleh dukun pandita di setiap desanya. Karena masyarakat suku tengger
percaya bahwa gerbang yang tidak terlihat oleh manusia ada di tempat-tempat tersebut.
Setelah itu diarak menuju pura luhur poten. Sambil menunggu waktu puncak acara yadna
kasada, dukun pandita di setiap desa melayani masyarakat suku tengger yang meminta
sesajen yang dibawa pribadi di doakan sampai pukul tiga pagi, saat acara puncak
berlangsung.

Selanjutnya yaitu mulunen, yaitu proses pembacaan mantra oleh para calon dukun
yang sudah menyelesaikan syarat administrasi serta masuk kedalam kategori calon dukun
pandita yang mempunyai prilaku dan sikap yang baik. Pembacaan mantra yang akan diuji ke
calon dukun panditan ditentukan adalah faktor x atau yang tak terlihat oleh manusia. Ketua
pariaman dan dukun panditan hanya jadi pelantara saja. Pembacaan mantra oleh calon dukun
pandita mempunya toleransi tiga kali diperboleh diulang, apabila terbata-bata ataupun
ditengah pembacaan mantranya lupa. Jika tiga kali tidak bisa membacakan mantra secara
lancar maka calon dukun pandita tersebut disuruh untuk mencoba lagi tahun depan. Upacara
mulunen atau untuk bisa menjadi calon kepala desa di susku tengger hanya bisa dilaksanakan
pada acara upacara yadnya kasada saja. Proses mulunen ini tidak setiap tahunnya ada, jika
ada calon dukun panditan maka yang membacakan mantra yaitu calon dukun panditan tetapi,
jika tidak ada calon dukun panditan maka akan tetap dibacakan oleh dukun panditan yang
ditunjuk oleh ketua pariaman.

Setelah itu penutup ritual yang disebut Wayon yaitu para dukun pandita menutup
dengan cara membacakan mantra atau doa. Setelah selesai seluruh ongkek yang dibawa oleh
setiap desa masyarakat suku tengger di bawa untuk dilemparkan ke kawah gunung bromo
yang disebut melarungkan ongkek. Dalam melarungkan ongkek setiap pribadi suku tengger
yang mempunyai permohonan dapat melarungkan ongkek yang dibawa pribadi yang telah
didoakan oleh dukun panditan. Dan yang terakhir Pujan sasih kasada, yaitu ritual penutup
yang dilakukan di desa masing-masing yang dimana dukun panditan membacakan mantra
atau doa.7

Dalam upacara Kasada tersebut ada sebuah mantera yang harus dirapalkan oleh
seorang dukun yang isinya adalah: Niti Luri wulan Kasada nyekar dhateng kawah gunung
Bromo, sarto malih ngelabuh palawija-palawiji sak kerapala kang dipun gemeni katura
dhateng Sunan Dumeling kang wonten Mungal, Sunan Pernoto kang wonten Poten, Sunan
Perniti kang wonten Bejangan, lan Sunan Kusumo kang wonten kawah gunung Bromo.
Sampune katur katura Dewo Pandhita Ratu (artinya untuk memperingati peristiwa korban
kehadapan Hyang Brahma pada bulan Kasada yang terjadi sejak dulu, maka mereka
mempersembahkan hasil bumi kepada Sunan Dumeling di Mungal, Sunan Pernoto di
Poten, Sunan Perniti di Bejangan, Sunan Kusumo di kawah gunung Bromo, serta mohon
agarditeruskan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa). Mantera itu menunjukkan bahwa Kasada
adalah suatu upacara peringatan terhadap perjuangan nenek moyang (cikal bakal)
masyarakat Tengger, yang telah membangun dan memberikan perlindungan terhadap hidup
mereka. Dengan demikian upacara itu berkaitan dengan legenda cikal bakal masyarakat
Tengger. Sesaji yang dipersembahkan dalam upacara tradisional antara lain:8
Pertama, sesaji perorangan, yakni sesaji atau persembahan yang dibawa dan
dipersembahkan secara perorangan pada upacara Kasada, tidak diberi nama khusus.
Masyarakat Tengger biasa menyebut dengan istilah persembahan saja. Di antara jenis sesaji
perorangan itu ada yang berupa kembang rampai, kemenyan, palawija, dan hasil bumi
lainnya. Kedua, sesaji desa, pada upacara tradisional Kasada, ada sesaji yang dibuat oleh

7
Rindy Nurjanah, Aktivitas komunikasi upacara adat dalam upacara adat kasada suku tengger di gunung
bromo jawa timur, 2019)
8
Sriwardhani, Tjiktjik. “Aspek Ritual dan Maknanya dalam Peringatan Kasada pada Masyarakat Tengger Jawa
Timur”. Jurnal. Universitas Negeri Malang. Vol. 3, No 2 (2007): Imajinasi. hlm. 4
petugas khusus, yang disebut dengan ongkek dan dibuat untuk kepentingan desa. Ongkek
inilah yang merupakan sesaji pokok, dan ongkek ini biasanya dikerjakan oleh wong sepuh.
Bahan pokok untuk membuat ongkek ini terdiri dari bunga kumitir atau gumitir secukupnya,
bunga tanalayu secukupnya, bunga waluh secukupnya, kentang 10 biji, kobis 2 bungkul,
kacang-kacangan beberapa bungkus, daun pakis secukupnya, daun beringin secukupnya,
daun telotok secukupnya daun tebu 2 pucuk, jantung pisang 2 biji, buah pare 2 biji, dan buah
pisang 2 sisir.
Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat Tengger telah mengadakan tradisi Kasada
yang dimaksudkan untuk memenuhi banyak kepentingan, khususnya menjaga eksistensi
mereka sebagai petani gunung yang berhasil. Tradisi ini juga sebagai bentuk kearifan lokal
dalam menjawab tantangan alam yang terbatas, dengan menumbuhkan kemampuan dan
kecerdasan yang tinggi menjaga kelestarian alam, serta hidup sosial yang terintegrasi.
Upacara ini juga dilakukan sebagai kesempatan untuk mewariskan berbagai kemampuan dan
kearifan hidup dalam bentuk pendidikan kecakapan hidup pada generasi muda mereka.

(filosofi upacara kasada)

Seiring berjalannya waktu sekarang masyarakat Suku Tengger telah menjadi


masyarakat yang majemuk. Khususnya di Desa Sapi Kerep, terdapat umat Hindhu, Muslim,
dan Nasrani. Keberagaman agama ini tidak membuat ketiganya berkonflik. Justru hal tersebut
memperkuat toleransi dalam ketiganya. Menurut Syamsur Rohman, gambaran kebersamaan
serta kerukunan antaragama bisa dilihat dengan jelas ketika rakyat Tengger merayakan ritual
adat mereka. Dapat dilihat ketika mereka melakukan ritual Kasadha, komunitas Tengger dari
berbagai agama melakukan semacam “sedekah bumi” dengan membawa aneka hasil panen
dan hewan ternak (hasil peternakan) mereka untuk dijadikan sajian ritual. Bertempat di
kawasan lautan pasir sekitar kawah gunung Bromo semua warga Tengger melakukan doa
bersama dengan mantra-mantra adat yang dipimpin oleh seorang dukun (pemuka adat).
Setelah itu barulah mereka berdoa sesuai dengan agama masing-masing. 9

Fenomena tersebut sesuai dengan apa yang kami dapat dalam wawancara dengan
Kepala desa Sapi Kerep,. Untuk umat islam sendiri mereka ikut dalam upacara tersebut
walaupun tidak ikut berdoa atau membaca mantra. Mereka juga turut serta melakukan

9
Mohamad Ali dan Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali. 2015. Harmoni Lintas Agama Masyarakat Tengger.
Islamica: Jurnal Studi Keislaman.10(1):82-107
sedekah bumi yang dilakukan oleh masyarakat suku tengger. Jadi, masyarakat muslim
menjalankan ritual kasada tersebut hanya sebagai simbol saja, sebagai bentuk penghormatan
terhadap adat yang telah diturunkan oleh leluhur mereka.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Woodward, warna maupun corak keislaman yang
dipraktikkan oleh minoritas masyarakat Tengger di tengah mainstream masyarakat Tengger
yang Hindu, sesungguhnya tidak ubahnya seperti masyarakat muslim Jawa lainnya. Bagi
Woodward, kehidupan beragama masyarakat muslim Jawa secara sepintas terlihat bercampur
aduk dengan tradisi lokal peninggalan tradisi Hindu-Budha. Dalam risetnya yang mengambil
Keraton Yogyakarta, Woodward menunjukkan fenomena tersebut. Keraton Yogyakarta,
dalam spektrum luas dimaknai sebagai pusat kosmologis tradisi dan budaya masyarakat Jawa.
Dalam sudut pandang Woodward, tradisi Islam di Jawa (Keraton Yogyakarta) menunjukkan
kepiawaian Islam dalam mempengaruhi masyarakat Jawa. Woodward berpandangan bahwa,
antara Islam dan tradisi Jawa tidak lain hanya sekedar akulturasi budaya sebagai strategi
dakwah. Akulturasi budaya tidak lantas menghilangkan unsur dasar dari ajaran Islam itu
sendiri.10

Hal-hal diatas menunjukkan bahwa ritual-ritual adat Tengger tak selalu identik
dengan Hindu. Umat beragama lain seperti Islam dan Kristen juga aktif berpartisipasi dan
turut merasa memiliki adat Tengger dengan aneka kekayaan ritual dan tata cara di dalamnya.
Masyarakat Tengger kaya dengan beraneka ritual dan upacara adat, selain upacara yadnya
kasada, ada di antaranya ialah upacara adat Karo, yang dilakukan pada bulan Puso. Karo
merupakan hari raya terbesar masyarakat Tengger. Upacara Karo merupakan ritual yang
dilakukan masyarakat Tengger tanpa membedakan agama dan wilayah tertentu. Ritual Karo
ditandai dengan saling menyumbangkan makanan dan minuman serta saling mengunjungi
antarwarga penduduk. Selain Karo, ada juga upacara Pujan Kapat, Pujan Kawolu, Pujan
Kasanga, Pujan Kasada, Upacara Bari’an, Unan-unan,Entas-entas, dan banyak lagi ragam
upacara tradisional yang lain. Komunitas etnik Tengger dikenal sebagai masyarakat yang
berpegang teguh pada adat-istiadat dan tradisi budaya yang secara turun-temurun telah
diwariskan para leluhur mereka.

Ada empat agama yang dianut oleh Suku Tengger yakni Islam, Hindu, Budah dan
Nasrani. Agama dan adat istiadat merupakan suatu hal yang berbeda, meskipun agama yang

10
Ali Maksum. 2015. Politik Identitas Masyarakat Tengger. Jurnal el-Harakah.17(1): 18-35
mereka anut berbeda namun tak membuat masyarakat Tengger meninggalkan tradisi
leluhurnya, bagi mereka agama adalah keyakinan pada sang Penciptanya, sedangkan tradisi
Tengger adalah cara mereka dalam menghormati leluhurnya.11 Toleransi sudah mendarah
daging, alami. Mengikuti pesan leluhur, orang tua secara turun temurun. Pesan orang tua
lebih tinggi nilainya dibandingkan guru spiritual.

Warga masyarakat Sapi Kerep yang memiliki kepercayaan selain Hindu juga
mendukung prosesi Upacara Yadnya Kasada. Menurut penuturan Bu Ema selaku warga lokal
yang beragama islam, terjadi berbagai banyak perubahan dalam hal teknologi mulai periode
tahun 2000 keatas sampai dengan sekarang. Tetapi seluruh warga tetap menjunjung tinggi
adat istiadat mereka, sekalipun upacara adat ini adalah kebudayaan Hindu. Hal itu
dikarenakan upacara adat ini dapat menumbuhkan rasa saling mengasihi dan menyayangi
bagi seluruh warga Tengger yang selama ini hidup berdampingan dan harmonis sekalipun
berbeda kepercayaan. "Masing-masing agama punya tuntutan sendiri. Kenapa bertengkar?
Kenapa gegeran?". Setiap umat, katanya, bebas beribadah sesuai keyakinan dan umat lain
ikut menghormatinya. Sedangkan saat upacara adat, semua tokoh agama berkumpul. Agama
ditempatkan sebagai keyakinan setiap individu, namun seluruh masyarakat suku Tengger
harus terlibat dan aktif dalam melestarikan adat budaya. Terutama upacara adat yang rutin
diselenggarakan suku Tengger di lereng Gunung Bromo.

Upacara ini juga merupakan simbol toleransi antar kehidupan umat beragama yang
dapat hidup berdampingan dengan rukun dan tentram. Selain sebagai bentuk
mengaplikasikan ajaran yang diajarkan agama, upacara adat Yadnya Kasada juga dijadikan
momentum silaturahmi antar warga suku Tengger.12 Meski memiliki perbedaan kepercayaan,
toleransi antar umat beragama di bromo sangat layak dijadikan teladan bagi warga negara
Indonesia pada khususnya.

Pada masa sekarang yang mengikuti upacara Kasada tidak hanya suku Tengger yang
beragama Hindu, namun warga Tengger yang beragama Islam maupun Kristen yang sudah
keluar daerah datang dan berkumpul kembali.

Kehidupan di tengger walaupun terdiri atas berbagai macam agama tapi tetap mampu
hidup rukun. Seperti pada acara membangun rumah, baik yang muslim maupun Hindu tetap

11
Dinamika Kehidupan Masyarakat Suku Tengger Dibalik Kegiatan Pariwisata Bromo Journal of Tourism and
Creativity Vol.4 No.2 Juli 2020
12
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA Oleh Drs.
Dharmaji Chowmas, S.Ag.
saling membantu. Saya sebagai salah seorang penganut agama Islam tapi tetap mengikuti
kegiatan membangun rumah yang diselenggarakan tetangga saya yang beragama Hindu itu.
Tengger). (Wawancara dengan Pak Sopir Jip)

Kepatuhan terhadap adat tidak hanya membentuk suatu masyarakat yang


mengedepankan nilai toleransi dan prinsip hidup bergotong royong. Tetapi juga telah
membentuk sebuah masyarakat yang harmoni dan seimbang. Keadaan tersebut
memungkinkan masyarakat Tengger untuk hidup jauh dari konflik yang berpotensi memecah-
belah kebersatuan masyarakatnya. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa antarwilayah
ataupun antarwarga di Tengger dapat dibilang tidak pernah terjadi pertikaian dan konflik
yang menjurus pada kekerasan fisik. Hal ini selaras dengan pernyataan informan berikut ini.
Selama saya hidup di Tengger, tidak pernah ada satu konflik pun yang sampai melibatkan
kekeras-an fisik, terlebih sampai ke ranah hukum. Wong Tengger juga sangat menghindari
caruk karena caruk akan berdampak pada kerusakan alam. (Wawancara dengan Pak Karji,
Dukun Mororejo, 21 April 2018)13

Kerukunan antar umat beragama diciptakan agar tidak terjadi tegang rasa, serta
permusuhan baik dari intern agama maupun dari umat beragama yang lain. Tercapainya
suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terwujud dalam rasa saling
menghormati antar pemeluk agama. Kebebasan dalam memeluk agama dan melakukan
ibadah sesuai dengan keyakinan masing- masing dan tidak memaksakan keyakinan terhadap
pemeluk agam lain dengan saling mempercayai antar sesama baik intern maupun eksteren
pemeluk agama dengan pemerintah demi terwujudnya masyarakat yang harmonis serta
bertanggung jawab untuk menjaga agama dan bangsa. Seperti yang sudah dijelaskan didalam
al-Qur’an bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal.

‫ارفُوْ ا ۚ اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخبِ ْي ٌر‬
َ ‫ َل لِتَ َع‬uِ‫َر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕٕى‬
ٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَ لَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذك‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal” (QS: Al Hujurat, 13).

13
Slametan Tengger sebagai Mekanisme dalam Menjaga Tradisi dan Membangun Integrasi Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Brawijaya, Malang
Meskipun keyakinan yang dipeluk masing-masing warga tidak sama namun ketika
melakukan ritual adat tetap melestarikan tradisi yang berkembang diwilayah Tengger.
Menurut warga tengger “lebih baik banyak saudara dari pada banyak harta”. Pepatah inilah
yang menjadikan kerukunan warga ini. Pemupukan nilai-nilai ini terbukti dengan baik dilihat
dari model hidup mereka yang penuh kehangatan dan ketentraman.

Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Isslam dengan budaya lokal diakui
dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ushul al-fiqh, bahwa “adat itu dihukumkan,
“al-adah muhakkamah” atau lebih lengkapnya, adat adalah syariat yang dihukumkan (al-adah
syari’ah muhakkamah). Artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat yaitu budaya lokalnya
adalah sumber hukumdalam Islam.

Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairanya yang tak pernah usai.
Hubungan intim antara keduannya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimami
agamanya dengan slogan “shalih lil kull zaman wa makan yang arinya selalu baik untuk
setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senantiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan
dengan keanekaragaman konteks. Dan fajta yang tiddak bisa dipungkiri adalah bahwa
kehadiran Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu, tidak nihil dari muatan-muatan lokal
yang mendahului kehadiran Islam.

Islam tidak datang kesebuah tempat dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah
ini hubungan antara Islam deengan analisir-analisir lokal mengikuti mode
keberlangsungannya (al-namudjaz al- tawashshul), ibarat manusia yang turun temurun lintas
generasi. Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah
dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh kongkrit
dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa
tersebut diambil dari konsep meru dari masa pra Islam (Hindhu-Budha) yang tediri dari
sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja. Hal ini
melambangkan tiga tahap keberagamaan seseorang muslim, yaitu iman, Islam, Ihsan. Pada
mulanya baru beriman saja, kmudian ia melaksanakan Islam ketika menyadari pentingnya
syariat. Barulah ia mmasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) yaitu denga jalan
mendalami tasawuf, hakikat, makrifat.

Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha
masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindhu, Isla sementara itu tidak
memindahkan simbol-simbol budaya Timur. Di masa sekarang, khususnya di Jawa sulit bagi
kita untuk menemukan bentuk Islam yang asli dan Orisinil. Ini dikarenakan dengan, sebelum
Islam masuk Indonesia di Jawa sudah berkembang tradisi Hindhu Kejawen yang sangat
mengakar kuat di masyarakat. Hal ini kemudian sangat mempengaruhi perkembangan
penyebaran Islam.

Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India dan persia dimatangkan kembali
dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindhuis-Budhuis. Jika ditarik pada
wilayah lokal Jawa, masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa
Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) budaya lama dalam bentuk baru yang
lebih halus dn berkualitas. Asimilasi dan akomodasi budaya pada akhirnya menghasilkan
berbagai varian keislaman yang disebut dengan Isllam lokal yang berbeda dengan Islam yang
berbeda dengan Islam dalam great gradition. Fenomena demikian bagi setiap pengamat
memandangnya sebagai penyimpangan terhadap kemurnian Islam yang dianggapnya Islam
sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi positif dengan
menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan
artikulasi Islam di wilayah lain.

Namun yang unik ternyata hal itu semua tidak berlaku di daerah Tengger. Hal ini cukup
dimaklumi karena beberapa hal:

1. Peran dukun sebagai simbol kebijaksanaan artinya suatu nasehat yang diberikan oleh
dukun tersebut serta merta akan diamini oleh masyarakat setempat.
2. Pernyataan tunduk dan patuuh dan dukun bukan karena sifat otoriternya, tetapi karena
dukun adalah simbol kebijaksanaan yang mempunyai kewenangan untuk itu. Sifat
tunduk dan patuh semacam ini tampaknya tidak bisa dilepaskan dari kharisma yang
terpancar dari seseorang dukun atau ketua adat. Dengan kata lain, ada wewenang yang
bersifat kharismatik pada diri dukun atau ketua adat.
3. Kekuatan mitos, yang dimaksud disini adalah apabila kita mengamati tradisi
masyarakat sederhana (termasuk di dalamnya masyarakat Tengger), akan dibuktikan
bahwa ritual-ritual yang mereka. Bagi mereka, kebutuhan agar tetap bertahan hidup
yang bisa menyediakan addalah alam. Maka secara ekonomis tindakan rasional yang
dilakukan adalah dengan menyeimbangkan diri dengan alam. Oleh karena itu,
sebagian besar kehidupan masyarakat sederhana biasanya didominasi oleh mitos yang
berkaitan dengan kemurkaan alam.
4. Menurut Armada Riyanto, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hayyat, mitos
adalah ekspersi yang sangat hidup mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya
dan keseluruhan lingkungan hidupnya. Ia menjelaskan tentang dirinya m, asal
usulnya, legimitasi kekuasaanya, nasib dan keberuntungannya, bahkan hidup dan
kematiannya serta relasi dirinya dengan alam dimana ia tinggal.
5. Lingkungan alam. Kondisi alam yang berbukit-bukit mengakibatkan terkumpulnya
komunitas masyarakat Tengger dalam satu tempat. Konsekuensi logisnya kemudian
adalah jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain saling berdekatan.
Terkonsentrasinya pemukiman penduduk dala satu tempat mengakibatkan interaksi
antara individu dapat berjalan secara intens.14

Realitas umat Islam terbangun atas konfigurasi sosial yang terbentuk dari
identitasidentitas kelompok seperti kelompok aliran keagamaan, organisasi sosial keagamaan,
etnisitas, profesi, dan sebagainya, yang melingkupi diri kaum muslimin di masyarakat.
Keberadaan kelompok pemilik identitas dalam umat Islam tidak bisa dilepaskan dari
masyarakat secara keseluruhan. Umat Islam terbangun atas struktur sosial masyarakat yang
memeluk agama Islam, yang walaupun mengenakan identitas identitas yang saling berbeda,
tetapi membangune satuan utuh sebagai umat Islam.15

Agama dalam realitas sosial masyarakat Indonesia yang multikultural memiliki wajah
paradoks. Pada satu waktu agama memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan,
persatuan dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain agama juga menampakkan dirinya
sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik (Muhammad, 1997).Paradoks
wajah agama ini, menurut A. N. Wilson (dalam Kahmad, 2000: 165), diakibatkan oleh dilema
agama itu sendiri sebagai motivatortindakan sosial yang menuntut sikap fanatic umatnya
terhadap kebenaran agamanya. Hal ini menjadikan kecenderungan untuk membenarkan
agamanya sendiri untuk tidak toleran pada agamaorang lain, bahkan merasa berhak
menghakimiorang yang tidak sepaham dengan dirinya.Klaim-klaim kebenaran (truth claims)
inilah yang kemudian banyak menimbulkan konflik antarumat beragama.16

Konfigurasi sosial umat islam tidak di pungkiri juga menjadi potensi pemilihan social
rawan konflik. Batas-batas budaya muncul akibat segregasi. Perasaan kelompok bisa
14
Bahrul Ulum dan Mufarrohah, Institusionalisasi Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tengger di Tengah
Kepungan Agama-agama, Jurnal pustaka, Vol 9. 2017, hal 52-69.
15
Haryanto Tri Joko, “relasi agama dan budaya dalam hubungan intern umat islam”.2015.Semarang
16
Haryanto Tri Joko “kearifan lokal pendukung kerukunan beragama pada komunitas tengger malang jatim”,
2014. Semarang
terbangun dalam bentuk sentimen kelompok jika batas-batas tersebut semangkin tegang maka
kelompok Etnis akan merasa sentiment. Batas-batas budaya apabila mengalami ketegangan
maka berpotensi konflik. Namun sebliknya, batas-batas dapat cair dan rentur oleh intensitas
interaksi, penerimaan, toleransi satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Ditengah keberagaman agama yang ada di Indonesia dengan adanya toleransi yang begitu
tinggi, salain menghormati antar pemeluk agama tidak cukup maka diperlukannya adanya
dialog antar agama yang memberikan pemahaman terkait pemahaman ajaran agama satu
dengan agama yang lainnya. Bukan berarti menjadikan orang lain begitu yakin akan
agamanya dan beralih pandangan untuk berpindah agama, dialog ini di perlukan agar
pemeluk agama lain dapat memahami ajaran yang ada dari masing- masing agama dari
sinilah benih- benih sikap toleransi akan semakin kuat menjadi bangunan yang utuh. Dialaog
antar agama ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait ajaran dalam kehidupan dari
masing-masing agama, bukan studi akademi agama apalagi membahas semua agama dan
melahirkan agama baru dan juga sedang beradu argumentasi sehingga melahirkan siapa yang
menang dan yang kalah dan yang kalah wajib mengikuti ajarannya (Daya, 2008). Karena,
dialog antar umat beragama sendiri merupakan pertemuan antara hati dan pemikiran dari para
pemeluk agama yang berbeda. Dialog harus di terapkan sebagai salah satu bentuk interaksi
antar umat beragama dalam menjaga kebinekaan, kebersamaan dan keharmonisan dari
berbagai lapisan umat beragama baik yang berada diera global maupun plural. Leonard
Swidle berpendapat terdapat sepuluh prinsip yang harus dipegang teguh ketika sedang
melangsungkan dialog antar umat beragama (Swidler, 1990:95-98). Pertama, membuat relitas
perubahan dan perkembangan sesuai dengan keyakinan masing- masing. Kedua, dialog harus
dihadiri oleh penganut agama yang berbeda baik intern agamanya dan pemeluk berbagai
agama. Ketiga, setiap peserta dialog harus memiliki kesungguhan dalam melangsungkan
dialog serta kejujuran yang terutama. Keempat, setiap peserta dialog harus bisa
mendeskripsikan keyakinannya sebdiri- sendiri. Kelima, berdialog tanpa asumsi yang kukuh
dan tergesa- gesa atas keyakinan yang tidak bisa diterimanya. Enam, dialog dilakuan oleh
pihak yang benar- benar bisa menghormati dan memahami. Tujuh, dialog dilaksanakan atas
dasar saling mempercayai. Delapan, dialog harus diikuti oleh orang- orang yang kritis yang
dimaksud adalah bisa menjawab semua pertanyaan dan memperkuat keyakinan agamanya.
Sembilan, peserta dialog harus memahami mitra keberagamaan agama baik dari agamanya
sendiri maupun ekstern agamanya. Sepuluh, dalam melangsungkan dialog tidak boleh
membandingkan ajaran agamanya dengan ajaran agama lainya. Bentuk-bentuk harmonisasri
antar umat beragama untyk menjaga kerukunan antarumat beragama salah satunya adalah
dengan melangsunggkan dialog, untuk saling mempercayai dan menghormati saja tidak
cukup harus dibutuhkan pemahaman yang matang terkait agamanya sendiri maupun agama
yang lain.17

Dalam suku Tengger, toleransi terhadap perbedaan agama sangat bertoleransi. Seperti
yang dikatakan Pak Tinggi atau Kepala Desa dan Kepala Suku Tengger, yaitu tidak adanya
konflik antara 3 agama yang ada di suku Tengger tersebut. Semuah ini dikarenakan warga
Tengger mengutamakan Adat dari pada Agama. Peran agama di suku Tengger itu interen
(hak asasi) atau diri sendiri, sedangkan adat itu kesemuanya (persamaan diutamakan). Jadi
dapat disimpukan 3 Agama yang ada ini di ikat dengan adat Tengger, maka bisa bersatu dan
menyatukan beberapa agama.

KESIMPULAN
The conclusion is intended to help the readers understand why your research should matter to
them after they have finished reading the paper. It is not just a summary of the main topics
covered or a re-statement of your research problem, but a synthesis of key points and, if
applicable, where you recommend new areas for future research. All the subheadings in this
section should be in Garamond Font, 12 pt, and 1,5 space. The first letter of each word in
subheading should be capital.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad dan Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali. (2015). Harmoni Lintas Agama
Masyarakat Tengger. Islamica: Jurnal Studi Keislaman.10(1):82-107
Anas, Mohamad. (2013). Telaah Metafisik Upacara Kasada, Mitos, dan Kearifan Hidup
dalam Masyarakat Tengger. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Vol.
7, No. 1 Hlm 21-52
Atmojo, Bambang Tri. (2014). Karangan Etnografi Kebudayaan Suku Tengger. Universitas
Negeri Semarang. Makalah.
17
Huda Thoriqul M, Khasanah Irma “Budaya Sebagai Perekat Hubungan Antara Umat Beragama di Suku
Tenger”, 2019.Surabaya
Budhisantosa, S. (1984). Upacara Tradisional Kedudukan dan Fungsinya dalam kehidupan
Masyarakat. Analisis Kebudayaan Th IV/2 Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. 2015-2024. Revisi Rencana Induk
Pengembangan Wisata Alam. Malang: Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Cahyadi, Hery Sigit. 2016.Kapasitas Daya Dukung Psikologi Wisatawan di Penanjakan 1,


Taman

Nasioanal Bromo, Tengger Semeru, Jawa Timur. Bandung : Sekolah Tinggi Pariwisata
Bandung.

Choirul Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Esten, M. (1999). Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit Angkasa.


Firni, Farisha. (2014). Bentuk, Makna, dan Fungsi Kidung-Kidung Suci Masyarakat Tengger
di Kabupaten Probolinggo. Universitas Airlangga Surabaya. Skripsi.
Maksum, Ali. (2015). Politik Identitas Masyarakat Tengger. Jurnal el-Harakah.17(1):18-35
Mark R, Woodward. (1999). Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta:
LKiS.
Parsudi Suparlan.2002.Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.,Jurnal Antropologi
Indonesia.
Pengembangan Wilayah Ekowisata : Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.Surabaya :
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sriwardhani, Tjiktjik.(2007). Aspek Ritual dan Maknanya dalam Peringatan Kasada pada
Masyarakat Tengger Jawa Timur. Universitas Negeri Malang. Jurnal.3(2):
Imajinasi.
Supanto. (1992). Upacara Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek
Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya
Sutarto, Ayu. (2002). Sekilas tentang Masyarakat Tengger. Universitas Jember Jawa Timur.
Makalah.
Sutarto.Tinjauan Historis dan Sosio-kultural Orang Tengger.Majalah Argapura, Vol. 18 No.
1 dan 2 Th. 1998: 21-37.
Ulum, Bahlul dan Mufarrohah. Institusionalisasi Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat Tengger di
Tengah Kepungan Agama-agama. Jurnal pustaka. 9. 2017, hal 52-69.
Journal of Tourism and Creativity.4(2) Juli 2020
Drs. Dharmaji Chowmas : KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM
PANDANGAN AGAMA BUDDHA.
Universitas Brawijaya, Malang : Slametan Tengger sebagai Mekanisme dalam Menjaga
Tradisi dan Membangun Integrasi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Windiani dan Farida Nurul R. 2016. Menggunakan Metode Etnografi Dalam Penelitian
Sosial. Jurnal Dimensi. 9(2): 87-92

Anda mungkin juga menyukai