Anda di halaman 1dari 42

http://dewisartikalogic.blogspot.co.id/2013/11/kearifan-lokal-orang-makassar.

html
Selasa, 19 November 2013

Kearifan lokal orang Makassar


Mata Kuliah : Science Education
Dosen : Drs.M. Agus Martawijaya,M. Pd.

Kualleanganna Tallang Na toalia

Oleh:
DEWI SARTIKA
NIP: 1311440004
PENDIDIKAN MATEMATIKA ICP C-2
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013/2014
KATA PENGANTAR
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
KEARIFAN LOKAL DI GOWA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Makassar,10 Oktober 2013

Penulis

BAB I

A.PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan
keunikannya. Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebudayaan
yang majemuk dan sangat kaya ragamnya. Indonesia sendiri terdiri dari berbagai
suku bangsa, yang mendiami belasan ribu pulau. Masing-masing suku bangsa memiliki.
keanekaragaman budaya tersendiri. Di setiap budaya tersebut terdapat nilai-nilai
kerifan lokal
Di dalam nilai- nilai kearifan lokal tersebut, tersirat banyak makna yang
berarti bukan hanya sebagai aturan melainkan sebagai prinsip para manusia pada
zaman dahulu dalam menggali ilmu pengetahuan.
Di daerah saya sendiri begitu banyak kearifan lokal yang menjadi dasar
prinsip dalam menjalankan kehidupan mereka.
Pada kesempatan kali ini saya akan berbicara memaparkan kearifan lokal
yang dimiliki oleh daerah saya yaitu Kecamatan Tombolopao Kabupaten Gowa
B.Rumusan Masalah
1. Kearifan lokal apa yang dimiliki oleh masyarakat kab. Gowa ?
2. Apa makna dari dari kearifan local tersebut?
3. Apa Hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
C.Tujuan Penelitian
Untuk mangetahui makna dari kearifan local daerah tersebut, dan mengetahui
hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
D. Manfaat
Dari kearifan local masyarakat terdahulu, kita dapat mengetahui apa prinsipprinsip yang dipegang oleh orang dahulu kala dan hubunganya perkembangannya
dengan ilmu pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Filsafat yang dimiliki oleh masyarakat Makassar
Pada umumnya masyarakat Gowa bersuku Makassar. Berikut adalah beberapa
filsafat yang dimiliki orang Makassar.
KUSORNNA BISEANGKU
KUCAMPANA SOMBALAKKU
TAMMAMELOKKA
PUNNA TEAI LABUANG
Artinya:
Ketika perahuku kudorong
Ketika layarku kupasang
Aku takkan menggulung (layarku)
Kalau bukan labuhan(tempat berlabuh)
(Sumber: Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata GOWA, Syahrul Yasin Limpo,SH)
Ketika para pelaut telah membawa kapalnya ke lautan, dengan susah payah
mereka mereka bergotong royong mendorong kapalnya kelautan, membentangkan
layar yang sangat besar, namun mereka tidak akan berhenti dan menggulung
layarnya kembali sebagai tanda berhenti dan beristirahat sebulum mereka
mendapat tempat berlabuh mereka.
Hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah janganlah berhenti , jangan
pernah menyarah pada tempat yang bukan menjadi tempat tujuanmu, sebelum
mendapatkan apa yang kamu inginkan dan kamu dicita-citakan.
SEREJI KUPALA RIJULU BORIKKU
MANASSA SIRIKAJI TOJENG
Artinya:
Hanya satu yang kudambakan
Bagi sesama rumpun keluargaku
Bahwasanya siri adalah harkat
Penentu harga diri setiap orang
Apabila siri sudah ternoda
Punahlah pula segalanya
(Narasumber: Sitti Harmawatih)

1.
2.
3.
4.
5.

Siri adalah hal yang perlu di jaga pada diri setiap individu untuk menjaga apa
yang telah menjadi landasan berkepribadian, yang menjadi penentu bagaimana harga
diri seseorang Yang menjadikan derajat tinggi rendahnya orang tersebut. Karena
ketika siri telah rusak maka derajat dan martabat kita akan rusak
PUNNA TENA SIRINU
PANIAKKI PACCENU
Artinya:
Kalau anda tak memiliki harga diri
Tunjukkanlah kesetia-kawananmu
Sirik memiliki 4, makna yaitu:
Sirik yang dalam hal pelanggaran kesusilaan
Sirik yang berakibat criminal
Sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja
Sirik yang berarti malu-malu
Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat dan harga
diri manusia
Sedangkan Pacce secara harfiah perasaan pedih dan perih melihat penderitaan
orang lain.Artinya orang akan merasa sakit ,sedih, apabila dia hanya bisa melihat
penderitaan orang lain. Maksudnya adalah begemana keperdulian kita terhadap
orang-orang di sekitar kita ketika mereka sedang dalam kesusahan.
(Sumber: Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata GOWA, Syahrul Yasin Limpo,SH)
Sirik yang ketiga adalah sirik yang berperan penting dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Bahwa semakin banyak orang tersebut bermotivasi maka samakin
besar peluangnya menjadi sukses, karena motivasi akan mendorong seseorang untuk
berkarya dan membuktikan bahwa mereka bisa menjadi orang yang sangat luar
biasa.
TAKUNJUNAGA BANGGUTUR
NAKUGUNCIRI GULINGKU
KUALLEANNA TALLANGA
NA TOALIA
Artinya:
Tidak begitu saja aku ikut angin buritan
Dan aku putar kemudiku
Lebih baik aku pilih tenggelam
Dari pada balik haluan

Falsafah tersebut digunakan oleh para pelaut pada zaman dahulu, ketika angin
buritan menghadang mengancam keselamatan mereka. Mereka tetap pada satu
haluan.Para
pelautmemilih tenggelam dari pada pulang tanpa membawa hasil.
(Narasumber: Muhammad Yusuf)
Maksud dari falsafah di atas adalah dimana seseorang selalu berusaha dan
terus berusaha walaupun rintangan ada di hadapan mereka , mereka tetap berjuang
pantang mundur hingga apa yang di inginkan didapatkan.
Hubungan falsafah tersebut terhadap ilmu pengetahuan adalah tetaplah
berusaha jangan pantang menyerah hingga semua pertanyaan yang membuatmu
pusing bisa terpecahkan.
BAJIKKANGNGANGI MATEYA
RIPARASANGANNA TAUWWA NAKANRE
GALLANG-GALLANG
NA AMMOTEREKA TANGGERANG WASSELE
Artinya:
Lebih baik mati
Dinegeri orang dimakan cacing tanah
Daripada kembali tanpa membawa hasil
Maksud dari falsafah di atas adalah jika merantau lalu pulang tanpa hasil,
akibatnya akan di cemohkan oleh masyarakat di derahnya, tapi jika iya meraih
sukses maka iya dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnnya.
(Sumber: Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata GOWA, Syahrul Yasin Limpo,SH)
Inilah yang mendorong seseorang untuk ,membuktikan bahwa iya berhasil.
Menemukan hal yang berguna. Dia akan menjadi bangga terhadap apa yang
ditemukannya, dan tidak akan mempermalukan diri dan keluarganya.
B.Bangunanyang dimilliki oleh masyarakat GOWA
Balla Lompoa Ri Gowa
Ballak lompoa mempunyai nilai religious yang berpedoman pada falsafah
hidup manusia . Bahwa masyarakat gowa memiliki pandangan kosmologis dan berfikir
bahwa hidup ini hanya tercapai bila anatara makrokosmos dan mikrokosmos
senantiasa terjadi hubungan harmonis.
Atas dasar falsafah inilah tercermin dalam rumah adat Makassar gowa.
Misalnya saja pandangan bahwa alam semesta ini secara horizontal bersegi
empat(Sulapak Appak), pandangan ini tercermin dalam bentuk tiang rumah serta

area tanah yang di tempati. Juga kejadian manusia yang terdiri dari 4 unsuryaitu
air, tanah,udara, api .
Raya terdiri dari tiga susun, yakni dunia atas, tengah,dan bawah. Hal ini
tercermin pada bagian rumah yaitu loteng (pamakkang), bagian tengahyang
merupakan badan rumah(kale balla), dan bagian kolongrumah (siring). Terdapat
tiangdi tengah rumah yang disebut pocci balla(pusat rumah).
(Sumber: Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata GOWA, Syahrul Yasin Limpo,SH)
Dari lambang-lambang tersebut dapat kita ketahui bahwa masyarakat
terdahulu telah mengetahui bagaimana kehidupan manusia dan alam semesta.
Mereka telah mempelajari dan membuktikan betapa alam semesta itu terbagi-bagi.
Kemudian mereka lambangkan pada model rumah agar mereka dapat mengingt dan
mempelajarinya secara lebih mendalam.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Bahwa sejak zaman dahulu nenek moyang kita telah menggunakan banyak
budaya yakni kearifan lokal untuk menggali ilmu pengetahuan. Semua dibuktikan di
dalam penggunaan prinsip-prinsip dan berbagai bangunan.
B.Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

NUUNWALQALAMI WAMAYASTURUUN
WASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH

BAB I

A.PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan
keunikannya. Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebudayaan
yang majemuk dan sangat kaya ragamnya. Indonesia sendiri terdiri dari berbagai
suku bangsa, yang mendiami belasan ribu pulau. Masing-masing suku bangsa memiliki.
keanekaragaman budaya tersendiri. Di setiap budaya tersebut terdapat nilai-nilai
kerifan lokal
Di dalam nilai- nilai kearifan lokal tersebut, tersirat banyak makna yang
berarti bukan hanya sebagai aturan melainkan sebagai prinsip para manusia pada
zaman dahulu dalam menggali ilmu pengetahuan.
Di daerah saya sendiri begitu banyak kearifan lokal yang menjadi dasar
prinsip dalam menjalankan kehidupan mereka.
Pada kesempatan kali ini saya akan berbicara memaparkan kearifan lokal
yang dimiliki oleh daerah saya yaitu Kecamatan Tombolopao Kabupaten Gowa
B.Rumusan Masalah
4. Kearifan lokal apa yang dimiliki oleh masyarakat kab. Gowa ?
5. Apa makna dari dari kearifan local tersebut?
6. Apa Hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
C.Tujuan Penelitian
Untuk mangetahui makna dari kearifan local daerah tersebut, dan mengetahui
hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
D. Manfaat
Dari kearifan local masyarakat terdahulu, kita dapat mengetahui apa prinsipprinsip yang dipegang oleh orang dahulu kala dan hubunganya perkembangannya
dengan ilmu pengetahuan.

BAB II

PEMBAHASAN
A.Filsafat yang dimiliki oleh masyarakat Makassar
Pada umumnya masyarakat Gowa bersuku Makassar. Berikut adalah beberapa
filsafat yang dimiliki orang Makassar.
KUSORNNA BISEANGKU
KUCAMPANA SOMBALAKKU
TAMMAMELOKKA
PUNNA TEAI LABUANG
Artinya:
Ketika perahuku kudorong
Ketika layarku kupasang
Aku takkan menggulung (layarku)
Kalau bukan labuhan(tempat berlabuh)
Ketika para pelaut telah membawa kapalnya ke lautan, mereka tidak akan
berhenti sebulum mereka mendapat tempat berlabuh mereka.
Hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah janganlah berhenti sebelum
mendapatkan apa yang dicita-citakan.
SEREJI KUPALA RIJULU BORIKKU
MANASSA SIRIKAJI TOJENG
Artinya:
Hanya satu yang kudambakan
Bagi sesama rumpun keluargaku
Bahwasanya siri adalah harkat
Penentu harga diri setiap orang
Apabila siri sudah ternoda
Punahlah pula segalanya
PUNNA TENA SIRINU
PANIAKKI PACCENU
Artinya:
Kalau anda tak memiliki harga diri
Tunjukkanlah kesetia-kawananmu

6.
7.

Sirik memiliki 4, makna yaitu:


Sirik yang dalam hal pelanggaran kesusilaan
Sirik yang berakibat criminal

8.
9.

Sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja


Sirik yang berarti malu-malu
Sedangkan Pacce secara harfiah perasaan pedih dan perih melihat penderitaan
orang lain.
Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat dan
harga diri manusia
Sirik yang ketiga adalah sirik yang berperan penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Bahwa semakin banyak orang tersebutv
bermotivasi maka samakin besar peluangnya menjadi sukses.
TAKUNJUNAGA BANGGUTUR
NAKUGUNCIRI GULINGKU
KUALLEANNA TALLANGA
NA TOALIA
Artinya:
Tidak begitu saja aku ikut angin buritan
Dan aku putar kemudiku
Lebih baik aku pilih tenggelam
Dari pada balik haluan
Falsafah tersebut digunakan oleh para pelaut pada zaman dahulu, ketika angin
buritan menghadang mengancam keselamatan mereka. Mereka tetap pada satu
haluan.Para pelautmemilih tenggelam dari pada pulang tanpa membawa hasil.
Maksud dari falsafah di atas adalah dimana seseorang selalu berusaha dan
terus berusaha walaupun rintangan ada di hadapan mereka , mereka tetap berjuang
pantang mundur hingga apa yang di inginkan didapatkan.
Hubungan falsafah tersebut terhadap ilmu pengetahuan adalah tetaplah
berusaha jangan pantang menyerah hingga semua pertanyaan yang membuatmu
pusing bisa terpecahkan.
BAJIKKANGNGANGI MATEYA
RIPARASANGANNA TAUWWA NAKANRE
GALLANG-GALLANG
NA AMMOTEREKA TANGGERANG WASSELE
Artinya:
Lebih baik mati
Dinegeri orang dimakan cacing tanah
Daripada kembali tanpa membawa hasil

Maksud dari falsafah di atas adalah jika merantau lalu pulang tanpa hasil,
akibatnya akan di cemohkan oleh masyarakat di derahnya, tapi jika iya meraih
sukses maka iya dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnnya.
Inilah yang mendorong seseorang untuk ,membuktikan bahwa iya berhasil.
Menemukan hal yang berguna. Dia akan menjadi bangga terhadap apa yang
ditemukannya, dan tidak akan mempermalukan diri dan keluarganya.

B.Bangunanyang dimilliki oleh masyarakat GOWA


Balla Lompoa Ri Gowa
Ballak lompoa mempunyai nilai religious yang berpedoman pada
falsafah hidup manusia . Bahwa masyarakat gowa memiliki pandangan kosmologis
dan berfikir bahwa hidup ini hanya tercapai bila anatara makrokosmos dan
mikrokosmos senantiasa terjadi hubungan harmonis.
Atas dasar falsafah inilah tercermin dalam rumah adat Makassar
gowa. Misalnya saja pandangan bahwa alam semesta ini secara horizontal
bersegi empat(Sulapak Appak), pandangan ini tercermin dalam bentuk tiang
rumah serta area tanah yang di tempati. Juga kejadian manusia yang terdiri
dari 4 unsuryaitu air, tanah,udara, api .
Raya terdiri dari tiga susun, yakni dunia atas, tengah,dan bawah.
Hal ini tercermin pada bagian rumah yaitu loteng (pamakkang), bagian
tengahyang merupakan badan rumah(kale balla), dan bagian kolongrumah
(siring). Terdapat tiangdi tengah rumah yang disebut pocci balla(pusat rumah).
Dari lambang-lambang tersebut dapat kita ketahui bahwa
masyarakat terdahulu telah mengetahui bagaimana kehidupan manusia, dan
alam semesta karena mereka telah banyak belajar dan telah membuktikan
bahwa alam semesta itu sangat luas. Dan untuk mengingat apa yang telah
mereka pelajari, semua itu mereka lambangkan pada model rumah yang menjadi
istana atau rumah besar tempat berkumpulnya raja-raja, bangsawan, dan
rakyatnya.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Bahwa sejak zaman dahulu nenek moyang kita telah menggunakan
banyak budaya yakni kearifan lokal untuk menggali ilmu pengetahuan. Semua
ibuktikan di dalam penggunaan prinsip-prinsip dan berbagai bangunan.
B.Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

NUUNWALQALAMI WAMAYASTURUUN
WASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH

http://rahmaningsi.blogspot.co.id/2014/04/kearifan-lokal-masyarakat-maritim.html

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MARITIM


SULAWESI SELATAN (MAKASSAR)
TUGAS KELOMPOK
MAKALAH WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MARITIM SULAWESI


SELATAN
MUH. FADIEL HAMID
RAHMA NINGSI
WAHYU ARIANTO

UNIT PELAKSANA MATA KULIAH UMUM


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, karena atas rahmat, taufik, dan
hidayah-Nylah sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Wawasan Sosial Budaya Maritim
(WSBM)

Mengenai Kearifan

Lokal

Masyarakat

Maritim

Sulawesi

Selatan sebagai salah satu syarat untuk lulus mata kuliah ini.
Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
meluangkan waktunya untuk membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Serta terima
kasih kepada teman-teman atas kerja samanya dlam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini, tentu masih terdapat beberapa
kesalahan dan amsih jauh dari yang diharapkan. Maka dari itu, kami membutuhkan kritik dan
saran yang bersifa membangun, agar kedepannya dapat mencapai kesempurnaan.
Akhir kata, semoga Makalah ini dapat digunakan dan dimanfaatkan bagi kita semua.
Amin.
Makassar,

April 2013

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Garna (1994), sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang
berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama.
Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), Sistem sosial merupakan proses interaksi di
antara pelaku sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya
ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya interaksi.
Dari berbagai definisi budaya, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu
sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku
dan benda-benda yang bersifat nyata (konkrit), misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial,
dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri

serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia
dalam bermasyarakat.
Sistem kemasyarakatan kearifan lokal Bugis-Makassar, terbagi atas tiga tingkatan (kasta).
Pertama:

karaeng

(Makassar),

menempati

kasta

tertinggi

dalam

stratifikasi

sosial

kemasyarakatan. Mereka adalah kerabat raja-raja yang menguasai ekonomi dan pemerintahan.
Kedua: tu maradeka (Makassar), merupakan kasta kedua dalam sistem kemasyarakatan
Bugis-Makassar. Mereka adalah orang-orang yang merdeka (bukan budak atau ata). Masyarakat
Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mayoritas berstatus kasta ini.
Ketiga: ata, sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Mereka adalah budak/abdi yang
biasanya diperintah oleh kasta pertama dan kedua. Umumnya mereka menjadi budak lantaran
tidak mampu membayar utang, melanggar pantangan adat, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, sebagai sunnatullah, sistem kerajaan runtuh dan digantikan
oleh pemerintahan kolonial, stratifikasi sosial masyarakat Bugis-makassar berangsur luntur. Hal
ini terjadi karena desakan pemerintah kolonial untuk menggunakan strata sosial tersebut. Selain
itu, desakan agama (Islam) yang melarang kalsifikasi status sosial berdasarkan kasta. Pengaruh
ini terlihat jelas menjelang abad 20, dimana kasta terendah, atamulai hilang. Bahkan, sampai
sekarang kaum ata sudah sulit ditemukan lagi, kecuali di kawasan pedalaman yang masih sangat
feodal.
Setelah Indonesia merdeka, 2 kasta tertinggi, yaitu ana karaeng dan tu maradekajuga
berangsur mulai hilang dalam kehidupan masyarakat. Memang pemakaian gelar ana karaeng,
semisal Karaenta, Petta, Puang, dan Andi masih dipakai, tetapi maknanya tidak sesakral zaman
kerajaan. Pemakaian gelar kebangsawanan tersebut tidak lagi dipandang sebagai pemilik status
sosial tertinggi.
Dalam sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat
seperti : Sipaanakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta Sambori.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain,
bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Sirik na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan
untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya,
sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam
penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi Punna tena siriknu, paccenu

seng paknia (kalau tidak ada sirimu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce
sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut
bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial,
dan hanya mau menang sendiri.
Sistem sosial, kekerabatan dan nilai-nilai budaya yang dipaparkan di atas juga terdapat
dan termanifestasi di daerah pesisir Makassar sejak dahulu hingga kini.

BAB II
PEMBAHASAN

Nilai-nilai Budaya dan Roh Keberlanjutan Sumber Daya Laut (SDL)


Pada pembahasan kearifan lokal masyarakat maritim sulawesi selatan pada pesisir
Makassar. Sepertinya Patorani (Nelayan penangkap Ikan terbang dan telurnya) yang banyak di

pesisir pantai Galesong dan Barombong cukup kapabel untuk menggambarkan nilai budaya
masyarakat pesisir Makassar. Karena budaya patorani masih berlangsung hingga kini, selain itu
hasil tangkapan (telur ikan terbang) di ekspor, penangkapan ikan terbang juga tergolong unik,
karena hanya dilakukan pada musim kemarau dengan alat tradisional.
Menurut para ahli, di Indonesia terdapat 18 jenis ikan terbang, dan 10 diantaranya hidup
diperairan Sulawesi selatan dan wilayah timur Indonesia. Menurut McKnight (1976) Indonesia
adalah pengekspor teripang dan telur torani tertua didunia, saat Belanda mengalahkan Makassar
di Buton tahun 1667, dan membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak di antara
mereka melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan kembali dengan memuat tangkapan
hasil laut termasuk teripang. Bukti lain yang mendukung sejarah ini adalah catatan Flinder dan
Pobaso di tahun 1803, yaitu tentang nelayan Makassar yang sudah sejak 20 tahun sebelumnya
berlayar mencari ikan terbang ke pulau-pulau sekitar Jawa sampai ke daerah kering yang terletak
di selatan Pulai Rote dan Pantai Kimberly, Australia Barat (Clark, 2000; Mc Knight 1976).
Dari sisi teknologi penangkapan tradisional yang mereka pertahankan itu, hanya
menggunakan gillnet (jarring insang) dan pakkaja, sedangkan untuk menangkap telurnya
digunakan pakkaja dan bale-bale. Penangkapan dilakukan empat atau lima trip, dan setiap trip
sekitar satu bulan dengan jumlah nelayan tiga atau empat orang. Setiap kapal pattorani membawa
bale-bale sekitar 400-1.000 lembar (Safrudin Sihotang, 2008).
Sisi menariknya adalah penggunaan teknologi dan pengetahuan tradisional(kearifan
lokal) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi
mereka tetap dipertahankan walau pengaruh teknologi modern begitu kuat mempengaruhinya.
Struktur sosial masyarakt nelayan ikan terbang memiliki garispatrilineal dengan bentuk
kerjasama berdasarkan sistem patron klien yang tetap terpelihara.
Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain
antara paplele (pinggawa

darat), juragong (pinggawa

taut)

dan sawi (pekerja/buruh)

yang

berkisar pada kepentingan-kepentingan untuk saling mendukung dan sating memeriukan dalam
lingkungan unt uk beraktivitas sebagai kcmunitas nelayan patorani. lama kelamaan pranatapranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan datam arti sudah melembaga di dikalangan
patorani, selanjutnya terbentuklah suatu organisasi yang disebut popolele_ pinggowa don sawi.
Menurut mereka, sistem nilai budaya yang berujud siri' dan pesse bahkan menjadi jiwa
bagi empat kelompom etnik besar di Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan
Toraja. Siri' merujuk pada budaya rasa-malu yang mendorong dinamika masyarakat. Menurut
Hamid (2007:7) siri' mendorong munculnya kreativitas dan prestasi, serta rasa malu kalau

berbuat salah dan mengingkari janji atau disiplin. Walapun demikian, menurutnya, sekarang ini
pengertian siri' bergeser pada konsep martabat atau harga diri bahkan seringkali secara sempit
diartikan sebagai ketersinggungan. Sementara pesse atau pacce mengandung implikasi berikut
dari siri' yang berupa rasa solidaritas (Farid 2007:28-29). Pacce merupakan suatu perasaan sedih
yang menyayat hati apabila ada sesama warga, keluarga atau kawan tertimpa kemalangan. Rasa
ini mendorong orang untuk menolong dan membantu sesamanya.
Umumnya masyarakat nelayan pesisir pantai Galesong dan Barombong masih percaya
sepenuhnya bahwa lautan itu adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran
agama Islam yang mereka yakini dan anut secara resmi.
Merekapun tahu bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk lautan berada
di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, namun secara tradisional warga masyarakat yang
bersangkutan mempunyai pula kepercayaan, bahwa Tuhan yang disebutnya Koraeng Allah Taala
telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan kepadaNabi Hellerek.
Nelayan Mandar pun meyakini juga akan keberadaan Nabi Khaidir dalam struktur dunia
gaib, dimana menempatkannya diurutan pertama sebagai pemimpin dan penguasa laut.
Sementara makhluk-makhluk halus lainnya dianggap sebagai anggota di bawah kekuasaan dan
perintah Nabi Khaidir. (Arifuddin Ismail, 2007:92).
Masyarakat nelayan patorani (penangkap ikan terbang /tuing-tuing) membutuhkan
persiapan- persiapan:
1.

Tahap perencanaan ;

mencari waktu baik, menentukan sawi, persiapan dan pemeliharaan peralatan, persiapan bekal
nelayan (bokong), kelengkapan surat-surat.
2.

Tahap operasional
Sebelum berangkat Punggawa laut membaca Pakdoangan (doa) yang disebutnya sebagai

bagian dari erang pakboya-boyang juku. Adapun isi dari pakdoangang sebagai berikut:
"Irate rammang makdonteng, kupailalang sorongang. Naungkomae, pirassianga
tangngana biseangku. Rossi ipantarang, rassi ilalang. Oh ....... , Nabbi. sareanga dalleku ri Allah
Taalah, siagang Nabi Muhammad. Oh ........ , Nabbi Pakere, Nabbi Hedere, sareanga mange
dallekku ri Allah Taalah, siagang Nabbi Muhammad
Artinya : Di atas awan menggumpal, dengan penuh harapan. Turunlah, penuhilah perahuku.
Penuh di luar, penuh di dalam. Wahai .... Nabi (Dewa-dewa ikan), berikan rezeki dari Allah SWT

bersama Nabi Muhammad. Wahai..... Nabi Pakere, Nabi Haidir, berikan juga rezekiku dari Allah
bersama Nabi Muhammad.
"lkau makkalepu, areng tojennu ri Allah Taalah. Boyangak dallekku battu ri Allah Taala.
Malewai ri kanang, I Mandacingi ri kairi. Tallangpi lina, kutallang todong. Jai leko rilino. Jai
tongi dallekku ri Allah Taala. 0 ..... , Nabbi Hellerek. Allei dalleknu. Palakkang tongak dollekku.
Artinya: Engkau yang sempurna. Nama aslimu dari Allah Taala. Carikan rezekiku dari Allah. Si
penegak di sebelah kanan, Si penyeimbang disebelah kiri. Tenggelam dunia, kutenggelam juga.
Banyak daun di dunia, Banyak juga rezekiku dari Allah. Oh ... , Nabi Khaidir, Ambillah
rezekimu, mintakan juga rezekiku.
Dan masih banyak lagi doa-doa lainnya, yang pola umumnya mengharapkan Ridho
Allaw swt melalui perantara Nabi (Tawassul).
3.

Tahap pengangkutan produksi dan pemasaran.


Tradisi yang berlangsung hingga kini di masyarakat pesisir patorani yaitu ritual

Patorani, Pantangan, ranah suci Patorani, Pappasang (Akkareso, Barani, Assitulung-tulung dan
Siri Na Pacce).
Sudah menjadi kebiasaan sebelum Patorani berangkat melaut melakukan ritual Doa
Patorani , membaca bait doa sebelum berangkat berlayar. Ikau irumpa, areng tojennu ri
Allah Taala. Inakke bitti riukkung, areng tojengku ri Allah Taalah. Ri langi tumabbuttanu
.
Pada bait ini mengungkapkan tentang makna hakiki dari perahu yang digunakan untuk
beroperasi. Ungkapan itu merupakan pandangan yang menunjukkan bahwa, perahu itu pada
dasarnya menyerupai manusia yang diciptakan atas keinginan Tuhan. Oleh sebab itu, setiap
perahu yang ingin
digunakan untuk beroperasi oleh kelompok pattorani maka punggawa laut harus dapat
berkomunikasi secara batin dengan perahunya. dalam komunikasi ini, keduanya saling
memperkenalkan eksistensinya masing-masing. Di samping itu, punggawa laut sudah dapat
mengetahui apakah perahu itu bersedia untuk mengantar dan menjaga keselamatan seluruh
anggota kelompok dalam operasi pengumpulan produksi, ataukah sebaliknya. Selama dalam
perjalanan menuju lokasi penangkapan, punggawa laut pada saat tertentu melakukan komunikasi
secara batin dengan mengharapkan fungsi perahu dapat berjalan sesuai dengan harapan-harapan

yang ada. Harapan-harapan tersebut merupakan perwujudan dari kategori kearifan lokal.
(Akzam Amir, 2011).
Areng tojennu ri Allah Taala. Allah Taala ampakjariko biseang. Allah Taala behupahi. I
bungan daeng riboko. Bunga intang ritangngana. Rimpaki dalleknu. Ri Allah Taala.
siagang Nabbi Muhammad.
Pada bait ini, juga termasuk kearifan lokal. Dalam bait ini, punggawa perahu atau
punggawa laut menyampaikan atau memberitahukan kepada perahu bahwa sebenarnya nama asli
perahu ada di tangan Allah yang menciptakanmu. Berusahalah mencari rejeki yang diberikan
kepadamu oleh Allah dan Nabi Muhammad. (Akzam Amir, Unhas, 2011).
Di masyarakat pesisir Barang Lompo melakukan upacara Parappo yakni upacara ritual
yang dilaksanakan oleh para nelayan sebelum turun ke laut, dan upacara Karangan yakni upacara
ritual yang dilakukan oleh para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh hasil yang
berlimpah.
Dahulu kala bahkan dibeberapa tempat tertentu, tradisi membagikan hasil tangkapan ke
tetangga-tetangga masih berlangsung sebagai wujud kesyukuran dan semangat berbagi dengan
sesama. Namun seiring perkembangan zaman, merebaknya budaya kapitalis, banyak nelayan
atau Papalele, atau eksportir yang sedikit menggerus tradisi berbagi dikalangan para nelayan.

BAB III
PENUTUP

Sistem Sosial Budaya merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata
sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara
mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam bermasyarakat.
Sistem sosial dan nilai budaya masyarakat pesisir Makassar sejak dahulu kala mampu
menjadi kekuatan untuk bertahan hidup, dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan
komoditas tertentu bisa menajdi komoditas ekspor. Selain itu nilai budaya yang menunjukkan
penyerahan diri total kepa Allaw SWT dalam melakukan aktivitas ekonomi dapat menjadi
formula untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya laut. Hal ini merupak wujud
semangat Akkareso (Makkareso) dengan menjaga harmoni semesta Tuhan-Alam-Manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Anonima, 2011.
Kebudayaan
Suku
Bangsa
Bugis
Makassar. http://texbuk.
blogspot.com/2011/11/kebudayaan-suku-bangsa-bugis-makassar_1709.html .
Anonimb, 2010. Pasompe jiwa pelaut pedagang Bugis. http://www.rappang. com/2010/02/pasompejiwa-pelaut-pedagang-bugis.html?m=0
Adisasmita, Rahardjo, Pengembangan Ekonomi Maritim, Universitas Hasanuddin.2010.
Alfian Noor, dkk. Radioaktivitas Lingkungan Pantai Makassar: Pemantauan unsur Torium (th) dan
Plutonium (pt) dalam Sedimen Makassar. UNHAS-Pusdiklat BATAN Jakarta. 2001
Arifin Taslim, dkk., (2012), Riset Pendekatan Ekologi-Ekonomi Untuk Peningkatan Produktivitas
Pertambakan Udang Di Kawasan Selat Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Kementerian
Kelautan Dan Perikanan
Lampe Munsi, Strategi-strategi Adaptif Nelayan: Studi Antropologi Nelayan. Essai Antropologi-IKA
Press, Unhas. 1992
Mahmud,lrfan M. (ed), Tradisi, laringan Maritim, Sejarah-Budaya: Perspektif Etnoarkeologi-Arkeologi
Sejarah. Lembaga Penerbttan Universitas Hasanuddin (Lephas). 2002.
____, Memanfaatkan Potensi Sosial Budaya Lokal untuk Pengembangan Manajemen Perikanan Lout
Berbasis Masyarakat. Makalah, Jurnal Antropologi lndonesia-Fisip UI-Fisip Unhas. 2000.
Nasruddin., Kearifan Lokal dalam Penangkapan Telur Ikan Torani sebagai Komoditas Ekspor pada
Masyarakat Pesisir di Galesong, Sulawesi Selatan. Kementistek, 2010
------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Disertasi.
Wahyudin, Yudi., Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.

http://www.ilmusemesta.com/2014/05/konsepsi-konsepsi-tentang-kearifanlokal.html
KONSEPSI KONSEPSI TENTANG
KEARIFAN LOKAL
Strategi Pembelajaran Fisika
KEARIFAN LOKAL MEMBENTUK PEMBELAJAR YANG BERKEPRIBADIAN
A. Konsepsi Jenjang Belajar
Konsepsi jenjang belajar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu belajar sejak bayi masih
dalam kandungan (0 9 bulan), jenjang belajar berdasarkan umur, dan jenjang belajar
berdasarkan tingkatan hidup manusia. Pembelajaran kepada bayi yang masih ada di dalam
kandungan dilakukan secara tidak langsung melalui pendidikan orang tuanya. Berdasarkan
jenjang umur, ada lima jejang belajar, yaitu pembelajaran nilai dan sikap pada umur 0 5 tahun,
pengenalan pemerintahan pada umur 5 7 tahun, belajar menulis awal hingga memahami isi
bacaan pada umur 7 15 tahun, belajar bersama pada umur lebih dari 16 tahun, dan belajar
sendiri yang dimulai sesudah menikah. Berdasarkan tingkatan hidup manusia, jenjang belajar
dibedakan dalam empat jenjang yang dikenal dengan Catur Asrama, yang terdiri
atas brahmacari, grahasta, wanaprasta, dan biksuka. Dalam tiap-tiap jenjang tersebut belajar
dilakukan secara proporsional. Apabila tingkatan belajar tersebut dihubungkan dengan usia
harapan hidup kurang lebih 75 tahun, maka proporsi kegiatan belajar pada tiap-tiap jenjang dapat
dinyatakan sebagai berikut. Pertama, pada masabrahmacari dengan proporsi utama belajar
menuntut ilmu pengetahuan (umur 0 18 tahun). Kedua, pada masa grahasta dengan proporsi
utama belajar membina dan menghidupi rumah tangga (umur 19 50 tahun). Ketiga, pada
masa wanaprasta dengan proporsi utama belajar untuk meningkatkan pengetahuan spiritual
(umum 51 65 tahun). Keempat, pada masa biksuka dengan proporsi utama belajar untuk
melakukan penyerahan diri secara penuh kepada Tuhan (umur 66 75 tahun).
B. Konsepsi Disiplin Belajar
Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata didik dan mendapat
imbuhan pe dan akhiran an, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan
mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran
dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang
pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,

adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Sedangkan pengertian pendidikan menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus
(abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara
fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan adalah Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada
perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.
Filosofi:
La Taddampare Puang Rimaggalatung, Arung Matowa Wajo ke-IV (1491-1521).
Mengajarkan sebuah filosofi kepemimpinan, monriyolo patiroangngi, monri tengnga paragaragai, monri onri paampii. Arti ungkapan galigo ini sama persis dengan filosofi kepemimpinan
Jawa ala Ki Hajar Dewantara. Didepan menuntun, ditengah membimbing, dibelakang
mengarahkan.
Disematkannya slogan tut wuri handayani tidak terlepas dari unjuk kerja Ki Hajar
Dewantara. Sekembalinya dari pengasingannya di Belanda (1918), Ki Hajar Dewantara
mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya lainnya,
Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan
Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922.
Inilah yang membedakannnya dengan Puang Rimaggalatung. Puang Ri Maggalatung belum
mampu mewujudkan pemikirannya dalam bentuk unjuk kerja. Berbeda dengan Ki Hajar
Dewantara yang sukses mendirikan Taman Siswa.
Pada jamannya, jaman Puang Rimaggalatung. Kesadaran masyarakat akan sebuah
pendidikan serupa pendidikan formal belum meluas. Puang Rimaggalatung juga tidak dapat
rejeki diasingkan ke negeri Belanda. Ia juga tak pernah mengenyam pendidikan formal serupa.
Tapi, berbaris pemikiran dan petuahnya yang termuat dalam bait-bati Galigo menjadi acuan dan
anutan banyak Raja-Raja Bugis-Makassar-Mandar-Toraja (BMMT). Tak jarang, ia dan lontaran
pemikirannya beradu kebijakan dengan cerdik cendikia sekelas Nene Mallomo (Sidenreng), To
Ciung (Luwu), Arung Bila (Soppeng), La Mellong (Bone).
Kearifan lokal/ keunggulan lokal dalam pendidikan
Keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang
mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain.
Sumber lain mengatakan bahwa Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya,
pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan

a.

b.

c.

d.

suatu daerah. Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Keunggulan Lokal (KL)
adalah suatu proses dan realisasi peningkatan nilai dari suatu potensi daerah sehingga menjadi
produk/jasa atau karya lain yang bernilai tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan
komparatif.
Keunggulan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah adalah potensi
sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah. Sebagai contoh potensi kota Batu Jawa Timur,
memiliki potensi budi daya apel dan pariwisata. Pemerintah dan masyarakat kota Batu dapat
melakukan sejumlah upaya dan program, agar potensi tersebut dapat diangkat menjadi
keunggulan lokal kota Batu sehingga ekonomi di wilayah kota Batu dan sekitarnya dapat
berkembang dengan baik.
Kualitas dari proses dan realisasi keunggulan lokal tersebut sangat dipengaruhi oleh sumber
daya yang tersedia, yang lebih dikenal dengan istilah 7 M, yaitu Man, Money, Machine,
Material, Methode, Marketing and Management. Jika sumber daya yang diperlukan bisa
dipenuhi, maka proses dan realisasi tersebut akan memberikan hasil yang bagus, dan demikian
sebaliknya. Di samping dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia, proses dan realisasi
keunggulan lokal juga harus memperhatikan kondisi pasar, para pesaing, substitusi (bahan
pengganti) dan perkembangan IPTEK, khususnya perkembangan teknologi. Proses dan realisasi
tersebut akan menghasilkan produk akhir sebagai keunggulan lokal yang mungkin berbentuk
produk (barang/jasa) dan atau budaya yang bernilai tinggi, memiliki keunggulan komparatif, dan
unik.
Dari pengertian keunggulan lokal tersebut diatas maka Pendidikan Berbasis Keunggulan
Lokal (PBKL) di SMA adalah pendidikan/program pembelajaran yang diselenggarakan pada
SMA sesuai dengan kebutuhan daerah, dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam,
sumber daya manusia, geografis, budaya, historis dan potensi daerah lainnya yang bermanfaat
dalam proses pengembangan kompetensi sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik.
Potensi Keunggulan Lokal
Konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasikan dari berbagai potensi, yaitu potensi
sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), geografis, budaya dan historis. Uraian
masing-masing sebagai berikut.
Potensi Sumber Daya Alam
Sumber daya alam (SDA) adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang
dapat didayagunakan untuk berbagai kepentingan hidup.
Potensi Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) didefinisikan sebagai manusia dengan segenap potensi yang
dimilikinya yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menjadi makhluk sosial yang
adaptif dan transformatif dan mampu mendayaguna- kan potensi alam di sekitarnya secara
seimbang dan berkesinambungan
Potensi Geografis
Objek geografi antara lain meliputi, objek formal dan objek material. Objek formal geografi
adalah fenomena geosfer yang terdiri dari, atmosfer bumi, cuaca dan iklim, litosfer, hidrosfer,
biosfer (lapisan kehidupan fauna dan flora), dan antroposfer (lapisan manusia yang merupakan
tema sentral)
Potensi Budaya

Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi
dengan sikap baik, masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme yang pada
hakekatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri khas budaya masing-masing
daerah tertentu (yang berbeda dengan daerah lain) merupakan sikap menghargai kebudayaan
daerah sehingga menjadi keunggulan lokal.
e. Potensi Historis
Keunggulan lokal dalam konsep historis merupakan potensi sejarah dalam bentuk peninggalan
benda-benda purbakala maupun tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Konsep historis
jika dioptimalkan pengelolaannya akan menjadi tujuan wisata yang bisa menjadi asset, bahkan
menjadi keunggulan lokal dari suatu daerah tertentu.
Disiplin belajar merupakan kesadaran diri yang muncul dari pribadi seseorang untuk terus
belajar. Dengan disiplin belajar, maka diharapkan sesorang belajar dengan suka cita atau tanpa
ada unsur paksaan. Pengaplikasian disiplin belajar tentu tidaklah semudah mendefinisikannya.
Hal ini dikarenakn seseorang harus terus bertanya kepada dirinya mengapa ia harus belajar dan
belajar. Karena untuk mampu disiplin dalam belajar memerlukan suatu perenungan untuk terus
bertanya pada diri mengapa saya harus belajar hingga orang tersebut memperoleh suatu alasan
yang mendalam dan memuat spiritualitas, emosi dan kognitif mengapa harus belajar.
Untuk menumbuhkan disiplin belajar ini, maka senantiasa dibutuhkan motivasi belajar
yang menjadi stimulan-stimulan kepada peserta didik untuk bisa tetap belajar. Orang BugisMakassar tidak dikenal dengan sikapnya dalam berusaha yang pantang untuk menyerah. Hal itu
terungkap dalam salah satu peribahasa Bugis-Makassar yang berbunyi Le'ba kusoronna
biseangku, kucampa'na sombalakku, tamassaile punna teai labuang (Kalau perahu telah
kudorong, layar telah terkembang, takkan berpaling kalau bukan pelabuhan).
Pepatah di atas mempunyai makna bahwa ketika telah ada kemauan maka seharusnya tidak
ada satupun yang bisa menghalangi kita untuk berhenti sampai tujuan akhir kita tercapai.
Menurut orang tua kita, jika cita-cita telah digantungkan maka tidak boleh berhenti mengejarnya
sebelum cita-cita itu kita gapai. Ibarat sebuah bahtera yang telah berlayar meninggalkan
dermaga, maka ia pantang kembali melainkan terus berlayar mengarungi lautan hingga
menemukan tempat berlabuh selanjutnya.
C. Konsepsi Guru
Menurut UU RI No. 14 Tahun 2005 Bab I pasal 1 ayat 1 tentang Guru dan Dosen, guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikananak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktoraktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran
agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman
dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis
yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa (1) tata aturan
yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar
individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat,
aturan perkawinan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari; (2) tata aturan menyangkut
hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya
konservasi alam; (3) tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib,

misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata
bijak, pepatah.
Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk
reka cipta ulang (institutional development) yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang
pernah berfungsi dengan baik dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu membangun
seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi
kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang terus menerus direvisi dan
direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat.
Perubahan ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur
pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up.
Kearifan lokal merupakan salah satu produk kebudayaan. Sebagai produk kebudayaan,
kearifan lokal lahir karena kebutuhan akan nilai, norma dan aturan yang menjadi model untuk
(model for) melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal merupakan salah satu sumber pengetahuan
(kebudayaan) masyarakat, ada dalam tradisi dan sejarah, dalam pendidikan formal dan informal,
seni, agama dan interpretasi kreatif lainnya. Diskursus kebudayaan memungkinkan pertukaran
secara terus menerus segala macam ide dan penafsirannya yang meniscayakan tersedianya
referensi untuk komunikasi dan identifikasi diri. Ketika gelombang modernisasi, globalisasi
melanda seluruh bagian dunia, maka referensi yang berupa nilai, simbol, pemikiran mengalami
penilaian ulang. Ada pranata yang tetap bertahan (stabil), tetapi tidak sedikit yang berubah,
sedang membentuk dan dibentuk oleh proses sosial
Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari
masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan
lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam
komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas
dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam
pembangunan peradaban masyarakatnya.
Di dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar terdapat nilai-nilai sosial yang
membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah dianut serta menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari, yaitu
1. Saling Menghargai (Sipakatau)
Saling Menghargai adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai
manusia. Sipakatauyang bermakna saling menghargai sebagai individu yang bermartabat. Nilainilai Sipakataumenunjukkan bahwa budaya Bugis-Makassar memposisikan manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara
baik. Semangat ini mendorong tumbuhnya sikap dan tindakan yang diimplementasikan dalam
hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan intersubyektifitas dan
saling menghargai sebagai sesama manusia. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi
landasan utama dalam membangun hubungan yang harmonis antarsesama manusia serta rasa
saling menghormati terhadap keberadaban dan jati diri bagi setiap anggota kelompok
masyarakat.
Konsep
Nilai
Sipakatau
Dalam budaya Bugis-Makassar Nilai-nilai Sipakatau memposisikan manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik yang
diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan

intersubyektifitas dan saling menghargai sebagai sesama pegawai maupun pegawai dengan
atasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa. Sipakatau (Saling Menghargai)
adalah sebagai individu yang bermartabat.
2. Harga Diri/Rasa malu dan Perikemanusian (Siri'na pacce)
Dalam pengertian harfiahnya, siri adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri ini akan berarti
harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila
dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan pengertian
kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol
dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan siri karena siri adalah dirinya
sendiri. Siri ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan
harga diri sebagai seorang manusia. Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih , dalam
makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat
membantu, humanisme universal. Jadi, pacce adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang
terbit dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap
hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce diarahkan keluar dari
dirinya, sedangkan siri diarahkan kedalam dirinya. Siri dan pacce inilah yang mengarahkan
tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai motor penggerak dalam
memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
a. Pengertian siri
Dalam pengertian harfiahnya, siri adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri ini akan
berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect)
apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan
pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih
menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan siri karena siri adalah
dirinya sendiri. Siri ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat,
kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia. Siri lebih sebagai sesuatu yang dirasakan
bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting
kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar.
Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji siri sebagai suatu
kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan siri yang
salah sasaran. Menurut mereka, siri seharusnya dan biasanya, memang seiring sejalan dengan
pacce (Makassar) / pesse (Bugis).
b. Pengertian pacce
Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna kulturalnya pacce berarti
juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme
universal. Jadi, pacce adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang
dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang BugisMakassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri
diarahkan kedalam dirinya. Siri dan pacce inilah yang mengarahkan tingkah laku
masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai motor penggerak dalam memanifestasikan
pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Melalui latar belakang pokok hidup siri na pacce inilah yang menjadi pola-pola tingkah
lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun
dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat.

Antara siri dan pacce saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak
dapat dipisahkan yang satu dari lainnya. Dengan memahami makna dari siri dan pacce, ada hal
positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah
ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap
sesama bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri dan pacceini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM)
yang mengamati bahwa keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat (justice is but
the interest of the stronger).
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam
konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan
hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat
tertentu. Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri na
pacce.
Siri na pacce dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala
aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan
tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri na pacce) ini sangat mempengaruhi
masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Siri yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar
adalah sesuatu yang dianggap sakral. Siri na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri na Pesse
(Bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar
dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang
kehilangan Sirinya atau Deni gaga Sirina, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan
sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo
koloe (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Sirimi Narituo (karena malu kita hidup).
Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri na pacce/pesse, maka keterikatan dan
kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain
yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang
berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi Sikap seorang guru
akan menjadi refleksi bagi peserta didiknya. Sikap yang baik tentu akan membawa energi positif
bagi murid-muridnya. Akan tetapi perilaku yang buruk tentu akan mendatangkan malapetaka
yang besar baik bagi dirinya maupun kepada lingkungan sekitarnya.
Untuk menjadi guru yang baik inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi kita semua.
Karena akan percuma jika guru hanya diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya
mengajar. Namun, sadar atau tidak, konsepsi guru ini sudah lama dikenal dalam kehidupan
Bugis-Makassar meskipun dikenal dengan istilah yang berbeda. Dalam kehidupan kita dikenal
panrita, gurutta, dan anre gurutta. Ketiganya berada dalam satu hierarki yang sama. Dan
anregurutta menempati urutan teratas dalam hierarki keulamaan suku Bugis-Makassar.
Salah satu pappasang yang menjadi pegangan agar bisa menjadi sosok guru yang memiliki
kepribadian ialah: Ikatte jarung naikambe bannang panjaik, kalaukko jarung namamminawang
bannang panjaik (Jarumlah engkau dan kami benang jahit, bergeraklah jarum maka benang
akan mengikuti).
Dalam kehidupan Bugis-Makassar, guru diibaratkan sebagai jarum yang senantiasa diikuti
oleh benang. Peserta didik ialah benang yang senantiasa taat kepada gurunya. Oleh karena itu

D.

1)
2)
3)
4)
5)

dalam kehidupan Bugis-Makassar, perilaku seorang peserta didik bisa merupakan refleksi dari
sikap peserta didiknya.
Hal ini dikarenakan hubungan emosional yang sanagat erat antara guru dengan masyarakat
Bugis-Makassar membuatnya menjadi sorotan baik dirinya maupun keluarganya. Oleh karena,
dalam kehidupan Bugis-Makassar seorang guru tidak hanya dilihat dari sisi keilmuannya akan
tetapi akhlakul karimahnya pun menjadi dominan dalam menilai anregurutta yang dalam
keseharian dikenal dengan istilah ampe-ampe madeceng.
Konsepsi Cara Mengajar
Dalam kehidupan Bugis-Makassar, seseorang hanya dinilai melaui amal atau hasil
karyanya. Hal ini digambarkan dalam pepatah makassar yang berbunyi Eja tonpi sedeng na
dowang (nanti merah baru dikatakan udang). Pepatah tersebut memiliki makna bahwa setiap
orang harus memiliki atribut yang bisa menjadi tanda pengenalnya. Atribut yang dimaksud
bukan papan nama dan sebagainya akan tetapi sebuah karya atau hasil kerja. Hal ini juga sering
diungkapkan dalam peribahasa Indonesi yang berbunyi harimau mati meninggalkan loreng,
gajah mati meninggalkan gading.
Selain itu, seorang pendidik juga diharapkan mampu mengaplikasikan apa diajarkannya
delam kehidupan sehari-harinya. Perkataan seorang pendidik harus selaras dengan perilakunya.
Hal ini tentu akan menjadi modal utama untuk menjadi pengajar dengan baik. Orang BugisMakassar menyebutnya Taro ada taro gau (Perkataan selaras dengan perbuatan). Dari
pepatah itu semoga bisa menjadi motivasi bagi pendidik untuk bisa memperbaiki kinerjanya agar
dia bisa dikenal dengan dedikasinya terhadap dunia pendidikan.
Seorang antropologi wanita bangsa Amerika dari Universitas California di tahun 1975
sampai dengan 1976 mengadakan penelitian di Luwu. Ia mengungkapkan : tidak ada moral yang
lebih penting buat orang Sulawesi Selatan daripada mempunyai siri sehingga seseorang yang
kurang sirinya maka dianggap kurang juga kemanusiannya. Erington mengemukakan pula, siri
tidak bersifat menentang saja, tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci.
Menurut pendapatnya, siri itu tidak dapat diterjemahkan dengan harga diri saja, tetapi
termasuk pula malu. Bagi orang yang tidak beragama, suka mencuri, bersifat tidak suci atau
kurang sopan dan dikategorikan kepada orang yang tidak memiliki unsur harga diri dan malu,
dan biasa disebut kurang siri. Sebagai contoh kata Erington Nampak jelas dalam cara orang
Sulawesi Selatan mendidik dan membesarkan anaknya. Dianggap sama sekali tidak baik
memukul anak, terutama menempelengnya.
Sebab menurut pendapat mereka, kalau sejak kecil sudah terbiasa ditempeleng orang maka
saat dewasa, ia tidak akan merasa tersinggung lagi kalau orang lain menghinanya. Masalah
kedua, nanti anak itu kurang siri-nya atau perasaan halusnya, karena sejak kecil dipaksa dengan
kekerasan melakukan kewajibannya dan akhirnya kurang siri.
Ketika La Mellong (Kajaolaliddo) bertugas sebagai pendidik anak-anak raja dan
bangsawan, maka tema pendidikan moral yang diberikannya meliputi lima hal utama, yaitu
kejujuran disertai taqwa (lemppu-E na-sibawang tya),
Kebenaran kata-kata (satunya kata dengan perbuatan)
keteguhan pada prinsip (siri nasibawangi getting),
Keberanian disertai kasih saying(Awariningeng nasibawangi nyamekki-ninnawa),
Mappesona Ri Dewata SeuaE (pasrah pada kekuasaan yang maha Esa).

Lima prinsip utama inilah yang mejadi tema pendidikan moral yang diberikan
Kajaolaliddo, yang secara dominan menguasai pemikiran-pemikiranya mengenai hukum,
kemasyarakatan, malahan juga dalam pembinaan kepribadian individu.
Cara-cara mengajar yang didemontrasikan adalah (1) menyuruh, (2) memberitahu, (3)
membimbing, (4) mendampingi, (5) memuji, dan (6) memberi latihan. Penerapan cara-cara
tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dengan mempertimbangkan keadaan pebelajar.
Misalnya, pebelajar yang mempunyai motivasi tinggi untuk belajar dibiarkan melakukan
kegiatan pembelajaran sendiri dan sekali-sekali diberitahu. Sedangkan bagi mereka yang
motivasinya kurang, umumnya lebih banyak dibimbing dan diberi pujian untuk mempertebal
keyakinannya dan kepercayaan dirinya. Umumnya, mereka yang mempunyai motivasi rendah
juga mempunyai rasa percaya diri rendah.
E. Konsepsi Cara Belajar
Pappaseng to-riolo (pesan-pesan orang tua dulu) merupakan sebuah tradisi sastra lisan
masyarakat Bugis-Makassar yang dituturkan oleh orang tua dahulu kepada generasinya agar
mereka tahu bagaimana harus bertindak dan ber-etika dalam masyarakat. Sebagai masyarakat
Bugis Makassar perlu mengetahui secara mendalam tentang arti penttingnya pappaseng sebagai
wasiat orang tua kepada anak cucunya (masyarakat) untuk dijadikan sebagai suatu pedoman
untuk pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Karena orang yang memellihara paseng
akan senantiasa terpandang di tengah masyarakat. Sebaliknya yang mengabaikan secara
langsung atau tidak langsung akan menanggung resiko yang besar, baik berupa sanksi sosial dari
masyarakat maupun berupa peringatan atau hukuman dari Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha
Kuasa). Karena kehadiran paseng sebagai salah satu kearifan lokal budaya bugis Makassar
sangat penting untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah sosial, maka saya mengangkat
paseng ini dalam tugas akhir yang saya buat dengan judul Social value in Buginese ancestors
message (nilai-nilai sosial dalam pesan-pesan orang Bugis dahulu). Di dalamnya saya
menguraikan bagaimana setiap kata itu membentuk sebuah penyimbolan untuk pesan yang
mengandung nila-nilai sosial karena kita ketahui bahwa bahasa yang terdapat dalam paseng
bukan bahasa biasa melainkan bahasa yang banyak mengandung unsur-unsur figurative (bersifat
khiasan). Untuk itu diperlukan penguraian yang lebih mendalam.
Berikut ini akan diuraikan beberapa Paseng yang mengandung nilai sosial :
1. Tangngai gaukmu naiya muala anre guru. Mualai madcng mutettangi majake. Apa iya ada
sionrommui jakna sibawa decenna, makua mutor nawa-nawa Artinya : amatilah perbuatanmu
dan jadikan sebagai guru (guru dimaksudkan disisni sebagai pedoman dalam bertindak), petiklah
yang baik dan tinggalkan yang buruk. Sebab perkataan itu tempatnya keburukan dan kebaikan
demikian pula pemikiran.
2. Tanra-tanranna narekko maelokni kiame lino gilinni bb tau macca Terjemahan ; tandatanda kalau dunia akan kiamat, berbalik menjadi bodoh orang yang pintar Penjelasan : selama
orang pandai memanfaatkan kepandaiannya untuk kebaikan, selama itu ia tidak merusak. Akan
tetapi bila kepandaiannya disalah gunakan, maka berubalah ia menjadi bodoh. Karena ia tidak
tahu lagi bagaimana memanfaatkan kepandaiannya sehingga ia menghancurkan masyarakat dan
kehidupan manusia. Jika terjadi hal demikian mungkin dunia belum kiamat betul tetapi dunia
kemanusiaan sudah kiamat. Sebagian lagi cendekiawan yang masih sadar terpaksa bersama
orang yang bodoh karena kebenaran yang dianut dari ilmunya tidak lagi mendapat tempat dan
penghargaan dari masyarakat.

3. Sipakmi paompoki assalengng Terjemahan : wataklah yang menunjukkan asal


usulPenjelasan : jika kita bergaul dengan orang yang berkelakuan tercela, akan timbul anggapan
bahwa orang tersebut adalah keturunan yang tidak baik pula, meskipun hal itu hanya
dugaan.Dugaan itu karena pertimbangan bahwa orang baik akan mendidik anaknya secara baik
pula. Tetapi apabila ada anak yang yang berkelakuan tercela tetapi orang tuanya baik itu berarti
bahwa orang tuanya telah gagal menjadi pendidik yang baik bagi anaknya. Pendidikan mulai dari
rumah atau keluarga, dan kesalahan utama dari orang tua yang gagal sebagai pendidik
dikarenakan terlalu mencintai anaknya sehingga mereka memberikan kesenangan terhadap anak
tersebut bukan ilmu. Yang dimaksudkan asal usul disini adalah yang menyangkut watak
seseorang. Bukan menyangkut kedudukan sosial. Karena orang yang paling miskin bukanlah
orang yang tidak memiliki harta tetapi yang miskin budi pekerti.
4. Padai manu d lranna Terjemahan : seperti ayam tanpa teratak Penjelasan : Paseng ini
diumpamakan bagi orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Atau orang yang tidak mengetahui
bahwa yang terpenting di dunia ini bukan kerja di mana kita berdiri,akan tetapi ke arah mana kita
akan pergi (tujuan hidup). Untuk itu agar kita tidak tersesat kelak kita harus memiliki tujuan
hidup karena orang yang tidak memiliki tujuan hidup akan disesatkan oleh zaman.
5. Tessirebbang tangnga, tessiwelaiyang janci Terjemahan : tidak batas membatasi pertimbangan,
tidak ingkar janji. Penjelasan : didalam kehidupan bermasyarakat, agar hubungan dengan pihak
lain terjalin erat dan mencapai kerjasama yang tinggi, diperlukan pertimbangan-pertimbangan
bersama guna saling mengisi kekurangan masing-masing dan kerjasama lebih kuat bila masingmasing menepati janji. Mutiara bertambah indah karena diuntai menjadi perhiasan, seindah
hidup bila dijalin dengan pengertian dan kerjasama yang baik. Dari beberapa contoh paseng yang
saya uraiakan diatas, saya berharap kita bisa kembali mengingat kearifan lokal budaya kita
karena sebenarnya nenek moyang kita dahulu kala telah banyak meninggalkan pelajaran yang
sangat penting dan berharga dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Ajaran mereka murni dan
tanpa terpengaruh budaya-budaya modernisasi yang kadang menyesatkan bagi kehidupan
masyarakat. Untuk itu, Sudah selayaknyalah kita melihat ke belakang dalam artian kembali
melirik kearifan lokal budaya kita untuk menyelesaikan maslah-masalah yang terjadi saat ini
utamanya dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti korupsi, perselisihan dalam masyarakat,
dll. Kembali kita mengingat pesan-pesan nenek moyang kita dahulu. Jangan hanya sekedar
dipelajari di bangku sekolahan tapi juga diterapkan dalam bermasyarakat agar kehidupan
bermasyarakat bisa terjalin aman, tentram dan damai

http://rahmatpakaya.blogspot.co.id/2012/01/konsep-nilainilai-kearifan-lokal.html
Sabtu, 07 Januari 2012

Konsep Nilai-nilai Kearifan Lokal


Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan
oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan
interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk normanorma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Kearifan
lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi
seluruh aspek kehidupan, berupa (1) tata aturan yang menyangkut hubungan antar
sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok,
yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan,
tata karma dalam kehidupan sehari-hari; (2) tata aturan menyangkut hubungan manusia
dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi
alam; (3) tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya
Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata
bijak, pepatah.
Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam
bentuk reka cipta ulang (institutional development) yaitu memperbaharui institusiinstitusi lama yang pernah berfungsi dengan baik dan dalam upaya membangun tradisi,
yaitu membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan
baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang
terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan
sosial-politik dalam masyarakat. Perubahan ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal
itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan
kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up.
Kearifan lokal merupakan salah satu produk kebudayaan. Sebagai produk
kebudayaan, kearifan lokal lahir karena kebutuhan akan nilai, norma dan aturan yang
menjadi model untuk (model for) melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal merupakan
salah satu sumber pengetahuan (kebudayaan) masyarakat, ada dalam tradisi dan

sejarah, dalam pendidikan formal dan informal, seni, agama dan interpretasi kreatif
lainnya. Diskursus kebudayaan memungkinkan pertukaran secara terus menerus
segala macam ide dan penafsirannya yang meniscayakan tersedianya referensi untuk
komunikasi dan identifikasi diri. Ketika gelombang modernisasi, globalisasi melanda
seluruh bagian dunia, maka referensi yang berupa nilai, symbol, pemikiran mengalami
penilaian ulang. Ada pranata yang tetap bertahan (stabil), tetapi tidak sedikit yang
berubah, sedang membentuk dan dibentuk oleh proses sosial. (HARMONI, Jurnal
Multikultural dan Multireligius, Volume IX, Nomor 34, 2010).
Kearifan lokal atau sering disebut lokal wisdom dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di
atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai
hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah
istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan.
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai
yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang
di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia
atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut
disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat
menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting
kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilainilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan
tingkah-laku mereka.
Menurut Koentjaraningrat, Kearifan lokal memiliki dimensi sosial dan budaya
yang kuat, karena memang lahir dari aktivitas perlakuan berpola manusia dalam
kehidupan masyarakat. Kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti
ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam
kehidupan sosial dapat berupa sistem religious, sistem dan organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan
peralatan.(Ringkasan Kajian Kearifan Lokal, 2006)

Keraf (2002), mengatakan bahwa kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk


pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika
yanag menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan
moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus
dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan
dan sumberdaya .(Ringkasan Kajian Kearifan Lokal, 2006)
Selain itu, Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul
dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya
dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu
panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai
sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup
bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar
sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi
kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan
jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan
lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari
para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban
masyarakatnya.
Untuk memahami bagaimana kearifan lokal berkembang dan tetap bertahan,
maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun
dan mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective
attention), penilaian (appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept
formation and categorization), atribusi-atribusi (attributions), emotion, dan memory.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai proses-proses di atas sebagai berikut.
a) Selective Attention

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti selalu berhadapan dengan banyak
stimulus sehingga para ahli jiwa sepakat bahwa semua stimulus tidak mungkin untuk
diproses. Oleh karena itu, individu dalam menghadapi banyaknya stimulus tersebut
akan melakukan apa yang disebut sebagai selective attention. Selective attention
merupakan proses tempat seseorang melakukan penyaringan terhadap stimulus yang
dianggap sesuai atau yang mampu menyentuh perasaan. Oleh karena kapasitas sistem
sensasi dan perseptual kita terbatas, maka harus belajar bagaimana caranya
membatasi jumlah informasi yang kita terima dan diproses.
Terkait dengan proses pembentukan kearifan lokal, maka proses pemilihan perhatian
menyediakan mekanisme kejiwaan untuk membatasi informasi-informasi yang diterima
dan diproses. Dalam kehidupan pesantren, terdapat banyak informasi-informasi ajaranajaran mengenai tata cara berperilaku santri yang berasal dari kitab-kitab kuning. Oleh
karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka kita perlu
membatasi informasi-informasi yang masuk dengan menetapkan beberapa informasi
untuk kita terima, misalnya Prakarsa yaitu kemampuan pegawai untuk mengambil
keputusan langkah-langkah atau melaksanakan semua tindakan yang diperlukan
dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari pimpinan.
b) Appraisal
Beberapa stimulasi yang telah dipilih secara konstan akan dinilai. Penilaian merupakan
proses evaluasi terhadap stimulus yang dianggap memiliki arti bagi kehidupan
seseorang dan yang mampu menimbulkan reaksi-reaksi emosional. Hasil penilaian ini
adalah keputusan yang berupa respon-respon individu, yang oleh Lazarus disebut
coping (penyesuaian). Proses ini relevan dengan terbentuknya pengetahuan atau
kearifan lokal karena pemilihan terhadap informasi yang masuk lebih menekankan pada
pertimbangan berguna bagi kehidupan mereka.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangnya kearifan lokal ini, maka proses
appraisal ini menyediakan sebuah mekanisme kejiwaan di mana kita secara aktif
menilai informasi yang masuk dan kita proses hanya yang bermakna bagi kita.
Misalnya, Prestasi Kerja yaitu hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya, prestasi kerja
dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman dan kesungguhan PNS yang bersangkutan.

c) Concept Formation and Categorization


Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghadapi stimulus yang banyak dan tidak
mungkin diikuti semuanya. Semua orang, benda-benda, tempat-tempat, kejadiankejadian, dan aktivitas yang kita alami tidak mungkin dapat diterima dan disajikan oleh
pikiran kita dalam sebuah unit informasi yang bebas. Oleh karena itu, melalui
mekanisme kejiwaan dibuat gambaran mental yang digunakan untuk menjelaskan
benda-benda, tempat-tempat, kejidian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami yang
kemudian disebut konsep. Melalui konsep-konsep seseorang dapat mengevaluasi
informasi-informasi, membuat keputusan-keputusan, dan bertindak berdasarkan konsep
tersebut.
Kategorisasi adalah proses tempat konsep-konsep psikologis dikelompokkan. Studi
mengenai

pembentukan

kategori

melibatkan

pengujian

bagaimana

seseorang

mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa, benda-benda, aktivitas-aktivitas ke dalam


konsep-konsep. Pembentukan konsep dan kategorisasi memberikan cara untuk
mengatur perbedaan dunia sekeliling kita menjadi sejumlah kategori-kategori tertentu.
Kategori-kategori tersebut didasarkan pada sifat-sifat tertentu dan objek yang kita rasa
atau serupa secara kejiwaan.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangan kearifan lokal, maka pada bagian
pembentukan konsep dan kategorisasi ini menyediakan kepada kita cara-cara untuk
mengorganisasikan perbedaan ajaran-ajaran tingkah-laku yang ada di sekitar kita ke
dalam sejumlah kategori berdasarkan kepentingan tertentu. Misalnya kesetian yaitu
tekad dan kesanggupan untuk mentaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu
yang ditaati dengan penuh kesabaran dan tanggungjawab. Sikap ini dapat dilihat dari
perilaku sehari-hari serta perbuatan pegawai dalam melaksanakan tugas.
d) Attributions
Satu karakteristik umum dari manusia adalah perasaan butuh untuk menerangkan
sebab-sebab peristiwa dan perilaku yang terjadi. Attributions yang menjadi satu karakter
diri yang menggambarkan proses mental untuk menghubungkan (membuat pertalaian)
antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau satu perilaku dengan perilaku atau
peristiwa lainnya. Attribution ini membantu kita untuk menyesuaikan informasi baru

mengenai dunianya dan membantu mengatasi ketidaksesuaian antara cara baru


dengan cara lama dalam memahami sesuatu.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian
attribution ini menyediakan fungsi-fungsi penting dalam kehidupan kita untuk
mengorganisasikan informasi-informasi yang bermakna bagi kita secara kejiwaan
dengan mengontrol antara intention (niat) dengan perilaku. Misalnya ketaatan yaitu
kesanggupan pegawai untuk mentaati segala peraturan perundang-undangan dan
peraturan kedinasan yang berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh
atasan yang berwenang-wenang serta kesanggupan untuk tidak melanggar aturan yang
telah ditentukan.
e) Emotion
Emosi adalah motivator yang paling penting dari perilaku kita yang dapat mendorong
seseorang untuk lari jika takut dan memukul jika sedang marah. Emosi adalah
perangkat penting yang terbaca untuk memberitahu kepada kita cara untuk
menginterpretasikan peristiwa dan situasi di sekeliling kita pada saat kita melihatnya.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian
emotion ini menyediakan kepada kita dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu
sesuai kebutuhan kita. Misalnya tanggungjawab yaitu kesanggupan pegawai dalam
menyelesaikan pekerjaan tugas yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya
dan tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko atas keputusan yang telah
diambil atau tindakan yang dilakukannya.
Semua proses kejiwaan di atas, merupakan proses yang saling berinteraksi satu sama
lain

sehingga

dapat

digambarkan

rangkaian

kejiwaan

pembentukan

dan

berkembanganya kepatuhan. Kepatuhan sebagai informasi umum menjadi informasi


khusus, yaitu kepatuhan sebagai sistem motivator nilai dalam diri santri untuk
melakukan aktivitas-aktivitas selama di pesantren. Kepatuhan sebagai bantuk kearifan
lokal yang berlaku di pesantren dapat menjadi energi potensial untuk proses transfer
dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui kiai sebagai model yang dipatuhi. ( Jurnal
Studi Islam dan Budaya Ibda` Vol. 5 No. 1, 2009

Di dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar terdapat nilai-nilai sosial yang


membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah dianut serta menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari, yaitu

Saling Menghargai (Sipakatau)

Saling Menghargai adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai


manusia. Sipakatau yangbermakna
bermartabat.

saling

menghargai

Nilai-nilai Sipakatau menunjukkan

bahwa

sebagai
budaya

individu

yang

Bugis-Makassar

memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya
harus dihargai dan diperlakukan secara baik. Semangat ini mendorong tumbuhnya
sikap dan tindakan yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis
yang ditandai oleh adanya hubungan intersubyektifitas dan saling menghargai sebagai
sesama manusia. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi landasan utama
dalam membangun hubungan yang harmonis antarsesama manusia serta rasa saling
menghormati terhadap keberadaban dan jati diri bagi setiap anggota kelompok
masyarakat.

Konsep Nilai Sipakatau

Dalam budaya Bugis-Makassar Nilai-nilai Sipakatau memposisikan manusia sebagai


makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan
secara baik yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang
ditandai oleh adanya hubungan intersubyektifitas dan saling menghargai sebagai
sesama pegawai maupun pegawai dengan atasan dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang berwibawa. Sipakatau (Saling Menghargai) adalah sebagai individu
yang bermartabat. (Mashadi, 2007).

Harga Diri/Rasa malu dan Perikemanusian (Siri'na pacce)


Dalam pengertian harfiahnya, siri adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri ini
akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri
(high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian
harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian

kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia
menyebut perkataan siri karena siri adalah dirinya sendiri. Siri ialah soal malu yang
erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai
seorang manusia.
Pacce dalam

pengertian

harfiahnya

berarti

pedih

dalam

makna

kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin,
berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacceadalah perasaan (pernyataan)
solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan.
Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan
moralnya.Pacce diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri diarahkan kedalam
dirinya. Siri dan pacce inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam
pergaulan sehari-hari sebagai motor penggerak dalam memanifestasikan pola-pola
kebudayaan dan sistem sosialnya.
a.

Pengertian siri
Dalam pengertian harfiahnya, siri adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri

ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri
(high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian
harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian
kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia
menyebut perkataan siri karena siri adalah dirinya sendiri. Siri ialah soal malu yang
erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai
seorang manusia.
Siri lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk
solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan
pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar. Itulah
sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji siri sebagai suatu
kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk
penerapan siri yang salah sasaran. Menurut mereka, siri seharusnya dan biasanya,
memang seiring sejalan dengan pacce (Makassar) / pesse (Bugis).
b.

Pengertian pacce

Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna kulturalnya


pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat
membantu, humanisme universal. Jadi, pacce adalah perasaan (pernyataan) solidaritas
yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini
merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya.
Pacce diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri diarahkan kedalam dirinya. Siri
dan pacce inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan
sehari-hari sebagai motor penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan
dan sistem sosialnya.
Melalui latar belakang pokok hidup siri na pacce inilah yang menjadi pola-pola
tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam
membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia
dalam

masyarakat. Antara

kehidupannya,

saling

siri dan

mengisi,

dan

pacce saling
tidak

dapat

terjalin

dipisahkan

dalam
yang

hubungan
satu

dari

lainnya. (Mashadi, 2007).


Dengan memahami makna dari siri dan pacce, ada hal positif yang dapat
diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini
betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil pada diri sendiri dan
terhadap sesama bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang
lain. Membandingkan konsep siri dan pacceini dengan pandangan keadilan Plato (428348 SM) yang mengamati bahwa keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih
kuat (justice is but the interest of the stronger).
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan
dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi landasan atau acuan
dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah
hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang
sangat dijunjungnya yaitu siri na pacce.
Siri na pacce dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah
dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan
masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri
na pacce) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.

Siri yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat BugisMakassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Siri na Pacce (Bahasa Makassar) atau
Siri na Pesse (Bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari
karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu
sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Sirinya atau Deni gaga
Sirina, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan
orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo koloe (seperti
binatang). Petuah Bugis berkata : Sirimi Narituo (karena malu kita hidup).
Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri na pacce/pesse, maka keterikatan dan
kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku
yang lain.
Konsep Siri na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi
juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya
saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan
dalam berinteraksi

Anda mungkin juga menyukai