Anda di halaman 1dari 3

Upacara Rakeho pada Orang Kulawi (Sulawesi Tengah)

Kulawi adalah salah satu etnik yang terdapat di Sulawesi Tengah, Indonesia. Di kalangan mereka
ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan daur hidup (lingkaran
individu), khususnya upacara masa peralihan bagi seorang laki-laki dari masa anak-anak menuju
dewasa. Upacara ini oleh mereka disebut sebagai “Rakeho” yang dalam bahasa Indonesianya
adalah “meratakan gigi bagian depan atas dan bawah serata dengan gusi”.

Seorang laki-laki yang telah melalui upacara ini berarti sudah dianggap sebagai orang dewasa
(bukan kanak-kanak lagi) dan karenanya yang bersangkutan diperbolehkan untuk membentuk
sebuah keluarga. Melalui upacara ini juga yang bersangkutan pada gilirannya mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana anggota masyarakat lainnya.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara


Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara rakeho ini juga dilakukan secara bertahap. Tahap-
tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap
pemakian pakaian yang terdiri dari baju biasa dan puruka (celana pendek atau cawat); (2) tahap
penyuapan makanan berupa ketan putili dan telur; dan (3) tahap meratakan gigi. Seluruh rentetan
upacara ini biasanya dilakukan dari pagi sampai sore hari. Sebagai catatan, penyelenggaraan
upacara biasanya dilakukan setelah panen dengan pertimbangan bahwa sesudah panen orang tua
dari si anak yang diupacarakan sudah memiliki dana yang cukup.
Tempat pelaksanaan upacara rakeho bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh si
anak. Untuk prosesi pemakaian pakaian dan penyuapan makanan diadakan di dalam rumah.
Sedangkan, prosesi meratakan gigi diadakan di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon
yang besar atau di sebuah rumah yang telah dikosongkan sebelumnya. Upacara ini dipimpin oleh
topekeho, yaitu seorang yang mempunyai keahlian khusus dalam meratakan gigi. Keahlian
dalam meratakan gigi pada seorang topekeho biasanya diperoleh secara turun-temurun. Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam upacara rakeho adalah empat orang tadulako1 yang bertugas
membantu topekeho dalam melaksanakan upacara dan para anggota kerabat dari anak yang
diupacarakan, seperti taoma (orang tua si anak), ompi-ompi (paman), tumpu (nenek), dan tina
lolo (bibi).

Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara rakeho ini adalah: (1) lida (tikar); (2) luna
(bantal); (3) baju; (4) celana pendek atau cawat (puruka) yang terbuat dari kulit kayu; (5)
pengoaha (kikir besi); (6) air hangat; (7) putili (ketan putih); (8) parania mavau (sejenis rumput);
(9) kain nunu; dan (10) sebutir telur.

Jalannya Upacara
Ketika kedua orang tua menganggap bahwa anaknya telah dewasa, maka mereka kemudian
mengadakan rapat dengan para kerabat terdekat untuk menentukan penyelenggaraan upacara
rakeho. Jika telah ada kesepakatan, mereka akan menemui topekeho dan pembantu-pembantunya
(para tadulako) untuk memberitahukan dan sekaligus meminta topekeho untuk menjadi
pemimpun upacara.
Pada hari yang telah ditentukan dan semua peserta upacara telah berkumpul di rumah anak yang
diupacarakan, maka upacara pun dilaksanakan. Upacara diawali dengan pemakaian baju dan
puruka (celana pendek atau cawat) yang berwarna putih pada si anak oleh topekeho. Baju dan
puruka yang berwarna putih itu mengandung maka keikhlasan hati keluarga anak yang
diupacarakan untuk memberikan anaknya kepada topekeho untuk dirakeho.

Setelah pemakaian cawat, kegiatan dilanjutkan dengan penyuapan makanan oleh topekeho pada
si anak dengan ketan putili dan telur. Ketan putili dan telur ini mengandung makna selain
permohonan kepada Tuhan atas keselamatan anak yang diupacarakan, juga merupakan simbol
keikhlasan dan kebulatan hati dari keluarga untuk melaksanakan upacara. Kemudian, topekeho,
para tadulako, ayah-ibu beserta sanak keluarga, membawa si anak ke sebuah tempat khusus yang
sudah dipersiapkan sebelumnya untuk melaksanakan upacara rakeho. Tempat khusus tersebut
dapat di bawah sebuah pohon besar atau di sebuah rumah yang telah dikosongkan sebelumnya.
Setiba di tempat upacara, maka ayah-ibu serta sanak keluarga yang mengantar tadi kembali ke
rumah untuk menunggu selesainya upacara rakeho ini dilaksanakan.

Setelah itu, para tadulako mulai menghamparkan tikar dan meletakkan bantal di atasnya untuk
tempat tidur. Selanjutnya, kedua mata anak yang diupacarakan itu ditutup dengan kain nunu lalu
ditidurkan. Sesudah anak yang diupacarakan ditidurkan dalam keadaan terlentang, maka para
tadulako mulai mengambil tempat masing-masing, yakni dua orang di samping bahu kiri dan
kanan si anak dan dua orang lagi di bagian kaki kiri dan kanannya. Keempat tadulako tersebut
bertugas memegangi si anak agar jangan sampai menggoyangkan tubuhnya (bergerak) pada saat
giginya diratakan oleh topekeho. Apabila para tadulako sudah siap pada posisinya masing-
masing, maka topekeho sambil memegang pongaha (kikir), berjongkok di samping si anak.
Kemudian, ia mulai membaca mantera (gane): "Ane motomoleko potumpako, ane motumpako
patumoleko, Bona nemo madea ra mehuko tiroi daka kami". Artinya, bila tidur tengadah dan
tengkurap, bila tidur tengkurap dan tengadah, jangan sampai banyak darah, maka lihatlah kami.
Selanjutnya, topekeho memasukkan pangaha (kikir) di antara bagian gigi atas dan bagian gigi
bawah. Bersamaan dengan itu para tadulako mulai memegang erat tubuh dan bagian kaki si anak.
Kemudian, topekeho mulai menggosokkan kikirnya pada bagian gigi atas sampai hampir serata
dengan gusi. Setelah gigi bagian atas dianggap rata, gosokan pangaha beralih pada gigi bagian
bawah.

Setelah gigi dianggap rata oleh topekeho, maka si anak diberi obat berupa air hangat untuk
berkumur dan parania mavau (sejenis rumput-rumputan yang baunya sangat busuk) untuk
digigit-gigit. Kemudian, sambil dibopong oleh para tadulako, si anak dibawa ke rumahnya
kembali untuk diserahkan kepada orang tuanya. Dengan berakhirnya tahap meratakan gigi ini,
berakhirlah seluruh rentetan upacara rakeho. Sebagai catatan, orang yang baru saja melalui
upacara rakeho ini tidak boleh memakan makanan yang keras dan minum air selama tiga hari.
Apabila pantangan ini dilanggar, maka gusi akan membengkak dan proses kesembuhan menjadi
lebih lama lagi.

Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara rakeho. Nilai-nilai itu antara lain adalah:
kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin
dari berkumpulnya sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama
pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti
luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan.

Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara
memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-
persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin,
dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat
berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan


upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu
menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara,
dan lain sebagainya.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang
individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk
mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara.
Rakeho merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap
peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.

Nilai religius tercermin dalam doa atau mantra yang dilakukan oleh topekeho, pada acara
perataan gigi yang merupakan bagian akhir dari serentetan tahapan dalam upacara rakeho.
Tujuannya adalah agar si anak mendapatkan perlindungan dari Tuhan dan roh-roh para leluhur.
(gufron)

Anda mungkin juga menyukai