Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN DOKUMENTASI

PRAKTEK KLINIK STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT KRITIS

RUANG ICU RSUD UNDATA PROVINSI SULAWESI TENGAH

OLEH :
KELOMPOK IV:

1. LIANA ROS (PO7120421075)


2. RIRIN FARHANA (PO7120421076)
3. RAHAYU (PO7120421077)
4. MEGAFINI (PO7120421078)
5. ULVIA KURNIAWATI (PO7120421079)
6. NINING (PO7120421080)

POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN


PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
T.A 2021/2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Laporan Dokumentasi
Praktek Klinik Stase Keperawatan Gawat Darurat Kritis
Ruang ICU RSUD Undata Provinsi Sulawesi Tengah

OLEH :
KELOMPOK IV:

Liana Ros
Ririn Farhana
Rahayu
Megafini
Ulvia Kurniawati
Nining

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada seminar kasus


Program studi profesi ners Poltekkes Kemenkes Palu

Pada tanggal, 23 Juli 2022


Menyetujui,

PRECEPTOR INSTITUSI PRECEPTOR LAHAN

Iwan, S.Kep., Ns., M.Kes Alfrisca Kende, S.Kep., Ns


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dan ibu pembimbing
lahan dan institusi Praktek Klinik Profesi Keperawatan Gawat Darurat Dan Kritis,
yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran kepada kami. Terlebih lagi
dalam penyusunan makalah ini sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan
baik.
Kami menyusun makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn Z
Dengan Kasus Gagal Nafas Di Ruangan ICU RSUD Undata Palu” ini adalah
untuk memenuhi tugas Praktek Klinik Profesi Stase Keperawatan Gadar Darurat
dan Kritis. Kemampuan maksimal dan usaha telah kamicurahkan dalam
menyusun makalah ini. Semoga usaha kami mendapatkan hasil yang baik.
Akhirnya, kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh
dari sempurna, karena kami menyusun ini dalam rangka mengembangkan
kemampuan diri. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun baik
lisan maupun tulisan sangat kami harapkan.

Palu, Juli 2022

Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL...............................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan Umum............................................................................................................2
D. Tujuan Khusus...........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................4
A. Konsep Dasar ARDS (Acut Respiratory Distress Syndrome)...................................4
B. Konsep Dasar Keperawatan (Acut Respiratory Distress Syndrome).........................8
BAB III PERKEMBANGAN KASUS..................................................................................14
BAB IV PEMBAHASAN KASUS........................................................................................37
BAB V PENUTUP.................................................................................................................39
A. Kesimpulan................................................................................................................39
B. Saran...........................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN
A. latar Belakang
Gagal Nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas
O2 dan CO2 yang tidak adekuat terjadi secara mendadak dan mengancam
jiwa, serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Walaupun
ada kemajuan teknologi untuk diagnosis, pemantauan, penatalaksanaan medis
dan terapi intervensi berkembang pesat, tetapi gagal nafas masih merupakan
penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan
intensif. (Surjanto,E,Sutanto,S.Y,2020)
Gagal Napas adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan terjadinya
pernafasan yang pendek secara berat dan tiba-tiba yang biasanya timbul
dalam waktu 12-48 jam setelah adanya faktor pencetus, seperti trauma, sepsis
dan aspirasi (masuknya hasil sekresi lambung atau benda asing ke dalam
paru-paru) kerena menurunnya kadar oksigen dalam darah oksigen untuk
masuk kedalam darah dengan secukupnya. Gagal napas dapat menyebabkan
komplikasi seperti memiliki risiko yang lebih tinggi untuk gagal jantung
kongesif, memiliki risiko tinggi pneumonia dan menderita kegagalan organ
(Persify, 2013).
Gagal napas merupakan penyebab kegagalan organ yang paling sering
terjadi di ruang intensive care unit (ICU) dengan tingkat mortalitas yang
tinggi. Gagal napas akut sering kali diikuti dengan kegagalan organ vital
lainnya sehingga kematian sering disebabkan karena multiple organ
dysfunction syndrome (MODS). Ada beberapa tipe gagal napas yang
diklasifikasikan berdasarkan faktor penyebab yaitu penyakit paru akut yang
berat, gangguan neuromuskular, sindrom distres napas dewasa (ARDS),
sindrom distres napas bayi (infant respiratory distress syndrome), keadaan
akut penyakit paru kronis (West, 2010).
Insidensi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada The
AmericanEuropean Consensus on ARDS tahun 2010 menemukan antara
12,6- 28,0 kasus/100.000 penduduk/tahun serta dilaporkan sekitar 40% terjadi
kematian akibat gagal napas. Insidensi gagal napas akut pada dewasa dari
hasil studi di negara Jerman dan Swedia melaporkan bahwa 77,6-88,6
kasus/100.000 penduduk/tahun. Berdasarkan data dari The American–
European Consensus jika kasus gagal napas berjumlah 12,6-28,0 kasus per
100.000 penduduk/ tahun dan angka kematian akibat gagal napas dilaporkan
sekitar 40% (Marlisa, Kosasih & Ponpon, 2011).
Prevalensi gagal napas di negara lain seperti Brazil ditemukan 843 orang
(49%) di rawat di ruangan ICU karena gagal napas akut dan 141 orang
mengalami gagal napas setelah di rawat di ICU dan didapatkan 475 orang
meninggal dunia setelah keluar dari ICU ( France et.al; dikutip oleh Deli,
Arifin dan Fatimah, 2017). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
di Jerman dan Swedia tentang gagal napas yaitu kejadian gagal napas yang
terjadi pada orang dewasa sekitar 86,8 kasus per tahun. Sedangkan di Jerman,
3 insiden gagal napas akut adalah 77,6-88,6 kasus per 100.000 populasi
pertahun dengan tingkat mortalitas 40% (Bartlet & Gallant, 2017).
Berdasarkan data peringkat 10 penyakit tidak menular (PTM) yang
terfatal menyebabkan kematian berdasarkan Case Fatality Rate (CFR) pada
rawat inap rumah sakit pada tahun 2010, angka kejadian gagal nafas
menempati peringkat kedua yaitu sebesar 20,98% (Kementerian Kesehatan
RI, 2012). Tipe gagal napas yang banyak terjadi yaitu sindrom distres napas
dewas (ARDS). Epidemiologi ARDS di Indonesia sebesar 10,4% dari total
pasien ICU. Di Indonesia, data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) mendapatkan 101 pasien ARDS dalam 10 bulan. Data dari
bagianrekam medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
menunjukkan mortalitas pasien yang terdiagnosis ARDS pada tahun 2011
sebesar 57,8% (Hartini, Amin, Pitoyo & Rumende, 2014). Data pada tahun
2016 menunjukkan dari 50 negara, prevalensi ARDS mencapai 10,4% dari
total pasien 5 orang pada tahun 2022, kemudian 3 orang di nyatakan
meninggal, 1 orang APS dan 1 orang sementara menjalani perawatan di
ruangan ICU. (Ina, 2016).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
gagal napas terdiri dari penatalaksanaan suportif/ non spesifik dan kausatif/
spesifik dan umumnya dilakukan secara simultan. Penatalaksanaan non
spesifik merupakan tindakan yang dilakukan secara tidak langsung dan
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas seperi terapi oksigen,
penggunaan face mask, bagging dan fisioterapi dada. Sedangkan untuk
penatalaksanaan spesifik dilakukan dengan mencari penyebab dari gagal
napas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan. 4 Tindakan suction merupakan
intervensi kolaboratif yang berfungsi untuk mencegah obstruksi jalan napas
yang disebabkan oleh sekresi kering dan perlengketan mukosa.
Tindakan suction dilakukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret
atau sputum dan juga untuk menghindari dari infeksi jalan nafas (Price &
Wilson, 2012).
Selain untuk mengatasi masalah bersihan jalan napas, tindakan suction
sangat diperlukan, karena pada pasien terpasang ventilasi mekanik terjadi
kontaminasi mikroba dijalan napas dan berkembangnya Ventilator Assosiated
Pnemonia (VAP) (Kozier & Erb, 2012). Terjadinya VAP dikarenakan secara
umum pasien yang terpasang ETT mempunyai respon tubuh yang sangat
lemah untuk batuk, dengan demikian tindakan suction sangat diperlukan
(Nurachmah & Sudarsono, 2010).
Pada saat akan melakukan tindakan suction pada ventilaor, sangatlah
perlu adanya pemantauan saturasi oksigen, karena saat tindakan suction
bukan hanya sekret yang terhisap, tetapi oksigen juga terhisap. Selain itu
saturasi oksigen pada tindakan suction dipengaruhi oleh banyaknya
hiperoksigenasi yang diberikan, tekanan suction yang sesuai usia, dan besar
diameter kanule. Bila hal tersebut tidak atau kurang diperhatikan maka akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dari suction pada pasien yang
terpasang ventilasi mekanik adalah terjadinya hipoksia yang ditandai dengan
penurunan saturasi oksigen atau desaturasi (Kozier & Erb, 2012). Menurut
Wiyoto (2010) apabila suplai oksigen dalam waktu 4 menit tidak terpenuhi
untuk suplai keotak maka otak terjadi kerusakan yang permanen, karena itu
perlu dilakukan hiperoksigenasi sebelum dilakukan suction. Upaya untuk 5
mempertahankan saturasi oksigen setelah dilakukan suction adalah dengan
melakukan hiperoksigenasi pada setiap tindakan suction. Etiologi pada setiap
pasien bermacam-macam, akan tetapi masalah yang sering terjadi
berhubungan dengan pernapasan yaitu bersihan jalan napas tidak efektif,
gangguan pertukaran gas, pola napas tidak efektif serta gangguan ventilasi
spontan. Oleh karenanya perlu dilakukan intervensi yang tepat kepada pasien
agar masalah yang ada teratatasi dengan baik. Berdasarkan uraian diatas, ini
menguraikan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien gagal
napas dengan ventilator mekanik.
Pasien diruangan ICU Rs. Undata Palu dalam tiga bulan terakhir yaitu
berjumlah 100 pasien, dimana januari kasus Edit + Gagal nafas 32 pasien,
februari CKD + Gagal nafas akut 32 pasien dan maret Acts + Post + gagal
nafas 36 pasien. Pasien yang terpasang ventilator sebanyak 30 pasien dengan
indikasi gagal nafas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut Bagaimana asuhan keperawatan pada klien
dengan Respiratory Failure on Mechanical Ventilator di Ruang ICU RSUD Undata
Palu.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk melaksanakan praktik keperawatan gawat darurat yang difokuskan
pada pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan Respiratory Failure on
Mechanical Ventilator di Ruang ICU RSUD Undata Palu.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengkaji masalah utama keperawatan yang dilakukan pada
asuhan keperawatan pada pasien dengan Respiratory Failure on
Mechanical Ventilator di ICU RSUD Undata Palu.
b. Dapat menegakan diagnosa keperawatan yang muncul pada asuhan
keperawatan pada pasien dengan Respiratory Failure on Mechanical
Ventilator di ICU RSUD Undata Palu.
c. Dapat merencanakan dan melakukan implementasi asuhan keperawatan
yang akan dilakukan pada asuhan keperawatan pada pasien dengan
Respiratory Failure on Mechanical Ventilator di ICU RSUD Undata Palu.
d. Dapat melakukan evaluasi keperawatan pada asuhan keperawatan pada
pasien dengan Respiratory Failure on Mechanical Ventilator di ICU RSUD
Undata Palu.
D. Manfaat
1. Bagi penulis
Dapat melaksanakan dan memperdalam keterampilan asuhan
keperawatan pada pasien pada pasien (Acute Respiratory Distress
Sindrom) ARDS.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan pustaka dan bahan pertimbangan
dalam menyusun materi pembelajaran tentang ilmu keperawatan
khususnya asuhan keperawatan pada pasien (Acute Respiratory Distress
Sindrom) ARDS.
3. Bagi Rumah Sakit Dan Perawatan
Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam melakukan
asuhankeperawatan khususnya pada pasien (Acute Respiratory Distress
Sindrom) ARDS. Agar mampu memberikan asuhan keperawatan pada
pasien (Acute Respiratory Distress Sindrom) ARDS dengan benar.
4. Bagi Pasien Dan Keluarga
Agar pasien dan keluarga bisa mengetahui tentang penyakit (Acute
Respiratory Distress Sindrom) ARDS dan cara perawatan (Acute
Respiratory Distress Sindrom) ARDS dengan benar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)


1. Pengertian
ARDS merupakan bentuk gagal nafas yang berbeda ditandai
dengan hipoksia berat yang diresisten terhadap pengobatan yang
konfensional. ARDS terjadi setelah berbagai penyakit (sepsis,aspirasi isi
lambung, trauma serius), yang menyebabkan permeabilitas dan edema paru
non kardiogenik yang berat.
2. Etiologi
ARDS berkembang sebagai akibat kerusakan pada epitel- alveolar
dan endotel mikrovaskular yang diakibatkan trauma jaringan paru baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.
Faktor resiko yang berhubungan dengan ARDS:
a. Trauma langsung pada paru
1) Emboli karena pembekuan darah, lemak, udara, atau cairan amnion
2) Aspirasi asam lambung
3) Terhisap gas beracun
4) TBC miliar
5) Radang paru difus (sars)
6) Obstruksi saluran nafas atas
7) Asap rokok yang mengandung kokain
8) Keracunan oksigen
9) Trauma paru
10) Eksposeradiasi
b. Trauma tidak langsung
1) Sepsis
2) Shock
3) Dic (disseminated intra vaskuler coagulation)
4) Pankreatitis
5) Uremia
6) Overdosis obat
7) Idiopatik (tidak dikethui)
8) Bedah cardiobaipas yang lama
9) Transfusi berulang
10) Pih (pregnan inducet hipertencion)
11) Peningkatan tik
12) Terapi radiasi
13) Luka bakar dan luka berat
3. Patofisologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada
membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam
ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler,
terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat
kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekspansif darah dalam paru paru.
ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang
mengarah pada kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun
atau paru- paru menjadi kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik
dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia.
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
a. Fase Eksudatif : Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium
dan epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak
serangan akut.
b. Fase Proliferatif : Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan
influks dan proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast,
menyebabkan penebalan dinding alveolus dan perubahan eksudat
perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran hialin. Fase
proliferatif merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai
sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture
(pneumothorax).
c. Fase Fibrotik/Recovery : Jika pasien bertahan sampai 3
minggu, paru akan mengalami remodeling dan fibrosis.
Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6-12
bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya. Perubahan patofisiologi berikut ini
mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai ARDS:
d. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement
cascade menjadi aktif yang selanjutnya meningkatkan
permeabilitas dinding kapiler.
e. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan
protein bocor kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan
alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar.
f. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan
alveoli maka area permukaan untuk pertukaran oksigen dan
CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio
ventilasi-perfusi dan hipoksemia.
g. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional,
sehingga mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis
resiratorik.
h. Sel-sel yang normalnya melapisi alveoli menjadi rusak dan
diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan
surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan
pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah
mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang
terlihat sangat sehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak
seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari
waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom
dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien
yang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara mendadak
relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti
pneumotorak atau infeksi berat .
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan
volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan
bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru
(Carpenito, Lynda Juall.2012).
4. Manifestasi Klinis
a. Pirau intravulmonal yang nyata
b. Hipoksimia
c. Keregangan paru yang berkurang secara progresif yang berakibat
bertambahnya kerja pernafasan
d. Dispnea serta takipnea yang berat akibat hipoksimia
e. Rongki basah
f. Kapasitas berkurang
g. Peningkatan p(A-a)O2, penurunan PaO2 dan penurunan PaCO2
h. Sinar kurang X dada menunjukan paru yang putih (keputihan) ateleksis
kongestif yang difus
i. Gambaran klinis lengkap dapat bermanivestasi 1-2 hari setelah cidera
5. Pemeriksaan Penunjang
a. ABGs / analisa gas darah, leukosit, fungsi ginjal dan hati
b. Fulmonary fungsion
c. Shunt measurement (qs/qt)
d. Alveolar-arterial gradient (A-a gradien)
e. Lactice acide level
f. Foto toraks dan ct scan
6. Penatalaksanaan
Walaupun tidak ada terapi spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan RADS di fokuskan tiga hal penting:
a. Mencegah lesi paru secara iatrogenik
b. Mengurangi cairan dalam paru
c. Mempertahankan oksigenasi jaringan
Terapi umum :
a. Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara antara lain drainase
push, antibiotik, fiksasi bila ada fraktur tulang panjang.
b. Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, oleh karena penderita
akan memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan
dosis minimal.
c. Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan vairan, obat obat fasodilator/ konstriktor, inotropik, atau
diuretikun
Terapi ventilasi :
a. Ventilasi mekanik dengan instubasi endotrakeal merupakan terapi
yang mendasar pada penderita RADS bila ditemukan laju nafas ≤ 30
xmin atau terjadi peningkatan kebutuhan FiO2≤60% (dengan
menggunakan masker wajah )untuk mempertahankan PO2 sekitar 70
mmHg atau dilebih beberapa jam
b. Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik
disertai dengan PEEP untuk mengembalikan cairan yang membanjiri
alveolus dan atelaktasis sehingga memperbaiki ventilasi dan
perfusi(V/Q)
c. Tergantung keparahannya,maka penderita dapat diberi non ifasis
femtilation seperti CPAP, BIPAP atau positive,
pressure,ventilation.walaupun metode ini tidak direkomendasikan
bagi penderita penurunan kesadaran atau dijumpai adanya
peningkatan jumlah otot pernafasan disertai peningkatan laju nafas
dan PCO2 darah arteri.
d. Pemberian volume tidal 10-15 mm/kg dapat mengakibatkan
kerusakan bagian paru yang masih normal sehingga terjadi robekan
alveolus,deplesissurfaktan dan lesialfeolar-capillari inter
face.untuk mengindari dipergunakan folume tidal 6-7 ml/kg dengan
tekanan puncak inspirasi ≥35 cm H2O,plateu presure inspiratori
yaitu ≥ 30 cm H2O dan pemberian positive end ekspiratori presure
(peep)antara 8-14 cm H20 untuk mencegak aktelatase dan kolaps
dari alveolus
e. Penggunaan peep da FIO2 tidak ada ketentuan mengenai batas
maksimal.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan
dalam tatalaksananya adalah :
a. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi
b. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang
seperti edema laring dan stenosis subglotis
c. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55%
kasus ARDS.
d. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
e. Multisystem organ failure
f. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang
g. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.

B. Konsep Dasar Keperawatan ARDS (Acut Respiratory Distress Sindrom)


1. Pengkajian
Anamnesa
a. Keadaan Umum: Takipnea, dispnea, sesak nafas, pernafasan
menggunakan otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Sesak nafas, bisanya berupa pernafasan
yang cepat dan dangkal. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih
dari beberapa jam sampai seharian. Kulit terlihat pucat atau biru.
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Sepsis, Shock (hemoragi, pankreatitis
hemoragik), Luka bakar hebat, Tenggelam DIC (Dissemineted
Intravaskuler Coagulation), Pankreatitis, Uremia, Bedah
Cardiobaypass yang lama, PIH (Pregnand Induced Hipertension),
Peningkatan TIK, Trauma hebat (cedera kepala, cedera dada,
rudapaksa paru), Radiasi, Fraktur majemuk (emboli lemak berkaitan
dengan fraktur tulang panjang seperti femur), Riwayat merokok.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
e. Riwayat Alergi
Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breath) : sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, batuk
kering, ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor,
wheezing.
b. B2 (Blood) : pucat, sianosis (stadium lanjut), tekanan darah
bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi
pada stadium lanjut (shock), takikardi biasa terjadi, bunyi jantung
normal tanpa murmur atau gallop.
c. B3 (Brain) : kesadaran menurun (seperti bingung dan atau
agitasi), tremor.
d. B4 (Bowel) :-
e. B5 (Bladder) :-
f. B6 (Bone): kemerahan pada kulit punggung setelah beberapa
hari dirawat.
2. Diagnosa
a. Resiko Perfusi Cerebral tidak Efektif berhubungan dengan cedera
kepala
b. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi
c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernafasan
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan secret yang
tertahan
3. Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan
No.
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Resiko Perfusi Cerebral tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen peningkatan tekanan intracranial
Efektif berhubungan dengan 3x24 jam maka perfusi serebral meningkat (I.09325)
cedera kepala dengan kriteria hasil : Observasi
 Tingkat kesadaran meningkat 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
(GCS 11) 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
 Tekanan intra kranial menurun 3. Monitor status pernafasan
 Gelisah menurun Terapeutik
 Kesadaran membaik 1. Berikan posisi semifowler
2. Atur Ventilator agar PaCO2 Optimal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretic Osmosis, Jika
Perlu
2 Gangguan Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pemantauan Respirasi (I.01014)
berhubungan dengan 3x24 jam maka pertukarn gas meningkat dengan Observasi
ketidakseimbangan ventilasi kriteria hasil : 1. Monitor pola nafas
perfusi  tingkat kesadaran meningkat 2. Auskultasi bunyi nafas
 (GCS 11) 3. Monitor saturasi oksigen
 Dispnea menurun 4. Monitor nilai agd
(frekuensi 20x/menit) Edukasi
 Bunyi nafas tambahan menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Gelisah menurun Terapi Oksigen (I.01026)
 pH arteri membaik (7.35-7.45) Observasi
 Pola Nafas membaik (Reguler) 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
Terapeutik
1. Siapkan dan atur peralatan pemberian
oksigen
2. Berikan oksigen tambahan jika perlu
3 Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Dukungan Ventilasi (I.01002)
berhubungan dengan kelelahan 3x24 jam maka ventilasi spontan meningkat Observasi
otot pernafasan dengan kriteria hasil : 1. Monitor status respirasi dan oksigenasi
 Dyspnea menurun Terapeutik
(frekuensi nafas 20x/menit) 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Gelisah menurun 2. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
 PCO2 membaik (35-45) Kolaborasi
 PO2 membaik (80-105) 1. kolaborasi pemberian bronkodilator,
 PFratio >250 ekspektoran, mukolitik, jika perlu
 Takikardia menurun ( 60-100) Manajemen jalan nafas buatan (I.01012)
Observasi
1. Monitor posisi selang endotrakeal (ETT)
terutama setelah mengubah posisi
Terapeutik
1. Pasang oropharingeal airway (OPA) untuk
mencegah ETT tergigit
2. Lakukan pengisapan lender kurang dari 15
detik jika diperlukan
3. Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
Edukasi
1. Menjelaskan pasien dan keluarga tujuan dan
prosedur pemasangan jalan nafas buatan
4 Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Manajemen Jalan nafas (I.01011)
efektif berhubungan dengan selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan Observasi
secret yang tertahan nafas meningkat Dengan kriteria hasil: 1. monitor pola nafas
 Batuk efektif meningkat 2. monitor bunyi nafas tambahan
 Produksi sputum menurun Terapeutik
 Dyspnea menurun (frekuensi nafas 1. posisikan semifowler
20x/menit) 2. lakukan pengisapan lender kurang dari 15
 Ronchi menurun detik
 Gelisah menurun 3. berikan oksigen, Jika perlu
 Frekuensi nafas membaik (frekuensi nafas Kolaborasi
20x/menit) 2. kolaborasi pemberian bronkodilator,
 Pola nafas membaik (Normal Reguler) ekspektoran, mukolitik, jika perlu
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Mulyanti, 2017).
5. Evaluasi keperawatan
Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Evaluasi keperawatan mungukur keberhasilan dari
rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Evaluasi dalam keperawatan merupakan
kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur
hasil dari proses keperawatan
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Dalam pembahasan ini akan diuraikan secara narasi berdasarkan


pendekatan asuhan keperawatan dengan 5 langkah yakni: Pengkajian,
menentukan diagnose, Rencana Keperawatan, Implementasi dan Evaluasi, maka
dari itu kami akan membahas pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilakukan
pada Tn Z pada tanggal 11 April 2022.
A. Tahap Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 juli 2022 data yang didapatakan
adalah pasien masuk diruagan ICU pada tanggal 23 mei 2022 dengan dengan
gangguan kesadaran menurun dengan GCS 10 E4 V1 M5somnolen, TTV TD :
135/77 mmHg N : 85x/menit R : 30 x/menit, S : 36,7 C, terdapat luka jahitan
operasi pada kepala pada bagian parietal sinistra, bunzi nafas ronchi
B. Tahap Diagnosa
Kami melakukan asuhan keperawatan pada tanggal 11 April 2022 di
ruang ICU RSUD Undata palu provinsi sulawesi tengan dalam pengkajian
menemukan masalahkeperawatan pada Tn Z
1. Risiko Perfusi Cerebral tidak Efektif berhubungan dengan cedera kepala
ditandai dengan Kesadaran menurun dengan GCS:10 E4 V1 M5 somnolen,
terdapat luka jahitan operasi pada kepala, pada bagian parietal sinistra, Ku
jelek, pendarahan intracerebri di lobus parietal sinistra, sinusistis maxillaris
dextra et sinistra, fraktur linier os parietal sinistra
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan secret yang tertahan
ditandai dengan Pasien tampak sesak TTV : TD : 135/77 mmHg N :
85x/menit, R : 30 x/menit S : 36,7 ⸰C, SpO2 99% , Nampak terpasang ETT
dan Ventilator pada leher, Bunyi nafas ronchi, Ku jelek, Efusi pleura
dextra diserta atelektasis pulmo dextra , Terpasang chest tube pada hemi
thorax dextra, pasien nampak di suction melaui ETT, pasien Nampak tidak
mampu batuk
C. Tahap Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi
1. Intervensi
1) risiko perfusi cerebral tidak Efektif kami menggunakan intervensi
pemberian posisi semifowler dan atur ventilator agar PaCO2 optimal serta
pemberian anti kovulsan,
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif kami memberikan intervensi monitor
pola nafas, monitor bunyi nafas tambahan, posisikan semifowler, lakukan
pengisapan lender kurang dari 15 detik, berikan oksigen, kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik.
Pada tahap perencanaan ini tidak terdapat banyak kesenjangan antara
teori dan tindakan yang dilakukan, karena perawat melakukannya rencana
sesuai teori yang ada .
2. Implementasi
Pada tahap implementasi tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai
dengan rencana tindakan yang telah di buat berdasarkan tujuan yang ingin di
capai. Perawatt menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien saat itu
seperti memonitor pernafas yang didapapkan 30 x/menit, mengatur ventilator
dengna kecepatan rate 16 x/menit, pasien diberikan phenytoin 100 mg/IVFD
dan diberikan monitol 125 ml/IVFD untuk diagnosa risiko perfusi cerebral
tidak Efektif sedangkan bersihan jalan nafas tidak efektif pasien di beri headup
300, perawat melakukan suction, pasien di pasang ETT dan ventilator serta
dilakukan nebulizer dengan NaCl 0,9 % .
3. Evaluasi
Tahap terakhir adalah tahap evaluasi, pada tahap ini dilakukan sesuai
asuhan keperawatan dengan semua kriteri masalah. Dari 2 diagnosa
keperawatan yang ada pada pasien masih dilakukan untuk mendapatkan
kriteria hasil yang baik.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melaksanakan praktek stase gawat darurat kritis di RSUD Undata
Palu khususnya, di ruangan ICU selama 1 minggu mulai dari tanggal 11 – 16 Juli
2022 dan telah dilakukan pengkajian masalah keperawatan, kemuadian
menegakkan diagnosa, melakukan rencana dan melaksanakan implementasi serta
evaluasi pada pasien yang mengalami Respiratory Failure Mechanical Ventilator
selama 3 hari.

B. Saran
Penulis harapkan dengan adanya makalah ini teman-teman bisa mengetahui
tentang penyakit (Acute Respiratory Distress Sindrom) ARDS padea pasien dan
cara perawatan (Acute Respiratory Distress Sindrom) ARDS dengan benar.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karna itu, untuk memperbaiki masalah tersebut penulis meminta
kritik yang membangun dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Bunner, Suddath, dkk . 2015. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol
1. Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall.2015. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisin 8. Jakarta:


EGC.

Mulyanti, Y. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta


Selatan:Indo.Kemkes.BPPSDM.

Nurarif Huda Amin & Kusuma Hardhi.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA (North American
Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.Yogyakarta : Mediaction

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia


Definisi Dan Indikator Dianostik. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2016.Standar Luaran Keperawatan Indonesia


Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2016.Standar Interνensi Keperawatan Indonesia


Definisi Dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan : Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI)

Anda mungkin juga menyukai