Kepercayaan Kaharingan
Ciri khas Suku Dayak Ngaju adalah hingga sekarang masih menganut kepercayaan
Kaharingan. Kaharingan mempunyai makna tumbuh atau hidup, sehingga
kepercayaan Kaharingan adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di
Pulau Kalimantan.
Upacara Tiwah
Selain itu, Suku Dayak Ngaju juga melakukan upacara tiwah. Upacara ini
merupakan sebuah proses mengantarkan arwah atau roh leluhur ke surga melalui
Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, artinya sebuah
tempat yang kekal dan abadi. Suku ini meyakini leluhur akan senang dan bahagia
jika arwah mereka sudah diantarkan.
Tradisi Tato
Sama halnya dengan suku-suku Dayak lainnya di Pulau Kalimantan, Suku Dayak Ngaju juga
mempunyai tradisi bertato. Baik laki-laki maupun perempuan, masyarakat Dayak Ngaju
menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya,
Pakaian Adat, Merah dan Burung Enggang
Pakaian adat Suku Dayak Ngaju juga mempunyai ciri khas tersendiri. Suku ini menggunakan
pakaian adat yang didominasi warna merah dan kuning.
Hukum Adat dan Keselarasan Alam
Sejak dahulu hingga sekarang, orang Dayak Ngaju terkenal dengan hukum adat mereka.
Terutama berkaitan dengan bagaimana mereka hidup berdampingan dengan alam atau hutan.
Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan dan diwariskan oleh leluhur mereka
untuk ditaati
https://borneo24.com/budaya/penuh-eksotik-dan-mistisberikut-tradisi-dayak-ngaju
Biaya[sunting | sunting sumber]
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan
biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara
Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam
pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
[4]
Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol
sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial
seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat
dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegera
mungkin setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya
tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh
beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju
dinamakan handep .Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian
menyelenggarakan upacara Tiwah.[3] Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga
tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara
Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai
Katingan.[5] Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya
Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara
yang juga berada di tepi Sungai Katingan. [6] Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan
upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka
berasal dari beberapa desa di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.[7]
1. Meniti
2. Mahanjur
3. Minih
4. Manampa raung
5. Manatun
6. Memalas
7. Tantulak matey
Pra Upacara Tiwah[sunting | sunting sumber]
Upacara selanjutnya pasca penguburan sementara adalah upacara Tiwah itu sendiri. Hal
pertama yang dilakukan adalah mengumpulan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Bagi kelompok masyakarat yang membutuh waktu beberapa tahun untuk melangsungkan
upacara Tiwah, jenazah yang sudah habis jasadnya, tinggal diambil saja tulang-tulangnya.
Sedangkan bagi keluarga kaya yang melangsungkan upacara Tiwah segera setelah anggota
keluarganya meninggal, proses pengambilan tulang sedikit berbeda. Jenazah yang masih
memiliki jasad utuh harus dipisahkan dulu tulang belulangnya. Cara memisahkannya adalah
dengan mengoyak-ngoyak jasad tersebut hingga daging dan tulang dapat terpisah. [3]
Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang telah terkumpul atau
disebut dengan laloh, diberikan kepada pimpinan penyelenggara atau bakas Tiwah. Pimpinan
penyelanggara ini bertugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan
dengan upacara Tiwah. Bakas Tiwah nantinya akan dibantu oleh peserta lain yang
disebut anak-anak Tiwah.[3]
1. Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para
pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari
mereka akan bertindah sebagai pemimpin utama atau upo. Sisanya akan
menjadi anggota yang disebut dengan basir. Tugas orang-orang ini adalah
mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).
2. Mempersiapkan peralatan upacara yakni:
o Balay Tiwah atau Balai Nyahu merupakan rumah kecil yang
memiliki ukuran sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun
dari bahan-bahan yang terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh
(bulat). Digunakan untuk menyimpan gong.
o Sangkaraya merupakan sejumlah batang bambu yang tersusun rapi
dengan ukurang 2-4 meter. Biasanya dijadikan tempat tarian dalam
pelaksanaan upacara.[9] Sankaraya didirikan di depan balay Tiwah
dan setelah upacara Tiwah selesai akan dipindah ke dekat sandung.
o Sandong/Sandung merupakan tempat penyimpanan tulang-tulang
manusia setelah upacara Tiwah berakhir. Biasanya terbuat dari kayu
besi (ulin) yang dapat bertahan hingga 100 tahun. Pada dinding
Sandong terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sandong memiliki
ukuran lebar sekitar 0,5 - 1,5 meter dan tinggi sekitar 0,5 meter.
o Sapundu merupakan tiang kayu yang dipahat hingga berbentuk
patung manusia atau sejenis hewan tertentu seperti kera. Tiang ini
memilki tinggi sekitar 1,5 - 3 meter dengan diameter antara 15 –
25 cm. Sapundu berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan
yang akan dikurbankan yakni kerbau. Jumlahnya tergantung jumlah
hewan yang dikurbankan.
o Pantar merupakan tiang yang terbuat dari kayu besi. Tiang ini
memiliki tinggi 10 meter dengan diamter sekitar 20- 30 meter. Pada
bagian bawah Pantar terdapat ukiran dengan motif tertentu.
Sedangkan pada bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung
enggang (tingang). Di bagian atas juga biasanya akan ditusukkan
sebuah belanga/guci atau sebuah gong. Tiang ini dibuat tidak jauh
dari sandung yang menandakan selesainya upacara Tiwah.
o Bara-bara atau hantar bajang yakni sejenis pagar yang terbuat dari
bambu dihiasi sejumlah bendera yang mewakili arwah yang akan
melaksanakan upacara Tiwah.[9] Bara-bara merupakan pintu gerbang
yang letaknya di tepi sungai. Hal ini dikarenakan rumah masyarakat
Dayak Ngaju umumnya terletak di tepi sungai. Tiang-tiang yang
menjadi pagar tersebut saling terhubung dengan daun-daunan yang
disebut dengan daun biru.
o Pasah pali merupakan rumah-rumahan yang berfungsi sebagai
tempat meletakkan saji-sajian. Pasah pali memiliki bentuk persegi
empat dengan ukuran sekitar 1 x 1 meter. Selain itu, pasah pali
dilengkapi dengan beberapa tiang dengan tinggi rata-rata dua meter.
o Garantung (gong) dan kakandin (kain merah). Gong dalam upacara
Twiah tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, juga sebagai tempat
membawa tulang-tulang. Sedangkan kain merah digunakan sebagai
pembungkus tulang belulang sebelum dimasukkan ke dalam
sandung.
o Pemahay merupakan wadah yang digunakan untuk membakar
jenazah.
o Hewan kurban yang biasa disediakan dalam upacara Tiwah adalah
ayam, babi, dan kerbau.
Seorang pria Dayak bersama seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan
untuk menyimpan tulang belulang. Di belakang mereka berdiri Sapundu.
Kematian bukanlah titik akhir. Bagi pemeluk Kaharingan, ketika seseorang meninggal dan
dimakamkan, masih ada satu proses lagi yang harus dilewati oleh orang yang meninggal
untuk dapat kembali ke tahta Ranying Hattala. Upacara Tiwah yang merupakan upacara
sakral terbesar di kalangan pemeluk Kaharingan dilaksanakan untuk mengantarkan jiwa atau
roh manusia yang telah meninggal dunia menuju ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang,
Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan,
Hakarangan Lamiang (negeri yang kaya raya, indah, tidak ada lagi penderitaan) atau Lewu
Liau yang terletak di langit ketujuh. Salumpuk Liau harus dikembalikan
kepada Hatalla karena tanpa diantar ke Lewu Liau melalui upacara Tiwah, tidak
mungkin Salumpuk Liau dapat mencapai Lewu Liau. Dalam ajaran Kaharingan, perjalanan
jauh harus ditempuh untuk dapat menuju Lewu Liau. Untuk dapat menuju ke tempat tersebut,
harus melewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai, gunung-gunung, tasik,
laut, telaga jembatan-jembatan sehingga bila pelaksanaan upacara Tiwah tidak
sempurna, Salumpuk Liau yang diantar menuju alam baka dapat tersesat.
Upacara Tiwah biasanya berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari. Lamanya
pelaksanaan upacara ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu,
upacara Tiwah dapat ditunda pelaksanannya hingga terkumpul dana atau dapat juga
bergabung dengan keluarga lain untuk bersama-sama melaksanakan upacara sakral tersebut
(prinsip gotong-royong). Sebagai upacara sakral terbesar, upacara ini memiliki resiko tinggi
sehingga segala persiapan dan pelaksanaannya harus dilakukan dengan cermat. Bila terjadi
kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan
menanggung beban berat seperti jauh dari rejeki atau terganggu kesehatannya.
Disarikan dari tulisan Tjilik Riwut dengan judul buku Manaser Panatau Tatu Hiang,
Menyelami Kekayaan Leluhur. Penyunting Nila Riwut, dicetak oleh NR Publishing, 2015
(cetakan kedua) hal 284-311.