Anda di halaman 1dari 10

Suku Dayak Ngaju adalah suku asli dan subetnis Dayak terbesar di Kalimantan

Tengah. Persebarannya cukup luas dan utamanya terkonsentrasi di


daerah Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Gunung Mas,
Kabupaten Kapuas, Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur, dan
Kabupaten Seruyan.

Dilansir dari Pesona indonnesia.com,Konon, leluhur Dayak Ngaju diyakini berasal


dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian selatan, tepatnya
di Tiongkok Barat Laut berbatasan dengan Vietnam. Mereka bermigrasi besar-
besaran sekitar tahun 3.000 – 1.500 Sebelum Masehi. Kini Dayak Ngaju menjadi
subetnis terbesar di Kalimantan Tengah. Di tengah perkembangan dunia modern,
mereka masih menjaga nilai dan tradisi ajaran leluhur mereka.

Kepercayaan Kaharingan
Ciri khas Suku Dayak Ngaju adalah hingga sekarang masih menganut kepercayaan
Kaharingan. Kaharingan mempunyai makna tumbuh atau hidup, sehingga
kepercayaan Kaharingan adalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di
Pulau Kalimantan.
Upacara Tiwah
Selain itu, Suku Dayak Ngaju juga melakukan upacara tiwah. Upacara ini
merupakan sebuah proses mengantarkan arwah atau roh leluhur ke surga melalui
Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, artinya sebuah
tempat yang kekal dan abadi. Suku ini meyakini leluhur akan senang dan bahagia
jika arwah mereka sudah diantarkan.
Tradisi Tato
Sama halnya dengan suku-suku Dayak lainnya di Pulau Kalimantan, Suku Dayak Ngaju juga
mempunyai tradisi bertato. Baik laki-laki maupun perempuan, masyarakat Dayak Ngaju
menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya,
Pakaian Adat, Merah dan Burung Enggang
Pakaian adat Suku Dayak Ngaju juga mempunyai ciri khas tersendiri. Suku ini menggunakan
pakaian adat yang didominasi warna merah dan kuning.
Hukum Adat dan Keselarasan Alam
Sejak dahulu hingga sekarang, orang Dayak Ngaju terkenal dengan hukum adat mereka.
Terutama berkaitan dengan bagaimana mereka hidup berdampingan dengan alam atau hutan.
Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan dan diwariskan oleh leluhur mereka
untuk ditaati

https://borneo24.com/budaya/penuh-eksotik-dan-mistisberikut-tradisi-dayak-ngaju

Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei ialah upacara kematian yang


dilakukan oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upacara Tiwah sendiri merupakan
upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan
sumber daya yang banyak dan waktu yang cukup lama. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk
mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju
yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau
Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit
ke tujuh.[1] Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan
Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Konsep kematian[sunting | sunting sumber]
Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan lokal yakni Kaharingan,
kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal
untuk mencapai dunia kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi
tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku
Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan
duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan
akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan
melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi
arwah ini disebut dengan Lio/Liau/Liaw. Liau oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke
dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut Lewu Liaw atau Lewu Tatau. Proses
pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah. Liaw sendiri
menurut masyarakat Dayak Ngaju terbagi atas tiga jenis yakni:

1. Salumpuk liaw haring kaharingan, yakni roh rohani dan jasmani,


2. Salumpuk liaw balawang panjang, yakni roh tubuh/badan,
3. Salumpuk liaw karahang tulang, yaitu roh tulang belulang.[3]
Penyelenggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib
secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk
mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh. Selain itu, dalam kepercayaan
Dayak Ngaju, arwah orang yang belum diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di
sekitar lingkungan manusia yang masih hidup. Keberadaan mereka dianggap membawa
gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya lainnya. [3]

Biaya[sunting | sunting sumber]
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan
biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara
Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam
pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
[4]
 Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol
sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial
seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat
dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegera
mungkin setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya
tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh
beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju
dinamakan handep .Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian
menyelenggarakan upacara Tiwah.[3] Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga
tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara
Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai
Katingan.[5] Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya
Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara
yang juga berada di tepi Sungai Katingan. [6] Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan
upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka
berasal dari beberapa desa di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.[7]

Durasi dan waktu pelaksanaan[sunting | sunting sumber]


Upacara Tiwah umumnya memiliki durasi selama tujuh hingga empat puluh hari. Sebagai
upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, penyelenggaran upacara Tiwah harus
berjalan secara sempurna. Penyelenggara harus cermat terhadap segala persiapan dan
pelaksanaannya. Bila dalam pelaksanaan upacara Tiwah terjadi kekeliruan atau pelaksanaanya
tidak sempurna, maka keluarga yang ditinggalkan dipercaya akan menanggung beban berat
seperti rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu. [8]
Waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat setelah musim panen
padi yakni sekitar bulan Mei, Juni dan Juli. Pemilihan waktu setelah panen dikarenakan pada
waktu tersebut orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup bagi anggota keluarga yang
akan menyelanggarakan upacara Tiwah. Selain itu, masa pascapanen bersamaan dengan masa
liburan anak sekolah.[5] Masyarakat dianggap memiliki waktu yang luang dengan tidak
menyibukkan diri dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu, diharapkan dapat melangsungkan
upacara Tiwah tanpa harus terganggu dengan kekurangan pangan, kegiatan bertani dan hal
lainnya.[3]

Tahapan Upacara[sunting | sunting sumber]


Secara garis besar, upacara kematian dalam kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju dapat
dibagi menjadi dua yakni pertama, upacara-upacara yang dilakukan setelah kematian seseorang
hingga saat penguburan sementara dan kedua, upacara Tiwah itu sendiri. Kedua upacara
tersebut biasanya memiliki jeda. Umumnya jeda ini berlangsung selama satu tahun hingga
beberapa tahun. Jeda ini diakibatkan permasalahan biaya upacara Tiwah yang mahal sehingga
pihak keluarga menunda pelaksanaannya untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu. [3]
Dalam masa jeda atau masa antara upacara kematian setelah meninggal dan penguburan
pertama dengan berlangsungnya upacara Tiwah, diadakan sejumlah upacara yang bertujuan
memberi makan dan sesaji kepada arwah. Adapun upacara-upacara tersebut adalah [3]

1. Meniti
2. Mahanjur
3. Minih
4. Manampa raung
5. Manatun
6. Memalas
7. Tantulak matey
Pra Upacara Tiwah[sunting | sunting sumber]
Upacara selanjutnya pasca penguburan sementara adalah upacara Tiwah itu sendiri. Hal
pertama yang dilakukan adalah mengumpulan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Bagi kelompok masyakarat yang membutuh waktu beberapa tahun untuk melangsungkan
upacara Tiwah, jenazah yang sudah habis jasadnya, tinggal diambil saja tulang-tulangnya.
Sedangkan bagi keluarga kaya yang melangsungkan upacara Tiwah segera setelah anggota
keluarganya meninggal, proses pengambilan tulang sedikit berbeda. Jenazah yang masih
memiliki jasad utuh harus dipisahkan dulu tulang belulangnya. Cara memisahkannya adalah
dengan mengoyak-ngoyak jasad tersebut hingga daging dan tulang dapat terpisah. [3]
Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang telah terkumpul atau
disebut dengan laloh, diberikan kepada pimpinan penyelenggara atau bakas Tiwah. Pimpinan
penyelanggara ini bertugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan
dengan upacara Tiwah. Bakas Tiwah nantinya akan dibantu oleh peserta lain yang
disebut anak-anak Tiwah.[3]

Salah satu bentuk Sandung.

Adapun tahapan persiapan awal dari upacara Tiwah adalah [3]

1. Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para
pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari
mereka akan bertindah sebagai pemimpin utama atau upo. Sisanya akan
menjadi anggota yang disebut dengan basir. Tugas orang-orang ini adalah
mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).
2. Mempersiapkan peralatan upacara yakni:
o Balay Tiwah atau Balai Nyahu merupakan rumah kecil yang
memiliki ukuran sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun
dari bahan-bahan yang terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh
(bulat). Digunakan untuk menyimpan gong.
o Sangkaraya merupakan sejumlah batang bambu yang tersusun rapi
dengan ukurang 2-4 meter. Biasanya dijadikan tempat tarian dalam
pelaksanaan upacara.[9] Sankaraya didirikan di depan balay Tiwah
dan setelah upacara Tiwah selesai akan dipindah ke dekat sandung.
o Sandong/Sandung merupakan tempat penyimpanan tulang-tulang
manusia setelah upacara Tiwah berakhir. Biasanya terbuat dari kayu
besi (ulin) yang dapat bertahan hingga 100 tahun. Pada dinding
Sandong terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sandong memiliki
ukuran lebar sekitar 0,5 - 1,5 meter dan tinggi sekitar 0,5 meter.
o Sapundu merupakan tiang kayu yang dipahat hingga berbentuk
patung manusia atau sejenis hewan tertentu seperti kera. Tiang ini
memilki tinggi sekitar 1,5 - 3 meter dengan diameter antara 15 –
25 cm. Sapundu berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan
yang akan dikurbankan yakni kerbau. Jumlahnya tergantung jumlah
hewan yang dikurbankan.
o Pantar merupakan tiang yang terbuat dari kayu besi. Tiang ini
memiliki tinggi 10 meter dengan diamter sekitar 20- 30 meter. Pada
bagian bawah Pantar terdapat ukiran dengan motif tertentu.
Sedangkan pada bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung
enggang (tingang). Di bagian atas juga biasanya akan ditusukkan
sebuah belanga/guci atau sebuah gong. Tiang ini dibuat tidak jauh
dari sandung yang menandakan selesainya upacara Tiwah.
o Bara-bara atau hantar bajang yakni sejenis pagar yang terbuat dari
bambu dihiasi sejumlah bendera yang mewakili arwah yang akan
melaksanakan upacara Tiwah.[9] Bara-bara merupakan pintu gerbang
yang letaknya di tepi sungai. Hal ini dikarenakan rumah masyarakat
Dayak Ngaju umumnya terletak di tepi sungai. Tiang-tiang yang
menjadi pagar tersebut saling terhubung dengan daun-daunan yang
disebut dengan daun biru.
o Pasah pali merupakan rumah-rumahan yang berfungsi sebagai
tempat meletakkan saji-sajian. Pasah pali memiliki bentuk persegi
empat dengan ukuran sekitar 1 x 1 meter. Selain itu, pasah pali
dilengkapi dengan beberapa tiang dengan tinggi rata-rata dua meter.
o Garantung (gong) dan kakandin (kain merah). Gong dalam upacara
Twiah tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, juga sebagai tempat
membawa tulang-tulang. Sedangkan kain merah digunakan sebagai
pembungkus tulang belulang sebelum dimasukkan ke dalam
sandung.
o Pemahay merupakan wadah yang digunakan untuk membakar
jenazah.
o Hewan kurban yang biasa disediakan dalam upacara Tiwah adalah
ayam, babi, dan kerbau.
Seorang pria Dayak bersama seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan
untuk menyimpan tulang belulang. Di belakang mereka berdiri Sapundu.

Puncak Upacara Tiwah[sunting | sunting sumber]


Pelaksanaan upacara Tiwah pada memiliki sejumlah perbedaan di masing-masing daerah.
Penyebabnya adalah tidak adanya pedoman penyelenggaran yang secara resmi ditulis.
Sehingga masing-masing kelompok masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai sub-suku
menafsirkannya berbeda-beda. Namun, pada dasarnya pelaksanaan upacara Tiwah memiliki
tujuan yang sama yakni mengantarkan arwah ke negeri yang kekal. [8] Adapun pelaksanaan inti
dari Upacara Tiwah adalah sebagai berikut
Hari Pertama
Pada hari pertama upacara Tiwah, bangunan berbentuk rumah yang disebut Balai Pangun
Jandau mulai dibuat. Dalam proses pembuatannya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yakni
kurban seekor babi yang disembelih oleh Bakas Tiwah. [8]
Hari Kedua
Pada hari kedua, dilakukan prosesi pembuatan sangkaraya sandung rahung yang diletakkan di
depan rumah bakas Tiwah. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang
belulang salumpuk liaw. Selanjut, darah babi diambil sebagai syarat untuk melakukan mamalas
sangkaraya sandung rahung. Selain itu, pada hari ini berbagai macam alat musik seperti
gandang, garatung, kangkanung, katambung, toroi, dan tarai mulai dibunyikan. Sebelumnya,
semua alat musik tersebut harus di-palas atau di-saki dengan darah hewan kurban terlebih
duhulu.[8]
Hari Ketiga
Pada hari ketiga, hewan kurban seperti sapi atau kerbau akan diikat di sangkaraya. Tiga orang
memiliki tugas untuk melakukan mangajan, yakni sejenis tarian sakral. Saat melakukan
mengajan akan diiringi dengan tabuhan alat musi dan sorakan kegembiran. Selain itu, dilakukan
juga kegiatan melempar beras merah dan beras kuning ke angkasa. Setelah
prosesi mangajan selesai, hewan kurban akan dibunuh dan darahnya akan dikumpulkan dalam
sebuah wadah bernama sangku. Darah ini akan digunakan untuk menyaki dan memalas semua
orang dan peralatan yang digunakan selama upacara Tiwah. Tujuannya adalah membersihkan
segala kotoran sehingga menjadi suci.[8]
Hari Keempat
Pada hari keempat, tidak jauh dari Sangkaraya didirikan tiang panjang yang disebut Tihang
Mandera. Tiang tersebut menjadi tanda bahwa kampung tersebut tertutup karena sedang
berlangsung upacara Tiwah. Penduduk yang belum di-saki atau di-palas, dilarang masuk ke
dalam kampung. Pada hari ini, ahli waris arwah atau salumpuk liaw mulai melaksanakan
sejumlah pantangan.[8]
Hari Kelima
Pada hari kelima, hewan-hewan yang akan dikurbankan diikat di sapundu. Para tamu yang hadir
biasanya akan mengelilingi hewan kurban tersebut. Selain itu, pada hari ini sandung mulai
dibangun.[8]
Hari Keenam
Pada hari ini, dilaksanakan puncak upacara Tiwah. Para tamu akan hadir dengan menaiki rakit
atau kapal yang berisi sesaji atau persembahan. Kapal tersebut dinamakan lanting
laluhan atau kapal laluhan.[8]
Hari Ketujuh
Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan inti upacara Tiwah, arwah anggota
keluarga atau salumpuk liaw akan melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw. Proses ini diawali
dengan proses pengurbanan hewan yang diaikat di sapundu dengan cara ditombak.
Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, tulang belulang yang telah dibersihkan akan
dibungkus menggunakan kain merah dan dimasukkan ke dalam sandung. [8]

Pengaruh budaya luar[sunting | sunting sumber]


Seiring berkembangnya zaman dan interaksi suku Dayak dengan dunia luar, upacara Tiwah juga
mengalami banyak perubahan. Adapun beberapa perubahan dalam upacara Tiwah dipengaruhi
oleh sejumlah faktor seperti munculnya negara, agama pendatang, dan masuknya teknologi
baru.

Keberadaan negara bangsa[sunting | sunting sumber]


Pertemuan kepala suku dari seluruh Pulau Kalimantan pada 1894 yang menghasilkan perjanjian Tumbang
Anoi.

Hadirnya negara yang kemudian mengadministrasi dan mengatur kehidupan penduduknya


melalui peraturan, turut mempengaruhi sejumlah perubahan dalam penyelenggaran upacara
Tiwah. Munculnya misionaris Kristen yang juga bersamaan dengan hadirnya negara kolonial
Belanda berpengaruh terhadap tradisi kurban upacara Tiwah. Dalam masyarakat Dayak, ketika
seorang yang memiliki status sosial tinggi seperti bangasawan meninggal dunia, maka ada
kepercayaan bahwa arwahnya perlu ditemani. Dalam mencari teman tersebut, orang Dayak
akan melakukan mangayau, yakni sebuah tradisi perburuan kepala manusia yang nantinya
akan menjadi kurban dalam upacara Tiwah. Dalam melaksanakan orang Dayak biasanya akan
mencari kepala manusia yang berasal dari suku lain. Semakin banyak kepala manusia yang
didapat maka akan semakin baik bagi arwah. Dalam kepercayaan suku Dayak, arwah kepala
manusia hasil buruan tersebut dipercaya akan menjadi pelayan atau jipen. [10] Bagi sang pemburu
pyang berhasil mendapatkan kepala manusia akan mendapat kenaikan status sosial dalam
masyarakat. Jika mangayau gagal dan tidak mendapatkan kepala, maka yang akan menjadi
penggantinya adalah para budak. Kepala manusia yang sudah dikumpulkan itu nantinya akan
ditanam di bawah sapundu.[3]
Kehadiran Belanda sebagai negara kolonial yang kemudian mengatur kehidupan masyarakat
Dayak kemudian melakukan pelarangan terhadap tradisi mengayau. Pada 22 Mei hingga 24 Juli
1894 Belanda mengumpulkan seluruh kepala suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan.
Pertemuan ini kemudian melahirkan Perjanjian Tumbang Anoi yang bertujuan untuk mengakhiri
rasa saling bermusuhan dan sekaligus mempertegas pemberlakuan larangan mangayau. Selain
itu, sistim perbudakan yang ada dalam masyarakat Dayak juga dihapuskan. [10] Dalam upacara
Tiwah, kurban kepala manusia akhirnya diganti dengan kurban kepala hewan terutama kerbau.
Selain pelarangan tradisi mengayau, keberadaan negara Indonesia yang hadir pasca
kemerdekaan juga turut mempengaruhi berlangsungnya upacara Tiwah. Waktu pelaksanaan
upacara Tiwah akan menjadi lama karena menunggu perizinan dari banyak instansi seperti
camat, polisi, dan majelis adat. Lama dikeluarkannya izin bahkan bisa mencapai 12 bulan.
Penyelenggara upacara Tiwah wajib mengisi sejumlah dokumen dan harus memberikan detil
kegiatan yang nantinya akan dilangsungkan.[5]

Agama pendatang[sunting | sunting sumber]


Agama dari luar yang masuk ke masyarakat Dayak seperti Kristen dan Islam turut
mempengaruhi penyelenggaraan upacara Tiwah. Pengaruh agama Kristen yang dibawah para
misionaris yang datang bersamaan dengan hadirnya negara kolonial Belanda lebih kepada
pelarangan tradisi mangayau yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan, agama Islam
memiliki pengaruh terhadap tata cara pengurbanan hewan dalam upacara Tiwah. Pada akhir
upacara Tiwah, diadakan upacara pengurbanan hewan dengan cara ditombak atau yang disebut
dengan tubah. Jika sebelumnya, penombakan hewan kurban seperti kerbau dilakukan secara
berkali-kali hingga hewan tersebut tersunggkur dan akhirnya mati. Dalam kepercayaan Islam,
hewan yang dikurbankan harus disembelih terlebih dahulu. Hewan yang mati dalam keadaan
ditombak seperti yang ada dalam upacara Tiwah, nantinya daging tersebut tidak boleh dimakan
karena statusnya haram. Oleh sebab itu, dalam upacara Tiwah yang mendapat pengaruh Islam,
setelah hewan ditombak dan sebelum hewan yang dikurbankan mati, hewan tersebut harus
disembelih dibagain leher terlebih dahulu agar dagingnya boleh atau halal untuk dikonsumsi. [3]

Teknologi baru[sunting | sunting sumber]


Dalam upacara Tiwah penggunaan kayu berupa kayu besi dan bambu banyak digunakan untuk
membuat sejumlah keperluan upacara. Seiring perkembangan zaman dan interaksi orang Dayak
dengan masyarakat pendatang, membuat penggunaan kayu untuk keperluan upacara Tiwah
sedikit berkurang. Pada tahun 1960-an ketersediaan semen mulai melimpah. Hal ini kemudian
berpengaruh terhadap pembuat sandung terutama sandung yang dletakkan di tanah atau
sandung munduk.[9] Sandung yang biasanya terbuat dari kayu besi atau kayu ulin, kini semakin
banyak yang membuatnya dari semen yang dicampur batu dan pasir. Sandung yang terbuat dari
semen memiliki bentuk serupa dengan kubus, polos dan tidak memilki ukiran.

Kematian bukanlah titik akhir. Bagi pemeluk Kaharingan, ketika seseorang meninggal dan
dimakamkan, masih ada satu proses lagi yang harus dilewati oleh orang yang meninggal
untuk dapat kembali ke tahta Ranying Hattala. Upacara Tiwah yang merupakan upacara
sakral terbesar di kalangan pemeluk Kaharingan dilaksanakan untuk mengantarkan jiwa atau
roh manusia yang telah meninggal dunia menuju ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang,
Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan,
Hakarangan Lamiang (negeri yang kaya raya, indah, tidak ada lagi penderitaan) atau Lewu
Liau yang terletak di langit ketujuh. Salumpuk Liau harus dikembalikan
kepada Hatalla karena tanpa diantar ke Lewu Liau melalui upacara Tiwah, tidak
mungkin Salumpuk Liau dapat mencapai Lewu Liau. Dalam ajaran Kaharingan, perjalanan
jauh harus ditempuh untuk dapat menuju Lewu Liau. Untuk dapat menuju ke tempat tersebut,
harus melewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai, gunung-gunung, tasik,
laut, telaga jembatan-jembatan sehingga bila pelaksanaan upacara Tiwah tidak
sempurna, Salumpuk Liau yang diantar menuju alam baka dapat tersesat.
Upacara Tiwah biasanya berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari. Lamanya
pelaksanaan upacara ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu,
upacara Tiwah dapat ditunda pelaksanannya hingga terkumpul dana atau dapat juga
bergabung dengan keluarga lain untuk bersama-sama melaksanakan upacara sakral tersebut
(prinsip gotong-royong). Sebagai upacara sakral terbesar,  upacara ini memiliki resiko tinggi
sehingga segala persiapan dan pelaksanaannya harus dilakukan dengan cermat. Bila terjadi
kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan
menanggung beban berat seperti jauh dari rejeki atau terganggu kesehatannya.

Upacara tiwah melibatkan perantara yaitu Rawing Tempon Telon, Raja Dohong


Bulau atau Mantir Mama Luing Bungai Raja Malawung  Bulau yang bertempat tinggal di
langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, Rawing Tempon Telon dibantu
oleh Telon dan  Hamparung dengan melalui bermacam-macam rintangan sementara
pelaksanaan di Pantai Danum Kalunen atau di bumi dilakukan oleh balian atau basir.
Upacara Tiwah diadakan di rumah Bakas Tiwah (biasanya salah satu Bakas Lewu – sesepuh
kampung). Pada hari pertama, upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan
berbentuk rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya
dalam waktu satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi yaitu seekor babi yang dibunuh
sendiri oleh Bakas Tiwah. Di hari kedua, didirikan Sangkaraya  Sandung Rahung yang
diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan tulang
belulang Salumpuk Liau. Setelah itu seekor babi akan diambil darahnya untuk Mamalas
Sangkaraya Sandung Rahung.  Disekitar Sangkaraya dipasang bambu kuning
dan lamiang atau tamiang palingkau  juga kain berwarna kuning, serta bendera panjang
berwarna kuning bergambar bulan ditengahnya dengan gambar sinar matahari dari atas.  Di
hari kedua ini, alat-alat musik seperti gandang,
garantung, kangkanung, katambung, toroi dan tarai mulai dibunyikan. Semua alat music dan
semua perkakas ini harus dipalas atau disaki dengan darah binatang yang telah ditentukan. 
Pada hari itu seorang penawur mulai melaksanakan tugasnya menawur untuk
menghubungi  salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam tiwah.
Di hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Tiga orang
bertugas mangajan (merupakan tarian sacral, biasanya membentuk formasi tarian) disertai
dengan tetabuhan bunyi alat music dan pekik/sorak kegembiraan di sana-sini. Pada hari itu
beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah mangajan selesai,  hewan
korban dibunuh dan darahnya dikumpulkan pada sebuah sangku. Darah tersebut akan
digunakan untuk membasuh segala kotoran yaitu untuk menyaki dan memalas semua orang
yang berada di kampung juga semua peralatan yang digunakan dalam upacara ini. Mereka
percaya jika darah hewan yang dikorbankan adalah darah Rawing Tempun Telon yang telah
disucikan oleh Ranying Hatalla.
Di hari keempat, di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera.
Tiang ini merupakan sebuah tanda untuk pemberitahuan kepada orang-orang yang datang
bahwa di kampung sedang  berlangsung upacara Tiwah sehingga kampung tertutup bagi lalu
lintas umum. Mereka yang belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki di
kampung. Sementara itu di hari ke empat ini, penawur dengan duduk di atas gong mulai
berkomunikasi dengan orang-orang yang telah meninggal dunia,
para sangiang dan Jata untuk memohon perlindungan bagi sanak keluarga yang ditinggalkan
serta semua orang yang hadir. Penawur juga memanggil Antang untuk menjaga keamanan
kampung serta berkomunikasi dengan Raja Pali (penguasa semua larangan). Permohonan ijin
dan pemberitahuan pelaksanaan tiwah dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman raja
pali akan peristiwa sacral tersebut. Proses selanjutnya adalah pendirian Hampatung
Halu yang diikat sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah
berbatasan kampung.  Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli
waris salumpuk liau dengan batas waktu yang ditentukan (larangan berupa dilarang memakan
beberapa jenis ianang seperti kijang, kancil dll serta makan daun tertentu seperti daun keladi
dll).
Di hari kelima, Pantar Tabalien – jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju lewu liau,
berupa tiang dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi – didirikan. Di hari ini,
hewan-hewan yang dikurbankan (sapi, kerbau dll) diikat di Sapundu, sementara mereka yang
hadir akan mengelilingi sapundu, menganjan tanpa henti siang dan malam. Di hari ini
sandung mulai dibangun. Selain Sandung, sebuah belanga dengan ukuran besar (biasanya
mahal) diletakkan di samping patung besar yang terbuat dari kayu. Dalam keyakinan orang
Dayak, belanga berasal dari langit ketujuh sehingga siapapun yang diantar ke langit wajib
menyediakan belanga.
Saat puncak upacara, Bakas Tiwah dan Basir dikenakan pakaian khusus yang telah
dipersiapkan untuk upacara. Mereka berdua didudukkan di atas Katil Garing dengan
memegang ketambung (sejenis gendang berukuran kecil). Posisi duduk basir berada ditengah
diapit oleh dua orang serta empat orang duduk dibelakang. Penawur kemudian
mengawali tantulak balian (buang sial) yang dimaksudkan untuk membuang segala bencana
yang mungkin terjadi  selama prosesi sakral berlangsung.
Dalam pelaksanaan upacara Tiwah – sesuai syarat dari Ranying Hatalla dengan
perantaraan Rawing Tempon Telon – dibutuhkan sifat ksatria, keberanian luar biasa, gagah
perkasa serta  pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah lanting
rakit dari hulu yang membawa rombongan tamu. Sebagai tamu, mereka tidak begitu saja
diterima kehadirannya namun harus diuji keberaniannya. Begitu rombongan turun dari
lanting rakit yang ditumpangi, mereka disambut dengan laluhan dan taharang. Kepada tamu
yang datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang dan tujuan
kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa. Kemudian rombongan tamu akan
menjawab pertanyaan tersebut dan tidak lupa menyebutkan tindak kepahlawanan yang
mereka lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta
kepada para tamu untuk memotong kayu penghalang yang ada didepan mereka atau manetek
pantan.  Pantan merupakan batang kayu bulat yang panjangnya dua meter diikat melintang
pada tiang setinggi pinggang dan diletakkan didepan rumah Bakas Tiwah. Bila rombongan
mampu memotong batang tersebut hingga patah maka mereka dinilai sebagai ksatria yang
memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa, pantang menyerah. Selesai manetek pantan,
rombongan dipersilahkan bergabung.
Di hari ketujuh, Salumpuk Liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau. Proses ini diawali
dengan penikaman hewan korban yang diikat di sapundu dengan menggunakan tombak
sesuai aturan yang telah ditetapkan. Setelah penikaman dilanjutkan dengan tari kanjan (hanya
dilakukan oleh laki-laki) dan kemudian dilanjutkan dengan memasak untuk mempersiapkan
makanan untuk Sangiang, Nyaring, Antang dan lain sebagainya dengan tata cara pemberian
makan yang telah diatur oleh adat.
Salumpuk bareng (tulang belulang)  kemudian digali dan pada hari itu dimasukkan ke
sandung dilanjutkan dengan pendirian pantar (tiang yang terbuat dari kayu ulin dengan
panjang atau tinggi berkisar 6-8 meter, tiang ini dianggap sebagai jembatan atau jalan yang
digunakan oleh arwah yang ditiwahkan menuju ke Lewu Liau).  Upacara dianggap selesai
jika seluruh prosesi telah dilaksanakan lengkap. Setelah hari ketujuh, balian dan basir diberi
kesempatan beristirahat selama sehari sebelum acara dilanjutkan lagi selama 3 hari berturut-
turut. Acara lanjutan ini merupakan ungkapan syukur dari keluarga Salumpuk Liau kepada
para tamu yang telah hadir dan sekaligus memohon kepada Rawing Tempon Telun agar
memberikan perlindungan.  Setelah semua prosesi selesai, sebagian anggota tiwah akan
mengantarkan para rohaniawan Kaharingan yang terlibat dalam upacara Tiwah kembali ke
tempatnya masing-masing.
Upacara Tiwah sebagai upacara sacral terbesar dikalangan pemeluk Kaharingan dipercaya
telah ada/dilakukan sejak adanya manusia dibumi dengan tata cara pelaksanaan atas petunjuk
dari Ranying Hatalla sendiri. Munculnya upacara Tiwah sendiri berkaitan dengan
riwayat Raja Bunu dan istrinya sebagai nenek moyang manusia yang mendiami pantai
danum kalunen atau bumi. Selanjutnya agar keturunan Raja Bunu dapat kembali berkumpul
ke negeri atas maka diadakanlah upacara Tiwah.
Pelaksanaan upacara Tiwah di masing-masing daerah berbeda. Hal ini disebabkan karena
upacara Tiwah dilakukan tanpa ada pedoman tertulis. Namun meskipun berbeda, namun
tujuan dari pelaksanaan upacara ini tetap sama yaitu mengantarkan arwah ke negeri yang
kekal.

Direview oleh: Septi Dhanik P. (Pengolah Data Nilai Budaya)

Disarikan dari tulisan Tjilik Riwut dengan judul buku Manaser Panatau Tatu Hiang,
Menyelami Kekayaan Leluhur. Penyunting Nila Riwut, dicetak oleh NR Publishing, 2015
(cetakan kedua) hal 284-311.

tutupkuncoro (2018-02-15). "Upacara Tiwah yang merupakan upacara sakral terbesar di


kalangan pemeluk Kaharingan". Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat (dalam
bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-09
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan bagi masyarakat, pembaca, dan penulis
adalah sebagai berikut:
1) bagi masyarakat pemilik budaya Dayak Ngaju diharapkan tetap menjaga dan melestarikan
budayanya, karena sebuah simbol mencerminkan jati diri selaku suku asli masyarakat Dayak
Ngaju.
2) bagi pembaca, penelitian ini tidak hanya sebagai bahan bacaan saja namun jadikanlah inspirasi
dalam berkarya agar memperoleh pengetahuan dan ilmu yang lebih luas.
3) penulis berharap kepada generasi selanjutnya supaya penelitian ini dapat digali lebih dalam lagi.

Anda mungkin juga menyukai