Anda di halaman 1dari 4

UPACARA/RITUAL TIWAH SUKU DAYAK NGAJU KALIMANTAN TENGAH

Nama : Marturia Drifany


NPM : 18700004
Kelas : 2018 B

Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal
dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur
menuju sebuah tempat yang bernama sandung (tempat kecil berupa rumah untuk
menyimpan tulang). Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para
wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak.
Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di
Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan
sebagai agama leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya
digelar untuk seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa
dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai
ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau
(Surga) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku
Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak
untuk melepas rutas atau kesialan bagi keluarga almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-
pengaruh buruk yang menimpa.

Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan
(penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih
hidup. Selanjutnya, Tiwah juga bertujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi
pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan
pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi. Melaksanakan
upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit
serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian prosesi tiwah ini sendiri memakan
waktu hingga berhari-hari nonstop, bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya. Dan ritual
ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam hingga sekarang.

Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang
dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian,
orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam Surga. Kemudian
digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju
Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala
Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara
tiwah. Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci manusia tinggal sebelum lahir ke
dunia. Di alam itulah orang yang meninggal dunia menunggu sebelum diberangkatkan
menuju surga melalui upacara tiwah.

Setelah dilakukan upacara tantulak para Bakas Lewu ( saudara dari jasad yang sudah
meninggal) melakukan musyawarah , yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat
akan diadakan Upacara Tiwah, sehingga siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya
dapat turut serta. Setelah diumumkan , siapapun yang ingin bergabung terlebih dahulu
harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah Salumpuk Liau ( roh manusia yang
sudah meninggal) yang akan disertakan dalam Upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah
Salumpuk Liau yang akan bergabung untuk ditiwahkan, barulah ditentukan dengan
pemilihan siapa dari Bakas Lewu yang pantas menjadi Bakas Tiwah ( Ketua Upacara Tiwah).
Setelah itu ditawarkan kebutuhan-kebutuhan Upacara Tiwah sesuai dengan kemampuan
masing-masing keluarga Salumpuk Liau, masih ada beberapa persyaratan yang wajib
disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal wajib menyediakan seekor ayam
untuk setiap Salumpuk Liau. Upacara diakan di rumah Bakas Tiwah, dengan waktu
pelaksanaan ditentukan dalam musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga
berkumpul di rumah Bakas Tiwah.

Proses Upacara Tiwah diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk


rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya satu hari.
Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh sendiri oleh bakas
Tiwah. Setelah itu bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu ( menyediakan barang-barang
yang akan digunakan dalam Upacara Tiwah. Kemudian mendirikan Sangkaraya Sandung
Rahung (peti mati), kemudian diambil darah seekor babi yang sudah disembelih untuk
dioleskan diatas Sangkaraya Sandung Rahung dan alat-alat music yang digunakan dalam
Upacara Tiwah. Pada hari ini pula Penawur (penabur) mulai melaksanakan tugasnya
menabur untuk mengubungi Salumpuk Liau (roh orang mati) yang akan diikutsertakan
dalam Upacara Tiwah tersebut dan meminta izin kepada Pampahilep (simbol dewa dalam
agama keharingan). Ketika upacara Tiwah dilaksanakan, ada satu properti yang memang
harus ada dalam Tiwah, yaitu sapundu. Sapundu adalah patung dari kayu ulin yang didirikan
disamping kiri kanan sandung. Fungsi sapundu adalah selain sebagai tempat mengikat
hewan kurban, juga sebagai profil dari jenazah yang ditiwahkan. Bentuk sapundu selalu
menyesuaikan dengan kepribadian jenazah semasa hidupnya. Saat itu Salumpuk Liau
diyakini sudah turut serta hadir dan aktif berperan dalam perayaan Tiwah tesebut namun
kehadirannya tidak terlihat oleh mata manusia. Sejak itu hukum pali ( larangan yang tidak
boleh dilanggar) mulai dilaksanakan. Salah satu larangan saat Upacara tiwah antara lain,
menyantap beberapa binatang (kijang, kancil dan rusa) dan tumbuh-tumbuhan (rebung dan
daun keladi) serta tidak boleh ada perkelahian selama acara Tiwah berlangsung. Bila terjadi
perkelahian maka orang yang berkelahi wajib membayar denda kepada bakas Tiwah dan
memotong babi, darah babi tersbut digunakan untuk memoles mereka yang berkelahi.

Selanjutnya dibangun Pantar Tabalien, yaitu jalan yang akan dilalui Salumpuk Liau
menuju Lewu Liau (surga), terbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang
menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah. Pada saat
ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau, sapi atau babi diikat di Patung Tinggi
(Sapundu) dan mereka hadir mengelilingi Sapundu tersebut. Saat itu pula Sandung dan
pambak tempat menyimpan tubuh jasad (salumpuk Bereng) mulai dibuat. Kemudian selama
tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu tujuh hari mereka yang lalu lalang di kampung
tersebut terkena larangan (pali), dan wajib menyerahkan sesuatu miliknya berupa benda
apa saja untuk menetralisir pali menimpanya. Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya
memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual
khusus ke dalam sandung.
Daftar Pustaka

Bayu Lintang.2016. “Upacara /Ritual Tiwah Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah”. Dalam
(https://www.academia.edu/32984095/BUDAYA_NUSANTARA_-
_UPACARA_RITUAL_TIWAH_SUKU_DAYAK_NGAJU_KALIMANTAN_TENGAH) Diunduh 6
Januari 2019, pukul 19.00 WIB.

Humas kabupaten Katingan.2016.Tiwah.


(https://www.facebook.com/1524537004512697/posts/tiwah-bagian-iupacara-ini-
merupakan-upacara-penghantar-kerangka-jenazah-ke-tempa/1567494173550313/ )
Diunduh 6 Januari 2019, pukul 21.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai