untuk memimpin liau (arwah) didalam perjalannya menuju lewu liau (tempat peristirahatan/
surga). Lewu liau adalah tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya, dan untuk
kedua kalinya memakamkan tulang-tulang orang yang sudah wafat di tempat peristirahatan
tetap yang di sebut sandung.
Dalam kehidupannya suku Dayak Ngaju harus melestarikan budaya dan adat
istiadat yang ada, sehingga ketika meninggal, arwahnya akan diterima oleh nenek
moyang yang terlebih dahulu pulang ke negeri para arwah atau lewu liau. Apalagi
jika ada orang dari suku ini yang meninggal secara tidak wajar, misalnya karena
dibunuh, maka dianggap mati secara tidak luhur karena menurut mereka ia mati
dengan terpaksa dan belum waktunya untuk mati. Rohnya akan mengalami
penderitaan, baik di dunia maupun di akhirat karena ia tidak diberikan tempat.
Arwahnya akan bergentayangan di bumi dan di langit dan arwahnya tidak diterima
oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, tidak heran jika orang Dayak Ngaju
sangat menghormati dan mentaati adat-istiadatnya serta takut untuk melakukan
kejahatan, karena jika tidak, maka penderitaan di akhirat akan menanti dirinya.
Akan tetapi penderitaan tersebut akan dapat diakhiri melalui upacara Tiwah ini.
Jika kita berbicara tentang upacara suci Tiwah secara umum, jelas akan
berhubungan dengan Agama Kaharingan atau Agama Helo. Agama Kaharingan
adalah agama suku bagi orang dayak yang ada di Kalimantan. Mereka yang
menganut kepercayaan tersebut, hidup dalam mitos-mitos yang dibangun
berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Kaharingan berasal dari kata haring
ditambah dengan awalan ka dan akhiran an, yang kemudian menjadi Kaharingan.
Haring artinya hidup atau bisa juga berarti tumbuh dengan sendirinya. Jadi
Kaharingan sama dengan agama yang hidup dan tumbuh berdasarkan pesan Tuhan
atau Ranying Hattala Langit melalui perantara para leluhur atau nenek moyang.
Kaharingan ada semenjak Ranying Hatalla Langit menciptakan manusia dan
mengatur segala sesuatunya agar kelak manusia dapat menuju kehidupan yang
sempurna dan abadi. Menurut kepercayaan ini, manusia diciptakan dari tanah milik
Ranying Hattala Langit. Mengapa diciptakan berasal dari tanah milik Ranying
Hattala Langit, karena jika dari tanah milik manusia di dunia, tanah itu dikatakan
tanah sial.
Menurut kepercayaan Agama Kaharingan setiap manusia diciptakan atau dilahirkan
dari tiga unsur, yaitu unsur yang berasal dari Ranying Hattala Langit, ayah dan ibu
secara biologis. Jika salah satu dari ketiga unsur tidak ada, maka kelahiran dianggap
tidak sempurna. Setalah manusia itu wafat, maka ketiga unsur tadi diantar oleh
Duhung Maha Tandang[1] ke tempat yang telah ditetapkan oleh Ranying Hattala
Langit sejak awal.
Tiga tahapan pelaksanaan upacara kematian menurut suku dayak:
Upacara Suci Tiwah adalah upacara keagamaan, bukan upacara adat yang
secara umum dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Upacara ini dapat
dilaksanakan dengan syarat arwah-arwah yang ditiwahkan itu semasa hidupnya
harus beragama Kaharingan. Didalam pelaksanaannya, upacara suci Tiwah
diberikan tata adat dan tata cara khusus dengan hikmat dan bersih sebagaimana
telah diatur sejak dahulu kala dan sampai sekarang tetap diingat dan dilaksanakan
oleh umat Kaharingan. Nilai-nilai keagamaan, budaya maupun sosial yang
terkandung di dalamnya, menjadikan Upacara Suci Tiwah sebagai upacara tertinggi
dan beresiko tinggi bagi umat Kaharingan. Oleh karena itu, pelaksanaan dan
persiapan segala sesuatu harus dilakukan dengan baik dan cermat, karena jika
terjadi kekeliruan dalam pelaksanaannya, maka para ahli waris yang ditinggalkan
akan menanggung beban berat. Sebagai contoh, jauh dari rezeki di masa
mendatang, kesehatan terganggu atau sakit-sakitan, menanggung berbagai kutukan
di masa mendatang.
Tujuan Upacara Suci Tiwah ialah mempersatukan ketiga unsur yaitu unsur
Allah (Hatalla), Bapak, Ibu. Upacara ini tidak hanya diperuntukan bagi orang yang
mati secara tidak wajar (dibunuh, tabrakan, dll) melainkan untuk semua penganut
agama Kaharingan yang meninggal. Jika keluarga dari orang yang meninggal tidak
menyelenggarakan upacara suci Tiwah, maka keluarga yang bersangkutan akan
hidup dengan kesialan atau hidup di ddalam hukum karma (pali). Contohnya, dalam
pendidikan gagal dan hidupnya selalu tertuju dalam hal-hal negatif. Selain itu arwah
yang tidak ditiwahkan itu akan tetap tinggal di pulau raung dan akan
bergentayangan. Oleh karena itu, upacara suci Tiwah harus dilakukan agar arwah
orang yang sduah meninggal dapat mencapai surga atau disebut Lewu Tatau Dia
Rumpung Tulang, Rundung Raka Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau,
Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau.
Ditengah kebudayaan Indonesia yang beragam dan begitu kuat ternyata
beberapa masyarakat masih membawa tradisi budayanya (agama buminya)
kedalam gereja tanpa harus mempertimbangkan apakah sesuai dengan inti ajaran
agama Kristen atau tidak. Hal ini terjadi di GKE Eka-Asi Tangkehan yang
menyelenggarakan Upacara Suci Tiwah. Umat Kristen adalah persekutuan orang-
orang percaya menjadi suatu umat yang mengemban suatu gaya hidup berdasarkan
ajaran dan perilaku seorang juruselamat, Yesus Kristus. Persekutuan orang-orang
percaya ini biasanya disebut dengan satu istilah yang populer yaitu GEREJA.[2]
Sebagai orang-orang kristen yang mengaku percaya, ternyata orang-orang kristen
tidak menutup diri terhadap nilai-nilai budayanya, khususnya orang dayak Ngaju
yang menjadi jemaat “Gereja Kalimantan Evangelis” (GKE). Tidak dapat dipungkiri
pengaruh budaya Kaharingan masih terlihat di dalam kehidupan bergereja dan
berjemaat. Di GKE Eka Asi-Tangkehan, Kalimantan tengah, jemaat kristen masih
menyelanggarakan dan melestarikan Upacara Suci Tiwah. Tiwah terakhir diadakan
pada tahun 2006 dan diselenggarakan oleh tiga keluarga.
Kematian dalam perspektif kristen tidak hanya berbicara tentang definisi
kematian atau berbicara dosa yang sangat berkaitan erat dengan kematian rohani-
jasmani melainkan tidak lepas dari sifat dan kuasa Allah.[3] Kematian itu adalah
salah satu kenyataan hidup karena dosa juga adalah salah satu kenyataan hidup.
Kematian datang karena dosa , Roma 5:12 “Sebab itu, sama seperti dosa telah
masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah
maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat
dosa.” Kematian jasmani hanya sebagian dari akibat dosa. Dosa tidak mempunyai
belas kasihan sehingga kita berpisah dari Allah, mengakibatkan manusia
memerlukan penebusan, sehingga manusia dapat dibawa kembali kepada cahaya
Tuhan. Allah sungguh bekerja bagi kebaikan semua orang yang percaya kepada-
Nya Dai telah melihat manusia ketika dihancurkan oleh kejatuhan ke dalam dosa.
Manusia tidak mampu datang kembali kepada-Nya, dan oleh sebab itu Allah sendiri
yang menghampiri manusia. Inilah arti inkarnasi Yesus Kristus.[4] Siapa yang bisa
mengalahkan dosa maut? Hanya Allah. Oleh karena itu, Dia datang dalam wujud
manusia. Bagaimana ia datang? Dia memasuki aliran sejarah manusia untuk
menyamakan diriNya dengan manusia. Mengapa Dia datang? Dia berkata bahwa
Dia datang untuk memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang,
Markus 10:45 “Karena anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan
untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak
orang”. Secara rohani seorang yang percaya pada Kristus mempunyai hidup yang
kekal berdasarkan iman pribadinya pada Dia. Yesus berkata, “Sesungguhnya
barangsiapa mendengar perkataanKu dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku,
ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari
dalam maut ke dalam hidup, (Yoh. 5:24)”.
Upacara Suci Tiwah yang dilaksanakan pada bulan September, tahun 2005
ini dilakukan oleh tiga keluarga. Upacara ini mereka lakukan selain menjadi tradisi
masyarakat Dayak Ngaju, juga bertujuan untuk menghantarkan arwah orangtua
mereka yang beragama Kaharingan menuju Lewu Tatau untuk mendapatkan
kehidupan yang suci dan sempurna. Keyakinan akan adanya keselamatan melalui
Upacara Suci Tiwah, menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi kepada arwah
orangtua yang selama hidupnya menganut agama Kaharingan, dan inilah yang
menjadi salah satu alasan keluarga mereka melaksanakan Upacara Suci Tiwah.
Masyarakat menganggap bahwa upacara ini adalah tradisi dan merupakan upacara
besar bagi umat Kaharingan. Oleh rasa kebersamaan dan kekerabatan yang tinggi,
masyarakat sadar bahwa partisipasi mereka sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan
upacara suci Tiwah berlangsung.
Beberapa faktor diselenggarakan Upacara Suci Tiwah oleh gereja yang
didapatkan berdasarkan wawancara dengan beberapa jemaat GKE Eka-Asi
Tangkahen adalah:
Kebudayaan
Upacara Suci Tiwah adalah kebudayaan suku Dayak Ngaju yang hadir
melalui kehadiran Agama Kaharingan. Oleh karena itu, Kaharingan tidak akan dapat
dipisahkan dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat suku Dayak Ngaju. Upacara
ini terus dilakukan juga dengan alasan untuk melestarikan kebudayaan.
Sosial
Masyarakat Dayak Ngaju sangat melekat dengan budaya gotong royong.
Sebagai contoh, ketika menanam dan musim panen tiba, maka masyarakat Dayak
Ngaju saling bergotong-royong untuk membantu keluarga atau kerabatnya. Sama
halnya dengan upacar pernikahan dan upacara kematian.
Rasa tanggung jawab yang tinggi menuntut peran yang penting bagi
keluarga dalam proses pelaksanaan Upacara Suci Tiwah, diantaranya ialah: biaya
yang besar, tanggung jawab terhadap arwah yang ditiwahkan, memerlukan
kebersamaan dan rasa sosil yang tinggi karena upacara ini memakan waktu yang
cukup lama dan melibatkan banyak orang.
Pendidikan
Ekonomi
Karena upacara Tiwah sangat mahal dan membutuhkan waktu yang lama,
banyak masyarakat Suku Dayak yang melakukan Upacara Suci Tiwah secara
koletif, bersama-sama dengan keluarga lainnya. Dengan demikian biaya yang
ditanggung lebih ringan.
http://isbd-alv.blogspot.co.id/2014/03/upacara-tiwah.html
Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral
terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju
tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu
Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau
yang letaknya di langit ke tujuh.
Kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun mengantarkan liau ke Lewu Liau
ialah Banama Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun.
Perjalanan jauh menuju Lewu Liau melewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-
sungai, gunung-gunung, tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila
pelaksanaan tidak sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka tersesat.
Pelaksana di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian. Untuk lebih memahami
uraian selanjutnya, beberapa istilah perlu diketahui :
Prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa tanpa diantar ke lewu liau dengan sarana
upacara Tiwah, tak akan mungkin arwah mencapai lewu liau. Bila dana belum mencukupi,
ada kematian, pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda menunggu terkumpulnya dana dan
bertambahnya jumlah keluarga yang akan bergabung untuk bersama melaksanakan upacara
sakral tersebut.
Upacara besar yang berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari tentu saja
membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun karena adanya sifat gotong royong yang telah
mendarah daging, maka segala kesulitan dapat diatasi. Tumbuh suburnya prinsip saling
mendukung dalam kebersamaan menumbuhkan sifat kepedulian yang sangat mendalam
sehingga kewajiban melaksanakan upacara Tiwah bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan
didukung dan dilaksanakan bersama oleh mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan.
c. Salumpuk Bereng yaitu raga manusia yang telah terpisah dari jiwa karena terjadinya proses
kematian. Setelah mengalami kematian, salumpuk bereng diletakkan dalam peti mati, sambil
menunggu pelaksanaan upacara Tiwah, salumpuk bereng dikuburkan terlebih dahulu.
d. Pengertian dosa
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau akibat perbuatan semasa
hidupnya :
1). Merampas, mengambil isteri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang harus
dijalani oleh Salumpuk liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di Tasik Layang
Jalajan. Untuk selamanya mereka akan menjadi penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula
Salumpuk liau harus mengangkat barang-barang yang telah dicuri atau dirampok ketika hidup
di dunia. Barang-barang curian tersebut akan selalu dijunjung sampai pemilik barang yang
barangnya dicuri meninggal dunia.
3). Tindakan tidak adil atau menerima suap atau uang “Sorok“ bagi mereka yang bertugas
mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia). Mereka akan dimasukkan ke dalam
goa-goa kecil yang terkunci untuk selamanya.
Upacara Tiwah adalah upacara sakral terbesar yang beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan
persiapan segala sesuatunya harus dilakukan dengan benar-benar cermat, karena kalau terjadi
kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan
menanggung beban berat, diantaranya :
Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras, mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai
Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Adapun tanda-tanda yang mungkin dapat
dijadikan pedoman kemungkinannya seorang anak kelak dikemudian hari bila telah dewasa
menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir bungkus yaitu pada
saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena proses kelahiran, namun lahir utuh
terbungkus plasentanya, juga sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-
anak pada umumnya, ia pun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi
lingkungannya.
2. Basir.
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia dengan makhluk lain
yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Di masa silam, Basir selalu seorang
laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan, namun untuk masa sekarang
hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki kemampuan lebih,
dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat mistik.
4. Mahanteran
Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia dengan Rawing
Tempun Telun. Biasanya seorang Mahanteran atau Manjangen, selalu duduk di atas gong,
sambil memegang duhung dan batanggui sampule dare
Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah
Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu , yang hasilnya diumumkan bahwa dalam
waktu dekat akan diadakan Upacara Tiwah , sehingga siapapun yang berniat meniwahkan
keluarganya mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin
bergabung terlebih dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah salumpuk
liau yang akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah salumpuk liau
yang akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau, barulah ditentukan dengan pemilihan
siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi “Bakas Tiwah” .
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail dilaksanakan. Detail
pembicaraan antara lain menyangkut jumlah kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-
pihak keluarga yang telah menyatakan diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut
masalah konsumsi, hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama
memutuskan siapa pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau Balian.
Hari pertama :
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan
Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu hari. Persyaratan yang
harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai
Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan
tanda buat barang-barang yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan
menyediakan Dawen Silar yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.
Hari kedua :
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan di depan rumah Bakas
Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang masing-masing salumpuk liau. Setelah itu
seekor babi dibunuh diambil darahnya untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di
sekitar Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang
Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan
Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau.
Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti gandang, garantung, kangkanung,
toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan. Namun terlebih dahulu semua peralatan musik,
juga semua perkakas yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dipalas atau disaki dengan
darah binatang yang telah ditentukan.
Pada hari itu pula seorang Penawur mulai melaksanakan tugasnya menawur untuk
menghubungi salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah tersebut agar
mengetahui dan memohon izin kepada para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring,
Pampahilep. Juga pemberitahuan diberikan kepada Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai,
Bintang, Bulan, Patendu, Jakarang Matanandau.
Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing Haramaung, Baju
Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang Ranggam Malahui, Ewah Bumbun
dengan memakai ikat kepala atau Lawung Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di
pinggang diikat dohong Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi
Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-laki atau
perempuan, tua, muda, berdiri mengelilingi sangkaraya, dilanjutkan Menganjan untuk
menyambut dan menghormati para Sangiang yang telah hadir bersama mereka untuk
mengantarkan Salumpuk liau menuju Lewu Liau.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Kemudian tarian
Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-
bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah
riang gembira. Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah
Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh
dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran.
Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Rawing Tempun
Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah tersebut digunakan untuk menyaki dan memalas semua orang yang berada
dalam kampung tersebut, juga memalas batu-batuan, pangantuhu, minyak sangkalemu,
minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang, karuhei, tatau serta semua peralatan yang
digunakan dalam upacara Tiwah itu. Di samping untuk memalas, darah binatang korban tadi
juga dicampur beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah
mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras yang telah dicampur darah
Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit dan
gangguan, panjang umur dan banyak rezeki.
Hari ke empat
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut hadir serta aktif berperan serta
dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat oleh mata jasmani.
Salumpuk liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak,
paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam
perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang
hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan
anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan
menyuguhkan rokok dan sipa.
Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera yang
maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke kampung tersebut bahwa dalam
kampung tersebut sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi
lalu lintas umum. Mereka yang belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam
pesta Tiwah, antara lain belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki di kampung
itu. Tidak mentaati aturan, resiko tanggung sendiri. kemungkinan ditangkap, pada hari itu
pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong kepalanya sebagai pelengkap upacara
Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil manangking Dohong Nucung
Dandang Tingang. Pertama-tama penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah
meninggal dunia untuk memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut akan
diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Sangiang, Jata, untuk
memohon perlindungan bagi semua sanak keluarga salumpuk liau yang ditiwahkan serta para
hadirin yang hadir dalam upacara tersebut agar dijauhkan dari sakit penyakit serta jauh dari
kesusahan selama terlaksananya upacara Tiwah tersebut.
Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe dan jin-jin agar tidak
mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi kematian mendadak, orang terluka,
sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang
penghuni Tumbang Lawang Langit dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan
datangnya musuh yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral tersebut.
Setelah itu burung elang datang dan terbang melayang-layang di diatas tempat upacara Tiwah
berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.
Kemudian pada bangunan Balai Pangun Jandau diletakkan sebuah gong yang berisi beras
kuning, rokok, sirih, maksudnya sebagai parapah bagi tamu-tamu dan para ahli waris
Salumpuk liau yang sedang di-tiwah-kan juga diikat Sulau Garanuhing.
Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu “Raja Pali“ Sang
Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati penduduk bumi. Pemberitahuan dan
permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari
dimaksud untuk menghindari kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.
Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang diikat sebutir manik hitam dengan
tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan kampung dimana upacara Tiwah sedang
dilangsungkan dengan perkampungan lain yang tidak sedang mengadakan upacara Tiwah.
Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk liau. Batas
waktu pelaksanaan hukum pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.
Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan, juga ada pali
berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang berkelahi wajib membayar denda
kepada Bakas Tiwah Jipen ije dan kewajiban potong babi, darah babi digunakan untuk
menyaki mereka yang berkelahi.
Hari keempat :
Kanjan diawali oleh empat orang.
Hari kelima :
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu jalan yang akan dilalui salumpuk
liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang
menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.
Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau atau sapi diikat di sapundu
dan mereka yang hadir mengelilingi sapundu tersebut, menganjan tanpa henti baik siang
maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan salumpuk bereng
mulai dibuat, yang setelah siap terlebih dulu dipalas dengan darah kerbau, sapi atau babi.
Kemudian selama tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu
lalang di kampung tersebut terkena pali dan wajib menyerahkan sesuatu miliknya berupa
benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya. Kemudian Talin Pali diputuskan.
Sebuah Tajau atau belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya diletakkan disamping
patung besar yang terbuat dari kayu, namanya Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung
dengan Lalang Pehuk Barahan. Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh
oleh karena itu siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh
wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga menyediakan binatang-
binatang korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak masyarakat
berdatangan, berkumpul, bergabung menganjan mengelilingi hewan-hewan yang akan
dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk liau yang segera akan
dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi lagi, bambu dan daun itik
mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di dalam bambu, kemudian dibungkus
dengan daun itik.
Puncak Upacara
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang memang telah
dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang hadir untuk menyaksikan upacara
telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian didudukkan diatas Katil Garing dan siap
memegang sambang/ ketambung . Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang,
serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian yang artinya
buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin terjadi selama prosesi
sakral berlangsung.
Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla dengan perantaraan Rawing Tempun Telun
kepada mereka yang melaksanakan upacara Tiwah ialah sifat ksatria, memiliki keberanian
luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya
sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat upacara Tiwah
dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, tidak begitu
saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji keberaniannya.
Begitu rombongan tamu turun dari lanting rakit yang ditumpangi, mereka disambut dengan
laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu bulat yang panjangnya dua meter, diikat
melintang pada tiang setinggi pinggang dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada
tamu yang datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan
kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa.
Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut bahkan tidak lupa
menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka lakukan. Untuk membuktikan
kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada para tamunya untuk memotong
kayu penghalang yang ada di depan mata mereka. Bila mampu memotong hingga patah
berarti benar mereka adalah para ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa
pantang menyerah, baru kemudian mereka dipersilahkan bergabung.
Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari melepaskan segala
kesialan kawe rutas matei, pada hari ketujuh inilah salumpuk liau mengawali perjalanan
menuju Lewu Liau diawali dengan penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada
binatang korban yang telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat
yang hadir telah menganjan siang malam tanpa henti.
Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada aturannya.
Cara pertama :
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia berhak
mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas bunuhan.
Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya disebut
timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang korban yang telah
ditombaknya.
Cara kedua :
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima paha
kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan telah
berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan jantung
binatang yang ditombaknya.
Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Selesai
kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak mempersiapkan makanan untuk Sangiang,
Nyaring, Pampahilep, Sangkanak, kambe, burung bahotok, burung papau, burung Antang.
Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat mata jasmani yaitu
dilempar ke arah bawah ditujukan kepada salumpuk liau yang sedang diantar ke Lewu Liau,
lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja Untung dan para Sangiang. Lemparan ke arah
belakang ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan
kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada Bulan, Bintang, Matahari,
Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan kembali masyarakat yang hadir
berkumpul.
Tibalah saatnya salumpuk bereng digali/diambil dari tempat penyimpanan sementara. Tulang
belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan pada hari itu pula dimasukkan dalam tambak
atau pambak atau sandung . Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar.
Upacara dianggap selesai apabila seluruh prosesi upacara telah dilaksanakan lengkap, dengan
demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena telah berhasil melaksanakan tugas
dan kewajibanya kepada orang-orang yang dicintai. Salumpuk liau telah sampai ke tempat
yang dituju yaitu Lewu Liau.
Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat namun hanya sehari saja
karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara
lanjutan yang juga dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa
syukur dan terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah hadir
bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan yang ingin mereka
sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka selalu mohon perlindungan.
Pada hari yang sama diadakan juga acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan
Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada Hatalla.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan Penawur yang telah
terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi upacara demi mengantarkan salumpuk
liau ke lewu liau, tanda mata diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang
melaksanakan upacara akan pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing,
masyarakat yang telah turut hadir dalam upacara Tiwah berbondong-bondong mengantarkan
mereka sampai ketempat yang dituju.
Dalam upacara ini persyaratan yang lazim disediakan ialah bawui buku baputi atau babi
kerdil yang berwarna putih. Namun boleh juga kerbau atau sapi. Setelah segala macam
persyaratan dan sesajen disiapkan, upacara segera dimulai. Diawali dengan seorang penawur,
yang dengan sarana beras, menabur-naburkan beras ke segala arah. Dengan perantaraan
seorang penawur, mereka memohon kepada roh beras yang ditawurkannya untuk
menyampaikan kepada Mantir Mama Luhing Bungai agar bersedia turun ke bumi untuk
menyampaikan persembahan mereka kepada Penguasa Alam.
Tidak lupa dengan perantaraan penawur pula mereka memohon izin kepada salumpuk liau
atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia bahwa di bumi sedang diadakan upacara
Balian Balaku Untung. Juga disebutkan alasan upacara tersebut mereka adakan. Adapun
alasannya karena sebagai manusia yang masih harus melanjutkan hidupnya di Pantai Danum
Kalunen, mereka masih membutuhkan rezeki dan umur panjang.
Setelah roh beras yang ditawurkan naik menuju ke tempat Mantir Mama Luhing Bungai di
Batang Danum Jalayan di langit ketiga yaitu di negeri Batu Nindan Tarung, pesan dan tujuan
dilaksanakannya upacara adat tersebut disampaikan. Setelah dipahami maksud dan tujuannya,
kemudian beberapa Sangiang mengambil alih tugas tersebut. Sangiang-sangiang itulah yang
nantinya menjadi perantara manusia menuju Tahta Ranying Hatalla.
Para Sangiang yang sering kali terlibat dalam melaksanakan tugas tersebut, antara lain:
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
Sangiang-Sangiang yang bersedia menjadi perantara tersebut akan langsung turun ke bumi
dan memasuki rumah tempat upacara dilaksanakan. Mereka tidak lama berada di rumah
tersebut karena harus segera mengantarkan korban persembahan serta permohonan manusia
ke hadirat Penguasa Alam. Mereka naik ke atas menuju langit ketujuh dengan melalui empat
puluh lapisan embun.
Setelah melewati empat puluh lapisan embun, barulah mereka mencapai langit pertama, lalu
langit kedua dan seterusnya. Setiap langit ada penjaga pintu gerbang, dan setiap penjaga
gerbang berhak pula menerima sesajen yang khusus telah disiapkan bagi mereka. Apabila
sesajen diterima dengan baik, lalu mereka menukar sesajen tersebut dengan Bulau Untung
Panjang . Lalu mengutus salah seorang dari penjaga pintu gerbang setiap lapisan langit
bergabung dalam rombongan untuk turut serta mengantarkan Bulau Untung Panjang menuju
Tahta Ranying Hatalla.
Dengan demikian setiap melewati lapisan langit, jumlah rombongan menjadi semakin besar
karena dari setiap langit yang dilalui, seorang sangiang akan turut serta. Dengan demikian
setelah mencapai langit keenam, jumlah rombongan sangiang yang dipimpin oleh Rawing
Tempun Telon atau Mantir Mama Luhing Bungai telah bertambah enam orang. Menjelang
pintu ke tujuh, Raja Anging Langit telah menunggu di depan pintu gerbang langit ke tujuh
untuk mengucapkan salam. Bersama Raja Anging Langit, turut serta Indu Sangumang yang
nantinya akan bertugas mengetuk Pintu Tahta Kerajaan Ranying Hatalla.
Setelah memasuki pintu langit ketujuh, lalu ke Tasik Malambung Bulau, Tumbang Batang
Danum Kamandih Sambang, Gohong Rintuh Kamanjang Lohing tempat tinggal Tamanang
Handut Nyahu dan Kereng Tatambat Kilat Baru Tumbang Danum Nyarangkukui Nyahu
Gohong Nyarabendu Kilat, tempat Raja Sapaitung Andau. Baru kemudian menuju Bukit
Bulau Nalambang Kintan Tumbang Danum Banyahu.
Setelah itu menuju Bukit Tunjung Nyahu Harende Kereng Sariangkat Kilat. Disinilah
Banama Tingang , kendaraan berbentuk perahu yang mereka tumpangi berhenti. Hanya tiga
dari rombongan Sangiang tersebut yang melanjutkan perjalanannya menuju Tahta Ranying
Hatalla.
Mereka adalah :
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
Anggota rombongan lainnya hanya sampai di tempat tersebut dan harus bersabar menantikan
ketiga temannya melanjutkan perjalanan menuju Tahta Ranying Hatalla. Sambil membawa
Bulau Gantung Panjang atau Batun Bulau Untung yang telah diserahkan oleh para penjaga
lapisan langit, ketiganya menuju ke tempat Raja Sagagaling Langit di Bukit Bagantung
Langit, untuk membersihkan Bulau Batu Untung yang mereka bawa tersebut.
Dari tempat itu mereka pergi lagi menuju Bukit Garinda Hintan tempat Angui Bungai
Tempulengai Tingang, lauk Angin Manjala Buking Tapang untuk mangarinda Bulau Batu
Untung. Setelah itu dengan menumpang Lasang Nyahu, yaitu sejenis perahu yang melaju
cepat, mereka menuju Bukit Hintan Bagantung Langit tempat kediaman Raja Mintir Langit.
Di sana mereka membuka gedung tujuh tempat Putir Sinta Kameluh ( . . . tidak terbaca, ns).
Lalu Indu Sangumang mengetuk pintu, kemudian masuk dan menghadap Singgasana
Ranying Hatalla. Indu Sangumang memohon berkat bagi Bulau Batu Untung (. . . tidak
terbaca, ns.) setelah berkat diberikan mereka kembali menuju arah Bukit Tunjung Nyahu, dan
di tempat tersebut telah menunggu 40 Mantir Untung yang langsung meletakkan Bulau Batu
Untung pada kendarah cinta kasih yang tak dapat direnggangkan oleh kekuatan apapun jua.
Dengan demikian proses tugas para Sangiang telah selesai dan mereka kembali ke dunia
dengan melalui tujuh lapisan langit, empat puluh lapisan embun, langsung menuju rumah di
mana upacara sedang berlangsung.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada perantara dalam hal ini balian, maka para
Sangiang pamit untuk kembali ke tempat mereka masing-masing, namun terlebih dahulu
mereka menyantap sesajen yang telah disediakan khusus bagi mereka pada sebuah kamar.
Untuk pengecekan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak dengan cara sebagai
berikut:
Sebelum upacara dimulai, disediakan rotan yang panjangnya tujuh depa dan beras tujuh
sukat. Panjang rotan benar-benar telah diukur oleh tukang tawur atau balian, panjangnya
tujuh depa dengan disaksikan oleh banyak orang. Begitu pula beras sebanyak tujuh sukat.
Setelah upacara selesai, diadakan pengecekan ulang. Apabila ukuran rotan menjadi lebih
panjang yaitu lebih dari tujuh depa seperti hasil pengukuran semula, begitu juga jumlah beras
lebih dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka diterima dengan baik. Permohonan telah
dikabulkan. Akan tetapi apabila setelah diukur kembali panjang rotan kurang dari tujuh depa,
begitu pula jumlah beras kurang dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka ditolak.
Bara solak tamparan munduk balian, palus mimbing behaas ietuh : Ehem behas, harenjet
ganan, hai ganan, belum nantuguh labatang entang bulau, datuh labate habaring jari hampit
riwut manyan Raja. Nyimak saturi malayu, Hapan juyang bangkang halelan tingang, runting
tajahan burung nampasut, kilau nampasut tingang ije kadadang, nampuras tingkah nampuras
bungai ije kapating, malugaku bitim kilau banama nyandang liara nampilaku balitam, netek
ajung hatalumbang jadri hampalua uluh pantai danum kalunen bara balanai bintan penyang,
nampahanjung luwuk kampungan bunu, bara busi renteng bapampang pulu, ie babalai sansiri
koenjat antang, basali mangkuk sarangiring laut.
Kuntep kamaras, ban penu kaningagang sara dia jaka teburan garing tabela belum, dia jaka
penankekei, bara usuk lisum pananjuri bara wain tapan, Terai nduan tambekan etuh ijamku
enteng nasihku hanyim, nyahungku indum luang reawei, panati danum kalunen, akan jamban
payaruhan tisue luwuk kampungan bunu, nyahuangku bitim, antang manamuei manajah riak
renteng tingang, raja tabela basandar ranjang.
Ie jari bitim behas, jadi barakandung peteh, pantai danum kalunen, entan bulau, batiang
janjin, luwuk kampungan bunu, jadi peteh manyiret. Kilau lanting darai janji manalan.
Mampahulang naharantung nyalung, te kareh tandakm panjang, halawu bumbung dawen
purun, karungutm ambu harenda pandung, bulau tambun , jadi sukup tuntur, kilau bulan bele
manyinai nenteng sukup palakue tingkah pahawang nangkunyahe tatau. Kilat baputi dia
kanatah hintan, hijir bahenda dia nanggalung bulan, tawurku belum baun pingan rungan etan
bulau bahanjung mangkuk saramurung laut, bahing jarambang, nipas marung garing
gantungan, pusuk rawung bambau ukei, hayak enum bandadang, te palus manjakah behas tuh
auch :
Ije, due, telu, epat, lime, jahawen, uju ije kalabien ketun sintung uju due kalambungan ketun
lambung hanya, te palus manekap katambung, nampara nampulilang liau.
Toh ie auch :
Liiiiii liala – liaang liau matei randang are mananjung ambun. Saran kuwu bajumbang nihau
nambahui rahu nawan bulan, palus teneng tendur gandang nyaring menteng randah are
babalai bungking lunuk, rintuh rinau, tuwung siakung tatau, basali tanduh babulung bulau,
mikeh are bunu baletuk ngandang andau panurean dare, talawang, batesei manturana
pakaluyang bulau, are timpung jari tampahar harus laut, unduk ampah tanjung ambun buang,
bulau balemu mantap kasalananggalung petak sintel manajung halentur liau, mahapan
pahulanger bulan, tiling petak jajulana kahem pahulanger bulan nyaluluk. Te palus teneng
gandang tambun jete, hapamuntung luang kalang labehu handalem rintuh rinau tuwung
ihing . . . Hatalla baparung rangkang huang danum, sama manetep tuwung tambun rayung
tatau, manipas ulek lawin lanting raja. Mangat sama ela balisang panjang ije gawang tingang
rata ela balakas ambu, dinun due kasambutin antang awang matei hila ngaju, nasat
kabangkang nayu-nayu, hasapau dawen birun bukit, hatingkap pusuk rahing tarung, awang
matei junjun helu, nihau tutuk panambalun tambun, jadi nyahuangku buli batang danum
katimbungan nyahu, gohong santik malelak bulau, tanjung rahu ngalingkang bulan
halaliangku buli sandung garing, kamalesan karatu lumpung matanandau, bahalap nyapau
pisih rarindap langit kamalipir burung piak liau, hakalusang patung.
Nyamping bulan lembut nyarahan andau pandang, pandang kaninding saramin sina rarajak
saruk suling ringun tingang, kalalambang tambun, mateiu lunjang lenjut. Kanalantai lamiang
kanungket bajihi tambun, bajihi bulau tarahan tawe-tawe manyamei halampat nyahu
nangkuang burung piak liau hatarusan pantung baya tau mansanam kaban lumpat lawang
langit ie gagahan Telun mama Tambun bunu kandayu lanting jahawen, kanyaki liau Randin
tandang, meto rama batanduk garing, bahalap bajela rohong bakadandang uru jejerupan perun
tambun.
Awang matei ,nambit mambahete halaiyangku buli bukit pasahang braung, kamalesang
kereng rohanjang tulang, buli pampang raung, kamelasang kereng buli hatelangkup rabia,
kanarah hanjaliwan matei lunjang lenjut, kanahintip talampe, tapalumpang limpet.
Bahalap nyaluang, uei ringka, pakur layang antang, nambaji garing handue uju hansasulang,
kabantikan asai menteng ije tawae, jalan liau matei nabasan dohong, nakaje andau bunu
nalanjat pandange , sama netep garing kapandukae munduk jiret sihung kabahena, kabahena
bajanda, ela naharantung bahing pantung sambang, ela nyampilek bambi hengan lohing
belum tumbang kapanjungan panjung, haring saluhan antang nahuei, bakulas aku muta
tingang, parakanan renteng bantus manela bungai hajanjala tundu-tundu balaku badandang
lantaran tanjung Ambun, jalangku manjurung tawur namuei langit balalu batehan laberuh
luwuk enon, sandung danun dua kapamarau langit, tanduhangku mangkat entan bulan
mangaja lambang bulau bara gantung totok timung tandak, liau matei sambile mangantau
sambung santin karunya bapilu nihau ulang bajambilei, hindai aku mungkang tandakm, tawur
ije halawu bumbung daren purun hindai menjung karungut etan bulau harende pandung,
balau tambun –te palus malik tinai tekap sambang, te toh iye auch :
Manturan behas te iyoh-iyoh bitim tawur ela tarewen matei halawu bumbung daren purun, ela
sabanen ajung hatilalian hariran etan bulan, harende pandunge balau tambun, basa tawangku
panamparan belum, bara hemben horan.
Patiana pamalempang bara zaman totok panambalon tambun puna bitim behaas pantis
kambang kabanteran bulau balitam etam bulau tahutun lelak lumpung matanandau, pantis
kambang garing manyangen, ie hajamban teras kayu engang tingang hatatean lohing kayu
anduh nyahu ie halalawu bukit kagantung gandang harenda kereng nunyang, malangka langit.
Palus nangkalume putir Selung Tamanang ewen ndue Raja Nangking langit, mijen timpung
uju hatantilap pahangan hanya hatalamping, ie palus hajanjuri hanjak, nyahu mangaruntung
langit, panatekei humba kilat malambai ambun kapamalem malentur balitam, totok tambalun
tambun hayak enon haganggupa ie palus kaput biti alem, pain bukit tunjung nyahu lilap,
hanggupa tanda puruk kereng sariangkat kilat halawu. Petak sintel hambalambang tambun,
harenda riang dedet habangkalan garantung. Belum tandah hakaluwah nyakelang uru
jajarupen purun tambun, haring lamabat hambalaun nyampali, kanarah lintung talawang, ie
duam kauju andau, belum nahabulun urung, naring tingkah singan behau belum runja-runjat
ampin bilis manyang mananjak, pangarawang baun tiwing panjang hari tapu-tapu tingkah
sahempun pasang bara tumbang danum, ie palus mandawen handadue manumbung dinun
hatantelu, palus karimahan soho manggandang bara jalayan bulu, danum nyamuk pasang bara
tumbang danum. Kueh maku leteng kambang nyahun tarung, puna bitim hai kuasam belum,
tampan jata bara huang danum, enon suka nilap batu kilat tinting balitam datuh jema
hamaring, puna selung Hatalla bara lawang labehu langit, ie umbet kanumpuh bujang, sedang
handiwung kesampelau belum, te palus hatarung pulu ngalingkang pulau, luntur bahandang
batinting lima balas.
Akan batang danum ngabuhi bulau burung tumpah bua nyembang hatuen burung kajajirak
laut, palus mandung bitim marantep kilau hendan bulau, nangkuyang bilatamu nahajib
tingkah lanting rabia, te bukum jadi handiwung pakandung pusue, sawang bapangku anak,
pandung malelak bulau, ie umbet bula katugalam belum sadang bintang patendum hamaring.
Ie rawei banama baongkar puat, ajung jawu dagange handiwung banbaukei pusu pundung
malelak bulau, bauhat rentai nyangkabilan bawak nambuku tisim, galigir bintang, nambatang
suling, ringun tingang, mandawen simbel bulau bakatantan jari bulau jandau. Ie mangambang
bulau, taparuyang rayuh, malelak hintan tapang rundang rundai babehat babatu pating,
bateras nyalung Kaharingan belum. Baluhing gohong, paninting aseng, ie rawei awang hatue
kamampan bunu nantaulah anju tanjuren teken.
Hababiyan karayan tantanjuk rangkan , bapa manambang bitim kilau manambang banana
manungkah laut, manangkep balitam, ruwan manangkep ajung hatatean hareran.
Ie palus rawei masak manalajan pating ripu mangantien tundu palus nangkung nangkuluk
gentu nanpung penyang. Nundun balitam tingkah nundum paturung, ie lentu-lentu oleh
tingang tempun hemben horan naji-najing antang sangiang totok tambalun tambun palus
nagaggre gangguranan arae, nasuwa sebutan bitim, ie parei, tangkenya mampan baun
tiowong panjang parei karumis mampan jalan, parei tanjujik helang uhat
https://banuahujungtanah.wordpress.com/2011/01/16/upacara-tiwah-adat-dayak/