Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia dikenal sebagai negara dengan ragam pulau dan kebudayaan. Daya
tarik wisatanya terletak pada keindahan alam serta keunikan-keunikan yang dimiliki
setiap wilayah di Indonesia. Bangunan bersejarah, keindahan pantai, tari-tarian,
makanan khas, ukiran, sampai pada kegiatan masyarakat dalam berbagai acara
budaya. Menurut Koentjaraningrat ,“Kebudayaan adalah suatu sistem gagasan dan
rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Salah satu hasil kebudayaan yang jarang
disoroti melalui media pengkabaran adalah upacara Tiwah yang berasal dari suku
Dayak Ngaju di Kalimantan tengah. Upacara Suci Tiwah adalah upacara kematian
agama Hindu kaharingan yang dilakukan untuk memimpin liau (arwah) didalam
perjalannya menuju lewu liau (tempat peristirahatan/ surga). Lewu liau adalah tempat
jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya, dan untuk kedua kalinya memakamkan
tulang-tulang orang yang sudah wafat di tempat peristirahatan tetap yang di
sebut sandung.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Ritual Tiwah
2. Bagaimana cara pelaksanaan Ritual Tiwah
3. Apa pengertian Sapundu
4. Apa saja nilai-nilai dari pelaksanaan Ritual Tiwah
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian Ritual Tiwa
2. Mengetahui cara pelaksanaan Ritual Tiwah
3. Mengetahui pengertian Sapundu
4. Mengetahui nilai-nilai pelaksanaan Ritual Tiwah

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN RITUAL TIWAH

Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau yang biasa disebut "Magah Salumpuk
Liau Uluh Matei" oleh suku Dayak Ngaju adalah upacara sakral terbesar yang
bertujuan mengantarkan roh sanak saudara yang telah meninggal dunia menuju surga
(langit ketujuh), atau biasa disebut oleh suku Dayak Ngaju sebagai berikut: Lewu
Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau
Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau. Upacara
Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah
meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa hanya tulang-tulang dari
jenazah tersebut. Tulang-tulang tersebut nantinya akan disucikan dan dipindahkan
dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama Sandung, semacam rumah kecil
yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Ritual ini
selain bertujuan untuk mengantarkan jasad roh ke surga. Juga bertujuan sebagai
prosesi suku Dayak Ngaju untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga
almarhum/almarhumah yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang
melanda. Melaksanakan Upacara Tiwah bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan
persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu,
rangkaian prosesi Tiwah ini sendiri dapat memakan waktu berhari-hari (non-stop),
bahkan bisa mencapai satu bulan lebih lamanya. Dan ritual ini sudah dilaksanakan
sejak ratusan tahun silam hingga sekarang. Ritual Tiwah sendiri berasal dari daerah
Kalimantan Tengah, tepatnya dari suku Dayak Ngaju, penganut agama Hindu
Kaharingan.

A. PENGERTIAN JIWA ATAU ROH


Jiwa atau roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau
Semenget. Sedangkan Jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia disebut
Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Ranying Hatalla (Tuhan).
Prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa tanpa diantar ke Lewu Liau (surga)
dengan sarana Upacara Tiwah, tak akan mungkin arwah mencapai Lewu Liau (surga).

2
Apabila dana belum mencukupi untuk melaksanakan upacara Tiwah maka
pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda sampai terkumpulnya dana dan
bertambahnya jumlah keluarga yang akan bergabung untuk bersama melaksanakan
upacara sakral tersebut. Upacara besar yang berlangsung antara tujuh sampai empat
puluh hari tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun karena adanya
sifat gotong royong dari masyarakat, maka upacara besar ini dapat terlaksanakan.
Salumpuk Bereng yaitu raga/tubuh manusia yang telah terpisah dari jiwa karena
terjadinya proses kematian. Setelah mengalami kematian, Salumpuk Bereng
diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan Upacara Tiwah, Salumpuk
Bereng dikuburkan terlebih dahulu.
B. PENGERTIAN DOSA
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk Liau (roh yang
telah meninggal) akibat perbuatannya semasa hidup antara lain:

a. Merampas, mengambil istri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang harus
dijalani oleh Salumpuk Liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di Tasik
Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci).

b. Ketidakadilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang berwewenang


memutuskannya, yaitu para kepala kampung, Kepala Suku dan Kepala Adat. Mereka
juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci) untuk
selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.

c. Tindakan tidak adil atau menerima suap (korupsi) bagi mereka yang bertugas
mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia). Mereka akan dimasukkan ke
dalam Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci) untuk selamanya.

C. JENIS DAN NAMA PETI MATI

Dalam pelaksanaan Upacara Tiwah memerlukan peti mati untuk menaruh


jasad dari almarhum/almarhumah untuk nantinya jadi sebagai perantara atau media
pengantar Salumpuk Liau (roh manusia yang telah meninggal) menju Lewu Liau
(surga). Berikut adalah jenis dan nama peti mati tersebut:

a. Runi, yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian tengahnya
dibuat berongga atau berlubang dan ukuran lubang tengah disesuaikan dengan ukuran
Salumpuk Bereng (jasad) yang akan diletakkan di situ.

3
b. Raung, yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada umumnya, ada
tutup peti pada bagian atas. Namun tak memiliki lubang seperti Runi.

c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi panjang,
dengan tutup dibagian atas.

d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya berbentuk
tiang panjang ukuran satu depa.

e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi dengan empat tiang.

f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.

g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.

h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh. Sandung
Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun (Tuhan) akan
memberikan balasan kepada si pembunuh.

i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.

j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan
Tambak.

k. Jiwab, bentuknya menyerupai Sandung namun tanpa tiang.

l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.

m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.

n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar Sandung.

o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.

q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.

r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.

4
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia hewan korban
seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah lalu persyaratan yang
tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala manusia. Makna persembahan kepala
manusia ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli waris kepada Salumpuk Liau
(roh jasad yang telah meninggal) yang siap diantar ke Lewu Liau (surga). Mereka yakin
bahwa kelak di kemudian hari apabila Salumpuk Liau telah mencapai tempat yang
dituju yaitu Lewu Liau, maka sejumlah kepala yang dipersembahkan, sejumlah itu pula
pelayan yang dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah
dipersembahkan dalam upacara sakral tersebut, secara otomatis Salumpuk Liau dari
kepala-kepala tersebut akan masuk Lewu Liau tanpa harus ditiwah-kan walau
keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun di masa kini hal
tersebut telah tidak berlaku lagi.Kepala manusia digantikan oleh kepala kerbau atau
kepala sapi.

PELAKSANAAN UPACARA SAKRAL

a. Balian, Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan
komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat
oleh mata manusia. Balian menyampaikan permohonanpermohonan manusia kepada
Ranying Hatalla dengan perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari
Ranying Hatalla untuk mengayomi manusia. Tidak setiap orang mampu melakukan
tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Adapun
tandatanda yang dapat dijadikan pedoman seorang anak kelak bila telah dewasa
menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir terbungkus
yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena proses kelahiran, namun
lahir utuh terbungkus plasentanya, juga sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda

5
dengan anak-anak pada umumnya, ia pun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak
masuk akal bagi lingkungannya (peristiwa gaib).

b. Basir, Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia
dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata. Di masa silam, Basir
selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah lakulayaknya seperti perempuan,
namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia
spiritual, Basir memiliki kemampuan lebih dalam hal pengobatan, khususnya
penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.

c. Telun/Pisur Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan.
Telun bertugas dalam hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat keagamaan.
Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat. Dengan demikian
Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.

d. Mahanteran Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator


manusia dengan Rawing Tempun Telun (Tuhan). Biasanya seorang Mahanteran atau
Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang Duhung dan Batanggui
Sampule Dare (senjata tradisional suku Dayak Ngaju).

2. 2 PROSES PELAKSANAAN UPACARA TIWAH

Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu (saudara dari jasad yang telah
meninggal), yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan
Upacara Tiwah, sehingga siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya mengetahui
dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin bergabung terlebih
dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah Salumpuk Liau (roh
manusia yang telah meninggal) yang akan diikutsertakan dalam Upacara Tiwah.
Setelah pendataan jumlah Salumpuk Liau yang akan bergabung untuk diantarkan ke
Lewu Liau (surga), barulah ditentukan dengan pemilihan siapa dari para Bakas Lewu
yang pantas menjadi Bakas Tiwah (Ketua Upacara Tiwah). Setelah pemilihan Bakas
Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain
menyangkut jumlah kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang
telah menyatakan diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah
konsumsi, hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama
memutuskan siapa pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau

6
Balian. Disamping itu ditawarkannya kebutuhan-kebutuhan Upacara Tiwah sesuai
dengan kemampuan masing-masing keluarga Salumpuk Liau, masih ada beberapa
persyaratan yang wajib disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal wajib
menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk Liau. Upacara diadakan di rumah
Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan ditentukan 12 musyawarah. Pada hari yang
ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah Bakas Tiwah.

a. Hari Pertama Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk


rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya
dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh
sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas Tiwah
melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda untuk barang-barang yang akan
digunakan dalam Upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar
(persembahan/hewan korban) yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit
(pemolesan).

b. Hari Kedua Pada hari kedua, para keluarga peserta Tiwah yang tidak tinggal pada
kampung yang sama bersama-sama menumpang Rakit Laluhan seraya membawa
perbekalan dan sumbangan untuk upacara tersebut. Sesampai di lokasi Tiwah kemudian
dilakukan prosesi Potong Pantan (tradisi memotong batang bambu hijau) yang dipasang
melintang di pintu masuk dengan menggunakan sebilah pedang Mandau (senjata
tradisional suku Dayak) sebagai tanda para tetamu kampung disambut dengan baik oleh
tuan rumah. Secara resmi para keluarga dari lain kampung itu menjadi peserta Upacara
Tiwah tersebut.

Lalu di hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung (salah satu jenis peti
mati) yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang
belulang masing-masing Salumpuk Liau. Dilakukan Pemalasan (ritual
pengolesan/pemercikan) dengan membunuh seekor babi dan diambil darahnya untuk
memoles Sangkaraya Sandung Rahung. Kemudian di sekitar Sangkaraya Sandung
Rahung dipasang bambu kuning dan Lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain
warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu
Ngekah Lampung Matanandau. Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti
gandang, garantung, kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan. Namun
terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan digunakan

7
dalam Upacara Tiwah dipalas atau dipoles dengan darah binatang yang telah ditentukan
(misalnya darah babi). Pada hari itu pula seorang Penawur (penabur) mulai
melaksanakan tugasnya menawur (menabur) untuk menghubungi Salumpuk Liau yang
akan diikutsertakan dalam Upacara Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohonkan
izin kepada Para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep (simbol
Dewa dalam agama Kaharingan). Juga pemberitahuan diberikan kepada Sangumang,
Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan, Patendu, Jakarang Matanandau (symbol
alam). Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing
Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang Ranggam
Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau LawungSansulai Dare
Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat senjata Dohong Sanaman Mantikei.
Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas
Sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-laki atau perempuan, tua, maupun muda
berdiri mengelilingi Sangkaraya, dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan
menghormati 14 Para Sangiang yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan
Salumpuk Liau menuju Lewu Liau.

c. Hari Ketiga Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya.
Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi
Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan terdengar
disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah dan beras kuning
ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang
korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan
digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang yang
dikorbankan tersebut adalah darah Raja Agung Rawing Tempun Telun yang telah
disucikan oleh Hatalla.

Gambar 2.4 Tarian Manganjan

8
Kemudian darah tersebut digunakan untuk memoles semua orang yang berada dalam
kampung tersebut, juga memoles batu-batuan, pangantuhu, minyak sangkalemu,
minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang, karuhei, tatau, serta semua peralatan
yang digunakan dalam Upacara Tiwah itu. Di samping untuk memoles, darah binatang
korban tadi juga dicampur beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru,
juga ke arah mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras yang telah
dicampur darah Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari
segala penyakit dan gangguan, panjang umur dan banyak rezeki.

d. Hari Keempat Pada hari keempat ini diyakini bahwa Salumpuk Liau-pun turut
hadir serta aktif berperan dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak
terlihat oleh mata manusia. Salumpuk Liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika
para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di
situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka menggosokkan
air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di
kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi,
kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.
Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera yang
maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke kampung tersebut ketika
sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas
umum. Mereka yang belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta
Tiwah, antara lain belum dipoles dengan darah hewan korban (babi) dilarang
menginjakkan kaki di kampung itu. Jika tidak mentaati peraturan ada kemungkinan
ditangkap dan pada hari itu pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong
kepalanya sebagai pelengkap Upacara Tiwah. Kemudian seorang penawur duduk di
atas gong, sambil memegang Dohong Nucung Dandang Tingang (senjata tradisional
suku Dayak). Pertama-tama penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah
meninggal dunia untuk memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut
akan diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Tuhan
Bawah/Tanah (Sangiang Jata), untuk memohon perlindungan bagi semua sanak
keluarga Salumpuk Liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang hadir dalam upacara
tersebut agar dijauhkan dari penyakit serta jauh dari kesusahan selama terlaksananya
Upacara Tiwah tersebut. Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe
dan jin-jin agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi kematian

9
mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan sampai terjadi
perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tuhan Atas/Langit (Tumbang Lawang
Langit) dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan datangnya musuh
yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral tersebut. Setelah itu
burung elang datang dan terbang melayang-layang diatas tempat Upacara Tiwah
berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.
Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu “Raja Pali”
Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati penduduk bumi.
Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang dilaksanakan selama
tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk menghindari kesalahpahaman Raja Pali
akan peristiwa sakral tersebut. Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang
diikat sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan
kampung dimana Upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan perkampungan lain
yang tidak sedang mengadakan Upacara Tiwah. Sejak hari itu hukum pali mulai
dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk Liau. Batas waktu pelaksanaan Hukum
Pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya. Adapun larangan-larangan itu
adalah sebagai berikut:

1) Pali makan Rusa - Dilarang memakan Rusa.

2) Pali makan Kijang.

3) Pali makan Kancil/Pelanduk

4) Pali makan Kelep dan Kura-kura.

5) Pali makan Kera.

6) Pali makan Beruk.

7) Pali makan Buhis.

8) Pali makan Kalawet.

9) Pali makan Burung Tingang/Burung Enggang.

10)Pali makan Burung Tanjaku.

11)Pali makan Ahom.

10
12)Pali makan Mahar.

13)Pali makan Ular.

14)Pali makan Tahatung.

15)Pali makan Angkes.

16)Pali makan Buah Rimbang.

17)Pali makan Daun Keladi.

18)Pali makan Ujau.

19)Pali makan Dawen Bajai/Daun Bajai.

Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan, juga ada
pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang berkelahi wajib membayar
denda kepada Bakas Tiwah, Jipen, Ije, dan kewajiban potong babi, darah babi
digunakan untuk memoles mereka yang berkelahi.

e. Hari Kelima Hari ini Pantar Tabalien didirikan.Yaitu jalan yang akan dilalui
Salumpuk Liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau
kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter
dari tanah. Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau, sapi atau
babi diikat di Patung Tinggi (Sapundu) dan mereka yang hadir mengelilingi Sapundu
tersebut, menusuki hewan korban dengan Tombak Lunju tanpa henti baik siang
maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan Tubuh Jasad
(Salumpuk Bereng) mulai dibuat, yang setelah siap terlebih dulu dipoles dengan darah
kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu
selama tujuh hari mereka yang lalu lalang di kampung tersebut terkena larangan (pali),
dan wajib menyerahkan sesuatu miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali
yang menimpanya. Kemudian Talin Pali diputuskan

11
.

Gambar 2.5 Proses Penusukan Hewan Korban

Sebuah Tajau atau Belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya diletakkan
disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya Sandaran Sangkalan Tabalien,
Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan. Keyakinan suku Dayak belanga berasal
dari langit ketujuh oleh karena itu siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang
terletak di langit ketujuh wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja
juga menyediakan binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya
akan banyak masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabungmenganjan mengelilingi
hewan-hewan yang akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati
Salumpuk Liau yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih
dilengkapi lagi, bambu dan, daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan
dimasak di dalam bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.

f. Hari Keenam Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus
yang memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang hadir
untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian didudukkan
diatas Katil Garing (panggung) dan siap memegang alat musik (Sambang/Ketambung).
Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh 19 dua orang, serta empat orang duduk di
belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian yang artinya buang sial, maksudnya
membuang segala bencana yang mungkin terjadi selama prosesi sakral berlangsung.
Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla , dengan perantaraan Rawing Tempun
Telun kepada mereka yang melaksanakan Upacara Tiwah ialah sifat ksatria, memiliki
keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan
dengan datangnya sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan
tamu saat Upacara Tiwah dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau,

12
sapi, babi, ayam, tidak begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji
keberaniannya. Begitu rombongan tamu turun dari Lanting Rakit yang ditumpangi,
mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu bulat
yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi pinggang dan
diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang, Bakas Tiwah
bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan kedatangan juga nama dan
jenis binatang yang dibawa. Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan
tersebut bahkan tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka
lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta
kepada para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di depan mata
mereka. Apabila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah para
ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah, baru
kemudian mereka dipersilahkan bergabung.

g. Hari Ketujuh Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari
melepaskan segala kesialan (Kawe Rutas Matei), pada hari ketujuh inilah salumpuk liau
mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan 20 penikaman dengan
menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang telah dipersiapkan, dan
diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang hadir telah menganjan siang malam
tanpa henti. Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada
aturannya. Cara pertama:

1) Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia berhak


mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.

2) Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas
bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah ditombaknya

3) Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya
disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang korban
yang telah ditombaknya.

Cara kedua:

1) Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima


paha kanan binatang yang telah ditombaknya.

13
2) Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan telah
berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang ditombaknya.
3) Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan
jantung binatang yang ditombaknya. Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan
yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak
memasak mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak,
Kambe, Burung Bahotok, Burung Papau, Burung Antang (hewan mistis tak terlihat
oleh mata). Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat mata
jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada Salumpuk Liau yang sedang
diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja Untung dan Para
Sangiang. Lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi
lagi, ke arah belakang ditujukan kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas
ditujukan kepada Bulan, Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara
pemberian makan kembali masyarakat yang hadir berkumpul. Tibalah saatnya
Salumpuk Bereng digali atau diambil dari tempat penyimpanan sementara. Tulang
belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan pada hari itu pula dimasukkan dalam
tambak atau pambak atau sandung. Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk
atau hapuar. Upacara ini dianggap selesai apabila seluruh prosesi Upacara Tiwah telah
dilaksanakan dengan lengkap, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa
lega karena telah berhasil melaksanakan tugas dan kewajibanya kepada orang-orang
yang dicintai. Salumpuk Liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu Lewu Liau.
Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat namun hanya
sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi selama tiga hari berturut-turut.
Maksud acara lanjutan yang juga dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram
adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada
para tamu yang telah hadir bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah
ungkapan yang ingin mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa
mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga acara Balian
Balaku Untung yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada
Hatalla . Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan
Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi Upacara Tiwah
ini demi mengantarkan Salumpuk Liau ke Lewu Liau, cindera 22 mata diberikan
kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara akan pulang ke
kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang telah turut hadir dalam

14
Upacara Tiwah berbondongbondong mengantarkan mereka sampai ketempat yang
dituju.

2.3 PENGERTIAN SAPUNDU

Sapundu merupakan Patung manusia yang dibuat dari bahan kayu ulin berdiameter 15
s/d 50 cm dengan panjang 3 s/d 5 meter dan didirikan di samping kiri kanan
Sandung. Sapundu merupakan salah satu sarana penting yang digunakan dalam
pelaksanaan upacara Tiwah. Sapundu dibuat dari kayu kuat dan tahan lama, yang diukir
sedemikian rupa yang berbentuk patung berwujud manusia laki-laki dan perempuan
hanya khusus digunakan untuk upacara Tiwah saja.

Sapundu memang harus dan wajib digunakan dalam Upacara Tiwah dan merupakan
persyaratan utama dalam perlengkapan Upacara Tiwah. Gawi Hanteran adalah prosesi
pengantaran liau Haring Kaharingan menuju lewu tatau habaras bulau habusung hintan.
Dalam ayat tawur yang menggunakan behas tawur yang disebut manyamei hatuen
tawur, serbuk Sapundu dicampur dengan beras tawur tersebut di dalam acara hanteran.
Dengan demikian fungsi Sapundu selain sebagai tempat Tiwah dan sebagai bahan
utama campuran dalam behas tawur, Kayu sapundu yang ditebang diusahakan jatuhnya
menghadap kearah matahari terbit, disertai pekikan lahap sebanyak tiga kali dan dalam
mengangkatnya pun disertai pekikan lahap sebanyak tiga kali, dalam
mendirikan Sapundu dipusat tempat upacara Tiwah dekat sangkairaya, dengan
persyaratan-persyaratan, antara lain ; didalam lobang tempat tiang Sapundu di pancang
di masukan paku, garam, manas, sipa roko, beras, uang logam, lalu
tiang Sapundu dimasukan kedalam lobang tidak boleh berbunyi nyaring,
sebelum Sapundu dimasukan kedalam lubang dilakukan acara mangutat Sapundu, dan
setelah semua sekesai barulah hewan korban diikatkan pada sapundu tersebut.

15
PROSES PEMBUATAN SAPUNDU

Penjelasan patung Sapundu diatas tidak terbatas sampai segi kepercayaan saja tetapi
lebih dari itu. Menilai suatu karya bukan hal yang mudah dan tinjauan tidak cukup
hanya sekedar menatap kehadiran fisik patung itu saja apalagi menilai karya
Patung Sapundu yang dapat ditinjau dari segi adat, kepercayaan dan etestikanya.

Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan Sapundu adalah gergaji, kapak,
pahat, Mandau, kikir, kayu, bermacam-macam jenis warna cat, kuas, mas, perak, lilis
lamiang, dan ayam korban. Sebelum pembuatan patung Sapundu dilakukan, tarantang
nule mencari kayu ke dalam hutan. Kayu yang benar-benar baik dan kuat, dalam proses
penebangan kayu dilaksanakan terlebih dahulu menabur beras kuning yang ditujukan
pada penguasa alam (tanah/hutan). Kayu yang akan ditebang harus jatuh kearah
matahari terbit disertai pekikan lahap tiga (3) kali dan jangan sampai menyangkut di
dahan atau tempat lain. Untuk itulah, sebelum memotong terlebih dahulu dibersihkan
sekitar tempat jatuhnya kayu tersebut dalam hal ini dihindarkan agar saat
dilaksanakannya upacara Tiwah tidak ada halangan dari awal sampai selesainya
upacara tersebut. Memotong kayu Ulin pertama-tama menghadap matahari terbenam
(pambelep), selanjutnya masing-masing sisi (Ngaju-Ngawa), kemudian yang terakhir
menghadap matahari terbit (pambelum). Adapun maksud dari tahapan-tahapan
pemotongan tersebut adalah:

1. Arah Pambelep/matahari terbenam adalah untuk menghilangkan atau memusnahkan


segala sial yang diakibatkan oleh adanya kematian tersebut.
2. Ngaju-ngawa/hilir-mudik/dimasing-masing sisinya adalah agar baik setiap sisi
kehidupan Tarantang Nule di dunia ini penuh dengan jalan terang.
3. Arah Pambelum/matahari terbit adalah agar hidup Tarantang Nule selalu dianugerahi
dengan rejeki dan kemakmuran.

16
Setelah kayu ditebang dan kemudian diangkut sewaktu kayu diangkat disertai pekikan
lahap tiga (3) kali barulah kayu dipikul ke tempat upacara Tiwah, begitu pula saat kayu
diturunkan harus disertai pekikan lahap tiga (3) kali. Kayu tidak boleh dibawa ke
tempat lain. Biasanya untuk membuat Patung Sapundu dipilih kayu Ulin yang dalam
bahasa Dayak yaitu Tabalien. Menurut cerita kayu Tabalien (Ulin) berasal dari kaki
Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang yang karena memakan Pali Bambang
Penyang (pantang yang paling dilarang), sehingga bagian dari tulang kaki menjadi kayu
Ulin. Pada saat itulah diceritakan bahwa kayu ini khusus dipergunakan untuk membuat
Sandung dan Patung Sapundu. Sebelum dilakukan proses pemahatan untuk membentuk
Patung Sapundu ada beberapa syarat yang harus diberikan kepada tukang Patung
Sapundu oleh Tarantang Nule/Pretisanthana, syarat-syarat tersebut antara lain:

 Ayam kampung (bulu warna merah atau warna lain yang tampak cerah); untuk
memalas, darahnya dipercikan pada kayu yang akan dipahat maksudnya adalah untuk
pembersihan/penyucian kayu tersebut.
 Lilis Lamiang sebagai Panekang Hambaruan atau penguat roh, sehingga keselamatan
pemahat akan terjaga; diikatkan pada setiap orang yang membantu proses
pemahatan/pembuatan Sapundu. Maksudnya adalah agar tidak terjadi sesuatu yang
tidak baik atau hal-hal yang tidak diinginkan seperti sakit, cedera dan sebagainya.
 Pakaian Sinde Mendeng (pakaian komplit) yaitu dipakai selama membuat Sapundu.

Dalam proses pembentukan Sapundu disesuaikan dengan permintaan tarantang nule


biasanya dan sesuai dengan profil kehidupan si-almarhum yang akan di Tiwahkan,
untuk itu tarantang nule akan menceritakannya kepada orang yang telah ditunjuk untuk
membuat/memahat Patung Sapundu tersebut. Ada beberapa macam bentuk Patung
Sapundu yang digunakan dalam upacara Tiwah.

Sebagian dari bentuk tradisional ini sekarang masih diciptakan dan masih dilestarikan
oleh umat Hindu Kaharingan. Patung Sapundu yang mempunyai bentuk seperti
manusia, yang memiliki karakter, gerak yang berbeda-beda sesuai dengan pekerjaan
dan jabatan pada waktu si-Almarhum hidup. Patung Sapundu yang berbentuk binatang
yang melambangkan sifat-sifat manusia pada masa hidupnya, baik yang menjadi
pejabat, pemimpin, dan juga menjadi tokoh yang disegani di masyarakat dan juga
digambarkan pada masa hidupnya.

17
GUNA SAPUNDU DALAM UPACARA TIWAH

Patung Sapundu hanya dibuat dan digunakan pada saat ada Upacara Tiwah tapi pada
zaman dahulu Sapundu juga digunakan dalam upacara perkawinan dimana sebagai
symbol bagi orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tapi zaman sekarang tidak
ada lagi yang menggunakannya. Sapundudigunakan bila ada Upacara Tiwah dan hewan
yang dikorbankan adalah kerbau atau sapi. Bentuk Sapundudisesuaikan dengan hewan
jenis kelamin hewan yang akan dikorbankan. Bila Patung Sapundu berbentuk laki-laki
maka hewan yang dikorbankan adalah betina begitu juga sebaliknya bila hewan yang
dikorbankan jantan maka Sapundu harus berbentuk perempuan. Jenis berlawanan
antara Patung Sapundu dengan hewan korban, sebagai pengendali sifat binatang dimana
hewan korban akan lebih jinak jika digembalakan dan dipelihara oleh orang yang
berlainan jenis dengan hewan tersebut.

Pada setiap pelaksanaan upacara Tiwah tampak jelas suatu sifat yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan. Perbedaan karakter laki-laki dan perempuan yang
disimbolkan oleh Patung Sapundu dan hewan korban mempunyai makna
Ardanareswari yaitu sifat laki-laki (purusa) dan perempuan (pradana) merupakan
keseimbangan yang harmonis untuk menciptakan kesejahteraan, kebahagiaan dan
kedamaian dunia (loka samgraha). Kedua sifat itu adalah rwa binedha yaitu dua sifat
yang kembar tetapi berbeda, berlainan tetapi sama yang menjadi unsur hidup dan
kehidupan alam beserta isinya. Sapundu sebagai tempat pengikat hewan korban
mempunyai makna bahwa dalam mencapai hidup sejahtera dan bahagia serta
mendekatkan diri kepada Tuhan yaitu dengan mengendalikan sifat-sifat kebinatangan
yang ada di dalam diri manusia dan mengendalikan rwa binedha agar seimbang dan
harmonis.

Sapundu selain digunakan sebagai tempat mengikat hewan korban juga serbuk Sapundu
digunakan sebagai bahan utama campuran dalam behas tawur, Gawi Hanteran adalah
prosesi pengantaran liau Haring Kaharingan menuju Lewu Tatau Habaras Bulau
Habusung Hintan. Dalam ayat tawur yang menggunakan behas tawur yang disebut
manyamei hatuen tawur, serbuk Sapundu dan seluruh sarana serta peralatan Upacara
Tiwah dicampur dengan beras tawur tersebut di dalam acara hanteran. Upacara
mangkang huma dan mapan Sandung, netat Sapundu merupakan symbol perwujudan

18
kekuasaan Tuhan menolong umatnya dalam menyelesaikan tugas suci yaitu upacara
Tiwah.

Penggunaan Sapundu dalam upacara Tiwah suatu kepercayaan dan emosi keagamaan
dapat dilihat akan syaratnya simbol-simbol yang mempunyai nilai religi.

FUNGSI SAPUNDU DALAM UPACARA TIWAH

Setiap lembaga masyarakat mengerjakan tugas sesuai fungsinya masing-masing,


dengan demikian eksistensinya dan stabilitas masyarakat dapat berjalan sesuai dengan
rencana atau proses yang diinginkan. Fungsi Patung Sapundu dalam hal ini dinyatakan
bahwa Sapundu memang harus dan wajib digunakan dalam Upacara Tiwah sangat
penting dan merupakan prasyaratan utama dalam perlengkapan Tiwah. Gawi Hanteran
adalah prosesi pengantaran Liau Haring Kaharingan menuju Lewu Tatau Habaras
Bulau, Habusung Hintan. Dalam ayat tawur yang menggunakan behas tawur yang
disebut Manyamei Hantuen Tawur, serbuk Sapundu dicampur dalam beras tawur
tersebut didalam acara Hanteran. Dengan demikian fungsi Sapundu selain sebagai
tempat mengikat hewan korban dan profil dari arwah yang di Tiwah juga sebagai bahan
utama campuran dalam beras tawur. Fungsi Sapundu juga sebagai simbol hewan yang
dikorban baik yang berbentuk laki-laki maupun perempuan. Fungsi Sapundu sebagai
perwujudan manusia yang di Tiwahkan sesuai dengan jabatan pekerjaan, perilaku pada
saat dia hidup di alam bumi ini, baik yang bersifat pemberani, penakut, pemimpin
pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Dalam sistem sosial fungsi Sapundu terdiri
dari beberapa bagian subsistem yang mempunyai fungsi yang membentuk struktur
sosial untuk kelangsungan dan keseimbangan masyarakat secara harmoni. Upacara
Tiwah adalah tindakan budaya manusia yang tercipta dari berbagai struktur masyarakat
yang terbentuk dalam interaksi sosial mempunyai fungsi dan tujuan yang luhur dalam
menciptakan keseimbangan dan keharmonisan.

Simbol-simbol dalam Agama Hindu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan
ajaran Ketuhanan (Teologi), karena simbol tersebut merupakan ekspresi untuk
mendekatkan diri padaNya. Setiap simbol mempunyai makna tertentu dan dengan
pemahaman makna tersebut, umat Hindu mengembangkan aspirasinya terhadap
simbol-simbol tersebut yang pada akhirnya dapat, meningkatkan sradha dan bhakti.
Sesungguhnya setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari symbol-simbol yang

19
merupan media untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dengan
Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan, keselamatan dan waranugraha-Nya.
Simbol dalam Agama Hindu (Hindu Kaharingan) berupa patung dalam melaksanakan
upakara (yajna), yang terbuat dari sarana tertentu antara lain berupa bunga, buah-
buahan, daun tertentu seperti sirih, makanan seperti nasi dengan lauk pauk, jajan dan
sebagainya, semua merupakan persembahan yang tulus ikhlas. Sehingga simbol
dalam agama Hindu (Hindu Kaharingan) mempunyai arti tertentu dalam
persembahyangan. patung Sapundu mempunyai fungsi yaitu sebagai pendidikan,
terutama dalam pendidikan Agama Hindu dari Tattwa, Susila dan Upacara ketiga hal
ini merupakan kerangka dasar Agama Hindu. Nilai pendidikan Tattwa dapat dilihat
dari sifat-sifat Tuhan, Sosial dapat dinilai dari tingkah laku manusia pada masa
hidupnya digambarkan dengan patung sapundu, yang dibuat oleh para pemahat harus
diupacarai terlebih dahulu dengan acara Nawur dan pemotongan binatang yaitu ayam
atau babi dengan tujuan bahwa orang yang akan mengerjakan patung itu tidak kena
musibah (sakit) dalam hal ini patung tersebut juga memiliki nilai kesucian. Kita
diajarkan untuk selalu disiplin dalam hal menjaga patangan atau Pali, dalam
pembuatan Sapundu Pali atau pantangan sangatlah diperhatikan karena dapat
berakibat patal apabila kita melanggarnya, misalnya kecelakaan dan hal-hal lain yang
diluar akal sehat kita manusia, begitu pula dalam upacara tiwah sangatlah banyak
pantangan yang harus kita jaga hal inilah sebagai salah satu sara untuk mendidik diri
kita untuk selalu hidup disiplin dan bertanggung jawab. Selain itu pula dalam
pelaksanaan upacara tiwah kita diajarkan untuk saling menghormati, menghargai serta
tunduk kepada peraturan yang telah kita tetapkan bersama serta peraturan-peraturan
yang telah baku dalam setiap pelaksanaan upcara tiwah.

Fungsi religious dalam Patung Sapundu bagi masyarakat Hindu Kaharingan


menginterpretasikan tindakan dan symbol-simbol yang bersifat sakral dan
mensakralkan yang bersifat profane dengan interaksi simbolik. Sapundu dalam Upacara
Tiwah mempunyai fungsi perwujudan dari pada leluhur dan pemujaan mujaan kepada
Tuhan, karena alam semesta isinya tercipta dan bersumber dari Tuhan (Brahman).

MAKNA SAPUNDU DALAM UPACARA TIWAH

20
Sapundu memiliki makna dalam hal ini dinyatakan bahwa Sapundu memang harus dan
wajib digunakan dalam Upacara Tiwah sangat penting dan merupakan prasyaratan
utama dalam perlengkapan Tiwah. Gawi Hanteran adalah prosesi pengantaran Liau
Haring Kaharingan menuju Lewu Tatau dia rumpang tulang, rundung raja isen
kamalesu uhat.. Dalam ayat tawur yang menggunakan behas tawur yang disebut
Manyamei Hantuen Tawur, serbuk Sapundu dicampur dalam beras tawur tersebut
didalam acara Hanteran. Dengan demikian Sapundu selain sebagai tempat mengikat
hewan korban dan profil dari arwah yang di Tiwah juga sebagai bahan utama campuran
dalam beras tawur.

Makna Sapundu juga sebagai simbol hewan yang dikorbankan baik yang berbentuk
laki-laki maupun perempuan, apabila Sapundu berwujud seorang perempuan, maka
hewan korbannya harus laki-laki, begitu juga sebaliknya, hal tersebut memaknai, bahwa
manusia hidup didunia selalu berpasangan.

Dalam sistem sosial makna Sapundu untuk kelangsungan dan keseimbangan


masyarakat secara harmoni. Upacara Tiwah adalah tindakan budaya manusia yang
tercipta dari berbagai struktur masyarakat yang terbentuk dalam interaksi sosial
mempunyai makna dan tujuan yang luhur dalam menciptakan keseimbangan dan
keharmonisan. Bagi umat Hindu Kaharingan dalam memuja Tuhan dalam berbagai
bentuk dan wujud menggunakan alat atau sarana upacara keagamaan (upakara), yang
digunakan biasanya berbentuk material seperti: sesajen (banten) dan lain sebagainya.

Sapundu dalam Upacara Tiwah mempunyai makna perwujudan dari pada leluhur dan
pemujaan mujaan kepada Tuhan dan pemujaan kepada leluhur yang merupakan
menifestasi-Nya sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan
kepada manusia. Dalam pemujaan itu berbagai sesaji dipersembahakan sebagai symbol
dari ketulusan hati dan ucapan terima kasih, mempersembahkan kembali apa yang telah
diberikan oleh Tuhan. Salah satu manifestasi Tuhan adalah para leluhur yang telah
melahirkan, membimbing dan menghidupi kita didunia, untuk itu Upacara Tiwah
sebagai symbol cinta kasih kepada orang tua/suami/istri/kakek/nenek/leluhur secara
tulus ikhlas. Cinta kasih bukan hanya pada saat mereka hidup tapi sampai mati pun
tulang belulangnya dibersihkan dan disimpan dalam Sandung yang nanti bisa diliat
anak cucu dan keturunannya sampai berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun yang
akan datang.

21
2.4 NILAI-NILAI PELAKSANAAN UPACARA TIWAH

Penganut agama Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah melaksanakan Upacara


Tiwah, dimana Upacara Tiwah itu sendiri sebagai wujud dari rasa tanggung jawab dan
merupakan hutang kepada arwah-arwah leluhur/keluarga yang masih belum ditiwahkan,
walaupun sudah berpindah keyakinan keagama lain tidak menghalangi yang
bersangkutan untuk menunaikan kewajibannya.

Menurut Lewis KDR (wawancara 10 Juli 2009) kata Tiwah berarti mahapus pali
belum akibat kematian. Kematian seorang anggota keluarga bagi penganut agama Hindu
Kaharingan menimbulkan Pali-Belum, biasanya masyarakat dayak menyebutnya basial
(sial), sial akibat kematian tersebut hanya bisa dihapuskan dengan upacara tiwah.
Demikian pula halnya bagi yang meninggal, segala perbuatan selama ia hidup yang
mengandung sial atau kesalahan (dosa) hanya dapat dibersihkan atau dihapus hanya
melalui upacara tiwah tersebut, kemudian ia baru berhak menempati Lewu tatau Dia
Rumpang Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat. Hal ini sesuai dengan kitab suci
Panaturan pasal 33 ayat 2 yaitu ;

Sahelu bara Ranying Hatalla malaluhan raja Bunu ewen hanak nanturung
pantai danum kalunen, hete IE manyahuan ewen malalus tiwah suntu intu lewu Bukit
Batu Nindan Tarung Rundung Kereng Liang Bantilung Nyaring, awi jetuh kareh ije
manjadi suntu akan panakan raja Bunu jete ampin jalan ewen te buli haluli manalih IE.

Artinya

Sebelum Ranying Hatalla menurunkan Raja Bunu sekeluarga menuju Pantai Danum
Kalunen, disitu IA menyuruh mereka melaksanakan Tiwah Suntu di Lewu Bukit Batu
Nindan Tarung, sebab ini nanti yang menjadi contoh untuk keturunan Raja Bunu,
bagaimana tata caranya mereka kembali menyatu kepadaNya (Tim 2001:131)

Pelaksanaan Upacara Tiwah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan


apabila kita ingin hidup lebih baik tidak mau mengalami kesialan dan memberikan Lewu
Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat (sorga) bagi keluarga
kita yang telah meninggal. Upacara Tiwah merupakan wujud pelaksanaan dari nilai-nilai
agama dan nilai-nilai budaya, khususnya masyarakat Dayak yang beragama Hindu

22
Kaharingan. Nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan Upacara Tiwah ini adalah
nilai religi, nilai etika dan nilai sosial yang berkembang dalam kehidupan sosial
masyarakat umat Hindu Kaharingan.

1. Nilai Religi

Tuhan disebut dalam ajaran Agama Hindu Kaharingan adalah Maha Besar, Maha
Suci, Maha Mulia, Maha Jujur, Maha Mengetahui, maka IA disebut : Ranying Hatalla
Langit, Raja Tuntung Matan Andau, Tuhan Tambing Kabunteran Bulan, Jatha
Balawang Bulau, Kanaruhan Bapager Hintan ( Sumber Kehidupan ), menurut Lewis
KDR (1992 ; 5-6) makalah berjudul : Kaharingan dalam Pembangunan Kalimantan
Tengah. kalau IA sumber kehidupan, maka Ranying Hatalla-lah sumber segala tata
aturan alam semesta, tata aturan tentang kehidupan dan keselamatan serta kekuatan-
kekuatan. Dengan posisi dan pandangan demikian, Ranying Hatalla Langit adalah Tuhan
Yang Maha Kuasa. Kedudukan Hatalla demikian bukan hanya diakui oleh umat Hindu
Kaharingan saja, akan tetapi diakui oleh agama samawi dengan terjemahan dan
pemakaian kata Hatalla bagi Tuhan mereka. Oleh karenanya keyakinan akan
kemanunggalan Ranying Hatalla sebagai Yang Maha Kuasa adalah konsep dasar asli
yang terkandung dalam Kaharingan. Tuhan beserta segala manifestasinya termasuk
manusia dan alam adalah tindakan religi.

Umat Hindu Kaharingan meyakini bahwa awal dan akhir segala kejadian semua berasal
Tuhan yang disebut dengan Ranying Hatalla Langit, Jatha Balawang Bulau. Sesuai
ajaran agama Hindu Kaharingan bahwa Ranying Hatalla Langit (Tuhan) adalah awal dan
akhir segala kejadian, termasuk manusia, menurut kitab Panaturan Pasal 32. 7 dinyatakan
bahwa :

Awie puna tamparan taluh handiaa te uras bara AKU, kalute kea ulun kalunen palus
aseng ngangkanae, atun hambaruae, palus atun Lumpuk Matae, Isei Dahae, Pupus
Bulue, Tulang Uhate, kareh ie tau buli AKU, amun ie haluli manyarurui jalae tesek
dumah bara AKU.

Artinya :

Sesungguhnya segala yang ada itu adalah berasal dari padaKU, demikian pula ada
nafasnya, ada rohnya, ada pula kurnia matanya, dagingnya, darahnya, kulitnya, tulang
dan uratnya, nanti ia bisa kembali kepadaKU, kalau ia kembali melalui jalannya ia
datang dari padaKU (TIM 2003 185)

23
Ditinjau dari ayat tersebut di atas pelaksanaan Upacara Tiwah dijiwai ajaran Ketuhanan
bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan sesuai jalan yang
telah diajarkan. Salah satu ajaran yang harus diimplementasikan untuk dapat kembali
kepada Tuhan adalah pelaksanaan Upacara Tiwah yang telah diajarkan di Lewu Bukit
Batu Nindan Tarung.Kereng Angkar Bantilung Nyaring Segala perilaku dalam
pelaksanaan Upacara Tiwah dari syarat dan simbol pemujaan kepada Tuhan dan
leluhur. Tindakan ini dilakukan karena keyakinan, bahwa hidup ini ada yang menghidupi
yaitu Ranying Hattala Langit yang Maha segalanya, tindakan itu ialah dengan
melaksanakan ajaran-ajaranNya seperti Hanteran, Balian, Patandak, malahap,
menawur, dan lain sebagainya.

Van Gennep menguraikan bahwa analisa ritus dan upacara kematian tampaknya
mempunyai arti yang penting dalam mengintegrasikan kahidupan yang baru. Demikian
juga jika dilihat dari tingkatan dan ritusnya merupakan suatu upacara yang paling besar
dan penting, dimana upacara kematian menjadi isu sentral ritus dan upacara dalam
kehidupan sosial. Diungkapkan bahwa secara khusus upacara kematian berdasarkan
tema berpikir bahwa peristiwa kematian manusia hanya merupakan suatu saat proses
peralihan saja ke suatu kehidupan yang baru di alam baka, atau berdasarkan tema
berpikir bahwa individu yang mati harus diintegrasikan ke dalam kehidupannya yang
baru di antara makhluk halus yang lain di alam baka. (Koenjaraningrat, 1987;77).

Pelaksanaan Upacara Tiwah yang dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan di


Kalimantan Tengah mengandung nilai inisiasi (pensucian) bagi yang liau yang
meninggal dan bagi keluarga yang ditinggalkan. Ranying Hatalla Langit (Tuhan) melalui
Upacara Tiwah disembah sebagai ungkapan rasa syukur atas kehidupan yang diberikan,
dan sebagai penyucian merupakan tanggung jawab dan kewajiban anak untuk menebus
hutang (Rna) kepada leluhur, orang tua, dan keluarga. Pelaksanaan upacara tiwah dikaji
dari nilai religius adalah pelaksanaan yajna sebagai upaya untuk menciptakan
keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan tuhan dan keseimbangan
antara manusia dan alam lingkungannya, hal ini digambarkan pada sarana
upacara, beras sebagai alat penghubung manusia dengan Tuhan sesuai pesan suci
pada ayat tawur yaitu :

Kalabien bitim Hatalla tuntung tahaseng pantai danum kalunen, kalambungan balitam
Jatha tambing nyaman luwuk kampungan bunu, bitim tau injam akan duhung luang
rawei, balitam pandai pulang tasih panyaruhan tisui.

24
Artinya :

Sesungguhnya engkau mempunyai suatu kelebihan, selain engkau sebagai penyambung


hidup dan makanan bagi manusia, Engkau pula satu-satunya yang dapat menjadikan
perantara dan penghubung atas kehendak manusia menuju Yang Maha Kuasa berserta
segala manifestasinya. (TIM, 2001:204)

Pelaksanaan yajna yang dilakukan manusia merupakan implementasi ajaran agama yang
menjadi kewajiban setiap manusia untuk mngembangkan hidupnya. Tidak ada satu
manusia pun yang lepas dari hukum yajna hidup di dunia ini, bahkan semua mahluk
terimplikasi oleh yajna.

Sangkai undan dalam sangkairaya yang di atasnya dibuat Sampalak disimpan


kelapa merupakan simbol dari kesucian dan dipercaya telah memiliki kekuatan,
kesaktian serta perubahan wujud (basalupu)kepala Mangku Amat Sangen dan Nyai Jaya
Sangiang. Panaturan (Tim 2003 : 260), dalam kepercayaan Kaharingan hasil bumi,
kekayaan alam di Pantai Danum Kalunen (dunia) tercipta dari badan Mangku Amat
Sangen dan Nyai Jaya Sangiang yang menjadi harta kekayaan bagi keturunan Maha Raja
Bunu (asal manusia). Sangkairaya berpagar sababulu dan sampalak menggambarkan
kekuatan, kebulatan pikiran/konsentrasi dalam memuja Tuhan. Tuhan merupakan sumber
kehidupan alam semesta yang harus dipuja dengan penuh kebulatan hati, kekuatan iman
dan konsentrasi.

Menurut Osoh T. Agan (wawancara : 13-7-2009) Dalam pelaksanaan upacara Tiwah,


kebesaran Tuhan disimbolkan dengan berbagai sarana antara lain Sangkairaya, buah
kelapa yang merupakan perubahan wujud dan menyatunya (basalupu) kepala Mangku
Amat Sangen dan Nyai Jaya Sangiang, yang pada hakikatnya manifestasi Ranying
Hattala Langit, Tiang Bandera Liau yang ada di dalam lingkaran sangkairaya adalah
simbol keEsaan, keKuasaan dan kebesaran Tuhan Sifat Tuhan tersebut seperti tersirat
dalam kitab Panaturan pasal 1. 3 :

Aku tuh Ranying Hattala ije paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus,
tuntang kalawa jetuh iete kalawa pambelum ije inanggareku area bagare Hintan
Kaharingan.

Artinya :

25
Aku inilah Ranying Hattala, Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan
Cahaya kemuliaanKU yang terang bersih dan suci, adalah Cahaya kehidupan Yang kekal
abadi dan AKU sebut ia Hintan Kaharingan.

Ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa, Tuhan merupakan awal dan akhir segala
kehidupan, Beliau tak berbentuk namun bercahaya suci murni, kekal abadi tak ada yang
lebih mulia dan agung dariNya. Mereka menyadari sebagai manusia, sadar bahwa hidup
ini berasal dari Ranying Hattala untuk dapat menyatu kepadaNya, melalui jalan dan tata
aturan yang ditetapkannya yaitu Upacara Tiwah, seperti yang tersurat dalam pasal 32. 5
dinyatakan :

Tinai huang katika tuh AKU manukas akam Raja Bunu palus panakan aim te kareh,
ampin jalan ewen te buli Aku, tege panakan paharim Raja Sangenewen ndue Raja
Sangiang ije mimbite palus manggawie, manyarurui ampin jalan ewen tesek dumah bara
AKU, kalute lea ampinjalan ewen buli manalih aku.

Artinya :

Sekarang AKU menetapkan untukmu Raja Bunu, beserta dengan seluruh keturunanmu
tentang bagaimana tatacaranya keturunanmu itu kembali kepadaKU, yaitu nanti ada
keturunan saudara kandungmu Raja Sangen dan Raja Sangiang yang akan melaksanakan
dan membawa mereka melalui jalannya darang dari pada AKU, begitu pula mereka
kembali kepadaKU. (TIM 2003 :183)

Jaminan keselamatan untuk umat manusia dengan jelas pada ayat diatas yaitu melalui
Upacara Tiwah yang sudah dicontohkan di Bukit Batu Nindan Tarung, ajaran ini menjadi
kewajiban bagi semua orang untuk bisa kembali ke Lewu Tatau, jika hal ini tidak
dilakukan, maka akan menjadi beban dan tanggung jawab saudara dan anak
keturunannya. Orang tua atau leluhur merupakan perwujudan Tuhan yang nyata sebagai
instrument kelahiran dan pemeliharaan anaknya, memuja dan menghormati orang tua
leluhur adalah implementasi sraddha dan bhakti kepada Tuhan. Upacara tiwah sebagai
bhakti kepada keluarga yang telah meninggal mereka akan menyatu bersama Ranying
Hattala Langit di Lewu Tatau dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat.
Tempat yang kekal abadi. penuh kedamaian tanpa harus berkeja keras, indah, tempat
hidup dalam kemuliaan.

Ajaran agama Hindu Kaharingan mengajarkan bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini
yang penuh dengan dosa dan ketidak sempurnaan (karma wasana). Dunia digambarkan

26
oleh Tuhan sebagai tempat manusia itu hidup saling fitnah, membunuh, menyakiti satu
dengan yang lain, tempat sementara menunggu waktu kita kembali kepadaNya. Dalam
ajaran Agama Hindu Kaharingan dunia disebut ; “ Pantai Danum Kalunen, Luwuk
Kampungan Bunu, Lewu Iijam Tingang Rundung Nasih Nampui Burung.” Ajaran
agama Hindu Kaharingan yaitu Upacara Tiwah memungkinkan manusia yang hidup di
dunia untuk bertindak kebenaran mencapai tujuan hidupnya. Menurut analisa Herts
dalam upacara kematian sebuah penyucian dari badan yang telah mati karena ditinggal
pergi oleh atma (roh), badan halusnya yang berasal dari perasaan yang masih
mempunyai kesan kehidupan serta pensucian roh (atma) yang terbelenggu dosa.

Upacara Tiwah yang dilaksanakan adalah untuk mensucikan ketiga unsur/zat yang ada di
dalam tubuh dan apabila meninggal disebut liau, ketiganya liau unsur badan itu adalah
Liau Haring Kaharingan, Liau Balawang Panjang, dan Liau Karahang Tulang. Simbol
pensucian ketiga liau itu dalam upacara tiwah yaitu pada saat Tabuh pertama (Munduk
Hanteran) oleh Duhung Handepang Telun, Tabuh kedua (Basir
Munduk) oleh Basir dan Tabuh ketiga (Balian Ngarahang Tulang) juga oleh para Basir,
setelah proses pensucian baru liau dihantarkan ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang,
Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat(Sorga) tempat kehidupan yang kekal abadi, tempat
yang kaya raya, suci mulia tanpa kurang satu apapun.

Menurut Telun Osoh T. Agan (wawancara, 15 Juli 2009) kematian adalah merupakan
proses lahir kembali di alam Tuhan setelah disucikan. Hidup kembali di alam Lewu
Tatau dengan berbagai kekayaan, kemuliaan kesucian yang hanya dapat dihantarkan
melalui upacara tiwah. Sarana lain Alat
Musik Gandang (gendang), Garantung (Gong), Kangkanong,
(kenong), Sangkairaya, Tiang bendera sahur, Balai sanggaran, Balai Nyahu, Balai
garantung, Sesajen (banten), sapundu, hewan korban adalah perwujudan
dari yajna kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini. Hertz menyimpulkan dari
hasil penelitiannya atas suku yang ada di Indonesia bahwa upacara kematian itu terdiri
dari tiga tingkat yaitu : sepulture provisoire, periode intermediaie, ceremonie finale.
Sesuai kesimpulan Hertz dalam upacara kematian masyarakat Hindu Kaharingan
penyucian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu upacara penguburan jenasah (liau)
(sepulture provisoire), Balian tantulak ambun rutas matei (periode intermediaire). dan
upacara Tiwah (ceremonie finale) Upacara penguburan jenasah untuk disemayamkan di
kuburan (bukit pasahan raung) yang dijaga oleh Raja Entai Nyahu dan Kameluh Tantan

27
Dandayu (Lewis Iman wawancara : 5-8-2009). Tahap penyucian kedua adalah
upacara balian tantulak ambun rutas matei yaitu balian untuk menghantarkan (liau
haring kaharingan) kealam leluhur atau alam antara yang tempatnya di Lewu Bukit
Nalian Lanting yang dijaga oleh Balu Indu Rangkang Penyang, menunggu upacara
penyucian tingkat terakhir yaitu upacara tiwah. Upacara ketiga yaitu upacara rukun
kematian tingkat terakhir menghantarkan liau haring kaharingan, mensucikannya
menuju lewu tatau dan menyucikan keluarga yang disebut tarantang nule (ceremonie
finale).

Menurut Osoh Tian Agan (wawancara : 15-7-2009) jika ada orang meninggal dunia
tanpa dilaksanakan ketiga tahap upacara kematian tersebut rohnya akan tidak sempurna
banyak gangguan yang datang dalam kehidupan hal ini bisa melalui mimpi, atau
tergambar dalam kehidupan keluarga yang selalu ditimpa kemalangan, apapun
pekerjaannya akan sulit berhasil oleh akibat kematian keluarganya maka menimbulkan
sial. Dalam upacara tiwah Handepang Telun dan para Basir mempunyai fungsi penting
terhadap tiga liau, liau haring kaharingan, diantarkan Handepang Telun dengan
menggunakan Lanting Samben Nampalang Penyang, liau balawang panjang, dan liau
karahang tulang dihantakan para Basir dengan Banama Nyahu menuju ke Lewu tatau
dia Rumpang Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat, bahkan tidak hanya itu saja
tetapi juga menyucikan tarantang nule (anggota keluarga) dari segala pali(cuntaka)
akibat dari kematian keluarga yang membuat sial keluarga, sial kawe belum, dalam hidup
selalu ditimpa kesialan, hanya dengan upacara tiwah diyakini kesialan akan dapat
dihapuskan (Berto dan Herlin, wawancara: 7-8-2009). Lebih jelas Basir Berto dan Basir
Herlin menjelaskan bahwa keluarga yang telah melaksanakan upacara Tiwah, akan
mendapatkan keselamatan dan anugerah yang lebih tinggi dari sebelumnya, bahkan tidak
hanya setelah upacara tiwah dari semenjak ada keinginan untuk melaksanakan upacara
tiwah rejeki selalu mengalir. Umat Hindu Kaharingan percaya terhadap leluhurnya
untuk memberkati pelaksanaan upacara tiwah. dijelaskan dalam kitab panaturan pasal 32
ayat 6 sebagai berikut :

Panakan aim Raja Bunu, sahelu bara ewen te haluli Hinje AKU, ewen malalus nantiwah
palie elum, awi tagal atun barutas matei, kalute kea akan ewen ije magun belum, ewen
nantiwah rutas palin ewn belum, mangat ewen belum sanang mangat, panjang umur
aseng : jetuh nah bukue AKU tuh, manyuhu ketun malaluhan ketun hanak hajarian,
nanturung pantai danum kalunen.

28
Artinya :

Keturunan Raja Bunu, sebelum mereka kembali menyatu kepadaKu, mereka


mensucikan dirinya terlebih dahulu, oleh karena ada sial kematian yang berakibat bagi
kehidupan dan begitu pula bagi mereka yang masih menjalani kehidupan, mereka
melepaskan sial pantangan hidupnya yang diakibatkan karena adanya kematian diantara
mereka yang masih hidup, agar mereka hidup tenang, serasi dan seimbang, panjang
umurnya : itulah sebanya AKU menyuruh kalian melaksanakan tiwah suntu di lewu bukit
batu nindan tarung ini, sebelum AKU menurunkan Raja Bunu sekeluarga ke Pantai
Danum Kalunen (Dunia) (Tim, 2003: 130).

Ajaran agama Hindu Kaharingan yaitu Upacara Tiwah yang diajarkan di Batu Nindan
Tarung, Kereng Angkar Bantilung Nyaring (Tiwah Suntu) menjadi pedoman seluruh
masyarakat Hindu Kaharingan, sebagai suatu keyakinan pensucian diri baik bagi yang
meninggal maupun bagi yang ditinggalkan (tarantang nule). Kepercayaan mengenai
pensucian terhadap kesialan akibat kematian keluarga telah dihapuskan melalui upacara
tiwah dan keyakinan bahwa keluarga yang meninggal akan hidup kembali ditempat ia
berasal yaitu dari Ranying Hatalla Langit, dan sudah disiapkan tempatnya Lewu Tatau
Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat, (sorga). Ajaran Tuhan kepada
umat manusia untuk melaksanakan Upacara Tiwah menjadi suatu kewajiban dan
tanggung jawab manusia yang harus dilaksanakan dengan hati yang tulus ihklas.

Pensucian dan pembebasan bagi tarantang nule yang melaksanakan upacara tiwah untuk
menghilangkan sial/pali belum, yaitu dimulai pada saat penombakan hewan korban
di sapundu yang dilakukan oleh ahli waris keluarga atau bagi istrinya yang meninggal
maka dari pihak keluarga istri dan begitu juga sebaliknya hal tersebut sebagai tanda
ketulusan hati dan pelunasan hutang (rna) dengan korban suci, kemudian seluruh peserta
tiwah (tarantang nule) akan disucikan dengan upacara kangkahem (mandi bersama), bagi
janda dan duda pada saat mandi pakaian putih yang digunakan dibuang sebagai tanda
bahwa mereka telah melaksanakan kewajibannya untuk menghantarkan istri atau
suaminya ke Lewu Tatau dan bagi dirinya dia sudah terbebas dari kapali belum yaitu pali
kabuyu (laki-laki) atau pali kabalu (perempuan) dan proses terakhir mereka
akan manganjan dipimpin oleh duhung handepang telun dengan membawa tombak yang
diikat rotan, untuk menombak Sapundu, Sangkairaya, Balai sanggaran, Balai
Garantung, dll disekitar Sangkai raya, Duhung Handepang Telun berada diposisi depan
diikuti yang lainnya. Pelaksanaan upacara ini adalah khusus

29
untuk Balu dan Buyu sebagai bukti dan tanda bhakti ketulusan cinta kasihnya mereka
kepada pendamping hidupnya sehingga sebelum upacara tiwah dilaksanakan mereka
tidak akan melakukan pernikahan. Osoh T. Agan (wawancara 8-7-2009).

Penyucian terhadap tulang sebagai simbol dari liau karahang tulang yang berasal dari zat
ibu puncaknya pada pelaksanaan upacara nyakean yaitu pembersihan dan penyucian
tulang yang akan dimasukkan ke dalam sandung. Menyimpan tulang dalam sandung
sebagai simbol betapa besarnya cinta kasih dan sayang kepada roh leluhur yang telah
suci bukan hanya pada saat dia hidup tetapi tulang belulangnya dibuatkan tempatnya
yang indah yang disebut sandung, yang rohnya juga dihantarkan ke Lewu Tatau Dia
Rumpang Tulang. Liau Haring Kaharingan, Liau Balawang Panjang dan Liau
Karahang Tulang menyatu dan hidup kembali di alam lewu tatau, alam yang penuh
kedamaian abadi.

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan melalui leluhurnya Maha Raja
Bunu diturunkan kedunia yang penuh dosa (luwuk kampungan bunu) tetapi dengan cinta
kasih, kasih sayang Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan jaminan keselamatan dengan
kewajiban melaksanakan upacara tiwah sebagai pensucian untuk dapat kembali
kepadaNya. Pensucian dalam pelaksanaan upacara tiwah pada masyarakat Hindu
Kaharingan di Palangka Raya adalah sesuai penyempurnaan pengembalian liau ke
asalnya dan pemujaan kepada leluhur sebagai pembebasan dari keterikatan keduniawian
dan dosa (karma wasana). Ngarahang tulang dan Nyakean merupakan simbol pensucian
unsur badan (liau Karahang Tulang)kemudian dimasukan
kedalam sandung. Sandung sebagai simbol tempat yang mulia, indah dan damai yaitu
lewu tatau (moksa) yang dapat dilihat di dunia. Bagi anggota keluarga selesainya proses
upacara tiwah, merupakan pensucian bagi mereka terlepas dari pali/ sial (pantangan)
akibat kematian keluarga.

Esensi manusia adalah suci, yang diciptakan dengan pelaksanaan yajna secara cinta kasih
oleh Tuhan untuk menyatu dan kembali kepada Tuhan, manusia melakukan kewajiban
dan tanggung jawabnya yaitu melaksanakan Upacara Tiwah sebagai suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan. Upacara tiwah sebagai suatu kepercayaan dan emosi
keagamaan dapat dilihat akan syaratnya simbol-simbol yang mempunyai nilai religi.

2. Nilai Etika

30
Mengkaji nilai-nilai etika dalam pelaksanaan Upacara Tiwah dapat kita kaji melalui
nilai tanggung jawab moral, bahwa Upacara Tiwah adalah merupakan suatu kewajiban
yang harus kita lakukan apabila kita tidak mau mendapat kesialan, musibah yang silih
berganti dalam kehidupan kita. Pali atau patangan yang ditimbulkan oleh kematian
keluarga merupakan kewajiban kita untuk segera melepaskannya, tanggung jawab moral
ini yang harus kita selesaikan secara bersama-sama melalui Upacara Tiwah sesuai yang
telah difirmankan Ranying Hatalla Langit dalam Kitab Suci Panaturan.

Pelaksanaan Upacara Tiwah merupakan perwujudan kesadaran tentang keseimbangan


hidup di dunia dan di akhirat, kesadaran inilah yang melahirkan kewajiban dan keimanan
baik secara individual keluarga maupun anggota masyarakat demi untuk kesejahteraan
bersama didunia dan keselamatan di akhirat (lewu tatau), hal inilah yang menimbulkan
rasa tanggung jawab yang sangat besar dan wujud kasih sayang untuk melaksanakan
upacara tiwah Lewis KDR, (wawancara, 10-8-2009). Untuk menjelaskan tentang
tanggung jawab menurut Muhammad (2005:157) ada tiga dimensi hubungan dalam
kehidupan manusia, ialah :

 Memenuhi segala kewajiban, memikul segala beban, menanggung segala akibat yang
timbul dari perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain sesuai dengan norma
kehidupan.
 Rela mengabdi dan berkorban karena sayang, senang dan belas kasihan pada alam
lingkungan, sehingga kelestariannya dapat dipelihara sesuai dengan norma kehidupan.
 Pasrah mengabdi, menyembah dan memuja kepada Tuhan sesuai dengan norma
kehidupan beragama.

Pelaksanaan Upacara Tiwah di Kota Palangka Raya, merupakan kesepakatan bersama,


yang dibasarakan(dimusyawarahkan) di balai nyahu mengenai kewajiban tarantang
nule pada dasarnya dilaksanakan dengan disiplin dan rasa tanggung jawab yang tinggi
termasuk untuk tidak melanggar pantangan-pantangan yang telah digariskan turun
temurun sejak pelaksanaan upacara tiwah dilaksanakan. Nilai moralitas yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat dayak penganut agama Hindu Kaharingan dalam
melaksanakan upacara tiwah sangat tinggi mengingat pelaksanaan upacara tiwah yang
dilaksanakan bukan kehendak individu tetapi kehendak bersama sebagai hasil
kesepakatan yang telah diambil bersama. Sesuai apa yang disampaikan oleh (muhni,

31
2003:126). Bahwa moral memiliki tiga unsur yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok
dan otonomi kehendak manusia (Muhni, 2003:126).

Upacara Tiwah menjadi dasar tanggung jawab moral yang harus diaktualisasikan
sebagai perwujudan cinta kasih dan penghargaan yang tinggi terhadap badan kita yang
telah membantu dalam kehidupan ini. Tanpa adanya badan hidup ini tidak bisa bertindak
sendiri dan tidak berfungsi melakukan realitas hidup. Yang diyakini
dalam panaturan bahwa badan itu hakikatnya berwujudan dan berasal dari Tuhan.
Karena badan berasal dari Tuhan kita kembalikan kepada Tuhan sesuai dengan pada
waktu dilahirkan dalam keadaan sempurna, untuk itu Upacara Tiwah sebagai sarana
menyempurnakan badan kembali ke asalnya yaitu Tuhan. Nilai moral ini yang mendasari
terselenggaranya upacara tiwah yang melahirkan nilai, norma, hukum dan aturan
kemasyarakatan. Tanggung jawab moral dalam pelaksanaan Upacara Tiwah dapat
digambarkan melalui aturan-aturan yang telah ditetapkan dan merupakan pantangan atau
pali bagi yang melanggarnya termasuk bagi pengunjung Upacara Tiwah, akibat dari
pelanggaran tidak tangung-tanggung karena ini menyangkut upacara kematian maka
kematianlah yang menjadi buah dari pelanggaran yang dengan sengaja dilakukan. Nilai
moral adalah nilai atau hasil perbuatan yang baik, sedangkan norma moral adalah norma
yang berisi cara bagaiman berbuat baik. Perbuatan yang baik akan membawa pengaruh
kebaikan bagi seluruh masyarakat atau orang tertentu yang melakukan perbuatan itu.
Selagi manusia berpegang pada system nilai budaya (moral), maka akan selalu terwujud
ketertiban, kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan (Muhammad, 2005:69). Dalam
pelaksanaan Upacara Tiwah nilai moral yang mengatur dan mengarahkan tarantang
nule (anggota Tiwah) dan pengunjung adalah pali (pantangan) yang telah ditetapkan dan
hal ini sering kali terbukti pada setiap pelaksanaan upacara tiwah apabila terjadi
pelanggaran dari aturan-aturan yang telah ditetapkan. Larangan dan pantangan yang
berlaku bagi masyarakat anggota Tiwah dan masyarakat umum yang datang adalah
memberikan petunjuk kepada masyarakat untuk berbuat baik dan benar tidak merugikan
orang lain maupun diri sendiri.

Pelaksanaan Upacara Tiwah adalah merupakan implementasi dari nilai sikap tanggung
jawab dari seorang keluarga atau anak terhadap saudara atau orang tua (leluhur) untuk
memuja dan mengadakan persembahan demi tercapainya kehidupan damai dan harmonis
bagi leluhur yang telah meninggal maupun keluarga yang masih hidup. Tanggung jawab
seorang anak terhadap orang tuanya atau leluhurnya adalah menghormati, menghargai,

32
mencintai dan memuja sejak masih hidup sampai mati untuk menyucikan dan
menyempurnakan atma dan badanya.

Tanggung jawab moral seorang anak, istri atau suami serta cucu dalam pelaksanaan
Upacara Tiwah dimulai dari sejak awal pelaksanaan upacara yaitu ; baramu balai
nyahu, muluh gandang, pendeng sangkairaya, dilanjutkan menyiapkan
syarat liau untuk handepang telun maupun syarat-syarat untuk para basir, simbol lain
pada saat penombakan hewan korban yang dilakukan keluarga atau ahli
waris. Manganjan, bagi Balu (janda) dan Buyu (duda) simbol tanggung jawab mereka
adalah pada saat Hanteran(mariaran Lanting Samben) dan Basir Munduk (mariaran
Banama Nyahu) janda dan duda ini harus selalu hadir pada saat acara tersebut sampai
acara tersebut selesai. Kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan upacara tiwah yang
termasuk upacara kematian (pitra yajna) dalam ajaran Hindu karena adanya hutang jasa
kepada orang tua (pitra Rna). Tekanan moral bagi keluarga yang ditinggalkan apabila
tidak melaksanakan Upacara Tiwah adalah adanya perintah Ranying Hattala Langit yang
menjadi tanggung jawab anak keturunan untuk melaksanakan Upacara Tiwah sebagai
jalan atau cara kembali menyatu kepada Tuhan dinyatakan dalam kitab Panaturan 33.1
yakni :

Limbah Ranying Hattala manyarita ampin talatah gawin Tiwah Huang taharep ewen
handiai anak esun Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut, Ranying Hattala ,
manyuhu ewen malalus tiwah suntu Raja Tabtaulang Bulau, Hiang Tatuenyet Nyaring.

Artinya :

Setelah Ranying Hattala berfirman tentang Upacara Tiwah, dihadapan semua anak cucu
manyamei tunggul garing janjahunan laut Ranying Hattala menyuruh mereka
melaksanakan Tiwah suntu raja tantaulang bulau, hiang tatuenyet nyaring. (tim, 2003
:131)

Pesan suci Ranying Hatalla ini disampaikan kepada Tunggul Garing janjahunan laut
dengan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun, orang
tua Maha Raja Bunu untuk melaksanakan Tiwah Suntu Raja Tantaulang Bulau, supaya
nanti anak cucu Maha Raja Bunu apabila diturunkan kedunia (pantai Danum
kalunen) dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk melaksanakan
upacara tiwah bagi keluarga atau leluhurnya yang sudah meninggal dunia dan selalu
melakukan pemujaan kepada Tuhan, dengan melaksanakan upacara tiwah. Dalam

33
pelaksanaan nilai-nilai etika pada saat Upacara Tiwah yaitu dengan selalu mematuhi
setiap pali (pantangan) yang digariskan yaitu;

Dari jenis makanan, sayur-sayuran ; Ujau, (jenis rebung


muda), Bajei dan Kalakai (tanaman paku), Kulat(jamur), Singkah uhut (umbut rotan).
Jenis ikan yang juga pali (pantangan) untuk dimakan ; Ikan
kalakasa (arwarna), Jajulung (ikan sumpit), tampala leleng hempeng (ikan sungai
kecil), undang sahep(udang sungai), jenis binatang ; Bawui himba (babi
hutan), karahau (pelanduk), bajang (kijang). Pali (pantangan) sehubungan dengan
perbuatan manusia adalah ; kalahi kajama hasual jawab(bertengkar/berkelahi), dilarang
membawa lari istri orang (melakukan perjinahan), mihup busau (minum-minuman keras
hingga mabuk), membawa binatang seperti ular kelingkungan upacara tiwah. Apabila
terjadi pelanggaran dari yang telah disebutkan diatas maka yang melakukan pelanggaran
akan mendapatkan sangsi baik itu dari yang tidak kelihatan (rajan pali), maupun dari
pelaksana upacara yaitu denda atau singer berupa uang dan yang bersangkutan akan
disidang secara adat sesuai kebiasaan masyarakat setempat. Untuk yang meninggal istri
atau suami tidak akan menikah lagi sebelum meniwahkan istri atau suaminya, karena
janji telah diucapkan pada saat perkawinan dan didepan jenasah, apabila hal ini dilanggar
maka yang bersangkutan didenda sesuai apa yang diucapkannya pada saat didepan
jenasah, biasanya kerbau satu ekor untuk upacara tiwah menjadi dua ekor. Melihat hal
diatas betapa tingginya nilai etika dalam pelaksanaan Upacara Tiwah bukan hanya
dipertanggung jawabkan dalam kenyataan hidup dengan didenda tetapi menghadapi
sesuatu yang kita tidak tau apa yang akan menimpa kita hal inilah membuat seluruh
peserta upacara tiwah dan pengunjung sangat mentaati aturan-aturan dalam pelaksanaan
Upacara Tiwah.

3. Nilai Sosial

Upacara Tiwah dalam kehidupan masyarakat dayak Hindu Kaharingan di Kota Palangka
Raya, mengandung nilai-nilai sosial tinggi, kebersamaan tanpa membedakan suku dan
agama Lewis KDR, makalah berjudul : Upacara Kematian Tingkat Terakhir Agama
Hindu Kaharingan (Tiwah) sebagai Obyek Wisata Unggulan Kalimantan Tengah, (1989
:8-9), dalam pelaksanaan Upacara Tiwah dapat dipandang dari sudut sosial budaya dan
dari sudut pandang sosial ekonomi. Lebih lanjut dikatakan bahwa dari sudut pandang
sosial budaya yang dapat kita lihat adalah sikap solidaritas, kesadaran tentang
keseimbangan hidup di dunia dan akhirat, ketahanan moral, sikap demokratis, sedangkan

34
dari sudut pandang sosial ekonomi yaitu; Praktek gotong-royong timbal balik tetap
dipertahankan, melalui upacara Laluhan, anggaran yang berimbang dan dinamis, masing-
masing peserta memberikan partisipasi sesuai dengan keputusan musyawarah, dengan
biaya pelaksanaan yang begitu besar, maka berkembang sikap koordinatif dan sifat
gotong royong dan solidaritas yang berakar pada hubungan kekeluargaan (falsafah
Betang Pajang Huma hai Parintaran Lumbah). Mengkaji nilai-nilai sosial dalam
pelaksanaan Upacara Tiwah pada masyarakat Hindu Kaharingan di Palangka Raya dapat
dikaji, ke dalam dua nilai sosial yaitu nilai gotong royong dan nilai solidaritas.

 Nilai Gotong-royong

Upacara Tiwah selalu dijiwai semangat gotong royong. Upacara Tiwah yang
dilaksanakan di Kota Palangka Raya, tercermin kerjasama dari segala tindakan yang
mereka lakukan dari persiapan pembentukan panitia, mencari peralatan, membuat sarana
sampai selesainya pelaksanaan upacara tiwah menghantar pulang para Basir dan Duhung
Handepang Telun pulang kembali ketempatnya masing-masing. Sikap gotong royong
dan perilaku baik dalam pelaksanaan Upacara Tiwah juga diajarkan oleh Ranying
Hattala Langitmelalui mantra para basir, yaitu :

Keleh ketun penyang hinje simpei, paturung humba tamburak bele ketun tau akan indu
gandang tatah lewu mandereh danum

Artinya :

Lebih baik kalian bersatu padu dalam suatu ikatan cinta kasih yang kuat, supaya kalian
tidak menjadi bahan ejekan dari rekan-rekan kalian yang lain. (Uak, 15-8-2009)

Nilai-nilai sosial terutama nilai-nilai gotong-royong yang harus dihayati dan diamalkan
seluruh umat manusia. Kerukunan dan kebersamaan tidak hanya pada sesama manusia
tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di dunia ini. Baik langsung atau tidak langsung
tidak diperbolehkan melaksanakan perbuatan yang menyakitkan makhluk lain utamanya
sesama manusia. Dalam regveda X 191.2 yang dikutib Titib (1998:348) yakni :

Sain gacchadhvam sam vadadhavam sam vo manamsi janatam

Deva bhagam yatha purve samjanana upasate

35
Wahai umat manusia, anda seharusnya berjalan bersama-sama, berbicara bersama-sama
dan berfikir yang sama, seperti halnya para pendahulumu bersama-sama membagi tugas-
tugas mereka, begitulah anda mestinya memakai hakmu.

Sebagai ciptaan Tuhan manusia hendaklah selalu bersatu dan bergotong royong dalam
kehidupannya, dengan bersama sama bergotong royong akan memberikan segala
kemudahan dalam kehidupan kita, gunakanlah hak dan kewajiban dengan penuh rasa
tanggung jawab dan penuh keadilan, segala sesuatu akan terasa ringan bila kita lakukan
bersama-sama.

Manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan berkembang sempurna
tanpa hidup bersama dengan individu manusia yang lain (Muhammad, 2005 :5), begitu
pula halnya dengan pelaksanaan Upacara Tiwah tanpa adanya penyang hinje
simpei (bersatu padu) dalam kebersamaan upacara tiwah tidak akan dapat dilaksanakan,
gotong royong akan menjadi hal paling utama dalam pelaksanaan Upacara Tiwah ; mulai
dari pembentukan panitia, mendirikan balai nyahu, sangkairaya, nyakean, kangkahem,
balian balaku untung dan lainnya dilakukan oleh banyak orang dengan hati tulus ikhlas.

Kerjasama yang baik antar masyarakat dalam menyelenggarakan


upacara yajna memberikan pengaruh yang tinggi terhadap keselarasan dan keseimbangan
alam karena yajna merupakan pusatnya alam semesta, dunia ini tercipta karena yajna.
Artinya pelaksanaan yajna yang diselenggarakan menjadi pusat konsentrasi semua
aktivitas masyarkat yang membutuhkan gotong-royong atau kebersamaan. Dalam
pelaksanaan upacara tiwah nilai gotong royong sudah nampak dari banyaknya peserta
Upacara Tiwah, seperti yang dilaksanakan di kota Palangka Raya diikuti oleh 68 (enam
puluh delapan) keluarga dengan 114 (seratus empat belas) liau yang ditiwahkan dan
hampir tidak pernah terjadi Upacara Tiwah yang dilakukan oleh satu keluarga saja. Hal
ini menandakan bahwa betapa besarnya nilai gotong royong pada pelaksanaan upacara
tiwah.

 Nilai Solidaritas

Pelaksanaan Upacara Tiwah dihadiri oleh banyak orang, khususnya dari keluarga
tarantang nule yang mengikuti Upacara Tiwah. Walaupun sudah berbeda keyakinan
tetapi kewajiban akan pesan leluhur untuk melaksanakan Upacara Tiwah yang
menjadikan merekan hadir dan membantu. Nilai solidaritas dalam Upacara Tiwah sangat

36
jelas tergambar dari proses pelaksanaan yang rumit tapi dapat dilaksanakan dengan baik
oleh kebersamaan dan solidaritas tinggi. Dari kemampuan ekonomi umat Hindu
Kaharingan banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan tetapi dengan kebersamaan
solidaritas tinggi dapat dicapai dengan membeli hewan korban yang cukup mahal bagi
mereka. Dalam pelaksanaan korban persembahan binatang kerbau, sapi dan ayam yang
menjadi hewan korban disembelih secara agama Islam, agar mereka dapat menyuguhkan
makanan bagi tamu atau keluarga yang beragama Islam. Sehingga umat lainnya bisa
turut serta menikmati acara tiwah tanpa merasa dibebankan oleh hal yang dilarang dalam
agamanya. Acara-acara bersifat terbuka diselingi kesenian, sepanjang tidak mengganggu
jadwal kegiatan Upacara Tiwah.

Penelitian yang dilakukan oleh Midday, dkk menyatakan bahwa sangat penting untuk
dilaksanakan Upacara Tiwah sebagai suatu kewajiban dan tanggung jawab kepada
leluhur. Menumbuh kembangkan prinsip saling mendukung dalam kebersamaan
menumbuhkan sifat kepedulian yang sangat mendalam, sehingga kewajiban
melaksanakan Upacara Twah bagi keluarga yang ditinggalkan didukung dan
dilaksanakan bersama oleh mereka yang sepenanggungan (Midday dkk, 2004). Prinsip
saling mendukung dengan solidaritas tinggi inilah yang menjadikan
upacara tiwah sebagai tempat bersatunya keluarga yang lama terpisah menjadi bersatu
kembali, segala masalah dalam kehidupan ditinggalkan demi terlaksananya
upacara tiwah, dalam pantangan soal hajawab, kalahi kajama tidak diperbolehkan. Van
Gennep menyimpulkan bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya
berfungsi sebagai aktifitas untuk menimbulkan kembali semangat sosial antara warga
masyarakat. (Koenjcaraningrat, 1987:74). Semangat sosial yang timbul pada pelaksanaan
upacara tiwah, akibat kematian keluarga sehingga menimbulkan pali/pantangan hal ini
yang memberikan dorongan bagi masyarakat Hindu Kaharingan untuk melaksanakan
upacara tiwah supaya terlepas dari pali/pantangan, dorongan ini yang menimbulkan
sikap solidaritas dalam pelaksanaan upacara tiwah.

Tiwah suntu di bukit batu nindan tarung menjadi contoh bagi manusia untuk
memberikan semangat dan motivasi hidup dengan simbol Nyalung Kaharingan
Belum (air kehidupan) yang selalu memberikan kehidupan. Pikiran damai dan
konsentrasi dengan solidaritas dan semangat tinggi dalam melaksanakan aktivitas hidup
akan mendapatkan anugerah dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Nilai solidaritas
dan semangat hidup tercermin dari anugerah Ranying Hattala Langit yang diberikan

37
kepada umat manusia untuk meningkatkan jati diri dalam mengarungi kehidupan. Dalam
sistem nilai budaya pada hakikatnya nilai-nilai solidaritas membangun masyarakat untuk
meningkatkan jati diri dalam sumber daya manusia menapak kehidupan yang lebih baik.
Sungguh berbahagia umat Hindu Kaharingan yang dapat melaksanakan upacara (yajna),
karena kesadaran akan eksistensi manusia untuk memuja Tuhan adalah semangat
spiritual atau spirit yang menjadi dasar munculnya semangat hidup baru atau solidaritas.
Pelaksanaan upacara tiwah sebagai upacara kematian tingkat terakhir agama Hindu
Kaharingan memiliki nilai solidaritas yang tinggi bagi masyarakat sebagai implementasi
system nilai budaya yang merupakan norma-norma dan aturan dalam realitas kehidupan
khususnya masyarakat dayak Kaharingan.

38
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Upacara Tiwah yang merupakan pesan suci Ranying Hatalla Langit kepada
keturunan Maha Raja Bunu(manusia) yang diturunkan kedunia, merupakan suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai jalan kembali kepadaNya dan merupakan
hutang yang harus dibayar untuk menghilangkan pali-belum supaya hidup tidak selalu
mengalami kesialan akibat kematian keluarga (barutas matei). Hal inilah yang menjadi
dasar kuat mengapa umat Hindu Kaharingan melaksanakan upacara tiwah. Nilai
solidaritas pada saat melaksanakan manganjan dimana rekan-rekan dari umat lain
dipersilahkan untuk ikut manganjan, baik itu dari suku lain apalagi yang memang orang
Dayak walaupun sudah berpindah keagama lain. Begitu juga saat pensucian umat Hindu
Kaharingan tidak melarang umat lainnya untuk ikut disucikan apalagi yang bersangkutan
mempunyai hubungan darah dengan almarhum yang ditiwahkan, mereka juga tidak
keberatan karena darah yang mengalir didalam tubuhnya juga berasal dari Kaharingan
karena diyakini bahwa yang namanya orang Dayak nenek moyang berasal dari agama
Kaharingan yang dulunya disebut Agama Helu. Nilai-nilai yang terkadung didalam
pelaksanaan upacara tiwah akan menciptakan keseimbangan, keselarasan dan bersinergi
dengan budaya lokal atau tradisional (local genius) pada masyarakat dayak

39
3.2 DAFTAR ISI

1. http://parada-lkdr.org/2017/04/12/sapundu-dalam-upacara-tiwah/

2. 2010, Upacara Tiwah Adat Dayak,[online],

3. 2016, Suku Dayak, [online], , 2016, Suku Dayak Ngaju [online], ,

4. Wiryawan, Rika, 2011, Ritual Tiwah, [online],

5. Irfan, Jejen, 2013, Adat Istiadat Suku Dayak Upacara Tiwah, [online],

6. http://parada-lkdr.org/2017/02/20/nilai-nilai-pelaksanaan-upacara-tiwah/

40

Anda mungkin juga menyukai