Anda di halaman 1dari 11

6.

Manusia purba juga memasuki


fase bertempat tinggal sementara,
misalnya di gua, mengapa demikian?

Karena pada zaman itu manusia purba


pola hidupnya nomaden, dan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya,agar
merasa aman, dan jauh/terlindungi dari
hewan-hewan buas.
7. Apa kira-kira alasan bagi manusia
purba memilih tinggal di tepi pantai?
Sumber makanannya melimpah,
di pantai terdapat gua-gua yang
dapat dimanfaatkan sebagai
tempat tinggal, dan banyak kulit
kerang yang dapat digunakan
sebagai senjata.
8. Jelaskan kaitan antara manusia
yang sudah bertempat tinggal tetap
dengan adanya sistem kepercayaan!
Jika manusia purba telah menetap,
tentunya mereka akan beradaptasi
dengan lingkungan tempatnya menetap.
Misalnya kepercayaan yang mempercayai
benda-benda yang memiliki kekuatan gaib
yang berasal dari tempat yang ia tinggali
secara menetap.
9. Adakah hubungan antara sistem
kepercayaan masyarakat dengan
pola mata pencaharian? Jelaskan!
Ada, karena di tiap pola mata pencaharian
selalu ada hubungan sistem kepercayaan
yang terikat misalnya cara-cara melakukan
pencaharian tersebut yang telah ditekuni
dari generasi ke generasi sehingga
dipercayai.
10. Buatlah sebuah proyek belajar dengan
melakukan penelitian tentang tradisi
megalitik dan kepercayaan animisme yang
sekarang masih tersisa di daerah kamu.
Di daerah kami (Palangkaraya), tradisi megalitik dan kepercayaan
animisme yang masih tersisa yaitu seperti upacara adat suku Dayak
yang disebut Tiwah. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung
yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah
kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang
biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur
sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya
tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk
meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju
Lewu Tatau (Surga dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup
tentram dan damai di alam Sang Kuasa.
Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh
masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk
melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang
ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.
Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah.
Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit serta
pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian prosesi
tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari nonstop,
bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya. Ritual ini sudah
dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, jadi perlu dilestarikan.
Mengangkat kerangka orang yang sudah meninggal kemudian
menaruhnya di dalam sandung atau rumah kecil dengan tidak
menyentuh tanah. Sebelum upacara tiwah dilaksanakan,
terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara
tantulak.
Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian,
orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke
dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk
mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju
Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu
dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan,
sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah.
Bisa juga dikatakan Bukit Malian itu adalah alam rahim,
tempat suci manusia tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam
itulah orang yang meninggal dunia menunggu sebelum
diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah, terang
pemuka Agama Kaharingan dari Kota Palangka Raya ini.
Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-
belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui
ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih
dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban,
kerbau, sapi, dan babi. Kemudian persembahan tersebut
dibunuh menggunakan tombak oleh pihak keluarga yang laki-
laki secara bergantian.

Anda mungkin juga menyukai