fase bertempat tinggal sementara, misalnya di gua, mengapa demikian?
Karena pada zaman itu manusia purba
pola hidupnya nomaden, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,agar merasa aman, dan jauh/terlindungi dari hewan-hewan buas. 7. Apa kira-kira alasan bagi manusia purba memilih tinggal di tepi pantai? Sumber makanannya melimpah, di pantai terdapat gua-gua yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, dan banyak kulit kerang yang dapat digunakan sebagai senjata. 8. Jelaskan kaitan antara manusia yang sudah bertempat tinggal tetap dengan adanya sistem kepercayaan! Jika manusia purba telah menetap, tentunya mereka akan beradaptasi dengan lingkungan tempatnya menetap. Misalnya kepercayaan yang mempercayai benda-benda yang memiliki kekuatan gaib yang berasal dari tempat yang ia tinggali secara menetap. 9. Adakah hubungan antara sistem kepercayaan masyarakat dengan pola mata pencaharian? Jelaskan! Ada, karena di tiap pola mata pencaharian selalu ada hubungan sistem kepercayaan yang terikat misalnya cara-cara melakukan pencaharian tersebut yang telah ditekuni dari generasi ke generasi sehingga dipercayai. 10. Buatlah sebuah proyek belajar dengan melakukan penelitian tentang tradisi megalitik dan kepercayaan animisme yang sekarang masih tersisa di daerah kamu. Di daerah kami (Palangkaraya), tradisi megalitik dan kepercayaan animisme yang masih tersisa yaitu seperti upacara adat suku Dayak yang disebut Tiwah. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa. Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian prosesi tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari nonstop, bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya. Ritual ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, jadi perlu dilestarikan. Mengangkat kerangka orang yang sudah meninggal kemudian menaruhnya di dalam sandung atau rumah kecil dengan tidak menyentuh tanah. Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah. Bisa juga dikatakan Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci manusia tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam itulah orang yang meninggal dunia menunggu sebelum diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah, terang pemuka Agama Kaharingan dari Kota Palangka Raya ini. Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang- belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau, sapi, dan babi. Kemudian persembahan tersebut dibunuh menggunakan tombak oleh pihak keluarga yang laki- laki secara bergantian.