Anda di halaman 1dari 24

SISTIM RELIGI MASYARAKAT JAWA

(SISTEM KEPERCAYAAN)
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat suku bangsa
Jawa, yang tampak nyata pada bangunan-bangunan tempat beribadah orang-orang Islam. Di
samping agama Islam terdapat juga agama besar yang lain, yaitu agama Nasrani dan agama
lain. Namun tidak semua orang melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam, sehingga di dalam
masyarakat terdapat :
1. Golongan Islam santri ialah golongan
yang menjalankan ibadahnya sesuai ajaran
Islam dengan melaksanakan lima ajaran
Islam dengan syariat-syariatnya.
2. Golongan Islam kejawen ialah golongan
yang percaya kepada ajaran Islam, tetapi
tidak secara patuh menjalanakan rukunrukun Islam, misalnya tidak shalat,
tidak pernah puasa, tidak pernah
bercita-cita untuk melakukan ibadah
haji, dan sebagainya.
Orang-orang Islam kejawen percaya kepada keimanan Islam walaupun tidak
menjalankan ibadahnya, mereka menyebut Tuhan adalah gusti Allah dan menyebut Nabi
Muhammad dengan kanjeng nabi. Kecuali itu, orang islam kejawen tidak terhindar dari
kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini
sudah diatur dalam alam semesta sehingga ada yang bersikap nerimo, yaitu menyerahkan diri
pada takdir.
Bersamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang
melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten
yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga
mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti
memedi, lelembut, tuyul, demit, serta ijin yang menempati alam sekitar tempat tinggal
mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan,
kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang
dapat menimbulkan ketakutan atau kematian.
Bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu ia harus berbuat sesuatu
untuk mempengaruhi alam semesta dengan cara, misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang
melakukan sesuatu perbuatan, serta makan-makanan tertentu, berkeselamatan dan sesaji.
Selamatan dan bersesaji seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu
tertentu. Selamatan erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap unsur-unsur kekuatan sakti
maupun makhlus halus. Umumnya selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan
hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apa pun.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah diberi doa
sebelum dibagi-bagikan. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari
upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam seperti berikut.

1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup


seseorang. Jenis selamatan ini meliputi :
hamil tujuh bulan, kelahiran, potong
rambut pertama, menyentuh tanah untuk
pertama kali, menusuk telinga, sunat,
kematian, peringatan serta saat-saat
kematian.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih
desa. Jenis selamatan ini meliputi
upacara sebelum penggarapan tanah
pertanian, dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan harihari serta bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa
khusus. Jenis selamatan ini meliputi :
perjalanan jauh, menempati rumah baru,
menolak bahaya (ngruwat), janji kalau
sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Di antara jenis-jenis selamatan tersebut,

selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal
ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal.
Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, berupa :
1. Surtanah atau geblak, yaitu selamatan
pada saat meninggalnya seseorang.
2. Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga
sesudah meninggalnya seseorang.
3. Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh
sesudah meninggalnya seseorang.
4. Matang puluh dina, yaitu selamatan hari
ke 40 sesudah meninggalnya seseorang.
5. Nyatus, yaitu selamatan hari ke 100
meninggalnya seseorang.
6. Mendak sepisan, yaitu selamatan satu
tahun meninggalnya seseorang.
7. Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun
meninggalnya seseorang.
8. Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari
meninggalnya seseorang. Selamatan ini
kadang-kadang disebut juga nguwisnguwisi, artinya yang terakhir kali.
Selain selamatan, masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen. Upcara ini berkaitan
dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu,
seperti di bawah kolong jembatan, di bawah tiang rumah, dan di tempat-tempat yang
dianggap keramat. Bahan sesajen berupa : ramuan tiga jenis bunga (kembang telon),
kemenyan, uang recehan, dan kue apam. Bahan tersebut ditaruh di dalam besek kecil atau
bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan
Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga

yang ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan
pada sebuah meja.
Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman
dan keselamatan anggota seisi rumah. Erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap makhluk
halus ini, ada pula sesaji penyadran agung yang masih tetap diadakan setiap tahun oleh
keluarga Keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang
disebut Grebeg Maulud. Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) banyak
ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris, alat musik Jawa (gamelan), beberapa jenis
burung tertentu (perkutut), kendaraan istana (Kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta
kepada tokoh raksasa Bethara Kala.

Banyak aliran kebatinan yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari sikap orang
Jawa yang selalu mengadakan orientasi, yaitu :
1. Gerakan atau aliran kebatinan
keuaniyahan, aliran ini percaya adanya
anasir-anasir roh halus atau badan halus
serta jin-jin.
2. Aliran yang keislam-islaman dengan
ajaran-ajaran yang banyak mengambil
unsur-unsur keimanan agama Islam seperti
soal ketuhanan dan rasul-Nya dengan
syarat-syarat yang dibedakan syariat
Islam dengan unsur-unsur Hindu-Jawa yang
sering bertentangan dengan pelajaran
agama Islam.
3. Aliran kehindujawaan yang percaya kepada
dewa-dewa agama Hindu dengan nama-nama
Hindu.
4. Aliran-aliran yang bersifat mistik
dengan usaha manusia untuk mencari
kesatuan dengan Tuhan.

Home Adat Asal Usul 9 Upacara Adat Jawa Unik + Keterangannya 9 Upacara Adat
Jawa Unik + Keterangannya Administrator 1 Comment Adat, Asal Usul Kamis, 27 Agustus
2015 Suku Jawa dikenal sebagai suku dengan jumlah populasi terbanyak di seluruh
Indonesia. Di manapun tempat di Nusantara, orang Jawa pasti selalu ada. Selain dikenal
memiliki pribadi yang ramah, orang-orang Jawa juga punya sejarah tradisi dan kebudayaan
yang luar biasa, sama seperti suku-suku lainnya. Hal ini dibuktikan misalnya dengan
banyaknya jenis tari, musik, rumah adat, dan upacara adat yang dimilikinya. Upacara Adat
Jawa Upacara adat adalah suatu ritual yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok
masyarakat yang masih memiliki keterkaitan etnis, suku, maupun kebudayaan untuk
mencapai tujuan yang bersumber pada nilai-nilai leluhur dan nenek moyang mereka. Di Jawa
sendiri, ada beberapa upacara adat yang tergolong cukup unik dan harus dikenalkan pada
genarasi muda agar warisan nenek moyang ini tetap lestari dan terjaga. Apa saja upacara adat
Jawa tersebut? Berikut informasinya untuk Anda. 1. Upacara Kenduren Upacara adat Jawa
yang pertama adalah kenduren atau selametan. Upacara ini dilakukan secara turun temurun
sebagai peringatan doa bersama yang dipimpin tetua adat atau tokoh agama. Adanya
akulturasi budaya Islam dan Jawa di abad ke 16 Masehi membuat upacara ini mengalami
perubahan besar, selain doa hindu/budha yang awalnya digunakan diganti ke dalam doa
Islam, sesaji dan persembahan juga menjadi tidak lagi dipergunakan dalam upacara ini.
Upacara Adat Jawa Berdasarkan tujuannya, upacara adat Jawa yang satu ini terbagi menjadi
beberapa jenis yang diantaranya: Kenduren wetonan (wedalan) adalah upacara kenduren yang
digelar pada hari lahir seseorang (weton) dilakukan sebagai sarana untuk memanjatkan doa
panjang umur secara bersama-sama. Kenduren sabanan (munggahan) adalah upacara yang
dilakukan untuk menaikan leluhur orang Jawa sebelum memasuki bulan puasa. Upacara
kenduren ini umumnya dilakukan di akhir bulan Sya,ban, sebelum ritual nyekar atau tabur
bunga di makam leluhur mereka lakukan. Kenduren likuran adalah upacara kenduren yang
digelar pada tanggal 21 bulan puasa dan dilakukan untuk memperingati turunnya Al-Quran
atau Nujulul Quran. Kenduren badan adalah kenduren yang digelar pada 1 Syawal atau saat
hari Raya Idul Fitri yang tujuannya untuk menurunkan arwah leluhur ke tempat
peristirahatannya. Kenduren ujar adalah ritual upacara yang digelar jika suatu keluarga Jawa
memiliki hajat atau tujuan, misal ketika hendak berkirim doa pada arwah leluhur, khitanan,
pernikahan, dan lain sebagainya. Kenduren muludan adalah upacara adat Jawa yang digelar
setiap tanggal 12 bulan Maulud dengan tujuan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad
SAW. 2. Upacara Grebeg Selain upacara kenduren, di Jawa juga dikenal Upacara Grebeg.
Upacara ini digelar 3 kali setahun, yaitu tanggal 12 Mulud (bulan ketiga), 1 Sawal (bulan
kesepuluh) dan 10 Besar (bulan kedua belas). Upacara ini digelar sebagai bentuk rasa syukur
kerajaan terhadap karunia dan berkah Tuhan. 3. Upacara Sekaten Sekaten merupakan upacara
adat Jawa yang digelar dalam kurun tujuh hari sebagai bentuk peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad. Berdasarkan asal usulnya, kata Sekaten yang menjadi nama upacara tersebut
berasal dari istilah Syahadatain, yang dalam Islam dikenal sebagai kalimat tauhid. Upacara
sekaten dilakukan dengan mengeluarkan kedua perangkat gamelan sekati dari keraton, yaitu
gamelan Kyai Gunturmadu dan gamelan Kyai Guntursari untuk diletakan di depan Masjid
Agung Surakarta. 4. Upacara Ruwatan Upacara ruwatan adalah upacara adat Jawa yang
dilakukan dengan tujuan untuk meruwat atau menyucikan seseorang dari segala kesialan,
nasib buruk, dan memberikan keselamatan dalam menjalani hidup. Contoh upacara ruwatan
misalnya yang dilakukan di dataran Tinggi Dieng. Anak-anak berambut gimbal yang
dianggap sebagai keturunan buto atau raksasa harus dapat segera diruwat agar terbebas dari
segala marabahaya. Upacara Adat Jawa 5. Upacara Perkawinan Tradisional Jawa Dalam
pernikahan adat Jawa dikenal juga sebuah upacara perkawinan yang sangat unik dan sakral.

Banyak tahapan yang harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang satu ini, mulai dari
siraman, siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau peningsetan, nyantri, upacara
panggih atau temu penganten, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual kacar kucur atau tampa
kaya, ritual dhahar klimah atau dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain sebagainya.
Upacara Adat Jawa 6. Upacara Tedak Siten Upacara tedak siten merupakan upacara adat
Jawa yang digelar bagi bayi usia 8 bulan ketika mereka mulai belajar berjalan. Upacara ini
dibeberapa wilayah lain juga dikenal dengan sebutan upacara turun tanah. Tujuan dari
diselenggarakannya upacara ini tak lain adalah sebagai ungkapan rasa syukur orang tuanya
atas kesehatan anaknya yang sudah mulai bisa menapaki alam sekitarnya. 7. Upacara
Tingkepan Upacara tingkepan (mitoni) adalah upacara adat Jawa yang dilakukan saat seorang
wanita tengah hamil 7 bulan. Pada upacara ini, wanita tersebut akan dimandikan air kembang
setaman diiringi panjatan doa dari sesepuh, agar kehamilannya selamat hingga proses
persalinannya nanti. 8. Upacara Kebo Keboan Masyarakat Jawa yang mayoritas bekerja
sebagai petani juga memiliki ritual upacara tersendiri. Kebo-keboan begitu namanya,
merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan untuk menolak segala bala dan musibah pada
tanaman yang mereka tanam, sehingga tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik dan
menghasilkan panen yang memuaskan. Dalam upacara ini, 30 orang yang didandani
menyerupai kerbau akan diarak keliling kampung. Mereka akan didandani dan berjalan
seperti halnya kerbau yang tengah membajak sawah. 9. Upacara Larung Sesaji Upacara
larung sesaji adalah upacara yang digelar orang Jawa yang hidup di pesisir pantai utara dan
Selatan Jawa. Upacara ini digelar sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan
selama mereka melaut dan sebagai permohonan agar mereka selalu diberi keselamatan ketika
dalam usaha. Berbagai bahan pangan dan hewan yang telah disembelih akan dilarung atau
dihanyutkan ke laut setiap tanggal 1 Muharam dalam upacara adat Jawa yang satu ini.
Upacara Adat Jawa Nah, itulah kesembilan upacara adat Jawa yang hingga kini masih tetap
lestari dan dilaksanakan. Menarik bukan? Agar artikel ini dapat menjadi lebih baik, kami
akan terus mengupdatenya seiring dengan tambahan-tambahan informasi yang terus
berkembang. Jika ada saran atau kritik, silakan sampaikan melalui kolom komentar.
Terimakasih.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/08/9-upacara-adat-jawa-unikketerangannya.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.

2) Seni Tari
Tarian-tarian di Jawa beraneka ragam di antaranya sebagai berikut.
a) Tari tayuban adalah tari untuk meramaikan suasana acara, seperti: khitanan dan
perkawinan. Penari tayuban terdiri atas beberapa perempuan.
b) Tari reog dari Ponorogo. Penari utamanya menggunakan topeng.
c) Tari serimpi adalah tari yang bersifat sakral dengan irama lembut.
d) Tari gambyong.
e) Tari bedoyo.

Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Ekonomi


Tidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh masyarakat suku Jawa. pada umumnya, orang-orang
disana bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh
orang Jawa. selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian
dan perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan
mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan
pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional,
seperti padi, tebu, dan kapas.
Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis seperti
halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia,
kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis tionghoa.

Sistem Kemasyarakatan
Dalam sistem kemasyarakatan, akan dibahas mengenai pelapisan sosial. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa,
dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara, Santri dan Wong Cilik.
Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu para dan yayi atau yang berarti para adik.
Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di kalangan
masyarakat biasa setelah Bendara atau ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat.
Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang memiliki tingkatan
pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang disekitarnya
Ningrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan ini biasanya diisi oleh para
anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun yang
berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi,
sampai yang terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di depan nama seorang
bangsawan tersebut.
. Yang ketiga adalah golongan santri. Golongan ini tidak merujuk kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang
beragama muslim, tetapi, lebih mengacu kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang
belajar di pondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa.
Terakhir, adalah wong cilik atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta terendah dalam pelapisan
sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-desa dan bekerja sebagai petani atau buruh. Golongan
wong cilik pun dibagi lagi menjadi beberapa golongan kecil lain yaitu:

Wong Baku : golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong cilik, biasanya mereka adalah orangorang yang pertama mendiami suatu desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.
Kuli Gandok atau Lindung : masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki yang telah menikah, namun tidak
memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga ikut menetap di tempat tinggal mertua.
Joko, Sinoman, atau Bujangan : di dalam golongan ini adalah semua laki-laki yang belum menikah dan masih
tinggal bersama orang tua, atau tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah
pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.
Pembagian sosial masyarakat bukan hanya terbagi oleh sistem kebudayaan seperti yang kami tuturkan diatas
saja. Pada tahun 1960-an, seorang antropolog amerika Cliford Geertz pun mengemukakan pelapisan sosial
masyarakat terbagi menjadi tiga yaitu, santri, abangan, dan priyayi. Yang membedakan kaum santri dengan
kaum abangan (walaupun mereka sama-sama seorang muslim) adalah, jika santri adalah para orang Jawa yang
dididik dengan dasar agama islam yang kuat (karena banyaknya pondok pesantren yang berdiri di Jawa).
sedangkan kaum abangan, walaupun dalam pendataan mereka menganut kepercayaan sebagai muslim, namun
dalam implementasi sehari-hari mereka lebih mengamalkan ajaran kepercayaan asli yang berkembang di Jawa,
yaitu kejawen.
Selain pelapisan sosial masyarakat, dalam sistem kemasyarakatan ini kami akan membahas tentang bentuk
desa sebagai kesatuan masyarakat terkecil setelah rt dan rw yang umum ditemui di masyarakat Jawa.
Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan dukuh, dan setiap
dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu
oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-masing pamong desa
memiliki tugas dan perananya masing-masing. Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan
ketertiban desa, sampai dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Nama dan Bahasa Suku Jawa
Secara Etimologi asal mula nama Jawa tidak jelas. Salah satu kemungkinan
adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jwa-wut, yang banyak ditemukan
dipulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini
mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata
ja yang berarti "jauh". Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah

tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik India
Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama,
mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta.
Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan
nama Sanskerta yvaka dvpa (dvpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa"
berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.
Menurut hikayat, asal muasal suku Jawa diawali dari datangnya seorang satria
pinandita yang bernama Aji Saka. Ia adalah orang yang menulis sebuah sajak,
dimana sajak itu yang kini disebut sebagai abjad huruf Jawa hingga saat ini. Maka
dari itu, asal mula sajak inilah yang digunakan sebagai penanggalan kalender Saka.
Definisi suku Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur,
kecuali pulau Madura. Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam
kesehariannya untuk berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun
tidak secara langsung berasal dari pulau Jawa. Demikian adalah definisi MagnisSuseno mengenai suku bangsa Jawa. Asal usul suku Jawa juga berkaitan dengan
bahasa yang digunakan, yakni bahasa Jawa. Secara resmi, ada dua jenis bahasa
Jawa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Dua jenis bahasa ini tersedia
sebagai berikut:
1. Bahasa Lisan Suku Jawa
Suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan
hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggahungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya
Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di
masyarakat.
Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.
Sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia.
Bahasa Jawa bisa dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki tingkatan
berdasarkan siapa yang diajak bicara, bahasa Jawa juga memiliki perbedaan dalam
hal intonasi. Aspek bahasa ini mempengaruhi hubungan sosial dalam budaya Jawa.
Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai macam variasi dialek atau pengucapan.
Pada dasarnya, dialek tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Bahasa Jawa dialek Cirebon, dialek Tegal, dialek Banyumas dan dialek
Bumiayu (dialek barat).
2. Bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang, dialek Yogyakarta dan
dialek Madiun (dialek madya/tengah).
3. Bahasa Jawa dialek Surabaya, dialek Malang, dialek Jombang, dialek
Banyuwangi (dialek timur).
Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu:

Ngoko (kasar)

Madya (biasa)

Krama (halus)
Dalam bahasa Jawa penggunaan tingkatan bahasa tersebut, tergantung status yang
bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau
hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara
dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan
menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini masih dipakai di
Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang
erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Terdapat juga bentuk bagongan dan kedhaton, yang hanya dipakai sebagai bahasa
pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko
lugu,

ngoko

andhap,

madhya,

madhyantara,

krama,

krama

inggil,

bagongan dan kedhaton. contoh kalimat:

Bahasa Indonesia, "maaf, saya mau tanya rumah Budi itu, di mana?"

Ngoko kasar, eh, aku arep takon, omah Budi kuwi, nng*ndi?

Ngoko alus, aku nyuwun pirsa, dalem mas Budi kuwi, nng endi?

Ngoko meninggikan diri sendiri, aku kersa ndangu, omah mas Budi kuwi,
nng ndi? (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa
karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)

Madya, nuwun swu, kula ajeng tanglet, griyan mas Budi niku, teng pundi?
(ini krama desa (substandar)).

Madya alus, nuwun swu, kula ajeng tanglet, dalem mas Budi niku, teng
pundi? (ini juga termasuk krama desa (krama substandar)).

Krama andhap, nuwun swu, dalem badh nyuwun pirsa, dalemipun mas
Budi punika, wonten pundi? (dalem itu sebenarnya pronomina persona
kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang
salah alias krama desa).

Krama lugu, nuwun sewu, kula badh takn, griyanipun mas Budi punika,
wonten pundi?.

Krama alus, nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi
punika, wonten pundi?.

2. Bahasa Tulisan Suku Jawa


Aksara Jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya.
Bentuk aksara dan seni pembuatannya menjadi suatu peninggalan yang patut untuk
dilestarikan. Aksara jawa disebut juga dengan nama aksara Legenda. Aksara
Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah.
Setiap suku kata aksara Jawa mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi
untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali
suku kata yang tertutup oleh wignyan, cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik
atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, didalam aksara Jawa juga dikenal
huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama
gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga. Hanacaraka atau dikenal
dengan nama carakan atau cacarakan adalah aksara turunan aksara Brahmi yang
digunakan untuk naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda,
bahasa Bali, dan bahasa Sasak.
Hanacaraka dikenal sebagai (tulisan Jawa atau abjad Jawa) ialah suatu sistem
tulisan abjad suku kata yang digunakan oleh orang Jawa untuk menulis dalam
bahasa Jawa. Ia juga digunakan di Bali, Sunda, dan Madura. Bahkan ditemukan

pula surat-surat dalam bahasa Melayu yang menggunakan tulisan Hanacaraka.


Tulisan ini berasal daripada tulisan kawi yang mempunyai asal-usul dari tulisan
Brahmi di India. Hanacaraka dinamakan sedemikian kerana lima huruf pertamanya
membentuk sebutan "ha-na-ca-ra-ka". Hanacaraka juga boleh merujuk kepada
kelompok sistem tulisan yang berkait rapat dengan tulisan Jawa dan menggunakan
susunan abjad yang sama, iaitu tulisan Jawa sendiri, tulisan Bali dan tulisan Sunda.
Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang
berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak
berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima
aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal,
beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata
penulisan (pada).
Contoh

Tulisan Jawa pada sebuah tanda di Tamansari, Yogyakarta

Sebuah manuskrip purba dalam tulisan Jawa

3. Penyebaran Bahasa Jawa


Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan diberbagai
daerah bahkan diluar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia
turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat
kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang
Jawa. Disamping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang
didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah:
Lampung (61,9%), Sumatera Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan
(27%), Aceh(15,87%) yang dikenal sebagai Aneuk Jawoe. Khusus masyarakat Jawa
di Sumatera Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang
dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli
sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran
Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan
masyarakat Jawa didaerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang
diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
B. Lokasi suku Jawa

Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia
merupakan etnis Jawa. Selain diketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak tersebar
dan menetap di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat
mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga
memiliki sub-suku, seperti suku Osing, orang Samin, suku Bawean/Boyan, Naga,
Nagaring, suku Tengger dan lain-lain. Suku Jawa hampir ada disegala penjuru
Indonesia, mulai dari daerah provinsi Sumatra Utara hingga ke wilayah paling timur
Indonesia, yaitu provinsi Papua.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sekolompok orang Jawa pernah dibawa
ke Suriname di Amerika Selatan, sebagai buruh pekerja paksa, yang akhirnya tetap
menetap di negara tersebut hingga saat ini, dan membentuk suatu komunitas
tersendiri di Suriname sebagai etnis Jawa, yang tetap mempertahankan adat-istiadat
serta budaya Jawa, disana dikenal sebagai Jawa Suriname.
C. Demografi Suku Jawa
Secara keseluruhan 112.456.000 jiwa penduduk suku Jawa tersebar diberbagai
penjuru nusantara, bahkan sampai keluar negeri. Berikut data penduduk suku Jawa
pada November 2012.

Indonesia
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Barat
Lampung
Sumatera Utara
Jakarta
Yogyakarta
Sumatera Selatan
Banten
Riau
Kalimantan Timur
Jambi
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Aceh
Bengkulu
Bali
Papua
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Bangka Belitung
Malaysia
Suriname
Kaledonia Baru
Republik Rakyat Cina
D. Mata Pencaharian Suku Jawa
Pada umumnya masyarakat bekerja pada segala bidang, terutama administrasi
negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. Selain itu,
mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan
pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu
yang paling menonjol dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita
tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang

beberapa cukup dikenal, karena memegang peranan besar dalam memasok


kebutuhan nasional, seperti padi, tebu, dan kapas.
1. Pertanian
Yang dimaksud pertanian disini terdiri atas pesawahan dan perladangan (tegalan),
tanaman utama adalah padi. Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah,
kacang hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan. Sawah juga
ditanami tanaman perdagangan, seperti tembakau, tebu dan rosella.
2. Perikanan
Adapun usaha yang dilakukan cukup banyak baik perikanan darat dan perikanan
laut. Perikanan laut diusahakan di pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail,
perahu, jala dan jarring
3. Peternakan
Binatang ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik dan lain-lain.
4. Kerajinan
Kerajinan sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-ukiran, peralatan rumah
tangga, dan peralatan pertanian.
Dalam suku Jawa atau masyaraakat Jawa biasanya bermata pencaharian bertani,
baik bertani disawah maupun tegalan, juga Beternak pada umumnya bersipat
sambilan, selain itu juga masyarakat Jawa bermata pencaharian Nelayan yang
biasanya dilakukan masyarakat pantai.

E. Organisasi Sosial Suku Jawa


1. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan Jawa keturunan dari Ibu dan Ayah dianggap sama
haknya, dan warisan anak perempuan sama dengan warisan laki-laki, tetapi berbeda
dengan banyak suku bangsa yang lain, yang ada Indonesia. Misalnya, dengan sukusuku Batak di Sumatra Utara, masyarakat jawa tidak mengenal sistem marga.
Susunan kekerabatan suku jawa berdasarkan pada keturunan kepada kedua belah
pihak yang di sebut Bilateral atau Parental yang menunjukan sistem penggolongan
menurut angkatan-angkatan. Walaupun hubungan kekerabatan diluar keluarga inti

tidak begitu ketat aturannya, namun bagi orang jawa hubungan dengan keluarga
jauh tetap penting.
Masyarakat Jawa dalam hal perkawinanya melalui beberapa tahapan. Biasanya
seluruh rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan,
mencangkup:

Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil).

Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia


dipersunting.

Paningset; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin


kawin.

Pasok Tukon; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis


berupa

uang,pakaian

dan

sebagainya,

diberikan

tiga

hari

sebelum

pernikahan.

Pingitan; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40
hari sebelum perkawinan.

Tarub; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah


dengan janur.

Siraman; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan


dengan selamatan.

Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai


orang tua atau Wali dan saksi-saksi.

Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.

Ngunduh Mantu (ngunduh temanten); Memboyong pengantin wanita kerumah


pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.

Jika di dalam perkawinan ada masalah antara suami istri maka dapat dilakukan
"Pegatan" (Perceraian). Jika istri menjatuhkan cerai di sebut "talak" sedangkan istri
meminta cerai kepada suami di sebut "talik". Jika keinginan isteri tidak di kabulkan
oleh suami istri mengajukan ke pengadilan maka disebut "rapak". Jika ingin kembali
lagi jenjang waktunya mereka rukun kembali adalah 100 hari di namakan "Rujuk"
jika lebih dari 100 hari dinamakan "balen" (kembali). Setelah cerai seorang janda
boleh menikah dengan yang lain setelah "masa Iddah".
2. Sistem Kemasyarakatan
Dalam sistem kemasyarakatan, akan dibahas mengenai pelapisan sosial. Dalam
sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau
Bendara, Santri dan Wong Cilik.
Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu para dan yayi
atau yang berarti para adik. Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini
mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di kalangan masyarakat biasa setelah
Bendara atau ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat.
Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum
terpelajar yang memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang-orang disekitarnya
Ningrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan
ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang
memiliki hubungan darah langsung, maupun yang berkerabat akibat pernikahan.
Bendara pu memiliki banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi,
sampai yang terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di
depan nama seorang bangsawan tersebut.
Yang ketiga adalah golongan santri. Golongan ini tidak merujuk kepada seluruh
masyarakat suku Jawa yang beragama muslim, tetapi, lebih mengacu kepada para
muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang belajar di pondok-pondok
yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa.
Terakhir, adalah wong cilik atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta
terendah dalam pelapisan sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-

desa dan bekerja sebagai petani atau buruh. Golongan wong cilik pun dibagi lagi
menjadi beberapa golongan kecil lain yaitu:
a. Wong Baku: golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong
cilik, biasanya mereka adalah orang-orang yang pertama mendiami suatu
desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.
b. Kuli Gandok atau Lindung: masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki
yang telah menikah, namun tidak memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga
ikut menetap di tempat tinggal mertua.
c. Joko, Sinoman, atau Bujangan: di dalam golongan ini adalah semua laki-laki
yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, atau tinggal
bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah pertanian
dengan cara pembelian atau tanah warisan.
Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut
dengan dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan
tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantupembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-masing pamong
desa memiliki tugas dan perananya masing-masing. Ada yang bertugas menjaga
dan memelihara keamanan dan ketertiban desa, sampai dengan mengurus masalah
perairan bagi lahan pertanian warga.
F. Religi Suku Jawa
1. Kepercayaan/ Agama
Mayoritas orang Jawa menganut agama Islam, sebagian yang lainya menganuti
agama Kristian, Protestan dan Katolik, termasuknya dikawasan luar bandar, dengan
penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan dikalangan masyarakat Jawa.
Terdapat juga agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama
Kejawen. Kepercayaan ini pada dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme
dengan pengaruh agama Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal
kerana sifat asimilasi kepercayaannya, dengan semua budaya luar diserap dan
ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa.

Suku Jawa berbeda dengan suku-suku lain dalam hal pandangan hidup, jika suku
lain selalu melabelkan agama tertentu sebagai identitas kesukuannya, atau
bukanlah bagian dari suku tertentu jika bukan beragama tertentu, maka suku jawa
merupakan suku yang universal identitas sukunya tidak dibangun oleh agama
maupun ras tertentu walaupun setiap individu jawa wajib beragama dan dituntun
untuk melaksanakan syariat agamanya yang mesti dilaksanakan dengan taat oleh
pribadi jawa yang memeluknya sebagai konsekwensi hidup sebagai hamba tuhan.
Suku jawa memposisikan diri sebagai suku universal dan sebagian mengatakan
jawa bukanlah sebuah suku namun dia adalah Jiwa dari setiap individu baik dia
muslim maupun non-muslim sehingga dapat kita lihat pandangan hidupnya yang
mengayomi semua agama dan muslim sebagai pemimpinnya karena memang
sebagai mayoritas bisa dilihat kesultanan-kesultanan yang dibangun oleh suku jawa
yang bercorakkan islam, namun tetap menghargai suku jawa non-muslim yang tidak
beragama islam karena agama adalah iman dan keyakinan pilihan jiwa, dan jika
orang jawa mayoritasnya adalah non muslim maka ia juga berkewajban mengayomi
hak-hak suku jawa yang beragama lainnya karena memang itu pandangan hidup
yang ditanamkan kepada orang-orang jawa hal sesuai dengan firman Allah dalam AlQuran surat Al-Mumtahanah (80:8).
Selain itu masyarakat Jawa percaya terhadap hal-hal tertentu yang dianggap
keramat, yang dapat mendatangkan mala petaka jika di tintang atau diabaikan.
Kepercayaan itu diantaranya :

Kepercayaan terhadap Nyi roro kidul

Kepercayaan kepada hari kelahiran (Wathon)

Kepercayan terhadap hari-hari yang dianggap baik

Kepercayaan kepada Nitowong

Kepercayaan kepada dukun prewangan

2. Upacara keagamaan

Suku Jawa yang kaya akan tradisi memiliki beberapa macam upacara keagamaan
adat. Upacara ini biasa dilaksanakan oleh pihak Keraton Surakarta. Beberapa
diantaranya adalah upacara Garebeg. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam satu
tahun penanggalan Jawa, yaitu tanggal 12 bulan Mudul (bulan ketiga), tanggal 1
bulan Syawal (bulan kesepuluh), dan tanggal 10 bulan Besar (bulan kedua belas).
Pada hari itu raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur.
Upacara lainnya adalah sekaten. Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan
yang dilaksanakan selama 7 hari. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah
perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad saw.
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa merupakan suatu perayaan tahun baru
menurut kalender Jawa. Di Keraton Surakarta, upacara ini diperingati dengan Kirab
Mubeng Benteng (arak-arakan mengelilingi benteng keraton).

G. Kesenian Suku Jawa


Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh
agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau
lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain
pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris
merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga
dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi
Jawa. Sistem kesenian masyarakat jawa memiliki dua tipe yaitu, tipe jawa tengah
dan jawa timur.
1. Kesenian tipe jawa tengah
Wujud kesenian tipe jawa tengah bermacam-macam misalnya sebagai berikut:
a. Seni Tari Contoh: Seni tari tipe jawa tengah adalah tari serimpi dan tari
bambang cakil, tari jaipong.
b. Seni Tembang berupa lagu-lagu daerah jawa, misalnya lagu-lagu dolanan
suwe ora jamu, gek kepiye dan pitik tukung.
c. Seni pewayangan merupakan wujud seni teater di jawa tengah.

d. Seni teater tradisional wujud seni teater tradisional di jawa tengah antara lain
adalah ketoprak.
2. Kesenian tipe jawa timur
Wujud kesenian dari pesisir dan ujung timur serta madura juga bermacam-macam,
misalnya sebagai berikut:
a. Seni tari dan teater antara lain tari ngremo, tari tayuban, dan tari kuda
lumping.
b. Seni pewayangan antara lain wayang beber.
c. Seni suara antara lain berupa lagu-lagu daerah seprerti tanduk majeng (dari
Madura) dan ngidung (dari Surabaya).
d. Seni teater tradisional antara lain ludruk dan kentrung.

3. Rumah adat jawa


Rumah adat Jawa antara lain corak limasan dan joglo. Rumah situbondo merupakan
model rumah adat jawa timur yang mendapat pengaruh dari rumah madura.
4. Pakaian adat jawa
Pakaian pria jawa tengah adalah penutup kepala yang di sebut kuluk, berbaju jas
sikepan, korset dan kris yang terselip di pinggang. Memakai kain batik dengan pola
dan corak yang sama dengan wanita. Wanitanya memakai kain kebaya panjang
dengan batik sanggulnya disebut bakor mengkurep yang diisi dengan daun pandan
wangi.
H. Sistem Pengetahuan Suku Jawa
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yang ada, berkembang, dan masih ada
hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa
adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan
oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur
budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun

tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang


cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan
penanggalan,

karena

didalamnya

berpadu

dua

sistem

penanggalan,

baik

penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan


berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).
Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang
kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah
penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu,
sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama
islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan
sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas
kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap
menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem kalender Jawa juga terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama
bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan
dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar,
mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan
dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah
dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok
tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender
berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas
bulan.
I. Peralatan Hidup Masyarakat Suku Jawa
Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan
hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan.
Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam
bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa

jenis rumah yang

dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah limasan, rumah
joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang paling umum
ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang dihuni oleh

golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat
tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu
(batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah.
Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik
bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga
yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari
anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting.
Dalam sektor pertanian, alat-alat pertanian diantantaranya: bajak (luku), grosok,
bakul besar tenggok, garu.
J. Perubahan/ Pemikiran Individu
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki
berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. suku Jawa
adalah penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura.
Selain itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk
berkomunikasi juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun tidak secara langsung
berasal dari pulau Jawa. Secara keseluruhan penduduk suku Jawa tersebar
diberbagai penjuru nusantara, bahkan sampai keluar negeri.
Secara umum suku Jawa memiliki mata pencaharian yang dominan dibidang
pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Memiliki sistem kekerabatan
yang jelas dan erat, bersosial baik, dan bermasyarakat dengan rukun meski memiliki
tingkatan stratifikasi sosial.
Dalam kepercayaan atau keagamaan dalam suku Jawa, suku Jawa lebih bersifat
universal dan memiliki toleransi yang tinggi, yaitu tidak menekan kepada
masyarakatnya untuk memeluk agama tertentu, meski masyarakat diwajibkan
memeluk salah satu agama.
Suku Jawa memiliki banyak kesenian yang beranekaragam diantaranya adalah seni
tari, seni tembang, seni pewayangan, seni teater tradisional dan lai sebagainya.
Kesenian-kesenian tersebut telah menjadi budaya yang sangat beranekargam,

budaya Jawa merupakan salah satu faktor utama berdirinya kebudayaan nasional,
maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi
budaya nasional.

Anda mungkin juga menyukai