Suku Jawa (Bahasa Jawa: Ngoko: ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ (Wong Jawa), Krama: ꦠꦶꦪꦁꦗꦮꦶ
(Tiyang Jawi))[1] merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah,
Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), dan
Kabupaten/Kota Serang–Cilegon (Banten). Pada tahun 2010, setidaknya 40,22% penduduk
Indonesia merupakan etnis Jawa.[2] Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada di negara
Kaledonia Baru, Oseania dan Suriname, Amerika Selatan karena pada masa kolonial Belanda
suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja. Saat ini suku Jawa di Suriname menjadi salah satu suku
terbesar di sana dan dikenal sebagai Jawa Suriname. Ada juga sejumlah besar suku Jawa di
sebagian besar provinsi di Indonesia, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Belanda.
Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya,
nya, ma, ga, ba, tha, nga. Jika diartikan adalah “ada dua utusan yang setia saling bertarung sama-
sama saktinya dan sama-sama matinya”.
Seni
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama
Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar
berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan
Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa.
Musik gamelan yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya
dan tradisi Jawa.
Kepercayaan
Agama Populasi
Islam 92.207.046
Kristen 2.528.854
Hindu 150.855
Buddha 90.465
Konghucu 2.857
Lainnya 9.599
Mayoritas orang Jawa menganut agama Islam (sekitar 97%). Masyarakat Muslim Jawa
umumnya dikategorikan ke dalam dua kultur, yaitu kaum Santri dan Abangan. Kaum santri
mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat Islam, sedangkan kaum abangan walaupun
menganut Islam namun dalam praktiknya masih terpengaruh Kejawen yang kuat. Orang Jawa
juga ada yang menganut agama Kristen (sekitar 2,5%), baik Protestan maupun Katolik. Sekitar
1% orang Jawa lainnya juga menganut agama Hindu, Buddha, maupun kepercayaan suku Jawa
yang disebut sebagai Kejawen. Kantong masyarakat Jawa Hindu masih ditemukan seperti di
kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, sedangkan kantong masyarakat Jawa Buddha
dapat ditemukan di kawasan sekitar Candi Borobudur.
SISTEM PENGETAHUAN
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih ada hingga
saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa menurut kelompok
kami, adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh
para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-
Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. Namun tetap dipertahankan penggunaanya
hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap
dalam menggambarkan penanggalan, karena di dalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik
penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan
perputaran bulan
2. Upacara Grebeg
Selain upacara kenduren, di Jawa juga dikenal Upacara Grebeg. Upacara ini digelar 3
kali setahun, yaitu tanggal 12 Mulud (bulan ketiga), 1 Sawal (bulan kesepuluh) dan 10 Besar
(bulan kedua belas). Upacara ini digelar sebagai bentuk rasa syukur kerajaan terhadap karunia
dan berkah Tuhan.
3. Upacara Sekaten
Sekaten merupakan upacara adat Jawa yang digelar dalam kurun tujuh hari sebagai
bentuk peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Berdasarkan asal usulnya, kata Sekaten yang
menjadi nama upacara tersebut berasal dari istilah Syahadatain, yang dalam Islam dikenal
sebagai kalimat tauhid. Upacara sekaten dilakukan dengan mengeluarkan kedua perangkat
gamelan sekati dari keraton, yaitu gamelan Kyai Gunturmadu dan gamelan Kyai Guntursari
untuk diletakan di depan Masjid Agung Surakarta.
4. Upacara Ruwatan
Upacara ruwatan adalah upacara adat Jawa yang dilakukan dengan tujuan untuk meruwat
atau menyucikan seseorang dari segala kesialan, nasib buruk, dan memberikan keselamatan
dalam menjalani hidup. Contoh upacara ruwatan misalnya yang dilakukan di dataran Tinggi
Dieng. Anak-anak berambut gimbal yang dianggap sebagai keturunan buto atau raksasa harus
dapat segera diruwat agar terbebas dari segala marabahaya.
5. Upacara Perkawinan
Tradisional Jawa Dalam pernikahan adat Jawa dikenal juga sebuah upacara perkawinan
yang sangat unik dan sakral. Banyak tahapan yang harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang
satu ini, mulai dari siraman, siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau peningsetan,
nyantri, upacara panggih atau temu penganten, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual kacar
kucur atau tampa kaya, ritual dhahar klimah atau dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain
sebagainya.
6. Upacara Tedak Siten
Upacara tedak siten merupakan upacara adat Jawa yang digelar bagi bayi usia 8 bulan
ketika mereka mulai belajar berjalan. Upacara ini dibeberapa wilayah lain juga dikenal dengan
sebutan upacara turun tanah. Tujuan dari diselenggarakannya upacara ini tak lain adalah sebagai
ungkapan rasa syukur orang tuanya atas kesehatan anaknya yang sudah mulai bisa menapaki
alam sekitarnya.
7. Upacara Tingkepan
Upacara tingkepan (mitoni) adalah upacara adat Jawa yang dilakukan saat seorang
wanita tengah hamil 7 bulan. Pada upacara ini, wanita tersebut akan dimandikan air kembang
setaman diiringi panjatan doa dari sesepuh, agar kehamilannya selamat hingga proses
persalinannya nanti. 8. Upacara Kebo Keboan Masyarakat Jawa yang mayoritas bekerja sebagai
petani juga memiliki ritual upacara tersendiri. Kebo-keboan –begitu namanya, merupakan
upacara adat Jawa yang dilakukan untuk menolak segala bala dan musibah pada tanaman yang
mereka tanam, sehingga tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan panen
yang memuaskan. Dalam upacara ini, 30 orang yang didandani menyerupai kerbau akan diarak
keliling kampung. Mereka akan didandani dan berjalan seperti halnya kerbau yang tengah
membajak sawah.
8. Upacara Larung Sesaji
Upacara larung sesaji adalah upacara yang digelar orang Jawa yang hidup di pesisir
pantai utara dan Selatan Jawa. Upacara ini digelar sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil
tangkapan ikan selama mereka melaut dan sebagai permohonan agar mereka selalu diberi
keselamatan ketika dalam usaha. Berbagai bahan pangan dan hewan yang telah disembelih akan
dilarung atau dihanyutkan ke laut setiap tanggal 1 Muharam dalam upacara adat Jawa ini.