Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Budaya Jawa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata budaya mempunyai arti sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar untuk diubah. Sedangkan menurut Jalaluddin, ia menyatakan
bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan
pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Masyarakat Jawa atau
tepatnya suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup
kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-
temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa bagian
tengah dan timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah tersebut. Secara geografis,
suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri, sedangkan di luar wilayah tersebut
dinamakan pesisir dan ujung timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas
kerajaan Mataram pada sekitar abad XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa.
Jadi dari uraian di atas, dapat kita ambil pemahaman bahwa budaya Jawa yang
dimaksud di sini adalah segala sistem norma dan nilai yang meliputi sistem religi, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, kepercayaan, moral, seni, hukum, adat, sistem organisasi
masyarakat, mata pencaharian, serta kebiasaan masyarakat Jawa yang hidup di pulau Jawa
atau yang berasal dari pulau Jawa itu sendiri.
Budaya Jawa lahir dan berkembang, pada awalnya, di pulau Jawa yaitu suatu pulau
yang panjangnya lebih dari 1.200 km dan lebarnya 500 km bila diukur dari ujung-ujungnya
yang terjauh. Letaknya di tepi sebelah selatan kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh
derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa

B. NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA LEWAT UNGKAPAN


Masyarakat Jawa termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan
budayanya meskipun kadang-kadang mereka sudah tidak mampu lagi menggunakan bahasa
Jawa secara aktif dengan undha-usuknya, serta tidak begitu paham dengan kebudayannya.
Dalam pandangan beberapa orang, bahasa dan budaya Jawa termasuk budaya kuna dan
feodal yang sudah tidak relevan dengan situasi masa kini. Padahal, dalam era sekarang ini
dibutuhkan pedoman dan nilai-nilai agar bangsa ini menjadi bangsa yang arif dan bijaksana
penuh kedamaian dengan toleransi yang tinggi antara satu suku dan suku lainnya. Untuk itu,
perlu digali kearifan lokal dalam bentuk apa pun yang mengandung nilai budaya yang tinggi
dan adiluhung.
Budaya Jawa penuh dengan simbol sehingga dikatakan budaya Jawa adalah budaya
simbolis. Sebagai contoh adalah tradisi wiwahan. Simbol-simbol wiwahan terdapat di dalam
upacara perkawinan adat Jawa. Dalam pengertian ini simbol-simbol wiwahan sangat
berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Jawa, suatu kehidupan yang mengungkapkan
perilaku dan perasaan manusianya melalui berbagai upacara adat (Budianto 2002:86).
Simbol-simbol yang digunakan sampai kini mengandung nilai-nilai budaya, etika, moral
sangat penting dijelaskan kepada generasi selanjutnya. Itu merupakan salah satu produk
budaya yang merupakan kearifan lokal yang perlu terus dipahami dan diresapi oleh
masyarakatnya.
Bahasa Jawa sebagai produk masyarakat Jawa mencerminkan budaya Jawa. Sifat dan
perilaku masyarakat Jawa dapat dilihat melalui bahasa atau kegiatan berbahasanya. Begitu
juga perkembangan kebudayaan Jawa akan dapat memperkaya bahasa Jawa pada seluruh
aspeknya. Paribahasa, ungkapan, bebasan, dan saloka sebagai salah satu bentuk penggunaan
bahasa dapat mencerminkan sifat dan kepribadian pemakainya. Lebih-lebih ungkapan yang
bermakna ketidaklangsungan merupakan cermin budaya Jawa yang sangat khas bagi
masyarakat Jawa. Sebaliknya, kebudayaan Jawa akan terus bersimbiosis mutualistis dengan
bahasanya.
Budaya Jawa dari zaman dahulu terkenal sebagai budaya adiluhung yang menyimpan
banyak nilai yang sangat luhur mulai dari etika dan sopan santun di dalam rumah sampai
sopan santun di ranah publik. Bagaimana mengeluarkan pendapat, berbicara kepada orang
tua, berpakaian, makan, memperlakukan orang lain dan sebagainya semuanya telah ada
dalam budaya Jawa. Bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya, baik yang
sekarang ada maupun yang telah diawetkan dan yang akan datang (dengan cara
mewariskannya). Tanpa bahasa tidak akan ada budaya. Setiap masyarakat budaya
mempertahankan konsepnya melalui nilai budaya dan sistem budaya dengan
mempertahankan fungsi, satuan, batas, bentuk, lingkungan, hubungan, proses, masukan,
keluaran, dan pertukaran (Soeleman 1988). Oleh karena itu, tinggi rendahnya nilai budaya
sangat bergantung pada pertahanan masyarakatnya dalam mengoperasionalkan sistem
tersebut (Djajasudarma 2002).
Salah satu unsur bahasa yang cenderung baku dan beku dari segi struktur maupun
makna adalah unsur yang disebut ungkapan dan peribahasa (secara universal unsur ini
dimiliki bahasa-bahasa yang ada di dunia). Unsur tersebut diwariskan turun- temurun
sampai saat ini meskipun dari segi budaya sudah berubah.
Sehubungan dengan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan budaya, dalam
bahasa Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, bebasan, dan saloka. Semuanya
mengandung nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang budaya masyarakatnya. Jadi,
bentuk ungkapan seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah wujud konkret bahasa,
sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan budaya masyarakatnya.
Biasanya berbagai maksud itu merupakan (1) gambaran akan adanya Tuhan, (2) gambaran
mengenai sikap dan hidup, (3) cara memberi nasihat, kritik, peringatan, (4) gambaran
mengenai tekad yang kuat. Di samping itu, ada juga ungkapan yang mencerminkana sifat
tidak baik pada orang Jawa dan tidak perlu dikembangkan oleh siapa pun. Ungkapan dalam
bahasa Jawa bermacammacam jenisnya, antara lain bebasan, paribasan dan saloka. Bebasan
adalah ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan
yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. Paribasan adalah ungkapan yang memiliki
makna kias, namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sana dudu kadang, yen
mati melu kelangan. Saloka adalah ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung
perumpamaan pada subjek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
C. Tradisi Pernikahan di Kebudayaan Jawa
Tradisi pernikahan adat Jawa menjadi hal yang menonjol pada masyarakat Jawa. Bagi
masyarakat Jawa, pernikahan dianggap momentum sakral yang terjadi sekali dalam hidup
mereka. Oleh karena itu, dalam pemilihan calon istri atau calon suami, masyarakat Jawa
masih menjunjung tinggi pertimbangan bibit, bobot dan bebetnya. Dalam tradisi masyarakat
Jawa, resepsi pernikahan diselenggarakan tanpa meninggalkan prosesi adat yang telah
dilaksanakan secara turun-temurun. Pelaksanaan perkawinan diperlukan suatu lembaga
perkawinan yang mengatur hubungan antara suami isteri secara yuridis maupun religius
sehingga hubungan tersebut sah menurut agama, hukum, dan tidak melanggar norma-norma
hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Setiap prosesi yang ada dalam tradisi
pernikahan masyarakat Jawa tidak hanya sekedar sebagai prosesi saja tetapi juga memiliki
makna dan mengandung sebuah nasehat pada setiap prosesinya.
Dalam masyarakat Jawa, sebuah pernikahan memiliki tatanan ada yang syarat akan
berbagai prosesi upacara adat dalam pelaksanaannya. Resepsi pernikahan sendiri merupakan
bagian dari serangkaian acara pernikahan pada masyarakat Jawa. Pada masyarakat ini,
resepsi pernikahan diselenggarakan setelah acara ijab Kabul. Dalam pelaksanaannya, resepsi
pernikahan pun juga memiliki serangkaian upacara ada yang terdiri dari upacara panggih,
upacara ngunjuk degan, upacara sungkeman dan prosesi kirab temanten. Pada acara upacara
panggih. Terdapat lagi rangkaian prosesi yang meliputi upacara buncalan gantal, upacara
ngidak tigan lan wiji dadi, sinduran, upacara kacar-kucur dan upacara nimbang atau
pangkon. Selesainya acara resepsi pernikahan yang diwarnai dengan serangkaian prosesi
upacara adat ini bukan merupakan acara akhir dari sebuah pernikahan pada masyarakat
Jawa. Dalam tradisi Jawa, selang lima hari setelah acara resepsi pernikahan, kemudian
dilaksanakanlah acara ngunduh mantu. Acara ini merupakan acara yang diadakan pihak
keluarga mempelai laki-laki. Acara ini hanya memiliki beberapa rangkaian prosesi upacara
seperti upacara wijik puput, upacara sungkeman dan kirab temanten. Acara resepsi
pernikahan dan ngunduh mantu ini merupakan bagian dari tradisi pernikahan adat Jawa
yang sudah turun temurun dilaksanakan. Maka tidak heran jika tradisi penyelenggaraan
pernikahan adat Jawa ini menjadi pertimbangan bagi orang tua dalam menyelenggarakan
resepsi pernikahan untuk anaknya.

Daftar Pustaka

Permatasari,Afika Fitria dan Mahendra Wijaya. 2017. ” Perubahan Perilaku Masyarakat Jawa dalam
Penyelenggaraan Resepsi Pernikahan di Kota Surakarta”. Jurnal Analisa Sosiologi.

Sartini, Ni Wayan. 2012. “Mmenggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (ebasan,
Saloka, DAN Paribasa)”. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra (Volume V No. 1 April Tahun 2009).

Sutardjo, Imam. 2008. Kajian budaya Jawa. Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa :
Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai