Salah satu anak disabilitas yang membutuhkan program kesiapsiagaan
bencana adalah anak tunagrahita ringan. Seperti yang diketahui anak
tunagrahita ringan memiliki IQ 70-55 mampu di didik dan diarahkan dalam bidang akademik (membaca, menulis, dan berhitung), keahlian sosial, dan lain-lain. Anak dengan tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi (Muhlishotu, 2014). Anak dengan tunagrahita mengalami keterlambatan dalam perkembangan kecerdasan, sehingga terhambat dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, terkadang ada anak yang kurang, tergantung pada berat ringannya hambatan dan juga perhatian dari lingkungan yang didapatkan oleh anak (Widiastuti & Winaya, 2019). Anak tunagrahita ringan memiliki hambatan dalam berperilaku yaitu perilaku hiperaktif. Dimana anak tidak mau diam, tidak dapat duduk dengan tenang, selalu bergerak, sering berlarian, bicara berlebihan, dan tidak bisa fokus (Utari & Marlina, 2018). Dengan keadaan anak yang seperti itu dapat membahayakan anak tersebut jika terjadi gempa bumi, dikarenakan perilaku anak yang hiperaktif dapat menyebabkan kepanikan jika tidak dilakukan penanganan yang tepat. Kondisi ini tentu saja menjadikan persoalan tersendiri dalam pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak tunagrahita.