Anda di halaman 1dari 14

A.

Kenyamanan
1. Definisi
Perubahan kenyamanan adalah keadaan dimana individu mengalami sensasi
yang tidak menyenangkan dan berespons terhadap suatu rangsangan yang
berbahaya (Carpenito, Linda Jual, 2000). Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry,
2006) megungkapkan kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu
kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah
terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan
nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek
yaitu:
a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
b. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri
yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
d. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya.
Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan
kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum dalam
aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman
bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri
dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi perasaan tidak
nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala dan tanda pada pasien.
Kebutuhan rasa nyaman(Aziz 2004:172, Kebutuhan Dasar Manusia) yang
dimaksud di sini adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari nyeri dan
hipo/hipertermia mengingat nyeri dan hipo/hipertermia merupakan keadaan yang
dapat mempengaruhi perasaan tidak nyaman bagi tubuh. Rasa tidak nyaman ini
ditunjukkan dengan ada tanda dan gejala seperti ketika ada nyeri, pasien
menunjukan prilaku protektif dan tidak tenang,peningkatan tekanan, frekuensi nadi,
peningkatan atau penurunanan napas, diaforesis, wajah mnyeringai, dan prilaku
distraksi, sperti menangis dan merintih.
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan (Emerson et al., 2020). Selian itu, professional perawatan
harus mempercayai laporan klien dan harus memberikan perhatian khusus pada
pengalaman subjektif klien tentang nyeri. Sehingga pengkajian nyeri harus
dirancang sesuai dengan kemampuan komunikasi klien. Apabila klien tidak dapat
melaporkan nyeri yang dirasakannya, perawat harus menggubakan skala nyeri
perilaku yang valid. Agar dapat memberikan manajemen nyeri yang sesuai dengan
kebutuhan klien (Wickman et al., 2021).

2. Anatomi dan Fisiologi Nteri


Nyeri dipengaruhi oleh aktivitas saraf melalui proses :
3. Transduksi
Mencakup neuron sensorik aferen primer yang berfungsi untuk mendeteksi
rangsangan bahaya yang bersifat termal kimia ataupun mekanis. Serabut saraf
yang mentransmisikan informasi bahaya tersebut disebut dengan nosiseptor
aferen primer yang terletak di seluruh kulit dan mukosa transduksi terjadi ketika
nosiseptor mengubah rangsangan bahaya menjadi potensial aksi (impuls
elektronika) yang kemudian ditransmisikan ke sumsum tulang belakang
mencapai SSP
4. Transmisi
Terjadi ketika informasi tentang stimulus bahaya melewati sumsum tulang
belakang menuju otak melalui dua jenis saraf nosiseptor aferen primer yaitu
serat A delta yang memiliki diameter lebih besar memiliki mielin dan berfungsi
menghantarkan impuls dengan cepat serta serat C dengan diameter lebih kecil
dan tidak memiliki mielin yang berfungsi untuk mentransmisikan impuls lebih
lambat dan memediasi nyeri terbakar yang bertahan lama.
5. Persepsi
Terjadi ketika klien menjadi sadar akan nyeri akibat pengaktifan rangsangan
bahaya pada korteks serebral yang menghasilkan aspek sensorik-deskriptif,
motivasi-afektif dan kognitif-evaluasi dari pengamalan nyeri serta integrasi
motorik terhadap rangsangan berbahaya dan memori nyeri.
6. Modulasi
Merupakan proses penjalaran nyeri dari nosiseptor ke SPP yang dapat dihambat
atau ditingkatkan. modulasi terjadi djsetiap jalur nyeri termasuk sumsum tulang
belakang, otak dan korteks.

Nyeri dapat terjadi karena adanya komponen sensorik berupa jalur saraf untuk
mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak dan untuk menentukan kualitas, besar dan
lokasinya. setelah otak merasakan sinyal rasa sakit struktur kortikal lainnya
mendeteksi efek rasa sakit yang tidak menyenangkan dan menentukan apakah itu
merupakan pemicu tindakan seperti menghindar, penarikan ataupun agresif.
komponen motivasi afektif nyeri diarahkan oleh sistem limbic dan formasi retikuler
di Batang otak dengan aktifnya struktur ini rasa sakit dapat mengganggu kegiatan
sehari-hari sementara itu control pusat yang dikendalikan oleh korteks
mengaktifkan kognitif-evaluatif nyeri yang memicu signifikansi atau makna dari
pengalaman nyeri.

3. Tori pengontrolan nyeri (Gate Control Theory)


Teori ini menjelaskan bahwa internet dari substansia gelatinosa bertindak sebagai
gerbang yang mengatur Serabut saraf ke lamina Sel V. Pada teori ini, nyeri
bukanlah pengalaman sensorik yang sederhana tetapi melibatkan persepsi sentral
dan mekanisme penilaian kognitif. sehingga, apabila aktivitas serat nosiseptif kecil
atau di tanduk dorsal mencapai ambang kritis tanpa di blokir mengakibatkan impuls
nosiseptif ditransmisikan menuju talamus dan korteks serebral. persepsi nyeri dapat
dimodulasi secara terpusat melalui mekanisme turun yang dipengaruhi oleh
pengalaman masa lalu perhatian dan emosi seseorang. modulasi sinyal nosiseptif
terjadi melalui "mekanisme gerbang" pada substansia gelatinosa di dalam korpus
dorsalis.
Mekanisme getting ini bisa terbuka atau tertutup yang dipengaruhi oleh jumlah
aktivitas serat nosiseptif (abeta) dan nosiseptif kecil (A Delta dan C ). Peningkatan
aktivitas di serat besar menutup gerbang dan menghambat transmisi pesan
berbahaya yang dibawa oleh serat kecil ke sel transmisi (sel T) di substansia
gelatinosa. Namun, apabila impuls bahaya tidak diblokir oleh aktivitas serat besar
(gerbang terbuka) dan mencapai tingkat kritis menyebabkan adanya transmisi ke
neuron orde kedua pada subtansia gelatinosa mrnuju thalamus dan korteks serebral.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengalaman Nyeri


a) Nilai Etnis dan Budaya
Latar belakang etnis dan budaya merupakan salah faktor yang mempengaruhi
reaksi seseorang terhadap rasa sakit dan ekspresi rasa sakit itu. Perilaku yang
berhubungan dengan nyeri merupakan bagian dari proses sosialisasi karena latar
belakang budaya dapat mempengaruhi tingkat nyeri yang dapat ditoleransi oleh
individu. Selain itu, ekspresi nyeri sangat bervariasi. Penelitian telah
menunjukkan bahwa individu keturunan Eropa utara cenderung lebih tabah dan
kurang ekspresif terhadap nyeri yang mereka rasakan daripada individu dari latar
belakang Eropa selatan. Karena banyak klien memiliki perbedaan budaya dalam
pelaporan nyeri dan preferensi pengobatan, perawat harus kompeten untuk
mendapatkan laporan dan menilai nyeri secara akurat pada setiap klien mereka.
Untuk menjadi kompeten secara budaya, perawat harus memiliki pengetahuan
tentang perbedaan makna dan respons yang tepat terhadap nyeri dalam budaya
klien mereka sambil bersimpati pada kekhawatiran mereka dan mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi nyeri dengan cara yang sensitif
secara budaya.
b) Tahap Perkembangan
Usia dan tingkat perkembangan klien merupakan faktor penting yang akan
mempengaruhi reaksi dan ekspresi mereka terhadap nyeri. Pengalaman nyeri
meningkat seiring bertambahnya usia karena orang dewasa yang lebih tua lebih
mungkin menderita kondisi kronis yang dapat menyebabkan rasa sakit, seperti
radang sendi, diabetes, dan gangguan sendi. Selain itu, seiring bertambahnya usia
sistem tubuh, orang dewasa yang lebih tua mungkin memerlukan lebih banyak
intervensi medis, seperti pembedahan, yang dapat menyebabkan nyeri akut. Orang
dewasa yang lebih tua juga dapat mengalami perubahan nosisepsi terkait usia
yang dapat menyebabkan ambang nyeri yang lebih tinggi. Misalnya, transduksi
dan transmisi sinyal nyeri pada orang dewasa yang lebih tua mungkin tertunda
oleh pengurangan substansi P dan kepadatan serat mielin dan nonmielin.
Perawat tidak boleh menyimpulkan bahwa orang dewasa yang lebih tua
memiliki intensitas nyeri yang lebih rendah. Faktanya, jika klien seperti itu
memilih untuk melaporkan rasa sakit, perawat harus waspada dengan
kemungkinan adanya patologi mendasar yang lebih besar. Untuk klien dari segala
usia, perawat dapat mencoba untuk menilai nyeri dengan menggunakan laporan
diri dan tindakan observasional atau perilaku dan fisiologis (RNAO, 2013).
c) Lingkungan dan dukungan sosial
Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi nyeri serta interpretasi
dan persepsi dari rasa nyeri. Psikolofis seseorang data dipengaruhi oleh
lingkungan. Khususnya, lingkungan yang asing seperti rumah sakit dengan
kebisingan, lampu, dan aktivitasnya, dapat memperparah keadaan stres atau
kecemasan. Meskipun tidak ada hubungan sebab akibat yang terbukti antara
kecemasan dan rasa sakit, berada di lingkungan yang tidak dikenal dapat
menyebabkan ketidaknyamanan psikologis yang dapat memiliki efek tidak
langsung pada komponen afektif rasa sakit dan meningkatkan penderitaan
psikologis orang yang mengalaminya. Orang yang menganggap keluarga dan
teman mereka mendukung menunjukkan perilaku nyeri yang lebih sedikit dan
tingkat aktivitas yang lebih tinggi dan melaporkan tingkat tekanan emosional yang
lebih rendah. Akhirnya, kepuasan dengan dukungan sosial yang dirasakan terbukti
terkait dengan intensitas nyeri yang lebih rendah dan tingkat depresi yang lebih
rendah.
d) Pengalaman Nyeri Sebelumnya
Model adaptasi nyeri yang diusulkan oleh Rollman (1979) menunjukkan
bahwa pengalaman nyeri sebelumnya dapat mempengaruhi respon klien terhadap
nyeri. Orang-orang yang secara pribadi mengalami rasa sakit atau yang telah
terkena penderitaan seseorang yang dekat sering lebih terancam oleh rasa sakit
yang diantisipasi daripada orang yang tidak mengalami rasa sakit.
5. Klasifikasi Nyeri
a) Berdasarkan asal nyeri
1) Nyeri nosiseptif
Terjadi kareana kerusakan jaringan dan nosiseptif akibat proses fisiologis
normal dari rangsangan bahaya yang dapat menyakitkan. Nyeri nosiseptif dapat
dikategorikan berdaasarkan asal terjadinya nyeri yaitu :
 Nyeri somatik yang berasal dari kulit, otot, tulang atau jaringan ikat. Nyeri
ini memiliki sensasi tajam seperti terpotong kertas atau denyutan yang
berasal daerah kaki yang terkilir.
 Nyeri visceral yang terjadi akibat stimulasi reseptor nyeri diorgan seperti
peeregangan jaringan, iskemisa ataupun kejang otot. Sensai nyeri ini seperti
terbakar dan sering terasa seperti nyeri somatik yang lebih besar yaitu
terbakar ataupun nyeri yang tertekan.
2) Nyeri neuropatik

Terjadi akibat cidera saraf atau pelepasan rangsangan yang tidak normal
oleh system saraf pusat atau perife. Nyeri ini biasanya timbul setelah
pembedahan ataupun prosedur invasive lain yang mengakibatkan kerusakan
saraf. Nyeri ini dapat bersifat persisten yang ditandai dengan rasa sakit secara
terus menerus dengan sensasi terbakar, tertusuk dan sering disertai defisit
sensorik pada daerah yang terkena.

3) Complex regional pain syndrome (CPRS)


Nyeri ini merupakan nyeri yang etiologinya kurang dipahami atau dapat
disebabkan oleh kelainan pada system saraf perifer.
b) Berdasarkan durasi nyeri
1) Nyeri akut
Nyeri akut berasal dari jaringan yang baru saja rusak dan terjadi dalam
jangka waktu pendek yaitu kurang dari 12 minggu dan tidak lebih dari 6 bulan.
Nyeri ini terjadi karena stimulus bahaya seperti tauma dan lokasi nyeri
biasanya dapat dengan mudah didefiniskan. Apabila nyeri akut tidak ditanagani
denagn baik dan berlangsung lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan nyeri
kronis.
2) Nyeri persisten (kronis)
Nyeri ini merupakan nyeri yang menetap setelah melewati waktu
penyembuhan biasa yang berlangsung kurang dari 6 bulan dengan sansei yang
menyebar dan bersifat kompleks serta menyebabkan iritabilitas insomnia dan
menarik diri dari lingkungan
3) Rasa sakit yang tidka tertahankan (sejenis nyeri persisten)
Hal ini merupakan keadaan nyeri yang parah dan tidak dapat disembuhkan
setelah evaluasi medis dan perawatan yang diterima. Sehingga focus
pengobatan beralih dari penyembuhan kepengurangan rasa sakit, perbaikan
fungsional dan peningkatan kualitas hidup.

6. Manifestasi Klinis
a) Nyeri pasca hepatic
Nyeri yang terjhadi akibat herpes zozter dengan sensasi menetap selama berbulan-
bulan hingga menahun serta terasa seperti terbakaar atau tersengat listrik.
b) Nyeri phantom
Perasaan akibat adanya bagian tubuh yang hilang akibat proses amputasi dengan
sesai nyeri seperti tebakar, perih serta sensai keram. Nyeri ini bersifat neuropatik
dengan etiologi yang komplek karena hilangnya input sensorik kedalam SPP dari
daerah yang diamputasi.
c) Neuralgia trigeminal
Bersifat episodic dengan rasa sakit yang menusuk serta berasal dari cabang saraf
trigeminal (kelima uranial). Nyeri ini dapat dirasakan diwajah ataupun kepala,
tepatnya pada bagian gusi, pipi dan permukaan kepala.
d) Sakit kepala dan migran
Jenis nyeri somatic akibat gangguan intrakarnial ataupun ekstrakarnial yang
ditandai dengan sakit kepala yang berdenyut parah.
e) Nyeri punggung bawah
Nyeri ini dapat menghilang dalam beberapa hari. Terapi nyeri pada kasus ini lama
yaitu tepatnya lebih dari 3 bulandan penyebab nyeri ini sulit untuk ditentukan.
f) Fibromyalgia
Gangguan nyeri kronis yang ditandai dengan nyeri muskuloskletalyang meluas
dan dapat mengakibatkan gangguan tidur, serta rasa kaku dipagi hari, rasa cemas
dan gejala lainnya.

7. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri yang akurat merupakan dasar manajemen nyeri yang efektif.
Perawat harus menyesuaikan pengkajian nyeri dengan tingat perkembangan,
kemampuan komunikasi dan kebutuhan budaya klien. Sehingga perawat harus
melakukan pengkajian nyeri pada saat klien melakukan kunjungan ke pusat
pelayanan kesehatan, setelah perubahan status kesehatan, sebelum, selama dan
setelah prosedur invasive.
Pengkjian nyeri p-ada pasien nyeri akut dapat difokuskan pada lokasi, kualitas,
keparahan dan interveensi dini yang diberika. Sementara itu, klien dengan nyeri
kronis biasanya dapat mendeskripsikan pengalaman nyeri yang lebvih terperinci.
Tujian dari pengkajian nyeri yanti mendapatkan gambaran yang komprehensif dari
pengalaman subjektif klien. Sehingga sangat penting bagi perawat untuk
mendengarkan san mempercayai pengalaman subjektif klien terkait rasa nyeri yang
dirasakannya.
Pengkajian nyeri dapat dilakukan pada klien yang mampu ataupun tidak mampu
melaporkan pengalaman nyeri yang dirasakannya. Berikut jenis pengkajian nyeri
pada pasien yang mampu ataupun tidak mampu melaporkan pengalaman nyeri yang
dirasakannya :
a) Pengkajian nyrei pada klien yang mampu melaporkan sendiri pengalaman nyeri
yang dirasakannya
Pengkajian yang dilakukan pada pasien ini dapat menggunakan metode
“PQRST” untuk menilai nyeri secara menyeluruh seperti dibawah ini :

P(Provokastion) : Faktor yang memprovokasi timbulnya nyeri,


menyebabkan ataupun memperparah nyeri.
Qualitas (Quality) : Kualitas dan kuantitas yang mengacu pada
deskriptif klien tentang sensasi nyeri seperti
dipukul dengan palu, pada sakit kepala ataupun
ditusuk pisau pada sakit petut.
Pengukuran kualitas yang mengacu pada intensitas
dapat dilakukan dengan menggunakan skala angka
yang valid seperti skala pengkajian angka 0-10 atau
numeric pain scale (NPS), skala analog visual
(VAS), sakala penilai verbal (VRS), dan skala
wajah (FPS)
R (Region) : Wilayah nyeri nyeri dilakukan penilaian dengan
menanyakan apakah nyeri menjalar ke jaringan
lainnya ataupun menetap.
T (Time) : Penilian waktu nyeri dilakukan dengan meneilai
waktu awitan,. Durasi dan kekambuhan. Sehingga
perawat dapat menentukan kapan munculnya rasa
sakit, berapa lama berlangsung, apakah berulang
dan jika memang demikain berapa interval tanpa
rasa sakit dan kapan rasa sakit terakhir terjadi.
S (Subjective description) : Tanda dan gejala yang berhubungan dengan
timbulnya rasanyeri atau mungkin akibat dari
adanya rasa sakit seperti perubahan TTV, edema,
mual, muntah ataupun pusing.

b) Pengkajian nyeri pada klien yang tidak dapat melaporkan pengalaman nyerinya
sendiri
Pengakjian ini dapat dilakukan pada lansia dengan defisit pengetahuan, bayi
dan balita preverbal, klien yang diintubasi ataupun tidak sadar serta klien
palliative. Berikut merupakan pengajian nyeri yang dapat dilakuakn pada
pasien yang tidak mampu melaporkan pengalaman nyeri yang dirasakannya :
1) Respon perilaku terhadap rasa nyeri
 Perubahan kesadara, afisia ataupun binggung.
 Ekspresi wajah saat terjadinya yeri yaitu menyeringit, menurunkan alis,
mata tertutup rapat, gigi terkatup, mulut terbuka ataupun menangis.
 Klien yang menghindari gerak juga menjadi repon perilaku nyeri dengan
tujuan mengurangi rasa nyeri akibat bergerak.
 Gerakan tubuh yang tidak menentu juga menjadi indikasi adanya nyeri.
2) Respon fisiologis terhadap nyeri
 Peningkatan ataupun penurunan TTV.
Berikut merupakan sakala peneilaian perilaku akibat nyeri yang dirasakan :
1) FLACC
Terdiri dari lima item yang diberi skor 0-2 disetiap item dengan total skor 0-
10. Skala ini dapat digunakan pada bayi dan anak-anak dari usia 2 bulan
hingga 1 tahun dan dapat mengukur perilaku nyeri pada anak yang tidak
dapat mengomunikasikannya secara verbal selama ataupun setelah prosedur
tindakan medis.
2) PIPP
Terdiri dari 7 item dengan total skor 0-21 yang dapat digunakan pada bayi
premature ataupun cukup bulan guna mendeteksi nyeri akut ataupun nyeri
procedural di unit perawatan intensif neonatal (NICU).
3) CPOT
Terdiri dari 4 item penilaian dengan skor 0-8 yang dapat digunakan pada
pasien dewasa dengan ventilasi mekanis atau untuk mendeteksi nyeri di ICU
pada pasien yang tidak sadarkan diri.
4) BPS
Terdiri dari 3 item dengan skor 3-12 yang dapat digunakan pada pasien
dewasa dengan sakit kritis, mengguakan ventilasi mekaniak ataupun untuk
mendeteksi nyeri pada pasien yang tidak sadarkan diri di ICU.
5) Doloplus
Terdiri dari 10 item dengan setiap item diberi skor 0-3 dan total skor
maksimum 30 serta dikembangkan untuk pasien dewasa yang lebih tua yang
disertai gangguan kognitif pada pengaturan perawatan klinis.
6) PASCLASCC
Terdiri dari 10 item yang dikembangkan untuk dewasa yang lebih tua
dengan gangguan komunikasi akibat dimensia dengan berdarkan
pengamatan perilaku, perubahan aktivitas sehari-hari serta mencakup
indicator fisiologis.

8. Diagnosa Keperawatan
Saat menegakkan diagnose yang berhubungan dengan nyeri, perawat harus
menentukan lokasi nyeri yang spesifik, etiologi, faktor pencetus baik fisiologis
ataupun psikologis. Beberapa contoh diagnosa keperawatan yang berhubungan
dengan nyeri :
 Nyeri akut yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
 Nyeri kronis yang berhubungan dengan ketidak adekuatan dalam mengontrol
nyeri.

9. Perencanaan Keperawatan
Tujuan perencanaan akan bervariasi sesuai dengan diagnosa pada klien. Berikut
merupana beberapa contoh perencanaan perawatan yang berhubungan dengan nyeri
yaitu :
 Mengurangi atau menghilangkan nyeri untuk memulai melakukan kegiatan
sehari-hari.
 Meningkatkan kemampuan untuk mengontrol ataupun mengatasi rasa sakit.
 Mendemonstrasikan tindakan untuk mengontrol nyeri dan gejala yang
hubungan dengan nyeri.

10. Implementasi Keperawatan


Implementasi yang dapat diberikan perawat pada pasien yang mengalami nyeri
yaitu pemberian manajemen nyeri untuk mencapai status kenyamana yang
diinginkan klien. Manajemen keperawatan nyeri dapat diberikan berupa terapi
farmakologis sebagai fungsi kolaboratif dengan rekan sejawat ataupun
nonfarmakologis yang merupakan funsi mandiri perawat.
Berikut menurapakan manajemen nyeri farmakologis yang dapat diberikan pada
pasien :
a) Analgesik opiod
Opiod berfungsi mengurangi rasa sakit yang mengikat reseptor opiate di
sumsum tulang belakang dan menghalangi keotak. Sehingga dengan opid dapat
mengurangi rasa sakit klien sesuai dengan instruksi dokter. Hal ini membuat
perawat harus memilki pengetahuan tentang dosis pemberian obat, durasi, efek
serta omset obat.
b) Analgesic yang dikendalikan pasien (Patient-Controled Analgesia) (PCA)
Terapi ini merupakan metode kontrol nyeri interaktif yang memungkin
klien mampu mengobati penyakit karena dosis analgesia yang diberikan
sendiri. PCA melibatkan system infus dengan memompa yang sertai adanya
tombol untuk mengontrol dosisi yang didorong oleh klien untuk melepaskan
sejumlah opiod melalui rute intravena, subcutan ataupun epidural. PCA
biasanya digunakan untuk manajemen nyeri paska operasai dan untuk nyeri
akut lainnya.
Pada manajemen ini perawat bertangguang jawab pada instuksi
penggunaan awal PCA dan melakukan pemantauan terapi secara berkelanjutan.
Selain itu, perawat harus melakukan pemantauan nyeri secara berkala dan
mendokumentasikan penggunaan analgesic. Perawat juga harus melakukan
penilian adanya kecanduan ataupun efek samping dari penggunaan analgesic
serta menangani apabila terjadi efek samping pada klien akibat penggunaan
analgesic yang diberikan. Pada manajemen ini, perawat juga dapat menilai
kemampuan pasien ataupun keluarga dalam menggukan tombol kontrol PCA.
c) Analgesia non opiod
Anti inflamasi non steroid (non steroid anti inflammation drugs)
(NSAIDs) dapat digunakan pada pasien inflamasi muskuloskletal dengan
jaringan lunak akut yang memilki efek samping seperti dyspepsia. Akan tetapi
timbulnya efek samping akibat manajemen in dapat dikurangi dengan
pemberian obat anti efek samping serta mengonsumsi obat secara teratur.
NSAID dikontraindikasikan pada klien dengan gangguan pembekuan darah,
perdarahan getasional ataupun risiko terjadinya ulkus dan penyakit ginjal,
trombositopeni serta kemungkinan terjadinya infeksi. Pasien dengan tinja yang
berwarna gelap setelah mengonsumsi NSAID merupakan indikasi terjadinya
perdaraha pada saluran gestasional akibat efek samping pemberian NSAID.

Berikut merupakan manajemen nyeri nonfarmakologis yang dapat diberikan :

a) Intervensi fisik
Pemberian intervensi ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan, merubah
repon fisiologis untuk mengurangi persepsi nyeri dan mengoptimalkan
manajemen nyeri lainnya yang diberikan. Intervensi fisik dapat dilakukan salah
satunya dengan stimulasi kulit guna mengalihkan perhatian klien dengan
memusatkan perhatian pada rangsangan taktil yang menjauhkan adanya sensasi
nyeri sehingga hal ini mampu mengurangi nyeri yang dirasakan. Beberapa
bentuk stimulasi kulit yaitu pijat, pemerian kompres panas ataupun dingin,
akupresur dan pemberian stimulasi kontralateral.
b) Imobilasasi fisik
Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengelola episode nyeri akut. Salah satu
bentuk terapi yang diberikan pada imobilisasi fisik yaitu pemasangan bidai
guna menahan sendi berada pada posisi optimal dan harus dilepas secara teratur
sesuai ketentuan dalam memberikan latihan rentang geraj jika tidak ada
kontraindikasi. Imobilisasi yang lama menyebabkan terjadinya berbagai kelain
seperti kontraktur sendi, atrofiotot dan gangguan kardiovaskular. Sehingga
untuk menghindari terjadinya hal tersebut, pasien didorong untuk berpartisipasi
dalam melakukan perawatan diri dnan aktif dalam melakukan ROM.
c) Stimulasi saraf listrik transkutan (TENS)
Terapi ini merupakan metode penerapan stimulais listrik tenggangan rendah
pada area nyeri disamping saraf perifer yang mempersarafi area nyeri ataupun
disepanjang tulang belakang. Unit TENS terdiri dari perangkat potable yang
dilengkapi dengan batrai dari kawat timah dan bantalan elektroda yang
dipasang pada area kulit. TENS mampu mengaktifkan serat dengan diameter
besar yang memodulasi transmisi impuls nosiseptif disaraf perifer dan SPP
sehingga mampu mengurangi nyeri.

Anda mungkin juga menyukai