Kenyamanan
1. Definisi
Perubahan kenyamanan adalah keadaan dimana individu mengalami sensasi
yang tidak menyenangkan dan berespons terhadap suatu rangsangan yang
berbahaya (Carpenito, Linda Jual, 2000). Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry,
2006) megungkapkan kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu
kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah
terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan
nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek
yaitu:
a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
b. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri
yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
d. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya.
Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan
kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum dalam
aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman
bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri
dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi perasaan tidak
nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala dan tanda pada pasien.
Kebutuhan rasa nyaman(Aziz 2004:172, Kebutuhan Dasar Manusia) yang
dimaksud di sini adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari nyeri dan
hipo/hipertermia mengingat nyeri dan hipo/hipertermia merupakan keadaan yang
dapat mempengaruhi perasaan tidak nyaman bagi tubuh. Rasa tidak nyaman ini
ditunjukkan dengan ada tanda dan gejala seperti ketika ada nyeri, pasien
menunjukan prilaku protektif dan tidak tenang,peningkatan tekanan, frekuensi nadi,
peningkatan atau penurunanan napas, diaforesis, wajah mnyeringai, dan prilaku
distraksi, sperti menangis dan merintih.
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan (Emerson et al., 2020). Selian itu, professional perawatan
harus mempercayai laporan klien dan harus memberikan perhatian khusus pada
pengalaman subjektif klien tentang nyeri. Sehingga pengkajian nyeri harus
dirancang sesuai dengan kemampuan komunikasi klien. Apabila klien tidak dapat
melaporkan nyeri yang dirasakannya, perawat harus menggubakan skala nyeri
perilaku yang valid. Agar dapat memberikan manajemen nyeri yang sesuai dengan
kebutuhan klien (Wickman et al., 2021).
Nyeri dapat terjadi karena adanya komponen sensorik berupa jalur saraf untuk
mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak dan untuk menentukan kualitas, besar dan
lokasinya. setelah otak merasakan sinyal rasa sakit struktur kortikal lainnya
mendeteksi efek rasa sakit yang tidak menyenangkan dan menentukan apakah itu
merupakan pemicu tindakan seperti menghindar, penarikan ataupun agresif.
komponen motivasi afektif nyeri diarahkan oleh sistem limbic dan formasi retikuler
di Batang otak dengan aktifnya struktur ini rasa sakit dapat mengganggu kegiatan
sehari-hari sementara itu control pusat yang dikendalikan oleh korteks
mengaktifkan kognitif-evaluatif nyeri yang memicu signifikansi atau makna dari
pengalaman nyeri.
Terjadi akibat cidera saraf atau pelepasan rangsangan yang tidak normal
oleh system saraf pusat atau perife. Nyeri ini biasanya timbul setelah
pembedahan ataupun prosedur invasive lain yang mengakibatkan kerusakan
saraf. Nyeri ini dapat bersifat persisten yang ditandai dengan rasa sakit secara
terus menerus dengan sensasi terbakar, tertusuk dan sering disertai defisit
sensorik pada daerah yang terkena.
6. Manifestasi Klinis
a) Nyeri pasca hepatic
Nyeri yang terjhadi akibat herpes zozter dengan sensasi menetap selama berbulan-
bulan hingga menahun serta terasa seperti terbakaar atau tersengat listrik.
b) Nyeri phantom
Perasaan akibat adanya bagian tubuh yang hilang akibat proses amputasi dengan
sesai nyeri seperti tebakar, perih serta sensai keram. Nyeri ini bersifat neuropatik
dengan etiologi yang komplek karena hilangnya input sensorik kedalam SPP dari
daerah yang diamputasi.
c) Neuralgia trigeminal
Bersifat episodic dengan rasa sakit yang menusuk serta berasal dari cabang saraf
trigeminal (kelima uranial). Nyeri ini dapat dirasakan diwajah ataupun kepala,
tepatnya pada bagian gusi, pipi dan permukaan kepala.
d) Sakit kepala dan migran
Jenis nyeri somatic akibat gangguan intrakarnial ataupun ekstrakarnial yang
ditandai dengan sakit kepala yang berdenyut parah.
e) Nyeri punggung bawah
Nyeri ini dapat menghilang dalam beberapa hari. Terapi nyeri pada kasus ini lama
yaitu tepatnya lebih dari 3 bulandan penyebab nyeri ini sulit untuk ditentukan.
f) Fibromyalgia
Gangguan nyeri kronis yang ditandai dengan nyeri muskuloskletalyang meluas
dan dapat mengakibatkan gangguan tidur, serta rasa kaku dipagi hari, rasa cemas
dan gejala lainnya.
7. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri yang akurat merupakan dasar manajemen nyeri yang efektif.
Perawat harus menyesuaikan pengkajian nyeri dengan tingat perkembangan,
kemampuan komunikasi dan kebutuhan budaya klien. Sehingga perawat harus
melakukan pengkajian nyeri pada saat klien melakukan kunjungan ke pusat
pelayanan kesehatan, setelah perubahan status kesehatan, sebelum, selama dan
setelah prosedur invasive.
Pengkjian nyeri p-ada pasien nyeri akut dapat difokuskan pada lokasi, kualitas,
keparahan dan interveensi dini yang diberika. Sementara itu, klien dengan nyeri
kronis biasanya dapat mendeskripsikan pengalaman nyeri yang lebvih terperinci.
Tujian dari pengkajian nyeri yanti mendapatkan gambaran yang komprehensif dari
pengalaman subjektif klien. Sehingga sangat penting bagi perawat untuk
mendengarkan san mempercayai pengalaman subjektif klien terkait rasa nyeri yang
dirasakannya.
Pengkajian nyeri dapat dilakukan pada klien yang mampu ataupun tidak mampu
melaporkan pengalaman nyeri yang dirasakannya. Berikut jenis pengkajian nyeri
pada pasien yang mampu ataupun tidak mampu melaporkan pengalaman nyeri yang
dirasakannya :
a) Pengkajian nyrei pada klien yang mampu melaporkan sendiri pengalaman nyeri
yang dirasakannya
Pengkajian yang dilakukan pada pasien ini dapat menggunakan metode
“PQRST” untuk menilai nyeri secara menyeluruh seperti dibawah ini :
b) Pengkajian nyeri pada klien yang tidak dapat melaporkan pengalaman nyerinya
sendiri
Pengakjian ini dapat dilakukan pada lansia dengan defisit pengetahuan, bayi
dan balita preverbal, klien yang diintubasi ataupun tidak sadar serta klien
palliative. Berikut merupakan pengajian nyeri yang dapat dilakuakn pada
pasien yang tidak mampu melaporkan pengalaman nyeri yang dirasakannya :
1) Respon perilaku terhadap rasa nyeri
Perubahan kesadara, afisia ataupun binggung.
Ekspresi wajah saat terjadinya yeri yaitu menyeringit, menurunkan alis,
mata tertutup rapat, gigi terkatup, mulut terbuka ataupun menangis.
Klien yang menghindari gerak juga menjadi repon perilaku nyeri dengan
tujuan mengurangi rasa nyeri akibat bergerak.
Gerakan tubuh yang tidak menentu juga menjadi indikasi adanya nyeri.
2) Respon fisiologis terhadap nyeri
Peningkatan ataupun penurunan TTV.
Berikut merupakan sakala peneilaian perilaku akibat nyeri yang dirasakan :
1) FLACC
Terdiri dari lima item yang diberi skor 0-2 disetiap item dengan total skor 0-
10. Skala ini dapat digunakan pada bayi dan anak-anak dari usia 2 bulan
hingga 1 tahun dan dapat mengukur perilaku nyeri pada anak yang tidak
dapat mengomunikasikannya secara verbal selama ataupun setelah prosedur
tindakan medis.
2) PIPP
Terdiri dari 7 item dengan total skor 0-21 yang dapat digunakan pada bayi
premature ataupun cukup bulan guna mendeteksi nyeri akut ataupun nyeri
procedural di unit perawatan intensif neonatal (NICU).
3) CPOT
Terdiri dari 4 item penilaian dengan skor 0-8 yang dapat digunakan pada
pasien dewasa dengan ventilasi mekanis atau untuk mendeteksi nyeri di ICU
pada pasien yang tidak sadarkan diri.
4) BPS
Terdiri dari 3 item dengan skor 3-12 yang dapat digunakan pada pasien
dewasa dengan sakit kritis, mengguakan ventilasi mekaniak ataupun untuk
mendeteksi nyeri pada pasien yang tidak sadarkan diri di ICU.
5) Doloplus
Terdiri dari 10 item dengan setiap item diberi skor 0-3 dan total skor
maksimum 30 serta dikembangkan untuk pasien dewasa yang lebih tua yang
disertai gangguan kognitif pada pengaturan perawatan klinis.
6) PASCLASCC
Terdiri dari 10 item yang dikembangkan untuk dewasa yang lebih tua
dengan gangguan komunikasi akibat dimensia dengan berdarkan
pengamatan perilaku, perubahan aktivitas sehari-hari serta mencakup
indicator fisiologis.
8. Diagnosa Keperawatan
Saat menegakkan diagnose yang berhubungan dengan nyeri, perawat harus
menentukan lokasi nyeri yang spesifik, etiologi, faktor pencetus baik fisiologis
ataupun psikologis. Beberapa contoh diagnosa keperawatan yang berhubungan
dengan nyeri :
Nyeri akut yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
Nyeri kronis yang berhubungan dengan ketidak adekuatan dalam mengontrol
nyeri.
9. Perencanaan Keperawatan
Tujuan perencanaan akan bervariasi sesuai dengan diagnosa pada klien. Berikut
merupana beberapa contoh perencanaan perawatan yang berhubungan dengan nyeri
yaitu :
Mengurangi atau menghilangkan nyeri untuk memulai melakukan kegiatan
sehari-hari.
Meningkatkan kemampuan untuk mengontrol ataupun mengatasi rasa sakit.
Mendemonstrasikan tindakan untuk mengontrol nyeri dan gejala yang
hubungan dengan nyeri.
a) Intervensi fisik
Pemberian intervensi ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan, merubah
repon fisiologis untuk mengurangi persepsi nyeri dan mengoptimalkan
manajemen nyeri lainnya yang diberikan. Intervensi fisik dapat dilakukan salah
satunya dengan stimulasi kulit guna mengalihkan perhatian klien dengan
memusatkan perhatian pada rangsangan taktil yang menjauhkan adanya sensasi
nyeri sehingga hal ini mampu mengurangi nyeri yang dirasakan. Beberapa
bentuk stimulasi kulit yaitu pijat, pemerian kompres panas ataupun dingin,
akupresur dan pemberian stimulasi kontralateral.
b) Imobilasasi fisik
Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengelola episode nyeri akut. Salah satu
bentuk terapi yang diberikan pada imobilisasi fisik yaitu pemasangan bidai
guna menahan sendi berada pada posisi optimal dan harus dilepas secara teratur
sesuai ketentuan dalam memberikan latihan rentang geraj jika tidak ada
kontraindikasi. Imobilisasi yang lama menyebabkan terjadinya berbagai kelain
seperti kontraktur sendi, atrofiotot dan gangguan kardiovaskular. Sehingga
untuk menghindari terjadinya hal tersebut, pasien didorong untuk berpartisipasi
dalam melakukan perawatan diri dnan aktif dalam melakukan ROM.
c) Stimulasi saraf listrik transkutan (TENS)
Terapi ini merupakan metode penerapan stimulais listrik tenggangan rendah
pada area nyeri disamping saraf perifer yang mempersarafi area nyeri ataupun
disepanjang tulang belakang. Unit TENS terdiri dari perangkat potable yang
dilengkapi dengan batrai dari kawat timah dan bantalan elektroda yang
dipasang pada area kulit. TENS mampu mengaktifkan serat dengan diameter
besar yang memodulasi transmisi impuls nosiseptif disaraf perifer dan SPP
sehingga mampu mengurangi nyeri.