Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

KERAGAMAN SUKU DAN BUDAYA SULAWESI SELATAN


(MAKASSAR)
Dosen Pengajar : Meiske M Sangian.SPi.Msi

DISUSUN OLEH :

Natasya Michelle Kalesaran


NIM : 21062007
A. GAMBARAN UMUM PROVINSI SULAWESI SELATAN
Secara geografis, Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu kota Makassar
memiliki posisi yang sangat strategis, karena terletak di tengah-tengah Kepulauan
Indonesia. Tentunya dilihat secara ekonomis daerah ini memiliki keunggulan
komparatif, dimana Selat Makassar telah menjadi salah satu jalur pelayaran
internasional, disamping itu Kota Makassar telah pula ditetapkan sebagai pintu
gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Selain memiliki keunggulan dari letak geografis tersebut, Sulawesi Selatan
juga memiliki keunggulan lain dilihat dari sisi etnik budaya, dimana masyarakat
Sulawesi Selatan yang terdiri dari berbagai etnik budaya memiliki nilai-nilai luhur
yang diangkat dari nilai tradisional dan budaya lokal, dan secara universal dapat
dipadukan dengan cara pandang global. Nilai tersebut berfungsi sebagai rambu-
rambu/koridor dalam pelaksanaan semua aktivitas pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Setidaknya ada tiga etnis
besar yang mewarnai nilai-nilai luhur tersebut, yaitu etnis bugis, makassar, dan
toraja, serta etnis mandar.

B. BAHASA MAKASSAR
Variasi bahasa pada konteks masyarakat yang bilingual dapat ditemukan di
Makassar. Sebagai pusat kota Sulawesi Selatan, Makassar dihuni oleh berbagai
etnis, yaitu Bugis, Toraja, Mandar, Bima, Dompu, Makassar, dan lainnya. Kontak
yang terjalin antara bahasa Indonesia dan bahasa Makassar menyebabkan
timbulnya bahasa Indonesia yang ‘kemakassaran’. Hubungan saling pengaruh antar
bahasa tersebut terlihat dari segi tata kalimat, pembentukan kata, maupun pelafalan
sehingga fonem-fonem dalam kata mengalami transformasi dari bentuk
asalnya.Sebagai masyarakat bilingual, penutur bahasa Makassar mayoritas
menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi. Akan tetapi, gejala pengalihan
fonem bahasa Indonesia sering terjadi sebagai akibat penguasaan penutur terhadap
bahasa Makassar. Dengan kata lain, kontak yang semakin intensif antara bahasa
Indonesia dan bahasa Makassar menimbulkan perubahan dari sisi pelafalan
(fonologis). Fenomena peralihan fonem bahasa Indonesia pada penutur bahasa
Makassar tersebut timbul karena adanya rasa persaudaraan antar penutur, serta
memudahkan penutur dalam berkomunikasi.

C. TARIAN MAKASSAR

 Tari Pakarena
Tarian Pakarena memiliki beberapa jenis, salah satunya tari Pakarena Anida
yang diciptakan oleh Andi Nurhani Sapada. Nama Anida merupakan singkatan dari
dari nama Andi Nurhani Sapada. Tarian ini mencerminkan salah satu sifat
perempuan Bugis Makassar yang anggun, halus. Hal ini dapat dilihat dibeberapa
gerakannya. Dimana gerakannya memiliki beberapa filosofi dari kebudayaan
Makassar. Penarinya berjumlah genap, karena tarian ini biasanya ditarikan secara
berpasangan. Makna dari tari berpasangan, karena setiap aspek kehidupan itu ada
pasangannya. Begitupun pada tari Pakarena Anida ini. Properti yang digunakan
pun ada dua yaitu selendang dan kipas.
Andi Nurhani Sapada membuat tari Pakarena Anida ini, karena ia melihat bahwa
tari tradisional yang berasal dari Sulawesi Selatan adalah tari Pakarena dan beliau
mengembangkannya bahkan mengemasnya dengan cara beliau. Dari gerakannya
bahkan sampai musiknya beliau yang menggarapnya. Awal mulanya beliau
membuat tari, karena Presiden Soekarno pada tahun 1957-an ingin melihat tari
yang berasal dari Sulawesi Selatan dan dengan spontan beliau langsung menarikan
tari Patuddu sebutannya sekarang dengan diiringi musik seadanya pada saat itu.
Setelah itu beliau tergerak hatinya untuk mulai membuat beberapa tarian salah
satunya tari Pakarena Anida ini. Tari-tariannya pun mulai berkembang dan tersebar
luar. Bahkan beliau mulai membuka pelatihan-pelatihan Tari Anida. Kemudian
berkembang secara pesat dari tingkat Nasional ke tingkat Internasionaltari Anida
pun mulai terkenal sampai sekarang (Sapada, 1975).

D. Akulturasi Agama dan Budaya dalam Masyarakat Bugis


Kehadiran Islam dalam masyarakat Bugis merupakan bentuk penerimaan nilai
yang sama sekali baru ke dalam budaya yang sudah wujud secara mapan. Namun,
kehadiran budaya baru ke dalam budaya yang sudah ada ini tidak meruntuhkan
nilai dan tanpa menghilangkan jati diri asal. Dalam pertemuan dua budaya baru,
memungkinkan terjadinya ketegangan. Sebagaimana respon kalangan tradisional
dalam budaya Minang terhadap gerakan pembaharuan yang mengalami
pergolakan. Bahkan sampai terjadi peperangan.Sementara dalam akulturasi yang
berproses di generasi kedua keturunan India Amerika terjadi konflik di antara
keluarga.Tetapi dalam kasus pertemuan agama Islam dan budaya Bugis justru yang
terjadi adalah perpaduan yang saling menguntungkan. Islam dijadikan sebagai
bagian dari identitas sosial untuk memperkuat identitas yang sudah ada
sebelumnya. Kesatuan Islam dan adat Bugis pada proses berikutnya melahirkan
makna khusus yang berasal dari masa lalu dengan menyesuaikan kepada prinsip
yang diterima keduanya. Pertemuan arus kebudayaan melahirkan model adaptasi
yang berbeda, atau bahkan sama sekali baru dengan yang sudah ada sebelumnya.
Model adaptasi menjadi ‘di antara bentuk akulturasi’. Dengan proses akulturasi
yang berjalan beriringan, maka dua arus kebudayaan yang bertemu melahirkan
integrasi. Jika ini disebut sebagai model, maka dapat pula menjadi sebuah solusi.
Pembentukan identitas yang sudah selesai kemudian memerlukan klarifikasi dari
unsur luar. Di tahap awal tentu akan menimbulkan konflik. Tetapi dalam proses
yang ada terjadi proses restrukturisasi.
E. PERGAULAN
Sulawesi Selatan merupakan salah satu dari sekian banyak wilayah di
Indonesia yang mulai mengalami pergesaran makna pada nilai-nilai
kebudayaannya. Contohnya saja pada masyarakat suku Bugis-Makassar dikenal
dengan prinsip hidup Siri’ na Pacce yang diartikan sebagai rasa malu dan kokoh
pendiriannya, yang kadang disalahtafsirkan oleh orang-orang sehingga tidak jarang
menimbulkan konflik. Padahal nilai-nilai kebudayaan tersebut harusnya
memberikan dampak yang baik dan lebih luas sebagai pijakan dasar untuk
membangun sebuah peradaban yang lebih manusiawi, bermoral dan beragama.
Masyarakat Bugis-Makassar saat ini tengah mengalami degradasi moral khususnya
generasi muda dengan maraknya aksi anarkis yang terjadi di wilayah tersebut. Hal
ini yang menjadikan budaya Siri’ na Pacce ini tercoreng di mana seharusnya
masyarakat mempunyai rasa simpati dan empati yang melandasi kehidupan
kolektif mereka. Dari berbagai aksi anarkis bahkan kriminalisasi yang terjadi jelas
bertolak belakang dengan falsafah hidup mereka yaitu semacam mempunyai
kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu
lain dalam sebuah kehidupan bermasyarakat. Itulah sebenarnya makna besaryang
tersimpan dalam kalimat Siri’ na Pacce sebagai prinsip hidup masyarakat Bugis-
Makassar.

F. PERNIKAHAN

Budaya Pernikahan di Suku Bugis terdahulu, untuk menentukan mahar


memiliki patokan tersendiri. Suku bugis di kota Makassar, Sulawesi Selatan pada
prosesi pernikahannya kendati sudah menggunakan syariah Islam sebagai landasan
dasar serta syarat-syarat pernikahan pada kebiasaannya, akan tetapi dalam tahap
prosesi baik menjelang maupun dan setelahnya tetap saja menggunakan adat
istiadat suku bugis sebagai salah satu syarat pelaksanaan dan prosesi pernikahan.
Seperti contoh, dalam Agama Islam kita mengetahui istilah mahar. Pada adat suku
bugis dikenal dan diketahui dengan istilah sompa Di lain sisi, pada kebudayaan
suku bugis sebelum prosesi pernikahan terdapat beberapa syarat dan kewajiban
yang perlu dipenuhi kepada mempelai pria yang disebut Uang Panaik.
Tradisi Uang panaik dalam budaya pernikahan adat suku bugis yang telah ada
sejak dahulu kala adalah pemberian atau seserahan uang dari pihak keluarga calon
mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai
penghormatan. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan
yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang. ingin
inikahinya dengan memberikan pesta untuk pernikahannya melalui uang panaik
tersebut Fungsi Tradisi uang panaik dalam budaya pernikahan adat suku bugis
pada masa sekarang ini yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran
kekayaan karena uang panaik yang diberikan sekarang, mempunyai nilai tinggi.
Secara sosial, dalam budaya suku bugis wanita mempunyai kedudukan yang tinggi
dan dihormati. Dari keseluruhan uang panaik merupakan hadiah yang diberikan
calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan
pernikahan Tingkat Tinggi rendahnya Budaya uang panaik merupakan
pembahasan yang mendapatkan perhatian dalam pernikahan Bugis Makassar pada
masa sekarang ini. Sehingga telah menjadi rahasia umum bahwa itu akan menjadi
buah bibir bagi para tamu undangan. Tradisi Uang panaik yang diberikan oleh
calon suami nominalnya lebih banyak daripada mahar.
Adapun kisaran nominal uang panaik yaitu dimulai dari 30 juta, 50, 80 dan
bahkan ratusan juta rupiah. Hal ini dilihat ketika proses tawar menawar / negosiasi
yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan
ketika menentukan kesanggupan pihak laki-laki untuk membayar sejumlah uang
panaik yang telah dipatok oleh pihak keluarga perempuanTerkadang karena
nominal tingginya uang panaik yang ditaksir oleh pihak keluarga calon mempelai
wanita, dalam realitasnya banyak lelaki yang batal atau gagal menikahi wanita
bugis yang ia sayang dan cintai karena ketidakmampuannya memenuhi kewajiban
tersebut yakni Tradisi Uang panaik yang dipatok. Sementara lelaki dan wanita
tersebut sudah menjalin hubungan yang serius.
G. ADAB MAKAN ORANG MAKASSAR
Dalam budaya bugis, persoalan makan memang memiliki tata cara tersendiri.
Tata cara yang menuntun kita agar lebih sopan di meja makan, atau lebih teratur.
Misal dalam perjamuan makan kepada tamu, jika tamu lebih tua (senior) maka
diberi tempat duduk paling atas atau hulu, kemudian disusul oleh tuan rumah. Tuan
rumah tidak boleh selesai makan duluan jika tamu belum menyelesaikan makan,
sehingga tuan rumah biasanya menambah makanan atau makan sedikit lebih
perlahan agar tidak mendahului tamu.
Tamu ketika berkunjung ke rumah orang bugis, tidak boleh menolak ajakan
makan oleh tuan rumah. Orang bugis percaya menolak makan bisa menimbulkan
celaka saat perjalanan pulang. Beberapa tamu yang tidak bisa makan karena
kekenyangan atau buru-buru, paling tidak mencicipi makanan yang telah
dihidangkan, biasanya ada yang mengambil sesuap nasi atau sepotong lauk yang
ada.
“maja tu ko yobbiki manre, na de’ tu manre, na kenna ki matu abala” begitu
biasanya ucapan tuan rumah ketika tamu seperti menolak ajakan makan di rumah.
Hal ini masih sering saya dapati ketika bertamu ke rumah keluarga atau teman.
Ketika makan pun ada beberapa hal menjadi aturan, misalnya ketika makan itu
mengangkat piring. Tidak boleh meletakkan bagian bawah piring di tangan, hanya
boleh memegang pinggirnya. Saya pernah bertanya kenapa? Pamali katanya.
Seperti banyak pamali lainnya yang selalu ada penjelasan logis, sepertinya hal ini
hanya agar hawa panas dari makanan tidak mengenai tangan jika bagian bawah
piring yang ditadah. Namun karena sudah terjadi turun temurun, akhirnya berlaku
ke semua jenis makanan meski tidak panas.
Orang bugis ketika ingin menambah makanan, mereka tidak menghabiskan
makanan yang ada di piring. Justu menambah makanan sebelum makanan yang di
piring habis. Saya pernah mendengar cerita tak bertuan tentang hal ini, antara
orang bugis dan orang jawa. Di sebuah perjamuan makan, orang bugis menambah
makanan ketika makanan di piringnya masih ada. Sedangkan orang jawa
menambah makanan setelah makanan di piringnya bersih.

Anda mungkin juga menyukai