Suku
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai
pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana
kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini. Suku minoritas yang cukup signifikan
adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga
ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di bidang perdagangan dan jasa.
Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara mereka
yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya. Selain itu
di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula komunitas Arab-
Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang
perdagangan dan jasa. Di daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang
Sunda yang sarat akan budaya Sunda, terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan
Banyumas. Di pedalaman Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa Timur) terdapat
komunitas Samin yang terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan orang Kanekes
di Banten.
Bahasa
Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap
mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama lain
yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu Cu, dan puluhan
aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan sikap tolerannya. Sebagai
contoh di daerah Muntilan, kabupaten Magelang banyak dijumpai penganut agama
Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan salah satu pusat pengembangan agama
Katolik di Jawa. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan populasi Kristen
terbesar di Indonesia.
gamelan jawa
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna
mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)”Tombo Ati”
adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih
dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan,
hajat Pernikahan dan acara ritual budaya Keraton.
wayang kulit
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu
masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan
Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu
sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Menurut Kitab Centini, tentang
asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali
diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar abad ke-10
Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di
atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita
Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik
perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan
oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh
yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata
yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
keris jawa
Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “
dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam
upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang
pusaka. Di kalender masyarakat jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton
merupakan kepercayaan terbesar pada hari satu sura. Keris pusaka atau tombak
pusaka merupakan unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsure
besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsure batu meteorid yang jatuh dari
angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa
kepada sang maha pencipta alam ( Allah SWT ) dengan duatu apaya spiritual oleh
sang empu. Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta alam itu pun dipercayai
orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi
pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.
kirab apem
Kirab apem sewu adalah acara ritual syukuran masyarakat Kampung Sewu, Solo,
Jawa Tengah yang digelar setiap bulan haji (bulan Zulhijah-kalender penanggalan
Islam).
Ritual syukuran itu diadakan untuk mengenalkan Kampung Sewu sebagai sentra
produksi apem kepada seluruh masyarakat sekaligus menghargai para pembuat apem
yang ada di sana. Selain itu, upacara ritual syukuran ini pun dibuat sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan karena desa dan tempat tinggal mereka terhindar dari
bencana. Mengapa begitu? Menurut Ketua Pelaksana Kirab Apem Sewu, Pak Hadi
Sutrisno, letak Kampung Sewu Solo ini adanya di pinggir Sungai Bengawan Solo,
termasuk daerah rawan banjir. Makanya, masyarakat mensyukurinya. Tradisi apam
sewu berawal dari amanah yang disampaikan Ki Ageng Gribig kepada seluruh warga
untuk membuat 1.000 kue apam dan membagikannya kepada masyarakat sebagai
wujud rasa syukur. Sejalan dengan berkembangnya zaman, maka ritual kirab apem
sewu ini diawali dengan kirab budaya warga Solo yang memakai pakaian adat Solo,
seperti kebaya, tokoh punakawan, dan kostum pasukan keraton. Anak-anak sekolah
juga menjadi peserta kirab dengan menampilkan marching band SD, atraksi Liong
(naga), serta aneka pertunjukan tarian tradisional dan teater. 1.000 kue apem yang
sudah disusun menjadi gunungan itu diarak dari lapangan Kampung Sewu menuju
area sekitar kampung sepanjang dua kilometer. Acara kirab berlangsung selama satu
hari, yang dimulai dengan prosesi penyerahan bahan makanan (uba rampe) pembuat
kue apam dari tokoh masyarakat Solo kepada sesepuh Kampung Sewu di Lapangan
Kampung Sewu, Solo.
tedak siten
Tedhak Siten merupakan bagian dari adat dan tradisi masyarakat Jawa Tengah.
Upacara ini dilakukan untuk adik kita yang baru pertama kali belajar berjalan.
Upacara Tedhak Siten selalu ditunggu-tunggu oleh orangtua dan kerabat keluarga
Jawa karena dari upacara ini mereka dapat memperkirakan minat dan bakat adik kita
yang baru bisa berjalan. Tedak Siten berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu
“tedhak” berarti ‘menapakkan kaki’ dan “siten” (berasal dari kata ‘siti’) yang berarti
‘bumi’.
Upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan mulai belajar
duduk dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini dimaksudkan agar ia
menjadi mandiri di masa depan. Dalam pelaksanaannya, upacara ini dihadiri oleh
keluarga inti (ayah, ibu, kakek, dan nenek), serta kerabat keluarga lainnya. Mereka
hadir untuk turut mendoakan agar adik kita terlindung dari gangguan setan.
Tak hanya ritualnya saja yang penting, persyaratannya pun penting dan harus
disiapkan oleh orangtua yang menyelenggarakan Tedhak Siten ini, seperti kurungan
ayam, uang, buku, mainan, alat musik, dll.
Selain itu ada pula ada tangga yang terbuat dari tebu, makanan-makanan (sajen), yang
terdiri dari bubur merah, putih, jadah 7 warna, (makanan yang terbuat dari beras
ketan), bubur boro-boro (bubur yg terbuat dari bekatul-serbuk halus atau tepung yang
diperoleh setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.
Tahap 1:
Adik kita dipandu oleh ayah dan ibu berjalan melalui 7 wadah berisi 7 jadah
berwarna. Jadah adalah simbol dari proses kehidupan yang akan dilalui adik kita.
Tahap 2:
Lalu, adik akan diberi tangga yang terbuat dari tebu. Tangga ini menyimbolkan
urutan tingkatan kehidupan di masa depan yang harus dilalui dengan perjuangan dan
hati yang kuat.
Tahap 3:
Setelah anak turun dari tangga, ia dituntun berjalan di atas tanah dan bermain dengan
kedua kakinya. Maksudnya agar nantinya adik kita mampu bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri di masa depan.
Tahap 4:
Kemudian, adik dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang sudah dihias. Ia disuruh
untuk mengambil benda-benda yang ada di dalam kurungan itu, seperti uang, buku,
mainan, dll. Barang yang dipilih adik kita adalah gambaran dari minatnya di masa
depan.
Tahap 5:
Setelah itu, adik diberi uang koin dan bunga oleh ayah dan kakek, harapannya agar ia
memiliki rejeki berlimpah dan berjiwa sosial.
Setelah itu, adik dimandikan dengan air kembang 7 rupa, harapannya agar bisa
mengharumkan nama keluarga.
Tahap 6:
Setelah mandi, adik dipakaikan baju yang bagus sebagai harapan kelak ia mendapat
kehidupan yang baik dan layak.
bedhaya ketawang
Bedhaya Ketawang adalah tarian sakral yang rutin dibawakan dalam istana sultan
Jawa (Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo). Disebut juga tarian langit, bedhaya
ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan
persembahan kepada Sang Pencipta.
Pada awal mulanya di Keraton Surakarta tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh
wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang amat sacral, jumlah
penarik kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari
delapan putra-putri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton
serta seorang penari gaib yag dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul.
Tarian ini diciptakan oleh Raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan
latar belakang mitos percintaan raja Mataram pertama (Panembahan Senopati)
dengan Kanjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan). Sebagai tarian sakral, terdapat
beberapa aturan dan upacara ritus yang harus dijalankan oleh keraton juga para
penari.
Bedhaya ketawang bisa dimainkan sekitar 5,5 jam dan berlangsung hingga pukul
01.00 pagi. Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan tarian ini pun harus
dalam keadaan khusuk, semedi dan hening. Artinya hadirin tidak boleh berbicara atau
makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari.
Tarian Bedhaya Ketawang besar hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu
sekali. Sementara, Tarian Bedhaya Ketawang kecil dilakukan pada saat penobatan
raja atau sultan, pernikahan salah satu anggota keraton yang ditambah simbol-simbol.
seni tari jawa tengah
Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata
tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud
gerak yang luluh. Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui
gerak-gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras
dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa
sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan
kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan
upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat
dari kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam
Wuruk.
Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta
dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah
Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah,
terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu
sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang
dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga Sri
Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di Kraton
Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta.
Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan
tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan
sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan. Dalam seni tari dapat dibedakan menjadi
klasik, tradisional dan garapan baru. Beberapa jenis tari yang ada antara lain:
1. Tari Klasik
-Tari Bedhaya:
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman
Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan
dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari ini
akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun
1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka
disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke
Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya
Ketawang, termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama peranan sebagai
berikut:
a. Endhel Pojok
b. Batak
c. Gulu
d. Dhada
e. Buncit
f. Endhel Apit Ngajeng
g. Endhel Apit Wuri
h. Endhel Weton Ngajeng
i. Endhel Weton Wuri
Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu raja dan
menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang
jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara keperluan jahat di
lingkungan Istana. Di samping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang mempunyai tema
kepahlawanan dan bersifat monumental.
Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi) maka untuk konsumsi masa
kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan tidak mengurangi ciri dan bobotnya.
- Tari Srimpi:
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan :
air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga
melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu,
Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo.
Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir
Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa
kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru:
- Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
- Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
Beberapa contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi:
a. Beksan Gambyong: berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas
Ajeng Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal suaranya
yang baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan Kasunanan Surakarta
untuk menari di Istana sambil memberi pelajaran kepada para putra/I Raja. Oleh
Istana tari itu diubah menjadi tari Gambyong.
Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk menyambut tamu dalam
upacara peringatan hari besar dan perkawinan. Adapun ciri-ciri Tari ini:
- Jumlah penari seorang putri atau lebih
- Memakai jarit wiron
- Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
- Tanpa jamang melainkan memakai sanggul/gelung
- Dalam menari boleh dengan sindenan (menyanyi) atau tidak.
b. Beksan Wireng: berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit yang
unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan
Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan
dengan menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan
ketangkasan dalam latihan perang dengan menggunakan alat perang. Ciri-ciri tarian
ini:
- Ditarikan oleh dua orang putra/i
- Bentuk tariannya sama
- Tidak mengambil suatu cerita
- Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
- Bentuk pakaiannya sama
- Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending sampak/srepeg, hanya
iramanya/temponya kendho/kenceng
- Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian diteruskan gendhing
ketawang
- Tidak ada yang kalah/menang atau mati.
c. Tari Pethilan: hampir sama dengan Tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan
mengambil adegan/ bagian dari ceritera pewayangan.
Ciri-cirinya:
- Tari boleh sama, boleh tidak
- Menggunakan ontowacono (dialog)
- Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
- Ada yang kalah/menang atau mati
- Perang mengguanakan gendhing srepeg, sampak, gangsaran
- Memetik dari suatu cerita lakon.
Contoh dari Pethilan :
- Bambangan Cakil
- Hanila
- Prahasta, dll.
d. Tari Golek: Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta
pada upacara perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun
1910. Selanjutnya mengalami persesuaian dengan gaya Surakarta. Tari ini
menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru menginjak masa akhil
baliq, agar lebih cantik dan menarik. Macam-macamnya:
- Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
- Golek Montro iringan Gendhing Montro
- Golek Surungdayung iringan Gendhing Ladrang Surungdayung, dll.
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira, mengungkapkan rasa
kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi Bondan Cindogo satu-satunya
anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan
Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi
seperti pada Bondan Cindogo. Ciri pakaiannya:
- Memakai kain Wiron
- Memakai Jamang
- Memakai baju kotang
- Menggendong boneka, memanggul payung
- Membawa kendhi (dahulu), sekarang jarang.
f. Tari Topeng :
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng yang pernah
mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari kayu dipoles dan
disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang diambil dari Wayang
Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak Islam masuk
terutama oleh Sunan Kalijaga yang menggunakannya sebagai penyebaran agama.
Beliau menciptakan 9 jenis topeng, yaitu topeng Panji Ksatrian, Condrokirono,
Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco(Tembem), Turas (Penthul).
Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat pada kepala.
2. Tari Tradisional
Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional yang tumbuh
dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian tradisional tersebut tak kalah
menariknya karena mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Beberapa contoh
kesenian tradisional:
c. Blora.
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang
Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
d. Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren. Kuntulan adalah
kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti
bedug, terbang, dllnya. Sedangkan Sintren adalah sebuah tari khas yang magis
animistis yang terdapat selain di Pekalongan juga di Batang dan Tegal. Kesenian ini
menampilkan seorang gadis yang menari dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebelum
tarian dimulai gadis menari tersebut dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam
tempat tertutup bersama peralatan bersolek, kemudian selang beberapa lama ia telah
selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi ini dapat disaksikan pada waktu
malam bulan purnama setelah panen.
Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional. Sebagai
contoh:
a. Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng
sebagai alat untuk melindungi diri.
KELOMPOK 2
Ketua : M. Rama Aldi Wicaksana
Bendahara : M. Rizki Prasetyono
Anggota :- Rafsanjani O.R
- Isfa Askolani
- Nanda Syahrur Ramadhan
- M. Shohib Mirbath
MTsN 01 PEMALANG