Anda di halaman 1dari 73

I.

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Heterogenitas tercipta baik suku, agama, ras, dan antar golongan di wilayah Kabupaten

Donggala. Salah satunya adalah upacara adat daur hidup oleh Etnis Kaili di Kabupaten

Donggala. Upacara ini masih dilaksanakan dan masih dipertahankan dalam rangka upacara

kehamilan bagi Etnis Kaili di Kabupaten Donggala. Upacara ini merupakan upacara kehamilan

yang merupakan warisan dari para leluhur (nenek moyang), sehingga sulit untuk dihilangkan dan

dirubah karena telah berakar didalam kehidupan masyarakat. Salah satunya budaya masyarakat

Desa Wombo Kalonggi yang masih tetap mempertahankan upacara Nosemparaka Manu sebagai

upacara kehamilan.

Hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana untuk menghilangkan petaka. Jadi

semacam ini yang menunjukan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur

kepercayaan lama. Pada umumnya upacara kehamilan diadakan selamatan, mulai kandungan

seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan. Dengan harapan agar selama

mengandung mendapat keselamatan dan tidak ada kesulitan. Sama halnya dengan upacara

kehamilan bagi etnis Kaili di Kabupaten Donggala.

Secara Etimologi Nosemparaka artinya memisah-misahkan, sedangkan Manu artinya

Ayam, dapat di berikan pengertian bahwa Nosemparaka Manu adalah memisah-misahkan bagian

daging ayam yang digunakan untuk sesajian dalam upacara ritual guna untuk keselamatan sang

calon ibu maupun bayi dalam kandungan. Melalui pandangan ini, maka saya tertarik melakukan

penelitian tentang Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili di Desa Wombo Kalonggo Kecamatan

Tanantovea Kabupaten Donggala.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengetahuan Etnis Kaili tentang Upacara Nosemparaka Manu di Desa

Wombo Kalonggo?

2. Bagaima proses Upacara Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili di Desa Wombo

Kalonggo?

3. Apa Simbol dan Makna dalam Upacara Nosempaeaka Manu pada Ibu Hamil di Desa

Wombo Kalonggo?
II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengetahuan Etnis Kaili tentang Upacara Nosemparaka Manu di Desa

Wombo Kalonggo

b. Untuk mengetahui Proses Upacara Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili di Desa Wombo

Kalonggo.

c. Untuk mengungkap makna dalam simbol Upacara Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili

di Desa Wombo Kalonggo.

B. Manfaat

Secara akademik hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai peningatan dan

pengembangan ilmu antropologi serta dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi para

peneliti lain yang tertarik untuk memilih atau menyoroti masalah yang terdapat dalam penelitian

ini.

Selain itu, Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai nilai tambah bagi

Etnis Kaili setempat untuk tetap menjaga dan mempertahankan kebudayaan mereka serta

menjaga kekuatan solidaritas sosial yang mereka miliki.


III. TUJUAN PUSTAKA

A. Studi Tentang Upacara Life Cycle

Upacara-upacara daur hidup sebagai salah satu wujud budaya, terjadi pada beberapa

tradisi dari etnis yang masih mempertahankan. Upacara Nokeso, upacara Naik Ayunan

(Nesafiraka Ritoya), upacara kelahiran, upacara Mesangih dan lain-lain, termasuk upacara

kehamilan merupakan contoh upacara daur hidup yang masih terlaksana. Dalam tulisan Crhiset

Victor Migel Laan (2013) menyatakan bahwa masyarakat Desa Tinggede masih melaksanakan

upacara ritual adat nokeso, adat nokeso ini adalah adat di mana anggota keluarga perempuan

yang memasuki usia dewasa (Akil Baligh). Pelaksanaan kegiatan ritual nokeso merupakan salah

satu adat yang wajib dilaksanakan bagi putra-putri yang telah memasuki usia dewasa. Unsur

makna yang terkandung dalam ritual adat Nokeso yakni diharapkan bagi Toniasa untuk dapat

menjaga sikap pergaulan hidupnya memasuki usia dewasa dan juga diharapkan agar anak jauh

dari penyakit, mendapatkan rezeki serta pula mendapatkan jodoh atau calon suami yang baik.

Hubungannya dengan penelitian adalah Nosemparaka manu merupakan upacara syukuran di

mana usia kehamilan sudah beranjak tujuh bulan agar sang bayi lahir nantinya akan sehat.

Tulisan Hulman Hadikusuma (1993:52) bahwa upacara kelahiran di kalangan orang Rote

Ndao yang terletak di pulau Rote apabila suatu keluarga melahirkan anak, maka upacara yang

pertama dilakukan adalah memperkenalkan bayinya kepada sanak keluarga tetangga. Upacara

demikian bagi orang Biboki dinamakan ‘taponi anah’ atau ‘napou anah’. Di kalangan orang

Rote Ndao bahwasanya ibu yang melahirkan Bayi selama tujuh hari dibantu oleh “dukun

paragi”. Selama tujuh haru itu si ibu belum diperkenankan bekerja di dapur sendiri. Setelah itu

pada hari ketujuh ada acara yang disebut “Netoro Bane” yaitu acara membalikkan periuk untuk
masak air. Dalam arti si ibu sudah boleh masak air sendiri. Kemudian dilakukan upacara ‘babae’

artinya membalas jasa semua bantuan dan pertolongan padanya selama seminggua. Pada upacara

ini bayi diperkenalkan kepada sanak keluarga dan tetangga dan diberi nama menurut nama nenek

moyangnya.

Adapun kaitannya dengan tulisan ini, menggambarkan bahwa masyarakat masih

menjunjung budaya atau tradisi yang ada sejak dari para leluhur terdahulu yang mana masih

melaksanakan kegiatan upacara kelahiran yang ada di kalangan orang Rote pelaksanaannya pun

hanya sederhana di bandingkan dengan pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu.

Sedangkan tulisan Ni Wayan Sumita (2014) mengaatakan bahwa masyarakat Bali yang

terletak di Desa Gunung Sari masih melaksanakan upacara ritual Mesangih (potong gigi),

mempunyai makna agar seseorang yang sudak melakukan upacara tersebut akan menjadi lebih

baik dan jauh dari sikap buruk dan serakah. Adapun kaitannya tulisan Ni Wayan Sumita (2014)

dengan kajian saya ini yaitu, pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu pada ibu hamil

mempunyai makna yaitu agar bayi akan lahir kelak memiliki sumber kekuatan dan tenaga serta

murah rezeki

B. Studi Upacara Kehamilan Pada Beberapa Etnik

Seperti tulisan Venny Indria Ekowati (2012) bahwa penyelenggara upacara kehamilan

Wilujengan yang penyelenggaraannya istimewa adalah wilujengan pada bulan ketujuah,

yang disebut dengan upacara Tingkeban. Untuk mengadakan upacara ini dibiasanya dipilih

hari Rabu atau Sabtu, sebelum bulan purnama. Tanggal yang dipilih harus ganjil. Boleh

tanggal 3, 5, 7, 9, 11, 13, atau 15 asalkan belum bulan purnama. Salah satu prosesi upacara

adalah memandikan calon ibu. Biasanya mengambil waktu pada pukul 11,00 WIB siang.
Prosesi upacara dimulai oleh calon nenek dari pihak suami yang menjatuhkan teropong.

Jalannya teropong yang dengan cepat jatuh ke bawah, merupakan lambang permohonan agar

proses kelahiran bayi juga dapat berlangsung dengan lancar dan cepat, seperti jalannya

teropong.

Sesudah itu dijatuhkan pula melalui letrek, cengkir gadhing yang sudah digambari atau

dilukisi tokoh Kamajaya dan Kamaratih, Panji dan Candra Kirana, atau Janaka dan

Sembadra. Prosesi menjatuhakn cengkri gadhing ini agar kelak bayi yang lahir, jika laki-laki

tampan seperti Kamajaya, Janaka, atau Panji, jika perempuan cantik seperti Kamaratih,

Sembadra, atau Candra Kirana.

Sesudah dua prosesi ini berlangsung, calon ayah digandeng bapak dan mertua berangkat

dari pendhapa menuju tempat dilangsungkannya prosesi. Sesudah itu, ibu si istri

memecahkan atau membanting telur mentah, dan membelah cengkri gadhing yang tadi

dijatuhkan. Prosesi ini melambangkan agar bayi yang dilahirkan sehat, tidak kurang suatu

apapun. Sesudah prosesi ini calon ibu menuju ke rumah. Jalan yang akan dilewati, diberi

alas dengan kain mori. Mori melambangkan niat suci dan kepasrahan calon ibu kepada

Tuhan YME. Sesudah itu, calon ibu berganti-ganti kain sebanyak tujuh kali.

Perlambang dalam prosesi ini terdapat dalam acuan data berikut:

...punika inggih ugi kalebet pasemon gampil anggenipun manak, kados

saangenipun tapihan, plotra-plotro ...

‘...itu merupakan perlambang, mudahnya proses kelahiran, seperti mudahnya

kain-kain ini terlepas, plotra-plotro’


Kain-kain tersebut kemudian ditumpuk dan diduduki oleh calon ibu. Prosesi ini sebagai

lambang agar proses kelahiran berlangsung dengan mudah, semudah terlepasnya tujuh buah

kain tadi. Malamnyam diadakan pagelaran wayang dengan lakon Lairipun Gathotkaca

“Lahirnya Gatotkaca”. Pringgawidda (2003:6-8), menyebutkan bahwa dalam proses

Tingkeban, motif kain yang lazim dipakai yaitu Sidamukti, Truntum, Sidaluhur,

Parangkusuma, Semenrama, Udan Riris, Cakar Ayam, Grompol, Lasem, dan Dringin.

Secara umum, motif-motif kain ini mengandung harapan-harapan terhadap sifat dan nasib

anak yang akan dilahirkan, seperti penjelasan di bawah ini:

1. Sidomukti, makna/harapan dari kain tersebut agar sang bayi kelak menjadi prang

yang sejahtera dan di segani banyak orang

2. Truntum, makna/harapan dari kain tersebut agar anak mewarisi kebaikan akal budi

kedua orang tuanya.

3. Sidaluhur, makna/harapan dari kain tersebut anak yang akan lahir nanti menjadi

pribadi yang santun dan berbudi pekerti luhur.

4. Parangkusuma, makna/harapan agar anak yang dilakurkan mempunyai akal setajam

parang (cerdas)

5. Semenrama, makna/harapan dari kain tersebut agar anak yang akan dilahirkan

mempunyai sifat halus, penuh cinta kasih.

6. Udan Riris, harapan agar anak menjadi pribadi yang mampu menyejukkan dan

memberi kesegaran.

7. Cakar Ayam, makna/harapan agar anak pandai mencari rezeki seperti halnya ayam.

8. Grompol, agar anak mampu menyatukan seluruh keluarga, sehingga tidak tercerai-

berai atau nggrompol.


9. Lasem, Kain motif garis vertikal, dipakai dengan harapan agar anak senantiasa

bertaqwa kepada Tuhan YME.

10. Dringin, Kain bermotif garis horizontal, dipakai dengan harapan anak mempunyai

hubungan yang selaras dengan lingkungan sosialnya.

Lebih lanjut Suprinato Lip (2013) dalam tulisannya mengatakan bahwa kebudayaan tujuh

bulan pada suku sunda, secara umum dapat diartikan sebagai tradisi atau ritual di mana ritual

ini dimaksudkan bagi wanita hamil yang kandungannya mencapai usia tujuh bulan

mengadakan ritual tujuh bulanan untuk keselamatan bayi yang di kandungnya.

Adapun prosesi ritual tujuh bulanan pada suku sunda adalah sebagai berikut: Bahan-

bahan/alat-alat yang digunakan dalam prosesi upacara tujuh bulanan yaitu: (Gubuk siraman,

termasuk gentongan dua buah, bunga, gayung,) kelapa gading dua buah yang sudah diukir

Rama-Shinta, telur kampong, kain batik tujuh buah, kain putih dua berukuam empat meter,

belut, golok untuk belah kelapa, duit-duitan untuk jual beli rujak dan souvenir untuk yang

nyiram (pensil, handuk, cermin, sisir, benang, jarum, sabun) ada tujuh macam, bisa di kemas

di keranjang dan di bungkud plastik kado. Pelaksanaan upacaranya yaitu di buka dengan

acara pengajian, ayat yang dibaca Surah Ya’asin dan Surah Yusuf, calon ibu ganti baju

siraman didampingi suami tercinta, didahului oleh orang tua acara adat suami memasukkan

ke-2 buah kelapa gading kedalam gentong, lalu di siram oleh orang tua dan keluarga yang di

tuakan (mereka yang nantinya akan diberikan Souvenir)

“Gonta-ganti” kain sambil ditanya ke “penonton”, cocok atau tidak kain yang di kenakan,

sampai pada kain ke tujuh, setelah itu dipakai kain putih (disarungkan) alalu suami

meloloskan telur ke dalam sarung kain putih itu, setelah itu bapak meloloskan belut ke
dalam kain sebanyak tujuh kali acara terakhir digubuk siraman, suami mengaduk gentong isi

kelapa sambil menghadap ke penonton (seperti mengaduk kupon undian) setelah itu

mengambil satu buaj kelapa, jika yang diambil bergambar Shinta maka kelah anaknya

perempuan, dan kalau bergambar Rama maka kelak anaknya laki-laki. Setelah itu kelapanya

di belah, ini melambangkan susah atau gampangnya proses persalinan nanti, dan air

kelapanya boleh di minum istri dan suami ganti baju kebaya dan siap-siap jualan rujak.

Menurut kepercayaan dari rasa rujak ini orang-orang bisa meramalkan jenis kelamin si

jabang bayi nanti.

Makna-makna yang terkandung dari serangkaian acara tujuh bulanan yaitu:

1. Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai penrnyataan tanda

pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman

(kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa arah

melintang.

2. Memasukkan belut ke dalam kain bertujuan agar pada saat melahirkan sang ibu tidak

mengalami kesulitan.

3. Brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari ke

dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini

adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulita.

4. Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak tujuh kali dengan motih

kain yang berbeda. Motif kain yang kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik

dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat

dalam lambang kain.


5. Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas maka, upacara nujuh

bulanan dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan

mengelilingi selamatan.

Selamtan atau sesajian sebagian di bawah pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan

upacara tersebut. Lambang atau makna yang terkandung dalam unsur upacara tujuh bulanan,

yaitu upacara yang di selenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh bulanan, memiliki

simbol atau makna lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut: sesajen rumpeng,

maknanya adalah penghormatan pada arwah leluhur yang sudah tiada. Kelapa muda yang

diberi gambar Rama dan Shinta, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir laki-laki

akan tampan seperti Rama begitupun sebaliknya kalau bayi lahir perempuan akan cantik

seperti Shinta.

Adapun kaitannya penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah, menggambarkan

bahwa upacara adat tujuh bulanan pada berbagai etnis banyak memiliki keunikan dalam

proses pelaksanaan upacara tujuh bulanan. Adapun persamaannya yaitu terletak pada tujuan

utama dilaksanakannya upacara tersebut agar sang calon ibu tetap sehat, mudah melahirkan,

dan terhindar dari gangguan makhluk halus serta bayinya lahir dengan selamat.

Adapun perbedaannya penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada

proses pelaksanaannya di saat sepasang suami istri dimandikan (siraman) dalam etnis

lainnya proses siraman dilakukan oleh biang (dukun) proses pelaksanaan yaitu ibu yang

sedang mengandung berada dalam kamar untuk dilakukan proses mongoriuko tiano

(menggerakkan perut dengan kain tujuh macam) yang maksudnya agar anak di dalam perut

posisi seimbang. Tahap dilakukan pertama yaitu seorang biang (dukun beranak) meletakan
selendang di pinggang kepada ibu tersebut posisi terbaring, selendang tersebut di goyang-

goyangkan secara bergantian sebanyak tujuh kali yang dilakukan oleh pemangku adat dan

lembaga adat sesuai dengan jumlah selendang, selanjutnya itu dan suaminya dibawah

seorang dukun di depan pintu dapur, proses ini mengandung makna agar pada saat proses

melahirkan berjalan dengan baik dan anaka beserta ibunya sehat-sehat. Kemudian

disediakan bambu kuning sebanyak tujuh ruas yang dijadikan sebagai tempat mandi suami

istri. Air yang digunakan tersebut di simpan daun yuri (nibong), habis dimandikan oleh

dukun suami istri tersebut berganti pakainan. Baju yang dipakai pada saat mandi di lepas

dari badan kemudian diletakkan di atas kaki suami istri dan bersama-sama melempar keluar

pakaian ke tanah, hal tersebut mengandung makna agar pada saat melahirkan mendapatkan

kemudahan dan kelancaran. Sedangkan upacara tujuh bulanan pada suku Kaili tidak

memakai tujuh lembar kain ataupun di mandikan hanya saja pelaksanaan upacaranya

menggunakan mayang pinang untuk di belak di atas kepala, kemudian menyediakan dua

ekor ayam masing-masing satu ekor ayam betina dan ayam jantan dan beberapa sesajen dan

perlengkapan upacara tersebut.

Hal tersebut berjalan dengan hasil penelitian yang di tulis oleh Zuhri Iwan dalam Hastuti

(2014:28), ketika seorang wanita hamil untuk pertama kalinya, pada bulan ketujuh

kehamilan diadakan ritual motini. Mitoni berasal dari kata pitu artinya tujuah. Ritual mitoni

diadakah dengan maksud untuk memohon berkah Gusti, Tuhan untuk keselamatan calon

orang tua dan anaknya. Bayi lahir pada masanya dengan sehat, selamat, demikian pula

ibunya melahirkan dengan lancar, sehat dan selamat. Selanjutnya diharapkan seluruh

keluarga hidup bahagia. Hal-hal penting pada upacara mitoni adalah:

1. Siraman (pemandian calon ibu)


2. Pendandanan calon ibu

3. Angreman, tempat, berbagai barang/ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah

tersedia lengkap.

Upacara siraman, biasanya pelaksanaan siramana diadakan dikamar mandi arau di tempat

khusus tang dibuat untuk siraman, dihalaman belakang atau samping rumah. Siraman dari

kara siram artinya mandi. Pada saat mitoni adalah pemandian untuk sesuci lahir batin bagi

calon ibu/orang tua beserta bayi dalam kandungan ditempat siraman ada bak/tempat air yang

telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air yang dicampur dengan bunga siraman, yang

terdiri dari mawar, melati, kengan dan kantil.

Didepan tempay siraman yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek dan ibu-

ibunya yang ikut memandikan. Mereka semua berpakaina tradisional jawa, bugus, rapi,

tanpa mengenakan aksesoris seperti gelang, kalung, dan anting ketempat siraman dengan

diiringi oleh beberapa ibu langsung didudukkan di atas sebuah kursi yang dialasi dan dihias

dengan sebuah tikar tua, maksudnya agar orang wajib bekerja sesuai dengan kemampuannya

dan dedaunan seperti : opok-opok, alang-alang, oro-oro, dadak srep, awar-awar yang

melambangkan keselamatan dan daun kluwihsebagai perlambang kehidupan yang makmur.

Orang pertama yang mendapatkan kehormatan untuk memandikan adalah calon kakek,

kemudian calon nenek dan disusul oleh beberapa ibu yang sudah mempunyai cucu. Sesuai

kebiasaan, jumlah yang memandikan adlaah tujuh orang. Diambil perlambang positifnya,

yaitu tujuh bahasa jawanya pitu, supaya memberikan pitulungan, pertolongan, selesai

dimandikan dengan diguyur air suci, terakhir dikucuri air suci dari sebuah kendi sampai

airnya habis. Peluncuran teropong adakalanya, sesudah selesai pecak kendi, sebuah tropong,
alat tenun dari kayu diluncurkan ke dalam kain tekstil yang mempunyai tujuh warna ini

berlambang bahwa kelahiran bayi dengan lancar dengan selamat.

Angreman dari kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk di atas

tumpukan kain yang dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu bayinya sampai

lahir dengan sehat selamat. Mekera mengambil beberapa macam makanan dari sesaji dan

ditaruh disebuah cobek, mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu menggambarkan

ari-ari bayi. Perlu diperhatikan bahwa untuk ritual angreman gaya Yogyakarta, sesajinya

tidak ada yang berupa daging binatang yang dipotong. Ini merupakan doa kedua calon orang

tua supaya bayi mereka lahir dengan selamat.

C. Kerangka Konseptual

1. Upacara Ritual

Dalam antropologi, upacara ritual dikenal dengan istilah ritus, di mana ritus ada yang

dilakukan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti

upacara sakral ketika turun ke sawah, adar untuk menolah bahaya yang telah diperkirakan

akan datang, ada juga upacara mengobati penyakit (rites of healing); ada upacara karena

perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia, seperti pernikahan, mulai kehamilan, dan

kelahiran (Agus, 2006:97).

Ritus berhubungan dengan kekuatan supranatural dan kesakralan sesuatu. Oleh karena

itu. Istilah ritus atau ritual dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali

dengan natural, profane dan aktifitas ekonomis, rasional sehari-hari. Karena sesuatu

dipercayai sebagai hal yang sakral, maka perlakuan kepadanya tidak boleh seperti benda-
benda biasa, terhadap profane. Ada tata tertib yang harus dilakukan dan adapula larangan

atau pantangan (taboo) yang harus dihindari. (Agus, 2006:98).

Melakukan sebuah kegiatan ritual merupakan suatu kegiatan yang bersifat rutin di mana

melakukan upacara ritual Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili di Desa Wombo Kalonggo

mempunyai arti dalam setiap kepercayaan dan tempat-tempat pelaksanaannya. Namun yang

menarik dalam antropologi agama adalah mengenai acara dan upacara keagamaan masing-

masing yang banyak macamnya dan berbeda-beda menurut Hilman (1993:27) yaitu:

1. Menentukan waktu dan hari

2. Tempat pelaksanaan upacara

3. Alat perlengkapan

4. Maksud dan tujuan pelaksanaan upacara keagamaan

5. Tata tertib dan tata cara pelaksanaan upacara keagamaan; dan orang-orang yang

bertindak sebagai pemimpin upacara dukun atau imam.

Ritual lebih menunjukan kepada perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dengan

waktu tertentu secara berkala, bukan rutinitas yang bersifat teknis kekuasaan atau kekuatan-

kekuatan mistis. Dalam hal ini, ada beberapa konsep-konsep yang dasar religi yang terdiri

dari lima (5) kompenen yaitu: 1). Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia

mempunyai sifat serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia.

2). Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dana gagasan manusia yang

menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam

gaib (kosmologi), tentang zaman akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh

nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu dan makhluk-makhluk halus lainnya.
3). Sistem ritus dan upacara dalam religi yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia

dalam melaksanakan kebaktiannya yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan

dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. 4). Dalam ritus

upacara religi biasanya di pergunakan berbagai macam sarana dana peralana atau gedung

pemujaan (masjid, langgar, gereja, pagoda, stupa dan lain-lain), dan (patung dewa, patung

orang suci, alat bunyi-bunyian suci, lonceng dan lain-lain), dan para pelaku upacara

seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggao mempunyai sifat suci, jubah

pendeta, juba biksu, mukenah dan lain-lain. 5). Sistem religi adalah umatnya atau kesatuan

sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara

itu. (Koentjaraningrat, 2010:80-83).

Seperti di kemukakan W.Robertson smith dalam koentjaranigrat (2010:67). mengatakan

bahwa ada tiga gagasan penting yang menambahkan pengertian kita mengenai azas-azas

religi dan agama pada umumnya yaitu:

1. Gagasan pertama mengenai sosial bahwa disamping sistem keyakinan dan

doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dan religi atau agama

yang memerlukan studi dan analisis yang khusus misalkna upacara

Nosemparaka Manu

2. Gagasan kedua, bahwa upacara religi atau agama, yang biasanya banya k

dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang

bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk

mengintensifikasikan solidaritas masyarakat.

3. Gagasan yang ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada

pokoknya upacara bersaji seperti itu, di mana manusia menuajikan sebagian


dari seekor binatang terutama darahnya kepada dewa, kemudian memakan

sendiri sisa daging dan darahnya hal ini dianggap sebagai suatu aktivitas

untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa.

Kepercayaan kepada makhluk Gaib di Desa Wombo masih ada, misalnya pada roh-roh

halus, kekuatan-kekuatan gaib sehingga sehubungan dengan kepercayaan itu masih ada pula

jenis-jenis upacara religi dalam masyarakat, seperti adanya benda-benda yang dijadikan

simbol-simbol dalam upacara tradisional, pemujaan terhadap arwah para leluhur, makhluk

halus, kekuatan gaib yang berada di bumi ini bagi suku bangsa Kaili yang biasanya disebut

Rate (makhluk halus).

Upacara Nosemparaka Manu bagi Etnis Kaili berbeda kualitas dan kuantitasnya sesuai

dengan kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Upacara ini adalah dimaksudkan

agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat tanpa cacat jasmani dan rohani,

serta keselamatan ibu yang melahirkan, dan juga agar ibu terhindar dari Rate (makhluk

halus). Dari mantera-mantera Sando (dukun) di ketahui bahwa tujuan upacara ini adalah

agar anak kelak tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan, dan sebagainya. Menurut

kepercayaan Etnis Kaili khususnya di Desa Wombo Kalonggo bahwa leluhur mereka yang

disebut rate (makhluk halus) selalu mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit

sebagai diatas, dan bagi bayi dalam kandungan apabila upacara di abaikan. (Mustaqim

2010:01).

Upacara ini sendiri menurut Koentjaraningrat (1992:262) terdiri dari beberapa unsur-

unsur diantaranya:
Bersemedi adalah berbagai macam perbuatan serba religi yang bertujuan memusatkan

perhatian si pelaku kepada apa yang ia sembah atau kepada hal-hal yang suci. Untuk hal ini

rupanya ada bermacam-macam cara dan tehnik khususs, yang terutama dalam berbagai sekte

dari agam hindu mendapat perhatian yang amat besar. Terutama kaum yogin merupakan ahli

dalam tehnik-tehnik memusatkan pikiran, dengan berbagai macam sikap duduk, cara

menguasai nafas, dan sebagainya.

Di antara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali

dalam suatu agama, tetapi tidak dikenal dengan agama lain, dan demikian dengan

sebaliknya. Kecuali itu suatu upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri

dari sejumlah unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk ibu hamil, di

mana dukun terlebih dahulu menuju ke tempat-tempat bersaji.

Bersaji adalah biasanya sebagai perbuatan untuk menyajikan makanan yang disajikan

untuk makhluk gaib, roh-roh nenek moyang atau makhluk halus lainnya. Seperti upacara

Nosemparaka Manu yang mana sebagian sesajian itu diberikan kepada makhluk gaib yang

sidah dibacakan amntra atau diniatkan diberikan kepada mereka.

Berkorban adalah merupakan suatu perbuatan pembunuhan binatang korban, bahwa

bitanag yang dibunuh itu disajikan kepada makhluk gaib, dalam hal ini binatang yang

disembelih itu rupanya dianggap lambang dari makhluk-makhluk halus.

Berdoaadalah salah satu unsur yang tidak pernah dilupakan dalam setiap pelaksanaan

upacara keagamaan seperti Nosemparaka Manu karena melalui doa manusia dapat

berkomunikasi dengan Tuhan untuk menyampaikan semua keinginan mereka dan untuk

menyampaikan segala rasa ungkapan syukur dan rasa terima kasih mereka atas segala hidup
dan kehidupan mereka yang penuh dengan berkat yang berlimpahan. Dengan sikap berdoa

mereka mengungkapkan segala hal yang ada dalam hati mereka atau yang sedang mereka

fikirkan untuk disampaikan kepada Tuhan. Sikap berdoa tersebut dapat diungkapkan dengan

kata-kata secara langsung atau dapat pula hanya diungkapkan dalam hati.

Makan bersama merupakan proses yang paling terakhir dilakukan dalam upacara

Nosemparaka Manu. Ketika pelaksanaan upacara tersebut telah selesai dilakukan maka

saatnya untuk makan bersama karena makanan telah tersedia yang sudah disiapkan oleh

keluarga ibu hamil. Yang diutamakan dalam makan bersama adalah tamu yang datang orang

tua dan anak-anak, dengan selesainya makan bersama maka terakhir pula juga acara

Nosemparaka Manu.

Adanya konsep budaya mengenai kehidupan yang telah saya ungkapkan menyiratkan

peran pentingnya upacara-upacara kehamilan bagi kesehatan jiwa sang calon ibu. Demikian

pula halnya dengan peranan dari kerabat dalam upacara-upacara kehamilan dan kelahiran,

yang tidak saja berfungsi untuk memperkuat hubungan sosial antara keluarga suami dan istri

yang mempunyai bayi, melainkan juga dapat memberikan dukungan moril dan ketenangan

pada wanita yang hamil atau yang sedang melahirkan.

Pada dasarnya kebudayaan terbentuk dari puncak-puncak kebudayaan daerah, namun

demikian tidak setiap kebudayaan daerah secara otomatis merupakan pendukung budaya

nasional. Kebudayaan daerah biasanya disebut kebudayaan lokal yang dianut secara umum

oleh masyarakat atau golongan sosial, kebudayaan suku bangsa, masyarakat di daerah.

Dari teori kajian kebudayaan tradisional dapatlah nyata, bahwa manusia dan kebudayaan

merupakan suatu kesatuan yang erat sekali, tak mungkin kedua-duanya itu dapat dipisahkan.
Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya,

ialah manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk

melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih

dari satu turunan dengan kata lain harus diteruskan kepada orang-orang disekitarnya.

Kebudayaan kaili adalah salah satu kebudayaan Sulawesi Tengah yang tumbuh dan

berkembang di tanah kaili terutama dilembah palu serta dianut oleh Etnis Kaili. Kebudayaan

ini adalah wujud pemikiran, perilaku dan buah cipta orang kaili, terutama kalangan raja-raja

tempo dulu yang merupakan suatu aset dan kebanggaan serta kecirian adat-istiadat atau

sistem nilai dalam masyarakat maupun bentuk-bentuk budaya kerohanian lainnya.

2. Simbol dan Makna

Simbol adalah objek, kejadian, bayi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberikan

makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa.

Tetapi, manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan,

tarian musik, arsitektur, mimik wajah, wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian,

ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi

lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek

yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol

sebagai salah satu cara signifikan manusia menjadi sasaran kajian yang penting dalam

antropologi dan disiplin-disiplin lainnya.(Achmad Fedyani, 2005:286).

Seperti yang di kemukakan oleh Kuper dalam Achmad Fedyani (2005:289) yaitu simbol-

simbol yang yang menunjukan suatu kebudayaan yang memberikan unsur intelektual dalam

proses sosial. Tetapi, proposisi-proposisi kebudayaan sebagai simbol yang berlaku lebih dari
sekedar mengartikulasikan dunia, proposisi-proposisi ini juga memberikan pedoman bagi

tindakan di dalamnya, karena menyediakan model dari apa yang dipandang sebagai realitas,

dan pola-pola bagi perilaku. Atas dasar alasan ini maka perlu di bedakan secara analistis

antara aspek kebudayaan dan aspek sosial dalam kehidupan manusia dan memperlakukan

setiap aspek tersebut sebagai variable bebas namun sebagai faktor keduanya saling

tergantung satu sama lain

Simbol dari ritualitas sosial beragama memiliki makna yang sangat multivokal atau

banyak makna. Menurut Turner (2004:40) multivocal makna dalam pengertian simbol dan

ritual ini, berhubungan erat dengan bagaimana simbol tersebut dipersepsikan dan

internalisasi menjadi sistem kepercayaan baik secara individual maupun secara moral.

Secara etimologi simbol berarti tanda atau pertandaan yang digunakan untuk kepentingan

ritualitas tertentu. Secara terminologi simbol diartikan sebagai sesuatu yang dianggap atas

dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili

untuk mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengingatkan kembali dalam memiliki

kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.

Memperhatikan definisi di atas simbol merupakan pertandaan yang inmaterial, tetapi juga

menyampaikan fenomena-fenomena material yang ada dalam hati dan pikiran. Dalam kaitan

ini, simbol dapat di pahami sebagai expresi dalam wujud material yang digunaka masyarakat

untuk menggambarkan sesuatu yang inmaterial atau kepercayaan

Simbol menggambarkan bentuk, sifat, dan makna kepercayaan yang di anut oleh

masyarakat, sebab demikian, makna simbol sselalu menggambarkan ritualitas yang

dilakukan oleh masyarakat. Menurut Turner tidak mungkin mengetahui makna ritualitas
masyarakat tanpa memahami makna simbol-simbol yang digunakannya. Ritualitas sendiri

secara etimologis berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam

suatu masyarakat. Secara terminologis ritualitas merupakan ikatan kepercayaan yang antar

orang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanan sosial.

Ritualitas merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama.

Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritualitas yang diadakan oleh

masyarakat. Ritualitas yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk

melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan

bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang

mempercayai dan mempraktekan kemudian dapat diketahui bahwa tidak mungkin

memahami bentuk, sifat, dan makna ritualitas masyarakat tanpa mengetahui secara

mendalam simbol-simbol dan ritualitas sebenarnya memiliki unsur-unsur yang saling

menguatkan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Dalam tradisi atau adat istiadat simbolisme sangat terlihar dalam upacara-upacara adat

yang merupakan warisan turun temurun dari generasi ke generasi. Bentuk macam kegiatan

simbolik dalam masyarakat tradisional merupakan pendekatan manusia kepada masyarakat

kepada pasangannya. Setiap kegiatan keagamaannya seperti upacara dalam selamatan

mempunyai makna dan tujuan yang diwujudkan melalui simbol-simbol yang digunakan

dalam upacara tradisional. Simbol-simbol dalam tradisi diselenggarakan bertujuan sebagai

sarana untuk menunjukan semua maksud dan tujuan upacara yang dilakukan oleh

masyarakat pendukungnya (Herusatoto, 2008:48).

3. Pengetahuan
Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sehingga pengetahuan dalam proses

tahu yang menjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni pengetahuan adalah segata sesuatu

yang diketahui. Pengetahuan disini kata dasarnya tahu. Tahu adalah mengerti sesudah

melihta, menyaksikan, mengalami dan sebagainya (Notoatmodjo Soekidjo, 2004:19)

Pengetahuan akan membentuk kepercayaan yang selanjutnya akan memberikan dasar

bagi pengembangan dan menentukan sikap terhadap objek tertentu. Kepercayaan yang

dimaksud disini adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar, salah satu atas dasar bukti.

Seperti sugesti, otoritas, pengalaman. Selain itu pengetahuan berhubungan dengan jumlah

informasi yang dimiliki seseorang maka makin tinggi pengetahuan seseorang.

Pengetahuan yang sudah diklasifikasi terhadap etnis, merupakan sistematisasi dan

interpretasi etnis yang menghasilkan kebenaran yang obyektif berdasarkan realita

lingkungan sosial etnis di lingkungannya yang sudah diuji kebenarannya dan dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah kepada etnis. Pengetahun itu merupakan segala

bentuk pengkajian analisis terhadap suatu peristiwa yang kemudian dijadikan patokan/acuan

bagi etnis.

Seperti halnya pengetahuan di kemukakan oleh Koentjaraningrat (2005:101) bahwa:

Seluruh penggambaran, persepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi merupakan unsur-


unsur pengetahuan yang secara sadar dimiliki seorang individu. Sebaliknya, banyak
pengetahuan atau bagian-bagian dari seluruh pengetahuan yang berhasi dihimpun
seseorang selama hayatnya, dapat hilang dari akalnya yang sadar (atau dalam
kesadarannya) yang disebabkan oleh berbagai sebab. Walaupaun unsur-unsur
pengetahuan tadi sebenarnya tidak hilang lenyap begitu saja, tetapi hanya terdesak ke
bagian jiwanya atau alam bawah sadar
Pada dasarnya setiap etnis memiliki pengetahuan yang berbeda-beda dengan upacara

ritual, dengan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh etnis tersebut diharapkan dapat

mengembangkan potensi dirinya, memberikan pemahaman tentang apa yang terjadi juga

termasuk di dalamnya tentang upacara ritual Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili di Desa

Wombo Kalonggo. Pengetahun etnis Kaili tentang upacara Nosemparaka Manu. Oleh

karena itu pengetahuan sangat dipengaruhi tindak pendidikan etnis tersebut.

Pengetahuan yang dimiliki oleh etnis Kaili di Desa Woblo Kalonggo tentang upacara

Nosemparaka Manu berorientasi pada informasi secara lisan yang terjadi secara turun

temurun, pengetahuan tersebut pada awalnya berasal dari orang-orang tua di Desa Wombo

Kalonggo itu sendiri. Sehingga pengetahuan tentang upacara Nosemparaka Manu dapat

dikatakan sebagi warisan kepercayaan dari orang lain.

IV. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode penelitin yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif deskriptif.

Di mana metode yang sumber datanya merupakn kata-kata. Metode dekriptif ini bertujuan
memaparkan hasil temuan pada proses penelitian berdasarkan tujuan penelitian, dengan data

yang dihimpun dari narasumber. Sehingga dalam penelitian ini diperoleh gambaran yang

lengkap mengenai Upacara Nosemparaka Manu yang selanjutnya disajikan dalam bentuk

deskriptif. Yang bersumber dari lisan maupun tulisan dari setiap individu, yaitu memberikan

gambaran tentang keadaan yang secara objektif. (Maleong, 2002:3)

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Wombo Kalonggo, Kecamatan Tanantovea Kabupaten

Donggala. Dipilihnya wilayah ini sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa

etnis Kaili di Desa Wombo Kalonggo masih melaksanakan Upacara Nosemparaka Manu

pada Ibu Hamil, di adakannya upacara ini agar terhindar dari ganggungan-gangguan Rate

(makhluk halus).

C. Tahap Kegitan

1. Penelitian Pendahuluan

Dalam penelitian pendahuluan peneliti melakukan kunjungan ke Desa Wombo

Kalonggo yang melakuakan upacara Nosemparaka Manu. Pada kemsempatan itu

mewawancarai Kepala Desa, Tokoh Adat serta Tokoh Masyarakat yang mengetahui

keadaan desa secara umum dan memahami adat istiadat kepercayaan masyarakat

setempat khususnya dalam pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu.

2. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan dimaksudkan untuk pengambilan data lapangan, berupa

informasi tentang tradisi Nosemparaka Manu di Desa Wombo Kalonggo. Informasi

kesejahteraha dan sebagainya. Juga sekaligus mengambil dokumentasi di desa tersebut.


3. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan permasalahan yang telah di

teliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Studi pustaka

Dalam studi pustaka ini saya mencari, membaca dan mengumpulkan data-data

yang berhubungan dengan upacara Nosemparaka Manu (upacara kehamilan) yang

bersumber dari buku-buku, jurnal, laporan, skripsi, dan artikel yang berkaitan dengan

judul penelitian sehingga lebih mudah dalam memecahkan masalah penelitian

lapangan.

b. Pengamatan

Teknik pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang diteliti

di lapangan. Adapun yang diteliti di lapangan yaitu mengenai proses pelaksanaan

upacara Nosemparaka Manu, dan mengetahui alat dan bahan yang digunakan dalam

upacara Nosemparaka Manu, penelitian ini dilakukan guna mendapatkan informasi

awal mengenai pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu. Tahapobservasi selanjutnya

yaitu saya mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan aktif yaitu untuk

mengetahui informasi di lapangan secara langsung mengenai tata cara pelaksanaan

upacara Nosemparaka Manu, dan perlengkapan apa saja yang digunakan pada saat

melaksanakan upacara tersebut, serta tujuan masyarakat melaksanakan upacara

Nosemparaka Manu tersebut.

Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai orang luar yang melihat gejala yang

diamati tersebut. Dengan cara datang berkunjung ke rumah pihak keluarga

perempuan yang melaksanakan upacara Nosemparaka Manu. Agar dapat tercipta


keakraban dan dapat mengetahui berbagai kegiatan dilakukan oleh pihak keluarga,

saya turut membantu menyiapkan beberapa perlengkapan upacara tersebut, dan

melihat bagaimana cara kerja seorang sando (dukun) mempersiapkan perlengkapan

upacara Nosemparaka Manu, cara interaksi pengunjung dengan pihak keluarga dan

cara kerja sama kedua belah pihak keluarga dalam mempersiapkan konsumsi, bahan

alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu. Hasil

pengamatan ditunjukan dalam catatan, hal ini agar dapat memudahkan peneliti untuk

membaca kembali informasi yang saya dapat dari lapangan.

c. Wawancara

Agar permasalahan dalam penelitian dapat terjawab maka perlu penelusuran lebih

lanjur yaitu mengadakan wawancara kepada informasi dengan menggunakan dua

tahapan yaitu:

1. Wawancara pendahuluan

Wawancara pendahuluan adalah wawancara yang dilakukan dengan

maksud mengawali pertemuan untuk membangun hubungan akrab, dan

mendekatkan diri dengan informan agar di pertemuan berikutnya informan

merasa akan lebih bebas sehingga diskusi akan merasa lebih terbuka dan nyaman.

2. Wawancara mendalam

Pada tahapan ini peneliti mengadakan wawancara mendalam (indept

interview) dengan para informan yang telah di tetapkan, dengan menggunakan

pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya guna mendapatkan informasi

tentang Upacara Nosemparaka Manu pada Etnis Kaili tersebut.

D. Teknik analisis data


Mengacu kepada permasalahan dan teknik penelitian di atas, maka data-data yang akan di

peroleh di lapangan akan di analisi secara deskriptif kialitatif, yaitu memperoleh data dan

informasu yang berlandaskan dari pokok permasalahan. Analisis digunaka untuk dapat

memberikan gambaran secara terperinci mengenai Upacara Nosemparaka Manu pada Etnis

Kaili di Desa Wombo Kalonggo

Adapun teknik analisis data yang akan di gunakan melalui 4 (empat) langkah yaitu:

1. Editing data hasil wawancara, yaitu kegiatan mengoreksi data yang telah terkumpul

dengan memilih dan memilah data berdasarkan permasalahan serta urgensi dan relevasi

data tersebut. Pada tahap ini melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kekeliruan dan

melengkapi data yang belum lengkap dalam pedoman wawancara di bawah arahan

konsultan.

2. Kategorisasi data yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data berdasarkan

permasalahan dan tujuan penelitian.

3. Penafsiran data yaitu dalam penelitian ini akan dilakukan pada saat wawancara

mendalam. Penafsiran dalam penelitian ini adalah informan sebagai instrument

penelitian ini. Informan akan memberikan jawaban-jawaban konfirmatif maupun

korektif berkenaan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan. Setelah penafsiran yang

akan dilakukan juga akan akan diverifikasi dengan teori-teori dan hasil-hasil penelitian

yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai upacara Nosemparaka Manu.

4. Perumusan kesimpulan dan saran, yaitu langkah terakhir dari analisi data yaitu

merumuskan kesimpulan hasil penelitian yang ada dalam permasalahan penelitian.

Penarikan kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian ini dan
menyampaikan saran-saran baik teoritis maupun praktis yang diharapkan akan menjadi

kegunaan dari penelitian ini.

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Profil Desa Wombo Kalonggo

1. Kondisi Wilayah

Desa Wombo Kalonggo adalah merupakan salah satu dari 8 (delapan) Desa yang ada di

kecamatan Tanantovea, dengan luas 190 Ha. atau 1,9 Km2. terdiri dari 3 (tiga) dusun.
Dalam sejarahnya Desa Wombo Kalonggo telah ada sejak tahun 2007, dengan cikal bakal

berdirinya Sintuvu Roso bersama tokoh-tokoh masyarakat pada masa itu. Desa Wombo

Kalonggo sebelum bergabung dengan kecamatan Taweli merupakan Desa dalam wilayah

Kecamatan Tanantovea, yang karena pengembangan wilayah Kecematan Narmada menjadi

tiga wilayah kecaman, maka setelah Kecematan Tanantovea menjadi Kecematan yang

dinitif pada tahun 2004 Desa Wombo Kalonggo menjadi bagian wilayah Kecamatan

Tanantovea.

Nama Kalonggo di ambil dari bahasa Kaili yang berasal dari kata “longgo” yang berarti

“Pemenggalan Leher” oleh karena itulah Desa di beri nama Desa Wombo Kalonggo.

Selanjutnya dalam sejarah di ceritakan bahwa Desa Wombo Kalonggo di bawah ke

pemerintahan Desa Wombo Kalonggo dikenakan dengan sebutan kampong dengan sistem

pemerintahan dipimpin oleh Kepala Jaga, setelah tahun 2007 dusun Kalonggo resmi menjadi

desa definif dan berdiri sendiri di bawah pimpinan Mukhtar D.Mudhohali. menjadi kepala

desa pertama (PTH) kemudian Desa Wombo Kalonggo melaksanakan pemilihan secara

langsung dari terpilihnya bapak “Djalamin Djakalana” sebagai kepala Desa Definitif di

Desa Wombo Kalonggo Kecamatan Tanantovea.

a. Keadaan Geografis

Desa Wombo Kalonggo adalah salah satu Desa yang berada di wilayah Kecamatan

Tanantovea Kabupaten Donggala yang berbatasan langsung dengan Kelurahan

Pantoloan, Jarak dari Desa Wombo Kalonggo ke Ibu Kota Kabupaten Donggala ±75
Kilometer, sedangkan jarak Desa Wombo Provinsi Sulawesi Tengah ±25 Kilometer,

secara administrasi Desa Wombo Kalonggo memiliki batas-batas daerah yaitu:

- Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kungguna Kecamatan Labuan

- Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Nuapabomba Kecamatan Tanantovea

- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Wombo Induk Kecamatan Tanantovea

- Sebelah timun berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong.

Desa Wombo Kalonggo di bawah wilayah Kecamatan Tanantovea dengan Ibu Kota

Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, mempunyai luas wilayah 13.790

Hektar. Berdasarkan pembagian wilayah Desa Wombo Kalonggo tersebar di 3 dusun dan

3 RT dengan jumlah kepala Keluarga (KK) 250 KK.

b. Kondisi Demografis

Besarnya Penduduk yang mendiami suatu wilayah merupakan salah satu potensi

pembangunan yakni sebagai (Human Resources). Jumlah penduduk Desa Wombo

Kalonggo pada Tahun 2014 berjumlah 1.493 Jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga 250

KK yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama. Komposisi jumlah penduduk

yang berada di desa tersebut yaitu 1.493 jiwa dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah

700 jiwa dan perempuan 793 jiwa.

Sebagaimana layaknya masyarakat yang berdomisili di daerah pinggiran kota

pada dasarnya jenis mata pencahariannya mereka tidak jauh dengan keadaan alam

sekitarnya. Jila alam yang mereka tempati adalah lebih banyak areal perkotaan maka

kemungkinan mata pencaharian penduduknya adalah perkantoran, dagang, industry,

wiraswasta. Sebaliknya jika alam yang mereka tempati itu adalah daerah pegunungan,

atau pesisir pantai, maka mata pencahariannya adalah petani atau perkebunan dan
nelayan. Hal ini dilakukan untuk dapat bertahan hidup demi meningkatkan kesejahteraan

hidupnya.

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa penduduk di Desa Wombo Kalonggo

sebagian besar memiliki mata pencaharian di sektor pertanian yaitu sebagai petani sawah

dan lading kebun. Namun disamping sebagai petani, ada juga sebagiannya bermata

pencaharian sebagai PNS, TNI, POLRI, Wiraswasta, Pedagang, Nelayan, dll.

Menurut keterangan yang didapatkan dari pemerintaha Desa Wombo Kalonggo

bahwa penduduk Desa Wombo Kalonggo menekuni berbagai profesi yang dilakukan dan

tingkat pengangguran yang kurang. Jika mereka sedang pada musim tanam padi, maka

mereka akan bekerja dengan sungguh-sunggu di sawah mereka agar kelak nantinya

mendapatkan hasil yang memuaskan juga, namun bila musim tanam padi selesai maka

mereka beralih kerja menjadi petani kebun dengan menanam berbagai macam tanaman

yang mereka Tanami. Hal ini sesuai dengan keadaan Desa Wombo Kalonggo di mana

5.750 kilometer adalah wilayah perkebunan dan di Desa Wombo Kalonggo ini juga

mempunyai kekayaan alam salah satunya tambang Emas.

Untuk mengetahui keadaan penduduk Desa Wombo Kalonggo berdasarkan mata

pencaharian yang dimiliki, maka dapat dilihat pada uraian tabel berikut ini:

Tabel 1

Keadaan penduduk Desa Wombo Kalonggo Bedasarkan pencaharian

No. Jenis Pekerjaan Jumlah


1. Petani 500
2. Pedagang/Pengusaha 45
3. Buruh Tani 263
4. Pertukangan 45
5. Peternak 63
6. PNS 30
7. Polri 1
8. TNI 6
9. Karyawan swasta 32
10. Karyawan BUMN 9
11. Pengemudi/Tukang Ojek 5
Jumlah 999
Sumber Data : Kantor Desa Wombo Kalonggo, tahun 2016

Dari tabel tersebut dapat menggambarkan bahwa jumlah penduduk memiliki mata

pencaharian berjumlah 999 jiwa, atau dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Desa

Wombo Kalonggo memiliki mata pencaharian sebagai petani dan pedagang yaitu tani berjumlah

500, pedanag/pengusaha 45 orang, buruh tani 263 jiwa, pertukangan 45 orang, peternak 63

orang, PNS 30 orang, Polri 1 orang, TNI 6 orang, karyawan swasta 32 orang, karyawan BUMN

9 orang, dan pengemudi/tukang ojek 5 orang. Sedangkan penduduk yang berjumlah 494 orang

masih dikategorikan belum produktif seperti masih anak-anak, melanjutkab pendidikan di SLTA,

SMA, dan Perguruan Tinggi. Selain itu terdapat juga penduduk yang belum mempunyai

pekerjaan (pengangguran).

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat salah satu faktor tertentu dan sangat menentukan maju

mundurnya peradaban masyarakat tersebut, apabila untuk zaman sekarang yang serba ditentukan

tersebut, apabila untuk zaman sekarang yang serba di tentukan oleh penguasaan atas teknologi

informasi dan komunikasi. Karena pentingnya hal tersebut, pembangunan sektor pendidikan oleh

pemerintah berasa dalam sasaran utama pembangunan nasional, yaitu peningkatan kualitas

sumber daya manusia.


Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting karena hal ini dapat mengubah

perilaku kehidupan masyarakat dalam menyongsong masa depan yang lebih baik, bukan saja

sangat penting bagi pembentukan jiwa pribadi tetapi lebih dari itu pendidikan merupakan hal

yang sangat menentukan bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara.

Keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Wombo Kalonggo di uraikan dalam

tabel sebagai berikut:

Tabel 2

Keadaan Penduduk Desa Wombo Kalonggo Berdasarkan Tingkat Pendidikn

No. Jenis Pendidikan Jumlah


1. Tidak pernah sekolah 85
2. Belum sekolah 123
3. Taman kanak-kanak 60
4. Sekolah dasar (SD) 350
5. Tidak tamat sekolah dasar 250
6. Tamat SLTP 500
7. Tamat SMU/sederajat 90
8. Tamat Akademik (D2-D3) 15
9. Tamat perguruan tinggi (S1-S2) 20
Jumlah 1493
Sumber Data : Kantor Desa Wombo Kalonggo 2016

Dari tabel tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di Desa

Wombo Kalonggo telah menikmati pendidikan. Bahwa terdapat 85 orang tidak pernah sekolah,

123 orang belum sekolah, Taman kanak-kanak 60 orang, tamat Sekolah Dasar 350 orang, tidak

tamat Sekolah Dasar 250 orang, tamat SLPT 500 orang, tamat SMU atau sederajat 90 orang,

sedangkan yang menamatkan Akademik Perguruan Tinggi S1-S2 berjumlah 20 orang dan tamat

Akademik D1-D2 berjumlah 15 orang.

3.4 Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat

1. Nilai Budaya Masyarakat


Masyarakat tidak hanya dipandang satu kumpulan individu maupun masyarakat lebih

dipahami dari aspek pergaulan hidup oleh karena itu sekumpulan masyarakat tersebut

senantiasa hidup bersama. Dengan demikian, berarti masyarakat tidak bisa dipisahkan dari

kebudayaan, karena terdapat sekelompok masyarakat sudah pasti juga ada kebudayaan di

mana kebudayaan tersebut merupakan suatu hasil kerja, cipta, rasa dan karsa masyarakat.

(Koenjtaraningrat, 1994:72). di Desa Wombo Kalonggo penduduk asli yang mendiami

daerah tersebut adalah Etnik Kaili, dalam kehidupan sosial budayanya sangat di dominisasi

oleh aspek-aspek budaya Kaili namun di Desa Wombo Kalonggo sudah terdapat suku

bangsa lain seperti Bugis, Manado, Jawa, Gorontalo, dan Mori tetapi mereka selalu

menjunjung tinggi adanya budaya masing-masing. Sementara Etnis Kaili masih

mempertahankan adat-istiadat mereka tanpa ada pengaruhdari Etnis lain.

Dengan melihat tingkat pendidikan masyarakat Desa Wombo Kalonggo yang masih

rendah sangat memperhatikan dengan adanya pengaruh dari budaya-budaya luar yang

mempengaruhi budahya setempat karena mengingat transformasi budaya luar yang masuk di

daerah kita tidak dapat diantisipasi maka kondisi ini semakin rumit tnpa kesadaran dari

masyarakat Desa Wombo Kalonggo mempertahankan nilai-nilai Budayanya.

Aktifitas kehidupan sosial dalam lingkungan keluarga masyarakat petani yang ada di

Desa Wombo Kalongga dapat terlihat dalam kegiatan kerja sama, tolong-menolong hormat

menghormati antara satu dengan yang lainnya serta kebiasaan saling menegur sapa jika

saling bertemu di suatu tempat atau di tempat lain di mana mereka bertemu.

Hal tersebut dimaksudkan untuk menjalin hubungan kekerabatan antara sesama anggota

keluarga maupun dengan anggota lainnya, dalam kehidupan sehari-hari menurut masyarakat
Desa Wombo Kalonggo mereka membina pola-pola hubungan sosial secara baik dan

harmonis yang akan dapat memudahkan pemecahan masalah-masalah yang dialami setiap

anggota masyarakat pada umumnya dan khususnya diantara sesama anggota keluarga petani

di Desa Wombo Kalonggo.

2. Kesehatan

Secara umum dapat dikatakan bahwa kesehatan pribadi setiap orang mencerminkan

kesehatan lingkungan masyarakat disekitar tempat tinggalnya. Oleh karenanya maka untuk

membentuk individu atau masyarakat yang berkualitas sangat diperlukan adanya kesehatan,

baik itu kesehatan Rohani mauapun kesehatan Jasmani.

Bagi setiap orang upaya untuk memelihara kesehatan, bukanlah hal mudah untuk

dilakukan. Hal ini disebabkan karena upaya tersebut sangat memerlukan pengalaman, ilmu

pengetahuan, keterampilan, serta kesadaran masyarakat untuk memelihara lingkungan hidup

yang bersih dan sehat. Oleh karena itu untuk mewujudkan derajat masyarakat secara

optimal, maka sangat penting ditingkatkan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan

dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Adapun jumlah fasilitas kesehatan yang ada di Desa Wombo Kalonggo Kecamatan

Tanantovea sebagaimana dengan hasil pengamatan yang saya lakukan menunjukan bahwa

sarana kesehatan seperti yang ada di Desa Wombo Kalonggo yaitu terdapat sarana yang di

antaranya adalah 1 Unit Poskesdes, 1 oeang tenaga medis yang selalu siap 1 x 24 jam bila

ada warga masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Namun sebagian kecil warga ada

juga yang sering ke dukun atau orang pintar untuk memeriksakan kandungannya dengan

alasan bahwa memeriksakan kandungan ke dukun lebih baik ketimbang ke bidan, tetapi
dengan adanya peraturan dari pihak rumah sakit bahwa bidan dan dukun kerjasama apabila

ada ibu hamil yang melahirkan.

3. Agama

Agama merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan watak

dan moral yang baik, khususnya pendidikan akhlak bagi setiap individu dalam suatu

masyarakat dan juga pada suatu bangsa. Di samping itu, agama juga berfungsi sebagai

pengatur dan pengendali sendi-sendi kehidupan manusia dalam suatu masyarakat baik dalam

bentuk spiritual maupun material.

Untuk mengetahui kondisi kehidupan bersama pada Etnis Kaili di Desa Wombo

Kalonggo kecamatan Tanantovea dapat dilihat dari masyarakatnya yang memiliki tradisi

keagamaan yang cukup kuat, di mana pengalaman ajaran agama islam tercermin pada ramai

dan tingginya penghayatan terhadap ajaran agama islam pada nilai keagamaan dapat dilihat

pula pada upacara-upacara adat seperti acara syukuran hakikat, khitanan, perkawinan dan

kehamilan. Dalam pelaksanaan sangat dipengaruhi oleh tradisi-tradisi keagamaan khususnya

agama islam.

Untuk mendukung kegiatan beribadah bagi setiap pemeluk agama, di Desa Wombo

Kalonggo Kecamatan Tanantovea, sudah tersedia sarana dan prasarana peribadatan umatnya

bagi umat islam. Terdapat satu buah masjid dan satu buah taman pengajian yang bisa

dipergunakan untuk melakukan ibadah, baik untuk kegiatan yang bernuansa islam seperti

isra mi’raj, maulid nabi, pengajian risma dan sebagainya.

Karena sifatnya religius tersbut sangat mempengaruhi perilaku dalam membina hubungan

sosial diantara sesama anggota masyarakt petani maupun hubungan petani dengan alam
sekitarnya: kenyataan ini dapat dilihat dari kehidupan beragama pada masyarakat yang ada

di Desa Wombo Kalonggo. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah berikut

ini:

Tabel 3

Keadaan Penduduk Desa Wombo Kalonggo Berdasarkan Agama

No. Agama Jumlah


1. Islam 2490
2. Kristen 3
Jumlah 2493
Sumber data : Kantor Desa Wombo Kalonggo, tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas dapat digambarkan bahwa penduduk yang beragam Islam di

Desa Wombo Kalonggo berjumlah 2490 jiwa dan jumlah pemeluk agama Kristen sejumlah 3

orang, dengan demikian pula dapat disimpulkan bahwa penduduk Desa Wombo Kalinggo

sebahagian besar memeluk agama islam dan sedikitnya memeluk agama Kristen. Adapun jumlah

fasilitas rumah peribadatan yang ada di Desa Wombo Kalonggo meliputi Masjid 1 (satu) buah,

dan gereja rumah ibadahnya tidak ada di Desa tersebut kecuali Desa/Kelurahan tetannga yaitu

Kelurahan Pantoloan yang jaraknya ± 6 Km dari Desa Wombo Kalonggo

4. Potensi Ekonomi

Potensi Ekonomi merupakan basis pembangunan yang sudah diprioritaskan saat ini lebih

menitik beratkan pada ladang ekonomi, yang pada dasarnya bidang ekonomi merupakan

kunci terlaksananya pembangunan serta dapat menjamin kemajuan dan kestabilan dibidang
ekonomi. Sedangkan sumber daya alam merupakan sarana bagi manusia untuk

melaksanakan berbagi macam kegaiatan Ekonomi sebagai jalan atau usaha untuk mencapai

kesejahteraan hidup. Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa di Desa Wombo Kalonggo hal

yang dapat di kembangkan pada sector ekonomi adalah potensi tanaman padi, jagung,

bawang, dan rica. Selain itu juga sebagian warga ada yang memilih sebagai pedagang,

buruh, swasta, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan merupakan jenis tanaman palawija

lainnya, sebahagian mata pencaharian pokok mereka sehingga tidak heran kalau petani

dalam kehidupan kesehariannya hanyalah di daerah persawahan dan perkebunan.

Dengan adanya potensi ekonomi yang sangat menunjang bagi kebutuhan petani, maka

petani tersebut harus mempunyai tekad untuk lebih maju. Hal ini sejalan dengan

perkembangan yang terjadi di Desa Wombo Kalonggo, akan tetapi lingkungan alam

sangatlah penting sebagai fakor penunjang kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan

demikian daerah ini tetapi diandalkan sebagai lumbung tanaman padi dan tanaman lainnya

yang merupakan tulang punggung perekonomi.

5. Adat istiadat

Pada dasarnya adat istiadat berasal dari kepercayaan yang dilakukan secara terulang

sehingga menjadi satu tradisi . hal tersebut bakal melahirkan kebudayaan, sehingga dapat

disimpulkan bahwa budaya adalah refleksi dari perilaku yang tercermin dari pola tingkah

laku masyarakat dari kebiasaan budaya yang ada akan menimbulkan kepercayaan yang

sifatnya ritual dalam bentuk penyembahan atau pemujaan.

Tradisi berupa upacara adat yang tetap dilakukan hingga saat ini adalah sifatnya ritual

dan mewarnai kehidupan etnis di Desa Wombo Kalonggo Kecamatan Tanantovea adalah
berupa upacara pasca kelahiran, kematian, dan perkawinan yang dilakukan dalam bentuk

perjamuan. Desa Wombo Kalonggo Kecamatan Tanantovea masih memiliki beberapa

masalah-masalah di dalam aspek budaya tersebut diantaranya masih kurangnya penyediaan

pakaian adat tradisional.

B. Pengetahuan Etnis Kaili tentang Upacara Nosemparaka Manu di Desa Wombo Kalonggo

Etnis Kaili yang bermukim di Desa Wombo Kalonggo Kecamatan Tanantovea sebagian

besar meyakini akan keberadaan makhluk halus atau jin, yang menurut pengetahuan mereka

merupakan bagian dalam kehidupan manusia sehari-hari. Etnis Kaili merupakan salah satu

etnis yang terbesar yang bermukim di kota Palu. hanya saja dalam pembahasan ini saya

lebih berfokus akan komunitas etnis Kaili yang berada di Desa Wombo Kalonggo

Kecamatan Tanantovea. Saya menganggap bahwa penentuan lokasi disebabkan oleh bebrapa

faktor yaitu kebudayaan masyarakat etnis Kaili di Desa Wombo Kalonggo melakukan

upacara-upacara ritual salah satu di antaranya ialah upacara “Nosemparaka Manu”. Upacara

adat “Nosemparaka Manu” merupakan salah satu upacara tradisional Suku Kaili, upacara ini

dilakukan pada ibu hamil yang usida kandungannya tujuh bulan.

Adapun maksud dan tujuan dari upacara ritual “Nosemparaka Manu” adalah agar

kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat tanpa cacat jasmani dan rohani, serta

keselamatan ibu yang akan melahirkan, agar ibu terhindar dari rate. Sejarah upacara ritual

“Nosemparaka Maju” sendiri sudah ada sejak dahulu dari nenek moyang terdahulu. Dan

dalam pelaksanaannya melibatkan kedua belah pihak keluarga laki-laki dan keluarga dari

pihak perempuan dan seorang dukun yang memandu upacara “Nosemparaka Manu”
tersebut. Berikut adalah keterangan yang berhasil saya dapatkan dari (Ketua adat Desa

Wombo Kalonggo) bapak Umli (80 tahun) beliau mengetahui:

“Dari nggaulunapa kami ri vombo hei novia ada togurana nggoulu, apa togurana

nggoulu nepatuduki berifa cara-carana novia ada, evamo ada Nosemparaka Manu hei

contona”

“Kami warba wombo ini sudah sejak dulu membuat upacara adat, dari sejak nenek

moyang kami dulu. Sebab orang tua dulu mengajarkan kami dan memberikan

pemahaman tentang cara membuat adat, seperti upacara Nosemparaka Manu ini

contona” (Hasil wawancara tanggal 20 April 2016)

Pernyataan di atas, di dukung oleh ibu bunga (70 tahun) sebagai berikut:

“kami ri vombo nasaemo novia ada, dakopa tagurana nggaulu nariamo ada nipovia hei,

apa panto mami tagurana nggolu ane rai rapoviaka ada Nasemparaka Monu

tompobovotai, ngana nesuvu rai naseha, sampe pangane hei kami da nomparcaya novia

ada hei”

Artinya:

Kami warga masyarakat desa wombo ini sudah lama melaksanakan upacara adat, sejak

orang tua kami dulu (nenek moyang), sehingga kami melaksanakan acara upacara

tersebut sampai saat ini kami seluruh masyarakat wombo melaksanakan upacara

tersebut karna kami yakin dan percaya akan tantangan jika tidak dilaksanakan upacara

tersebut maka upacara tujuh bulan pada ibu hamil bayi yang akan dilahirkan tidak akan

sehat. (Hasil wawancara tanggal 21 April 2016).


Dari penjelasan kedua informan di atas bahwa upacara Nosemparaka Manu merupakan

upacara yang harus dilaksanakan, karena upacara tersebut sudah diajarkan sama orang tua

terdahulu, sehingga merupakan tradisi yang tidak boleh ditinggalkan karena sudah

dilaksanakan secara turun temurun apabila tidak di laksanakan akan berakibat dengan

kondisi kesehatan bayi yang lahir nanti.

Pengetahuan masyarakat yang ada di Desa Wombo Kalonggo sangat mempercayai

pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu. Sesuai pernyataan ibu Rena (40 tahun) sebagai

berikut:

“ane novia upacara Noseparaka Manu hei aga nilaksanaka ante ana partama, raimo

nilaksanaka ante anan kadua antau ana katiga, sebab manurut kami ane anak kadua

raimo rapofiaka ada Nosemparaka Manu apa anak partama nowakili rumai toaina”.

Artinya :

“bahwa pelaksanaan upacara Nosemparaka Mani tersebut hanya di laksanakan pada

anak pertama tidak lagi dilaksanakan pada anak kedua dan seterusnya, karena menurut

kami bagi anak kedua tidak perlu lagi dilakukan upacara Nosumparaka Manu, karna

anak pertama sudah mewakili dari anak berikutnya”. (hasil wawancara tanggal 22 Mei

2016)

Hal yang sama di ungkapkan oleh ibu Sunartin (48 tahun) bahwa :

“Upacara Nosemparaka Manu hei nialksanakan ante anak partama aga, rifa usia

kandungan papitu mbulana, apa napenting bagi kami, ane nombovotai harus rapofiaka

ada hei”.
Artinya :

“Upacara Nosemparaka Manu ini menurut kami disini, hanya dilaksanakan pada anak

pertama saja, di mana kandungan berusia tujuh bulan, upacara ini sangat penting bagi

kami di laksanakan untuk ibu hamil”. (hasil wawancar tanggal 23 Mei 2016)

Dari penjelasan kedua informan di atas dapat disimpulakan bahwa upacara Nosemparaka

Manu sangat penting dilaksanakan pada ibu yang hamil anak pertama, dan tidak lagi

dilaksanakan pada anak kedua karena anak pertama sudah mewakili anak berikutnya. Dan

sangat penting diadakan upacara Nosemparaka Manu pada kandungan ibu hamil yang

berusia tujuh bulan.

Menurut informan ibu Munawarni (45 tahun), beliau mengatakan bahwa:

“ane pantoo mami upacara Nosemparaka Manu napenting ntoto rapovia ri Desa mami

hei, apa nadea pengaruhna ante topombovotai, apa pantoo totua nggolu ane upacara hei

rai ralaksanaka eh ngana mesuvunjau rai nasalama sampe hie”

Artinya :

“menurut saya, upacara Nosemparaka Manu sangatlah penting dilakukan di Desa kami,

karena upacara tersebut sangatlah berpengaruhnya terhadap ibu hamil. Menurut orang

tua kami dulu, kalau upacara tersebut tidak dilaksanakan maka saat ibu melahirkan

anaknya akan cacat atau meninggal. Maka dari itu upacara tersebut dari dulu sampai

sekarang tetap dilaksanakan”. (hasil wawancara tanggal 24 Mei 2016)

Lanjut dengan ibu Martafian (46 tahun) beliau mengatakan bahwa :


“najadi pangalamaku, naperna rai nilaksanakanku nitoka novia ada Nosemparaka Manu

hei ante anak partama, apa nesapuka aku anu novia-via vei, pasi-pasi noana aku

pangane, jamo umuru tolimbula nompamulamo rai naseha ngana pangane, nikeniku

poromo ri rumah saki rairia perubahanna, naputus asamo aku bara berifanjau pangane

nikeniku ante sando nipekitul, tano rai niposeparaka manu ngana hei pangane”

Artinya :

“jadi pengalaman saya, pernah tidak melaksanakan upacara Nosemparaka Manu pada

anak pertama, karena awalnya saya tidak percaya dengan hal tersebut. Setelah anak

saya berusia 3 bulan anak saya mulai kurang sehat (sakit), berkali-kali saya

membawanya ke rumah sakit akan tetapi tidak ada perubahan. Lalu saya putus asa dan

mencoba ke dukun untuk memeriksakan anak saya dan hasilnya dukun tersebut

mengatakan bahwa anak saya tidak dilaksanakan upacara Nosemparaka Manu”. (hasil

wawancara tanggal 25 Mei 2016)

Berdasarkan hasil dari kedua informan di atas adalah bahwa upacara Nosemparaka Manu

ini sangat penting dilakukan bagi ibu hamil sebab kalau tidak dilaksanakan anak yang lahir

akan cacat atau meninggal. Sebab kepercayaan melakukan upacara Nosemparaka Manu

tersebut sudah ada dari zaman nenek moyang dan selali dilakukan secara turun temurun.

Menurut informan Risnawati (37 tahun) :

“kami ri ane nolaksanaka ada hei nianggamo kabiasa mami rii, apa nohargai togurana

nggaulu, apa sira netokaka kana rapovia ada hei”


Artinya :

“bahwa kami disini melaksanakan upacara ini sudah dianggap kebiasaan masyarakat

setempat, dan untuk menghormati para leluhur yang telah menitipkan bahwa upacara

nosemparaka manu senantiasa dilaksanakan”. (hasil wawancara tanggal 27 Mei 2016)

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa upacara Nosemparaka Manu dalam kehidupan

masyarakat Desa Wombo Kalonggo sudah ada bahkan telah menjadi kegiatan yang

dilaksanakan pada waktu tertentu di lingkungan masyarakat. Dalam kehidupannya

kepercayaan inilah yang mendorong dilaksanakannya upacara religi tidak lain untuk

menghormati mereka hidup di alam lain dan di yakini mereka dapat menyakiti siapapun bila

kita tidak menghormatinya.

Berkaitan dengan hal di atas, selanjutnya ibu Nasaria (50 tahun) mengatakan :

“pantomami ri setiap ada Nosemparaka Manu hei najadimo suatu pengalama mami rii,

apa kami to Kaili rai hei nipertahanka mpu mami nitoka ada hei”

Artinya :

“bagi kami ri setiap upacara Nosemparaka Manu ini sudah jadi suatu pengalaman kami

disini, kami sebagai orang Kaili ini sangat mempertahankan upacara ini”

Selanjutnya imanasia (65 tahun) :

“ane menurut aku tentang Nosemparaka Manu hei harus ra laksanakan, apa ada rumai

ante togurana nggolu dan mosyukuruja kita ante pue, apa melalui ada hei kami selalu ra

pertahankan apa jamo hei ada na bertahan nipovia masyarakat ri”


Artinya :

“pemahaman saya tenatang upacara Nosemparaka Manu bagi kami disini tidak lain

adalah untuk melaksanakan tradisi dari nenek moyang kami sekaligus mengungkapkan

rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. selain itu melalui upacara ini kami terus

akan mempertahankan dan melestarikan budaya ini karena merupakan salah satu adat

yang masih bertahan sampe sekarang”. (hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016)

Dari penjelasan dua orang informan di atas dapat disimpulkan bahwa, upacara

Nosemparaka Manu dalam kehidupan masyarakat Desa Wombo Kalonggo bahwa

pelaksanakan upacara ini dapat di lihat dari segi religi, di mana masyarakat sadar akan adanya

suatu alam dunia yang tampak yang ada di luar panca indranya dan di luar bebas akalnya.

Yang dimaksud dengan dunia lain atau alam dunia gaib, atau supranatural. Sistem

kepercayaan dalam suatu religi itu mengandung orang akan wujudnya dunia gaib ialah

tentang makhluk gaib, makhluk halus, roh-roh leluhur, dewa-dewa, dan kekuatan sakti tentang

apakah yang terjadi dengan manusia sesudah mati, dan sering kali juga terjadi wujud bumi

dan alam semesta.

Demikian ungkapan ibu Indotiga (77 tahun) :

“Novia ada nosemparaka manu hei puumpuuna nombabekaka panoto ante todea ri

vombo hei, etumohe ante panoto nulara tempona hei nadeamo tau nesapuka raimo ria

neparsaya ada ntogurana nggaulu fanapa nadea kajadia, jua nasonda rilingkunga hie

rumaimonjue sampe ada hei rapovia, rumai ante togurana nggolu kana ralaksana ante

maparcaya naria nitoka tau salapina”.

Artinya :
“upacara Nosemparaka Manu ini sangat memberikan pemahaman terhadap seluruh

masyarakat yang ada di Desa Wombo Kalonggo karena dengan kesadaran masyarakat

saat ini sekarang sudah banyak mengabaikan tentang kepercayaan – kepercayaan

leluhur sehingga berbagai macam timbul peristiwa penyakit, yang muncul di lingkungan

kita. Hal itulah yang mendorong kami semua untuk melaksanakan tradii-tradisi dari

leluhur dan nenek moyang serta meyakini adanya alam dunia lain”. (hasil wawancara

tanggal 29 Mei 2016)

Dari ungkapan informan di atas dapat di simpulkan bahwa upacara religi memang

merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat. Sistem upacara dalam suatu religi

berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan

dan kepercayaannya terhadap leluhurnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan

Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya

C. Proses Pelaksanaan Upacara Nosemparaka Manu Pada Etnis Kaili di Desa Wombo Kalonggo

Dalam kegiatan upacaara sakral ini, bentuk proses upacara Nosemparaka Manu yang

harus dilaksanakan dalam upacara tradisional tersebut tergantung dari hasil wawancara

(nolibu) dari kedua belah pihak keluarga. Karena upacara Nosemparaka Manutersebut

menunjukan apakah upacara tersebut dilaksanakan secara besar-besaran atau bentuk

sederhana saja. Melaksanakan atau menyelenggaralkan upacara Nosemparaka Manu

memerlukan suatu tahap pelaksanaannya, mulai dari perencanaan sampai dengan

pelaksanaannya seperti yang dijelaskan di bawah ini tentang upacara Nosemparaka Manu

memiliki beberapa proses tahapan yaitu

1. Nolibu (Musyawarah)
Nolibu (musyawarah) adalah suatu rangkaian upacara Nosemparaka Manu yang

dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan

upacara. Nolibu berarti mengadakan pertemuan atau musyawarah antara kedua

keluarga belah pihak dari laki-laki dan perempuan.

Seperti penjelasan dari informan Ibu Martafian (46 tahun) mengatakan bahwa :

“Ane menurut aku mengenai ada Nosemparaka Manu hei, kami nosiromu ulu rumai

keluarga langgai ante manggubine urusa novia ada Nosemparaka Manu hei, novia

koputusa rumai nirancakana sampe pompovia upacara hei ralaksanaka, apa ane rai

ria sintuvu ntodea movia ada hei rai menjadi ada hei ralaksanaka”. (hasil wawancara

tanggal 25 Mei 2016)

Dari hasil wawancara yang di ungkapkan informan bahwa penyelenggara upacara

Nosemparaka Manu,terlebih dahulu keluarga mengadakan pertemuan antara kedua

belah pihak untuk membahas hal-hal pelaksanaan mengenai upacaran Nosemparaka

Manu agar upacara berjalan dengan lancar.

Dalam upacara ini dari kedua belah pihak mempersiapkan bermacam-macam

bahan-bahan yang akan dijadikan sebagai bahan sesajen dan ayam dua ekor masing-

masing sumbang dari orang tua mereka untuk upacara Nosemparaka Manu.

Seperti yang diungkapkan oleh ibu Sunartin (48 tahun) yaitu :

“Pamula novia ada Nosemparaka Manu hei rumai ante keluarga langgai mompaka

sadiaka manu langgaina rakenika risapo manggubine, pade kaluarga ante

manggubine mompakasadiakaja manu rumandona. Ane nadasiaporomo pade loku

ante togurana napande noreke vula ri langi meipia madoli eo”


Artinya :

“Awalnya pelaksanaannya upacara “Nosemparaka Manu” dari pihak laki-laki yang

membawa seekor Ayam Jantan untuk dibawa ke rumah pihak perempuan. Dan pihak

keluarga perempaun menyiapkan juga seekor Ayam Betina. Setelah sudah siap semua,

barulah pihak perempuan atau pihak dari laki-laki pergi menemui orang tua adat

yang bisa menghitung bulan di langit untuk menentukan kapan hari bagus

pelaksanaan upacara tersebut”. (hasil wawancara tanggal 23 Mei 2016)

Dari penyataan di atas bahwa pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu dari

kedua belah pihak menyiapkan satu ekor ayam, yaitu masing-masing ayam betina dan

ayam jantan satu ekor, kemudian barulah salah satu keluarga mendatangi orang tua

yang bisa menghitung hari yang baik untuk pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu.

2. Menentukan waktu pelaksanaan upacara

Adapun hal-hal yang dibicarakan dalam pertemuan itu adalah menyangkut

pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu.

Berikut ini penjelasan dari informan dari salah satu dukun (sando) Imanasia (65

tahun) :

“ane kami ri novia ada njau niutamaka ulu nikereke eo nadoli, apa ane raija nadoli

eo ni paviakan ada hei raija naseha kita nanggenika jua, etumo kana lokumo ulu

ante togurana nuada mengguneka meipia eo madoli movie ada hei”.

Artinya :

“kalau kami di sini sebelum di mulainya pelaksanaan adat upacara, kami pergi dulu

ke rumahnya ketua adat untuk menanyakan kapan hari yang bagus untuk
dilaksanakan upacara adat tersebut. Apa kalau tidak hari yang baik untuk

pelaksanaan upacara adat akan mengakibatkan kurang sehat kepada orang yang

melakukan upacar tersebut”. (hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016)

Seperti yang dijelaskan dari ketua adat Umli (80 tahun) bahwa :

“bagi kami rivombo hei setiap novia ada, nipentingka mami ulu nekireke eo atau vula

ri langi, cara noreke eo atau vula ri langi rumai vula papitu, sampulu,

sampulutolunggani, sampulusasio, sruampulu, ruampulualima ngganina eo atau vula

madoli, jamo pompelisi rumai keluarga manggubine atau langgai fana bagi nusira

eo atau vula rapokono untuk movia ada”

Artinya :

“bahwa setiap pelaksanaan upacara yang di adakan di Desa Wombo Kalonggo ini

sangat penting dengan penetapan waktu yang sudah kami tetapkan dengan cara

menghitung hari atau bulan di langit yang di anggap sebagai hari yang baik dan

sudah di sepakati oleh kedua belah pihak orang tua suami istri maupun dukun,

misalnya hari atau bulan di langit yang baik itu bulan ke 7, 10, 13, 19, 20, 25 kali

dilangit”. (hasil wawancara 20 Juni 2016)

Dari apa yang di ungkapkan informan yang di atas bahwa menentukan waktu

dalam upacara pelaksanaan Nosemparaka Manu, sebelumnya menanyakan sama

orang tua adany kapan hari yang bagus untuk dilaksanakan upacara tersebut, karena

bagi mereka sangat penting untuk penetapan waktu, adapun hari atau bulan yang

bagus yaitu bulan ketujuh kali dilangit, kesepuluh, tiga belas, sembilan belas, dua

puluh, dan dua puluh lima kali di langit.


Berikut pula penuturan Ibu bunga (70 tahun) mengenai waktu pelaksanaan

upacara Nosemparaka Manu.

“upacara Nosemparaka Manu hei biasana nipovia bunondona rumai jam 8.00 sampe

jam 11.00 tampa novia ada hei ri sapo keluarga manggubine tumai hasil posintomu

keluarga”.

Artinya :

“upacara Nosemparaka Manu biasanya dilaksanakan pada pagi hari di mulai pukul

8.00 hingga jam 11.00 sementara tempat pelaksanaan di rumah pihak keluarga

perempuan sesuai dengan hasi musyawarah”. (hasil wawancara tanggal 21 Mei

2016)

Pernyataan di atas didukung oleh Ibu Munawarni (45 tahun) :

“ane aku upacara Nosemparaka Manu hei nakuya nilaksanakan bunondona ala

maseha ngana nesuvu dan juga namudah rezeki untuk keluarga dan bayi”.

Artinya :

“menurut saya pelaksanaan upacara Noseparaka Manu dilaksanakan pada pagi hari

agar memberikan kesehatan pada bayi dan juga memudahkan rejeki untuk keluarga

dan bayi yang akan lahir nanti”. (hasil wawancara tanggal 24 Juni 2016)

Dari apa yag di ungkapkan kedua informan di atas bahwa upacara Nosemparaka

Manu di laksanakan pada pagi hari menurut kepercayaan Etnis Kaili pelaksanaan

Nosemparaka Manu pada waktu pagi hari tersebut agar memudahkan rezeki bagi bayi

yang akan lahir nanti dan juga kesehatan bagi bayi dan ibu yang akan melahirkan.

3. Tempat penyelenggara upacara


Upacara diselenggarakan di rumah dan tempat-tempat tertentu yang dianggap

berkaitan dengan kekuatan megis religius, atau tempat-tempat yang dianggap di

kuasai oleh kekuatan roh halus dan di huni oleh rate di dalam dan di luar rumah. Di

dalam rumah upacara ini dilaksanakan diberanda depan, yaitu di depan pintu

(tambale), sedangkan kalau di luar rumah di siapkan tempat tertentu sebagai tempat

sesajian sesuai kondisi lingkungan desa bersangkutan.

Menurut informan Ibu Rinawati (37 tahun) beliau mengatakan bahwa :

“Ane menurut kami rivombo Kalonggo hei, ane novia ada Nosemparaka Manu

nipovia laranjapomo, raimo nipovia sambalikuna atau riva tampa nopue”

Artinya :

“kalau menurut saya di Wombo Kalonggo ini sering di adakan upacara

Nosemparaka Manu itu dilaksanakan dalam rumah saja, tidak perlu di adakan di

luar rumah atau tempat-tempat yang dianggap keramat”. (hasil wawancar tanggal

27 Mei 2016)

Sedangkan menurut penuturan Ibu Nasaria (50 tahun) bahwa :

“kabiasa momi ane novia ada Nosemparaka Manu hei cukup nipovia ri laranjapomo

aga ane rai riruang tamu atau ringayo nubobo”.

Artinya :

“kebiasaan kami disini paling sering mengadakan upacara Nosemparaka Manu ini

hanya diadakan dalam rumah diruang tamu yang berhadapan dengan pintu depan”.

(hasil wawancara tanggal 28 Mei 2016)

Dari penuturan dua orang informan di atas bahwa diadakan upacara Nosemparaka

Manu dilaksanakan dalam rumah atau di ruangan tamu yang berhadapan dengan pintu
depan, tidak perlu di luar rumah tempat yang dianggap keramat. Penurutan di atas

didukung oleh ibu Indotiga (77 tahun)

“panto togurana nggaulu etuka novia ada Nosemparaka Manu hei ringayo nubobo

ala malaeka atau rate rai mesaisai moje langsung ritampa novia ada njau sira

nangganasi pokumoniana niganeka bagia nusira ala rai meganggu makumpuna

nombovotai ala raija masusa moana”.

Artinya :

“menurut cerita orang tua dulu kenapa upacara Nosemparaka Manu ini harus

dilaksanakan depan pintu, ceritanya agar supaya makhluk halus/rate yang datang ke

tempat acara tersebut tidak lagi singga-singga langsung ke tempat upacara tersebut

untuk melihat sesajian yang sudah dibaca untuk mereka agar tidak mengganggu

cucunya yang sedang hamil dan tidak sulit untuk melahirkan”.

Dalam pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita (sando) yang

dapat berkomunikasi dengan amkhluk halus yang telah berusia lanjut. Tidak kurang

peranannya ialah orang tua kedua belah pihak yang menyediakan korba upacara

seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan dan ayam bagi keluarga biasa.

Di Desa Wombo Kalonggo masyarakatnya hanya menggunakan ayam saja sebab

mereka berasal dari keluarha biasa dan merekan beranggapan jika menggunakan

kambing atau domba itu dilaksanakan pada anak yang berusia tujuh tahun atau

disebut (Nolama). Seperti penuturan di bawah ini oleh ibu Rena (40 tahun) salah satu

informasi bahwa:
“ane nofia ada papitumbulana kami hei nompake manu aga ulu, jamo mofia ada

nolama pade nomapke Kambi atau Bimba, apa ane nolama mo acarana ni pofia paka

bosemo, apa negaga poromo ante keluarga nggafao masonda”.

Artinya :

“Kalau tujuah bulanan masih menggunakan ayam, apabila anak itu sudah umur

tujuh tahun baru kita adakan pesta besar-besaran atau disebut (nolama). Kalau

nolama sudah kambing atau domba yang dipakai upacara apa mengundang warga

dan saudara-saudara yang jauh”. (hasil wawancara tanggal 22 Juni 2014)

Dari penjelasan di atas bahwa di adakannya upacara Nosemparaka Manu hanya

diadakan pesta kecil-kecilan, kecuali sudah berumur anak tujuh tahun baru

dilaksanakan lagi upacara besar-besaran yang disebut upacara Nolama di mana

upacara ini sudah mengundang keluarga besar dan menyembelih kambing atau domba

4. Pihak – pihak yang terlibat dalam upacara Nosemparaka Manu

Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini ialah para keluarga dari kedua belah

pihak, terutama ibu-ibu yang sudah berusia lanjut. Selain itu juga yang turut hadir

mengikuti jalannya upacara tersebut ialah sanak keluarga dan tetangga yang bekerja

mensukseskan pesta adat tersebut, khususnya di kalangan keluarga bangsawan. Sebab

di sini ada perta makan dengan menyembelik dua ekor kambing sebagai sumbangan

dari kedua orang tua suami istri. Bagi pihak suami wajim menyumbang

kambing/domba jantan, sedangkan keluarga istri wajib menyumbang kambing/domba

betina. Di kalangan keluarga yang biasa pelaksanaan upacara sangat sederhana, dalam

upacara ini mereka hanya menyembelih dua ekor ayam masing-masing satu ekor dari

kedua belah pihak:


Menurut informan munawarni (45 tahun) beliau mengatakan :

“kalau kami disini mengadakan upacara Nosemparaka Mayu orang-orang yang

terlibat dalam upacara ini yang terutama adalah dukun/sando kemudian pihak

keluarga dari laki-laki dan pihak perempuan, yaitu ibu-ibu yang sudah pernah

mengalami kehamilan/melahirkan dan wanita yang sudah lanjut serta tetangga untuk

mengikuti proses Nosemparaka Mana tersebut”. (hasil wawancara tanggal 24 Mei

2014)

Berdasarkan informan di atas bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini

ialah para keluarga dari kedua belah pihak, terutama ibu-ibu yang sudah berusia

lanjut. Selain itu juga yang turut hadir untuk mengikuti jalannya upacara tersebut

ialah sanak keluarga dan tetangga yang akan mensukseskan pesta upacara tersebut.

5. Persiapan dan perlengkapan upacara

Nosemparaka Manu bgai kelurga bangsawan umumnya mengadakan undangkan

pesta, makan dari kelurga kedua belah pihak dan para tetangga, bagi keluarga biasa,

upacaranya sangat sederhana masing-masing seekor ayam jantan dari pihak laki-laki

dan ayam betina sebagai sumbangan piham istri, di samping persiapan-persiapan

hewan tersebutjuga dipersiapkan perlengkapan upacara puncak, yaitu mantale njaka

(upacara sesajian) dari sejumlah bahan makanan dan bahan-bahan perlengkapan

lainnya.

Bahan-bahan yang dipersiapkan disini ialah Ayam dua ekor, pisang rebus (punti

jaka), kaloku nikou (kelapa parut), marisa nete (rica kecil), udang (lamale), nasi

masak (konisa ngongo), ketupat (katupa), mayang pinang (banja pangana), uang

(doi), dan darah ayam (ra numamu) yang di sembelih, benda-benda adat lainnya ialah
sabala mesa (satu lembar sarung tenun zaman dulu), samata doke (satu mata

tombak), samata tinggora (satu mata tombak yang berakit), talalu tubu (tiga piring

adat), sangu dula (satu dulang tempat penyimpanan barang-barang tersebut).

Dalam perlengkapan dan bahan-bahan upacara Nosemparaka Manu ini bagi

masyarakat Desa Wombo Kalonggo sangatlah penting untuk dipersiapkan pada

pelaksanaannya karena apa bila tisak ada nanti salah satu perlengkapan pada upacara

tersebut ternyata akan mengakibatkan kesehatan bayi yang akan lahir nanti

banyaknya penyakit yang timbul pada bayi tersebut. Berikut adalah keterangan yang

berhasil penulis dapatkan dari informan yaitu Ibu Bunga (70 tahun) yaitu:

“menurut aku ane rai ria salah satu perlengkapan untuk upacara Nosemparaka

Manu hei, mamala raindaka anu sampe suvu ulu untuk rapake sementara tapi

istilahna nibayarita ante sampesuvu pangane rai rainda biangi”.

Artinya :

“menurut saya kalau tidak ada salah satu perlengkapan untuk upacara Nosemparaka

Manu ini, bisa di pinjamkan punyanya keluarga dulu untuk di pake sementara

dengan istilah kita membayar dengan keluarga itu dulu tidak bisa dipinjam to saja”

Pertanyaan di atas juga didukung oleh ibu Munawarni (45 tahun) yaitu :

“ane salah satu perlengkapan eva suraya ada njau mamala ulu kita moinda sampe

suvu ulu atau nolovali sangana ulu, maksudna suraya nuada hei raibayarita ulu

nikenika ose nicampuru kuni tolulite deana, arau namalaja nikenika doi sampulu

ante roko, apa ane rai rianjau pangane nariaja pengaruhna ante bayi nesuvu”.

Artinya :
“kalau salah satu perlengkapan dalam upacara tersebut tidak ada misalkan piring

adat, maka kita bisa meminjam orang punya dulu dengan cara membayar atau

menggantikan dengan beras yang dicampur dengan kunyit bisa juga uang sepuluh

ribu dan roko satu bungkus, apa kalau tidak ada itu lagi akan mengakibatkan pada

bayi yang akan dilahirkan”. (hasil wawancara tangga; 24 Mei 2016)

Dari hasil kedua informan yang di atas mengatakan perlengkapan yang dipakai

untuk pelaksanaan upacara ternyata harus lengkap dan apa bila tidak ada salah satu

maka bisa dipinjamkan dulu pada keluarga yang ada misalnya piring adat dengan cara

meminjam digantikan dengan uang sebanyak sebanyak sepuluh ribu dan roko dan

juga digantikan dengan beras sebanyak tiga liter yang sudah diberi kunyit, dari

penjelasan tersebut maka pentingnya pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu pada

masyarakat Desa Wombo Kalonggo

Adapun pantangan dalam pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu apabila tidak

dilaksanakan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan pada bayi yang akan lahir

nanti sehingga dalam upacara ini harus dilaksanakan menurut keyakinan dan

kepercayaan pada masyarakat yang ada di Desa Wombo kalonggi. Seperti yang

diungkapkan oleh ibu Martafian (46 tahun)

”ane menurut aku, pantangan novia upacara Nosemparaka Manu hei naria, apa ane rai

ralaksanakan biasa pas noana nasusah nesuvu ngana dan juga biasana bayi nesuvu rai

naseha nadea jua netaka”.

Artinya :

“setahu saya, pantangan pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu itu ada, apabila

dilaksanakan maka ibu yang akan melahirkan nanti akan susah pada waktu melahirkan
dan juga biasanya bayi yang lahir itu tidak sehat banyak penyakit-penyakit yang timbul

pada saat ia lahir”. (hasil wawancara tanggal 25 Mei 2016)

Pernyataan di atas didudkung oleh ibu Sunartin (48 tahun) :

“Ane rai ralaksanakan upacara Nosemparaka Manu hek nadea jua netaka ante ngana

nesuvu, naria ngana dako nesuvu nageri-geri, nabongo, nakata-kata, nakanggoro-nggoro

pokona rai naseha ngana nesuvu”

Artinya :

“kalau tidak dilaksanakan upacara Nosemparaka Manu ini banyak penyakit yang

terdapt pada bayi yang akan lahir nanti, ada bayi baru lahir banyak tai matanya,

tuli/keluar cabiu, gatal-gatal, dan juga bayi yang lahir mengkerut-kerut tidak sehat

pas lahir nanti”. (hasil wawancara tanggal 23 Mei 2016)

Dari hasil penyataan kedua informan yang di atas tersebut bahwa pantangan

dalam pelaksanaan upacara kehamilan itu sangat penting dilaksanakan karena apabila

tidak dilaksanakan akan mengkibatkan timbulnya penyakit yang tidak diinginkan oleh

calon ibu atau bayi yang lahir akan mengalami kecacatan.

6. Jalannya upacara

Dalam upacara Nosemparaka Manu bagi keluarga pihak perempuan pertama ialah

mengadakan undangan (pegaga) suatu undangan dengan jalan mengundang langsung

dari rumah ke rumah sebelum upacara diadakan. Bila telah tiba hari yang ditentukan,

uandang-undangan di jemput kembali (neala) dari rumah ke rumah. Kegiatan ini

disebut peonggetaka (suatu penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang

tua adat.
Pada hari pertama diadakanlah penyembelihan ayam yang di sembelih tersebut

kemudina dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya

habis terbakar. Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya di ambil lebih dahulu

yang biasa disebut Nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan dibakar

sebagai bahan sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian). Selesai dipotong-

potong, paha kanan dari ayam tersebut digantung di depan pintu untuk bagian dukun.

Disamping memperoses daging-daging untuk dimasak, diadakanlah upacara

nantalenjaka (upacara sesajian) di depan pintu rumah sebelum para undangan hadir.

Bahwa pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu ini dipimpin oleh dukun wanita

yang dilakukan dengan cara mendatangkan roh halus untuk bisa berkomunikasi

langsung dengan dukun kemudian roh itu akan masuk ke badan dukun tersebut untuk

memulai pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu, adapun cara memanggil dukun

seperti yang di jelaskan oleh salah satu dukun Imanadia (65 tahun) yaitu :

“ane aku nompokio tau salapina nesua rikoroku, carana nintutuiku lenjeku apa ane

rai ratutui sampesuvu mangganasi aku beleka menggea, pas nariamo anu rikoroku

nesua pade nibukaku salenda ri lenjeku pade njau nompambulamo nogena kaka

topombovotai”.

Artinya :

“kalau saya memanggil roh halus masuk ke badanku, saya menutup mukaku, apa

kalau tidak saya tutup mukaku siapa tau keluarga takut nanti pada saat saya

memanggil roh haluss, setelah selesai itu barulah saya buka selendang untuk
memulai membaca-baca mantra untuk ibu hamil”. (hasil wawancara tanggal 26 Mei

2016)

Ternyata penjelasan dari informan di atas jelas, kenapa menutup muka pada saat

memanggil roh halus, agar supaya tamu yang menghadiri upacara Nosemparaka

Manu tidak takut untuk melihat dukun tersebut, karena biasanya dukun yang manggil

roh halus biasa mukanya berubah jadi jelek maka dari itu dukun tersebut menutup

muka.

Selutuh perlengkapan sesajian yang disebutkan di atas telah siap tersaji, maka

upacara dimulai dan para tamu undangan dari pihak laki-laki maupun perempuan dan

ibu-ibu yang sudah lanjut usia duduk dan menyaksikan pelaksanaan sebagai peserta

upacara ini tersebut, dukun mulai nogane (mengucapkan mantra/sastra suci) dan

duduk berhadapan dengan ibu hamil yang di upacarakan. Isi mantra antara lain

meminta keselamatan/perlindungan kepada rate; arwah nenek moyang yang sudah

meninggal disebut rate njae dan yang baru meninggal disebut rate vou. Maksudnya

agar ibu tidak mengalami kesukaran pada waktu melahirkan.

Adapun mantra-mantra yang diucapkan oleh dukun Imanasia (65 tahun) yaitu :

Hei poro-poromo nuada panggeni rumai ante langgai


(nama bapak calon bayi)
Dokena, tinggorana, messana, suraya adana,
Modika ue vongina satubu ri palaka
Rajunusika yanu (nama ibu calon bayi)
Hei poro-poromo panggeni rumai ante langgai
Magana-gana panggenina
Sasio mbulana ante sampulu eona pade raotena
Ala magasi fuku anana, magasi fuku papana, magasi fuku inona,
Mandate umuruna,
Bara yudi, bara yojo
Artinya:
Ini semua sudah adat bawaan dari pihak laki-laki
Tombak, parang, messa, piring adat
Menyimpan air wangi semangkuk di (palaka)
Di mandikan pada ibu hamil
Ini semua sudah bawaan dari pihak laki-laki
Sudah cukup bawaannya
Sembilan bulan sepuluh hari baru di lahirkan
Supaya sehat tubuh calon bayo, serta bapak dan ibunya
Panjang umurnua
Bayi perempuan atau bayi laki-laki.
(Hasil wawancara tanggal 26 juni 2014)
Di samping itu ada juga mantra-mantra yang di ucapkan salah satu dukun Indotiga

(77 tahun) yaitu :

Ininabu sampa raja iwonena (nama orang tua dulu)


Tondu mompuso iyoyonubara (nama orang tua dulu)
Toriluvu, toribada, torupakoro (makhluk har\lus dari tempat-tempat keramat)
Kamai poro-poromo (kemari semua sudah)
Seimo bagiamiu (ini sudah bagianmu)
Raimo nalea sangaya, hei poro-poromo (tidak ada lagi kurang satupun, ini semua
sudah bagianmu)
(Hasil wawancara tanggal 30 April 2016)
Di samping membaca mantera tersebut dukun mengipas-ngipaskan daun kepala

(pucuk kelapa muda) kepada ibu hamil dengan isyarat melemparkan keluar jendela

atau pintu. Maksudnya agar penyakit yang mengganggu dari sebab pengaruh rate

tersebut dapat hilang atau keluar. Ada pula adat yang menggunakan banja pangana

(mayang pinang) yang disapukan di atas kepala ibu.

Proses akhir dari upacara “Nosemparaka Manu” yaitu mengadakan upacara

Nolengga tai yang dianggap masyarakat Kaili pada umumnya dilaksanakan di

kalangan keluarga bangsawan. Nolengga Tai (menggoyang-goyangkan perut) ini

dilaksanakan oleh seorang dukun yang ahli. Cara pelaksananya ialah ibu hamil tadi

tidur terlentang di atas tujuh lapis sarung/kain, lalu dukun mengangkat kain tersebut

satu per satu bagian belakangnya, sehingga perut terangkat dan digoyangkan selama

tujuh kali. Maksudnya ialah agar posisi anak dalam kandungan menjadi baik, dan ibu

tidak merasakan sakit pada bagian belakangnya. Di kalangan keluarga biasa hal ini

kurang di laksanakan.

Selesai acara tersebut dukun dan peserta upacara tersebut makan sebagian dari

makanan sesajian tersebut, dan sebagian lagi dari makanan tersebut di bawah keluar

rumah untuk sesajian di temat tertentu baik yang sengakja dibuat dan atau di alam

bebas seperti di pohon-pohon kayu besar, di tepi sungai, dan sebagainya yang di

antar sendiri oleh dukun upacara ini yang disebut nompaura.

Sebagai acara penutup dukun membuat/mempersiapkan tuvu mbuli. Tuvu mbuli

ini berarti hidup berkembang biak dalam satu rumpun. Suatu simbol kehidupan yang
ideal, yaitu dalam suasana dingin dan berketurunan banak Tuvu artinya hidup

sedangkan Mbuli artinya standar.

Tuvu Mbuli tersebut tidak lain sebagai gelas/mangkuk yang diisi air dan dedaunan

yang melambangkan 2 hal tersebut. Yaitu daun siranindi (setawar dingin) sebagi

lambang ketenangan dan ketahanan hidup dari tantangan hidup, serta tava

kodombuku, semacam pohon yang tahan hidup di musim kemarau, mudah

berkembang biak, dan akarnya lama usianya. Selesai upacara tersebut dan setelah

undangan hadir seluruhnya, maka diadakanlah pesta makan. Dengan demikian

selesai upacara Nolama tersebut.

D. Makna dan Simbol Dalam Upacara Nosemparaka Manu Pada Ibu Hamil di Desa Wombo

Kalonggo

Simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan

sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati sebagai simbol kedamaian. Simbol

adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan kepada penyerupaan benda yang kompleks

yang diatikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih jelas atau lebih

khusus.

Simbol sendiri mempunyai makna atau arti sendiri. Pada kehidupan masyarakat to Kaili

pelaksanaan upacara “Nosemparaka Manu” terdapat beberapa macam simbol-simbol adat

istiadat yang mempunyai makna misalnya penyediaan Punti jaka (Pisang rebus). Kaluku nokou

(Kelapa parut , marisa nete (Rica kecil , nasi masak, dan darah ayam yang disembelih. Benda-

benda adat lainnya ialah Sabasa mesa ( 1 lembar sarung tenunan zaman dulu), samata doke (satu
mata tombak), samata tinggora (satu mata tombak yang berakit), tatalu tubu (tiga piring adat),

sangu dula (satu dulang tempat penyimpanan barang-barang tersebut).

a. Ayam/manu maknanya sebagai kebersihan hati, Ayam betina/ manu rumandonai,

menandakan apabila di dalam isi perut ayam tersebut terdapat seperti ada benang yang

terdapat dialat kelamin ayam maka menandakan bahwa anak yang dikandung adalah anak

perempuan begitupun juga pada ayam jantan/manu langgaina apabila terdapat benang

bertanda bahwa anak yang akan lahir nanti adalah laki-laki.

b. Guma atau parang maknanya sebagai alat untuk berkebun.

c. Doke dan kanjai atau tombak maknanya sebagai alat untuk berburu

d. Mesa sebagai pelengkap adat yang melambangkan kesabaran dan kebanggaan rakyat

e. Ketupat/katupa maknanya agar calon bayi nantinya di mudahkan rejekinya

f. Cucur/sisuru, maknanya sebagai payung yang ditempatkan dalam sesajian untuk

melindungi ibu yang hamil.

g. Suampela adalah sebuah tempat penyimpanan sesajian ditempatkan di sekitar rumah

h. Pritng adat/suraya tava kelo sebagai wadah penyimpanan makanan dan sesajian.

i. Daun kelapa/ira nggaluku, hanyalah sebagai alat dekot yang dianggap paling indah pada

zaman dahulu, yang di letakkan di depan rumah adat.

j. Air/uve. Dianggap sebagai minuman para dewa

k. Dupa/kamanya bermakna sebagai alat yang digunakan untuk berhubungan dengan para

dewa melalui kumpulan asap yang harum baunya.

l. Telur rebus/ntolu ngongo yang telah dikupas dalam bantaya, telur-telur tersebut sudah

ada yang dibelah, dicampur dengan nasi masak (konisa ngongo), udang (lamale), kepala

(kaluku), rica kecil (marisa nele), daging ayam (dagi manu), yang sudah di masak.
Barang-barang tersebut disiapkan sebagai sesajian. Adapun makna dari telur yaitu bahwa

setiap manusia dapat mengalami perubahan atau lahir kembali, nasi maknanya dapat

memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, udang maknanya adat dari air yang mana

maksudnya ibu hamil tidak akan merasa dingin, kelapa parut maknanya agar kotoran

tidak ada di kepala si bayi, pisang rebus maknaya agar pada saat bayi keluar tubuhnya

tidak mengkerut seperti bentuk pisang rebut, rica kecil maknanya agar bayi tidak

kemerah-merahan seperti rica.

m. Uang/doi maknanya benda yang digunakan sebagai satuan jumlah nilai beli

Adapun makna baik dan buruknya pada pelaksanaan upacara Nosemparaka manu pada saat

menentukan hari yang baik yaitu penjelasan dari bapak umli (80 tahun) yaitu :

1. Bulan pertama dilangit artinya baik, dalam kehidupan sangat baik apa yang diinginkan

itu semua ada

2. Bulan kedua dilangit itu artinya juga baik, hidup dengan kecukupan

3. Bulan ketiga dilangit artinya tidak baik, sering di cerita-cerita orang

4. Bulan keempat dilangir artinya ditimpah kekayaan

5. Bulan kelima dilangit artinya jatuh miskin

6. Bulan keenam artinya mati (Hasil wawancara tanggal 20 juni 2014)

Pengetahuan manusia akan simbol dan makna tidak lepas dari keingintahuan dari manusia

sendiri, akal yang telah di berikan oleh Tuhan memberikan manusia kemampuan untuk berpikir

dan berimajinasi, simbol dan makna selalu muncul bersamaan di mana setiap simbol akan

mempunyai makna. Jika kita telusuri pada zaman pra-sejarah banyak ilmuwan-ilmuwan

antropologi yang menemukan peninggalan-peninggalan manusia zaman purbakala, salah satu di


temukan adalah tulisan berupa gambar yang di pahat di dinding-dinding gua, dalam tulisan

tersebut tertera simbol-simbol yang mempunyai arti dan makna jadi jika sidimpulkan simbol dan

makna sudah ada sejak zaman dahulu kala.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap objek penelitian terutama melakukan

wawancara dengan para informan maka diperoleh beberapa arti dari simbol dan makna upacara

Nosemparaka Manu bagi to Kaili yang ada di Desa Wombo Kalonggo yaitu sebagai berikut :

Simbol makna dari upacara Nosemparaka Manu seperti yang diungkapkan oleh ibu indotiga

(77 tahun) bahwa

1. Dua ekor ayam, masing-masing satu ekor ayam betina dan satu ekor ayam jantan

menandakan apabila terdapat dijenis kelamin ayam betina seperti benang bahwa anak

yang akan lahir nanti diprediksikan itu bayi perempuan begitu pula sebaliknya pada ayam

jantan, selesai proses memisahkan sebagian daging Ayam yang dianggap sebagai sesajen

yang dipersembahkan kepada para dewa, arwah orang sakti, roh-roh makhluk gaib dan

bila mana upacara berakhir diperuntuhkan buat dukun (sando).

2. Guma atau parang panjang maknanya sebagai alat untuk berkebun dan bermakna juga

sebagai kedudukan penyelenggara upacara sebagai orang yang berstatus sosial tinggi

ditengah masyarakat.

3. Doke dan tinggora atau tombak besi panjang yang jug sebagai simbol dari

kekuatan/keberanian sebagai sifat dari sebuah besi dan senjata tombak melambangkan

agar anak kuat dan berani.


4. Mesa adalah kain berasal dari kulit kayu yang khusus dibuat dan dilengkapi dengan

manik-manik sebagai perlengkapan adat yang melambangkan kesabaran dan kebanggaan

rakyat.

5. Ketupat maknanya agar calon bayi nantikan di mudahkan rezekinya.

6. Cucur/sisuru yaitu yang terbuat dari tepung beras ketan biasa yang di campur dengan

gula merah kemudian digoreng dengan bentuk bundar dan bergerigi dengan makna

sebagai payung yang di tempatkan dalam sesajian untuk melindungi ibu yang hamil.

7. Suampela adalah sebuah tempat penyimpanan sesajian ditempatkan di sekitar rumah.

8. Piring adat/suraya tava kelo sebagai simbol sejahtera dan kecukupan pangan bermakna

sebagai wadah penyimpanan makanan dan sesajian

9. Daun kelapa, hanyalah sebagai alat dekor yang dianggap paling indah pada zaman

dahulu, yang diletakkan di depan pintu tumah adat.

10. Air, dianggap sebagai minuman para dewa

11. Dupa, bermakna sebagai alat yang digunakan untuk berhubungan dengan para dewa

melalui kumpulan asap yang harim baunya.

12. Telur rebus yang telah dikupas dalam bantaya, telur-telur tersebut sudah ada yang

dibelah, dicampur dengan nasi masak, udang, kelapa, rica kecil, dan daging ayam yang

sudah dimasak, barang-barang tersebut disiapkan sebagai sesajian.

13. Dula palangga (dulang berkaki) adalah salah satu perlengkapan upacara di mana benda-

benda dan bahan-bahan tersebut diatas diletakkan adalah lambang dari simbol status

bangsawan

14. Siranindi/setawar dingin sebagai simbol agar anak yang bakal lahir tetap tenang dan

berpikiran dingin serta jernih sekalipun suasana penuh tantangan.


15. Kagombuku adalah semacam tumbuh-tumbuhan yang selain tahan musim kemarau juga

berkembang biak melalui akar, suatu simbol perkembangbiakan begitu cepat tanpa

mengalami kesulitan.

(wawancara tanggal 29 April 2016)

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa simbol dan makna dalam upacara Nosemparaka

Manu itu sangat penting bagi ibu hamil yang telah melaksanakannya dan menjadi kegiatan

mereka pada saat ibu hamil, usia kandungannya berumur tujuh bulan. Adapun penjelasan lain

tentang simbol dan makna pada upacara tersebut sebagai mana diungkapkan oleh salah satu

informan kunci yaitu ibu bunga (umur 70 tahun) bahwa:

“saya sebagai orang tua adat di sini simbol makna alat dan bahan dari pelaksanaan

upacara adat Nosemparaka Manu itu utamanya piring adat karena piring adat tersebut

sebagai simbol adat yang dilaksanakan apabila piring tersebut tidak ada maka

berpengaruh dengan ibu yang sedang hamil dan bayi yang akan dilahirkan nanti. Adapun

bahan-bahan sesajen yaitu, tujuh keping cucur, tujuh buang pisang, tujuh keping sagu,

tujuh biji rica kecil, dan nasi pulut, itu sebagai bahan sesajian yang akan dibacakan

mantra-matra oleh dukun (sando)”. (wawancara tanggan 21 juni 2014)

Peernyataan diatas ditambahkan oleh Ibu Munawarni (45 tahun) sebagai berikut :

“saya mengetahui tentang upacara adat tersebut apabila pelaksanaan adat tersebut

dilaksanakan, sebelumnya upacara adat dimulai maka terlebih dahulu sebahagian sesajian

digantung di pintu, misalnya Pisang Raja satu sisir, Ketupat tujuh buah, daging ayam

yang sudah di bagi oleh dukun (sando). Bahwa menurut saya dirumah tersebut
menandakan melaksanakan upacara adat Nosemparaka Manu”. (wawancara tanggal 24

Juni 2014).

Seperti yang telah diungkapkan oleh dua informan diatas, bahwa dalam pelaksanaan

upacara “Nosemparaka Manu” terdapat berbagai macam peralatan dan kebutuhan yang

digunakan tentunya hal tersebut mempunyai masing-masing arti dalam pelaksanaannya. Adapun

bahan-bahan yang harus digunakan dalam pelaksanaan upacara Nosemparaka Manu harus

berangka ganjil tidak boleh berangka genap. Seperti penjelasan dari ibu Rena (40 tahun) yaitu.

“menurut aku ane bahan-bahan nigunakan novia upacara Nosemparaka Manu hei salah

satu ruamai ada nggauluna yang haru ralaksanakan dan bahan hei nigunakan harus

berangka naganjil rai mamalah genap, sadangka upcara topombovotai harus berjumlah

papitu karena nisesuaikan ante kendungan ibu hamil”.

Artinya :

“menurut saya bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara Nosemparaka

Manu merupakan salah satu adat terdahulu yang harus dipenuhi dan bahan berangka

ganjil tidak boleh genap, sedangkan untuk upacara kehamilan harus berjumlah tujuh

karena sesuai dengan usia kandungan ibu hamil”. (hasil wawancara tanggal 22 April

2016)

Dari penjelasan diatas dapat saya simpulkan bahwa upacara kehamilan mengenai bahan-bahan

yang digunakan setiap proses pelaksanaan harus berjumlah ganjil, tidak boleh berjumlah genap

karena berdampak negatif pada ibu hamil dan anaknya yang akan lahir nanti. Sedangkan untuk

upacara-upacara lain selain upacara kehamilan bahan-bahan yang digunakanpun harus berjumlah

angka ganjil.
V. PENUTUP

Untuk mengetahui seluruh rangkaian pembahasan dan uraian laporan ini, maka penting

untuk dikemukakan beberapa pokok pirikan yang merupakan kesimpulan dan saran yang

sekaligus merupakan rekomendasi untuk para pendukung kebudayaan lokal dan kepada berbagai

pihak yang berkompoten. Adapun kesimpulan dan saran yang di maksud adalah:

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dan penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Pengetahuan etnis Kaili dalam pelaksanaan upacara “Nosemparaka Manu” adalah

merupakan salah satu tradisi adat yang harus dilaksanakan pada ibu hamil anak

pertama, apabila tidak dilaksanakan akan berakibat buruk kepada bayi yang akan

dilahirkan.

2. Bahwa dalam bentuk dan proses pelaksanaan upacara adat “Nosemparaka Manu”

yang ada di Desa Wombo Kalonggo Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala

yaitu diawali dengan pertemuan antara keluarga belah pihak laki-laki maupun pihak

perempuan. Untuk menetapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan

penyelenggara upacara, baik waktu, tempat pelaksanaan, dan mengundang sanak

keluarga dari pihak laki-laki maupun pihak perempaun untuk ikut pelaksanaan adat

Nosemparaka Manu.

3. Adapun simbol makna ssesajian serta alat-alat dan benda-benda yang digunakan

dalam pelaksanaan upacara ritual “Nosemparaka Manu” yang ada di Desa Womba

Kalonggo adalah sebagai berikut :

a. Ayam maknanya sebagi kebersihan hati


b. Guma atau parang maknanya sebagai alat untuk berkebun

c. Doke dan kanjai atau tombak besi maknanya sebagai alat untuk berburu

d. Mesa sebagai pelengkap adat yang melambangkan kesabaran dan kebanggaan

rakyat.

e. Ketupat maknanya agar calon bayi nantinya dimudahkan rezekinya.

f. Cucur maknanya sebagai payung yang ditempatkan dalam sesajian untuk

melindungi ibu yang hamil

g. Suampela adalah sebuah tempat penyimpanan sesajian ditempatkan di sekitar

rumah

h. Piring adat/suraya tava kelo sebagai wadah penyimpanan makanan dan sesajian.

i. Daun kepala hanyalah sebagai alat dekor yang dianggap paling indah pada zaman

dahulu, yang diletakkan di depan pintu rumah adat.

j. Air, sebagai minuman para dewa

k. Dupa, bermakna sebagai alat yang digunakan untuk berhubungan dengan para

dewa melalui kumpulan asap yang harum baunya.

l. Telur rebus yang sudah dikupas dalam bantaya, telur-telurt tersebut sudah dibelah,

dicampur dengan nasik masak, udang, kelapa, rica kecil, dan daging ayam yang

sudah dimasak. Barang-barang tersebut disiapkan sebagai sesajian.

B. Rekomendasi

Sebagai implikasi dari kesimpulan diatas, disarankan beberapa hal sebagai berikut :

Penelitian ini merupakan salah satu upaya pengangkatan budaya tradisional etnis Kaili yang

berada di Provinsi Sulawesi Tengah, Upacara ritual “Nosemparaka Manu” adalah merpakan
sebuah kekayaan akan budaya yang dimiliki oleh warga Sulawesi Tengah khususnya dalam

bidang pariwisata. Untuk itu kiranya hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan acuan bagi

peneliti-peneliti selanjutnya untuk lebih menggali akar kebudayaan To Kaili.

Kepada pemerintah daerah khususnya dinas kebudayaan dan pariwisata agar lebih

intensif dalam pengembangan dan pemeliharaan kebudayaan-kebudayaan yang berada di

Sulawesi Tengah, besar harapan yang penulis sampaikan karena mengingat kebudayaan-

kebudayaan tradisional yang berada di wilayah kita masih sangat tertinggal oleh daerah-daelah

lain.
DAFTAR PUSATA

A. BUKU – BUKU

Achmad Fedyani. 2005, Antropologi Konteporer. Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma.
Edisi Peratama Cetakan I.

Agus, Bustanuddin, 2006. Agama dalam kehidupan manusia. Jakarta PT. Raja Grafindo.

Barth Fredrik. 1998, Kelompok Etnik dan batasannya, Penerbit Universitas Indonesia, UI
Makassar

Hilman Hadikusuma. 1993, Antropologi Agama 1PT. Citra Aditia bakti

Harusatoto Budiono, 1983, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta Hanindita

Koentjaraningrat 1992, Beberapa Pokok Antropologi sosial, Jakarta PT. Dian Rakyat.

, 2000., Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. PT. Gramedia


Pustaka Uatama Jakarta
, 2005. Pengantar Antropologi I, PT Rineka Cipta Jakarta

, 2010, Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta UI-Preea. Maleong. L. J.

, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosda


Karya

Meutia, F. Swasono, 1997, Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi Dalam Kontes
Budaya

Mustaqiem 2010, Jenis Upacara Adat Kaili Sulawesi Tengan, Tadulako University

Robert Chamber. 1987, Pembangunan Desa mulai dari belakang. Jakarta, Lp3es.

Soekidjo Soekanto. 2004, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta.

Voctor Turner. 2004, Pengertian Makna Ritual Budaya, Denpasar, gensa.

BUKU DOKUMEN-DOKUMEN

Adat Suku Kaili Departemen Pendidikan Nasional Pembinaan Musium Sulawesi


Tengah.2000, Upacara Dalam Kehidupan Masyarakat Kaili

1977, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Tengah Proyek Penelitian dan Pencatatan Budaya
Daerah

Departemen Musium Negri Sulawesi Tengah 1991, Tata Sajian Upacara

KARYA TULIS ILMIAH

Crhiset Victor, 2013, Peran Totua Nuada Dalam Ritual Adat Nokeso di Desa Tinggede
Kecamatan Marawola Kabupaten Sigi

Hastuti U. A. Nggio, 2014, Makna dan Simbol Dalam Upacara Monuni di Desa Batu
Rata. Kecamatan Paleleh Kabupaten Buol.

Lestariwati. 2012, Tradisi Lisan Karia Pada Masyarakat Muna di Sulawei Tenggara.

Ni Wayan Sumita, 2014, Mesangih dan Makna Ritual Bagi Orang Bali, di Desa Gunung
Sari Kecamatan Pasang Kayu.

B.

7.

Anda mungkin juga menyukai