SUKU BUGIS
ANGOOTA
Ahmad Multazam
Afdana pramasetya
Ahmad Fadil
1
PRA KATA
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah ini tanpa ada halangan apapun .
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi
2
Daftar isi
Sampul............................................................................1
Pra kata............................................................……………..2
Daftar isi………………………………………………………………………..3
Bab 1 pendahuluan..............................................................4
Latar belakang........................……………………………..4
Rumusan masalah……………………………………………….4
Bab 2 pembahasan..............................................................5
Sejarah suku Bugis.................................................5
Proses perayaan kelahiran dalam adat bugis........6
Proses perayaan pernikahan dalam adat bugis.....8
Proses perayaan naik rumah dalam adat bugis......11
Proses kematian dalam adat bugis.........................14
Bab 3 penutup
Kesimpulan..............................................................18
Saran........................................................................18
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
4
Bab ll
Pembahasan
2.1. sejarah suku bugis
5
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
2.2 proses perayaan kehamilan dan kelahiran pada adat Bugis
6
air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari
atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak
punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian
pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar
anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan
kehidupannya lancar bagai air.
Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-
suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon
bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.
7
2.3 proses perayaan pernikahan pada adat bugis
Prosesi pernikahan adat adalah suatu hal yang sakral, setiap tahapan
dan ritual yang dijalani mengandung makna dan doa yang berbeda. Di
dalam adat suku Bugis, upacara pernikahan terdiri dari tahapan-
tahapan berikut:
2. Mappanre Temme
Karena mayoritas suku Bugis memeluk agama Islam, pada sore hari
sehari sebelum hari pernikahan, diadakan acara mappanre temme atau
8
khatam Al-Quran dan pembacaan barzanji yang dipimpin oleh
seorang imam.
3. Mappacci / Tudammpenni
4. Mappenre Botting
5. Madduppa Botting
9
remaja pria), dua orang pakkusu-kusu(wanita yang sudah menikah),
dua orang pallipa sabbe (orang tua pria dan wanita setengah baya
sebagai wakil orang tua mempelai wanita) dan seorang wanita
penebar wenno.
6. Mappasikarawa / Mappasiluka
7. Marola / Mapparola
8. Mallukka Botting
9. Ziarah
10
Sehari setelah hari pernikahan berlangsun, kedua pengantin, bersama
dengan keluarga pengantin wanita melakukan ziarah ke makam
leluhur. Ziarah ini merupakan bentuk penghotmatan dan syukur atas
penikahan yang telah berlangsung lancar.
11
diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan oleh Panre
(tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu
kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu
yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak
sebagai pemimpin upacara.
12
halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa orang yang pernah
memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang dan
mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah
baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab
barzanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas
: ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua
ayam ini diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat
rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus
baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan yang
ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah rumah) dan
aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah
atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu
(bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-
tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella
(gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua
bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu
ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola
itu dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman,
tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah
bahan – bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain
putih) 1 m, diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula
merah), kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur),
piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa). Bahan–bahan ini disimpan
diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat posi bola. Bahan
ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam rumah itu
serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah
dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan
orang – orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu.
Makanan yangf disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang
mengandung harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat
senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap Upacara Menre Bola Baru
(Naik Rumah Baru)
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga
13
dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain
sebagai upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh
Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan
upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina,
loka (utti) manurung, loka / otti (pisang) panasa (nangka), kaluku
(kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang
sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara
resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di
tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla
cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung
disimpan di masing–masing tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami
membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan
dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga
yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas
rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur
rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh disembelih, karena
dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara hadir diatas
rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan / kue–kue seperti
suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–
konde (umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada
malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam
Kampung, setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah
tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang
tengah tempat yang memang disediakan untuknya.
Tahap Upacara Maccera Bola.
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara
yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah
kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun.
Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong
untuk itu, pada waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan
mantra, “Iyyapa uitta dara narekko dara manu”, artinya nantinya
melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya agar rumah
terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola
atau tukang rumah itu sendi
14
2.4 proses kematian pada adat Bugis
15
tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat
yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti
anak,adik atau oleh orang tuanya) dan mappajjenne’ (menyiramkan
air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang yang
bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si
mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain
sebagainya. Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani
dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu
imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut
aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya
membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang
kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang
terbentuk 3 susun. Bersamaan dengan pembuatan ulereng, dibuat
pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk
lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas
timbunan liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan
apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai
memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka
jenazahpun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan
diatas ulereng.
Tata cara membawa usungan atau ulurengini terbilang
unik. Ulereng diangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil
melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah
kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti
rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar
jenazah bisa berganti-gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang
yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti,
sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak
boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di
areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang
akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan,
mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh
masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah
dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai
16
tanda siame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu,
mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan
talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas
pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap
ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dan cekko-
cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama
orang Bugis Makassar, bahwa meskipun seseorang telah meninggal
dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu,
kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai
minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung
selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.
17
Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka
beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat
puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu
dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam
upacara adat ini dilakukan penyembilan sapi. Upacara adat
mattampung akan dibahas khusus di artikel kampung bugis
selanjutnya.
Bab lll
PENUTUP
Kesimpulan
Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.
Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan, Dalam budaya suku bugis terdapat
tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang
bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse, simbolisme orang bugis
adalah sarung sutra dan tentunya juga adalah adat istiadatnya yang
menarik seperti dalam perayaan kelahiran , perayaan pernikahan ,
perayaan naik rumah dan juga kematian.
Saran
Karena suku Bugis mempunyai pernikahan yang sangat unik
dan sangat kompleks, maka masyarakat Bugis khususnya dan
18
masyarakat di Indonesia umumnya harus bangga dan menjaga adat
istiadat tersebut supaya tidak punah.
19