Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEBUDAYAAN

SUKU BUGIS

ANGOOTA
 Ahmad Multazam
 Afdana pramasetya
 Ahmad Fadil

1
PRA KATA
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah ini tanpa ada halangan apapun .
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi

2
Daftar isi
Sampul............................................................................1
Pra kata............................................................……………..2
Daftar isi………………………………………………………………………..3
Bab 1 pendahuluan..............................................................4
 Latar belakang........................……………………………..4
 Rumusan masalah……………………………………………….4
Bab 2 pembahasan..............................................................5
 Sejarah suku Bugis.................................................5
 Proses perayaan kelahiran dalam adat bugis........6
 Proses perayaan pernikahan dalam adat bugis.....8
 Proses perayaan naik rumah dalam adat bugis......11
 Proses kematian dalam adat bugis.........................14
Bab 3 penutup
 Kesimpulan..............................................................18
 Saran........................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman suku, agama, danbahasa yang


memungkinkan diadakannya penelitian bidang folklor.Pengetahuan d
an penelitian folklor sangat untuk inventarisasi, dokumentasi,dan refer
ensi. Dalam mencari identitas bangsa Indonesia, sangat perlumenelus
uri keberadaan folklor sebagai bagian kebudayaan bangsa.Kebudayaan
adalah keseluruhan kompleks yang meliputipengetahuan, kepercayaan
, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan sertakebiasaan yang dipu
nyai manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaanyang di hasilk
an manusia sebagai wujud. Kebudayaan paling sedikitmempunyai 3 wu
jud, yakni (1) wujud kebudayaan sebagai suatu komplekside, gagasan, nilai-
nilai, norma, dan peraturan, (2) wujud kebudayaan sebagaiaktivitas be
rpola masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda hasilkary
a manusia yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (dalam Mattulada
,1997: 1)..Tradisi adalah kebiasaan turun-
temurun sekelompok masyarakatberdasarkan nilai budaya masyarakat
bersangkutan. Tradisi anggotamasyarakat berprilaku baik dalam pan
yang bersifat duniawi maupunterhadap hal-
hal yang bersifat gaib dan keagamaan (Esten, 1999: 21)

1.2 Rumusan masalah


 Bagaimana proses perayaan kelahiran pada adat Bugis
 Bagaimana proses perayaan pernikahna pada adat bugis
 Bagaimana proses perayaan naik rumah pada adat Bugis
 Bagaimana proses kematian pada adat bugis

4
Bab ll
Pembahasan
2.1. sejarah suku bugis

SukuSuku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu


Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi,
yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama
kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini,
yaitu La Sattumpugi.

Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka


merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi
atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi
adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah
dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai
dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat
karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000
halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware)
adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi

5
masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi
masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.

2.2 proses perayaan kehamilan dan kelahiran pada adat Bugis

Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone


disebut Mappassili, artinya memandikan. Makna upacara ini adalah
untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka/bencana,
menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan
lenyap. Acara itu diawali dengan iring-iringan pasangan muda
tersebut, dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan
yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang
meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, calon ibu
yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah
anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak
tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik
terus seperti langkah kaki menaiki tangga. Upacara Mappassili
diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-
Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan
yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara
ini.
Selanjutnya upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia
mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas
kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut
calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-
roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan
mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

Kalau dalam adat Jawa, upaca nujuh bulan dilakukan dengan


menyiram tubuh calon ibu, namun di Mappassili hanya memercikkan

6
air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari
atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak
punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian
pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar
anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan
kehidupannya lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua


yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap
upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam
panganan yang masing-masing memiliki symbol tertentu.
Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah
ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut
calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang
ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu
dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di
bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang
benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan
pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon
ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut
mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.

Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-
suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon
bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.

Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan


berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah
menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat
jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.

7
2.3 proses perayaan pernikahan pada adat bugis

Prosesi pernikahan adat adalah suatu hal yang sakral, setiap tahapan
dan ritual yang dijalani mengandung makna dan doa yang berbeda. Di
dalam adat suku Bugis, upacara pernikahan terdiri dari tahapan-
tahapan berikut:

1. Mappasau Botting & Cemme Passih

Setelah menyebarkan undangan pernikahan, mappasau botting, yang


berarti merawat pengantin, adalah ritual awal dalam upacara
pernikahan. Acara ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut
sebelum hari H. Selama tiga hari tersebut pengantin menjalani
perawatan tradisional seperti mandi uap dan menggunakan bedak
hitam dari campuran beras ketan, asam jawa dan jeruk nipis. Cemme
Passihsendiri merupakan mandi tolak balak yang dilakukan untuk
meminta perlindungan Tuhan dari bahaya. Upacara ini umumnya
dilakukan pada pagi hari, sehari sebelum hari H.

2. Mappanre Temme

Karena mayoritas suku Bugis memeluk agama Islam, pada sore hari
sehari sebelum hari pernikahan, diadakan acara mappanre temme atau

8
khatam Al-Quran dan pembacaan barzanji yang dipimpin oleh
seorang imam.

3. Mappacci / Tudammpenni

Malam menjelang pernikahan, calon pengantin melakukan


kegiatan mappaci /tudammpenni. Proses ini bertujuan untuk
membersihkan dan mensucikan kedua pengantin dari hal-hal yang
tidak baik. Dimulai dengan penjemputan kedua mempelai, yang
kemudian duduk di pelaminan, setelah itu di depan mereka disusun
perlengkapan-perlengkapan berikut; sebuah bantal sebagai simbol
penghormatan, tujuh sarung sutera sebagai simbol harga diri,
selembar pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan yang
berkesinambungan, tujuh sampai sembilan daun nangka sebagai
simbol harapan, sepiring wenno (padi yang sangrai) sebagai simbol
perkembangan baik, sebatang lilin yang menyala sebagai simbol
penerangan, daun pacar halus sebagai simbol kebersihan dan bekkeng
(tempat logam untuk daun pacci) sebagai simbol persatuan pengantin.
Setelah perlengkapan-perlengkapan tersebut ditaruh, satu persatu
kerabat dan tamu akan mengusapkan pacci ke telapak tangan
pengantin.

4. Mappenre Botting

Mappenre botting berarti mengantar mempelai pria ke rumah


mempelai wanita. Mempelai pria diantar oleh iring-iringan tanpa
kehadiran orang tuanya. Iring-iringan tersebut biasanya terdiri
dari indo botting (inang pengantin) dan passepi (pendamping
mempelai).

5. Madduppa Botting

Setelah mappenre botting, dilakukan madduppa botting atau


penyambutan kedatangan mempelai pria. Penyambutan ini biasanya
dilakukan oleh dua orang penyambut (satu remaja wanita dan satu

9
remaja pria), dua orang pakkusu-kusu(wanita yang sudah menikah),
dua orang pallipa sabbe (orang tua pria dan wanita setengah baya
sebagai wakil orang tua mempelai wanita) dan seorang wanita
penebar wenno.

6. Mappasikarawa / Mappasiluka

Setelah akad nikah, mempelai pria dituntun menuju kamar mempelai


wanita untuk melakukan sentuhan pertama. Bagi suku Bugis,
sentuhan pertama mempelai pria memegang peran penting dalam
keberhasilan kehidupan rumah tangga pengantin.

7. Marola / Mapparola

Pada tahapan ini, mempelai wanita melakukan kunjungan balasan ke


rumah mempelai pria. Bersama dengan iring-iringannnya, pengantin
wanita membawa sarung tenun sebagai hadiah pernikahan untuk
keluarga suami.

8. Mallukka Botting

Dalam prosesi ini, kedua pengantin menanggalkan busana pengantin


mereka. Setelah itu pengantin pria umumnya mengenakan celana
panjang hitam, kemeja panjang putih dan kopiah, sementara
pengantin wanita menggunakan rok atau celana panjang, kebaya dan
kerudung. Kemudian pengantin pria dililitkan tubuhnya dnegan tujuh
lembar kain sutera yang kemudian dilepas satu persatu.

9. Ziarah

10
Sehari setelah hari pernikahan berlangsun, kedua pengantin, bersama
dengan keluarga pengantin wanita melakukan ziarah ke makam
leluhur. Ziarah ini merupakan bentuk penghotmatan dan syukur atas
penikahan yang telah berlangsung lancar.

10. Massita Beseng

Sebagai penutup rangkaian acara pernikahan, kedua keluarga


pengantin bertemu di rumah pengantin wanita. Kegiatan ini bertujuan
untuk membangun tali silaturahmi antara kedua keluarga

2.4. proses perayaan naik rumah

Dalam budaya masyarakat Bugis ketika sebuah keluarga akan


membangun rumah atau pindah ke rumah baru terdapat serangkaian
upacara adat yang harus dijalankan, mulai saat persiapan bahan-bahan

untuk membangun rumah, ketika rumah akan dibangun/didirikan, lalu


ketika rumah tersebut siap untuk ditinggali, bahkan saat rumah
tersebut sudah dihuni. Rangkaian upacara adat tersebut adalah sebagai
berikut :
Tahap Upacara Makkarawa Bola.
Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang)
dan Bola (rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang,
mengerjakan, atau membuat peralatan rumah yang telah direncanakan
untuk didirikan dengan maksud untuk memohon restu kepada Tuhan
agar diberikan perlindungan dan keselamatan dalam penyelesaian
rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan waktu upacara ini

11
diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan oleh Panre
(tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu
kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu
yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak
sebagai pemimpin upacara.

Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua


ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan
untuk pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru
sekurang – kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara
makkarawa bola ini ada tiga, yaitu 1. waktu memulai melicinkan tiang
dan peralatannya disebut makkattang, 2. waktu mengukur dan
melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa, 3. waktu
memasang kerangka disebut mappatama areteng.

Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam


yang telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam
tempurung kelapa yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah
ayam itu disapukan pada bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada
tiang pusat, disertai dengan niat agar selama rumah itu dikerjakan
tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik–baik, bila
saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam
itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu
berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella,
Sanggara, Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-
doko, Peca’ Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.
Tahap Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).
Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi
dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu
penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana
rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh

12
halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa orang yang pernah
memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang dan
mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah
baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab
barzanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas
: ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua
ayam ini diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat
rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus
baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan yang
ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah rumah) dan
aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah
atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu
(bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-
tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella
(gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua
bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu
ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola
itu dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman,
tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah
bahan – bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain
putih) 1 m, diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula
merah), kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur),
piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa). Bahan–bahan ini disimpan
diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat posi bola. Bahan
ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam rumah itu
serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah
dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan
orang – orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu.
Makanan yangf disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang
mengandung harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat
senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap Upacara Menre Bola Baru
(Naik Rumah Baru)
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga

13
dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain
sebagai upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh
Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan
upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina,
loka (utti) manurung, loka / otti (pisang) panasa (nangka), kaluku
(kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang
sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara
resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di
tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla
cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung
disimpan di masing–masing tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami
membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan
dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga
yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas
rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur
rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh disembelih, karena
dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara hadir diatas
rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan / kue–kue seperti
suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–
konde (umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada
malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam
Kampung, setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah
tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang
tengah tempat yang memang disediakan untuknya.
Tahap Upacara Maccera Bola.
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara
yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah
kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun.
Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong
untuk itu, pada waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan
mantra, “Iyyapa uitta dara narekko dara manu”, artinya nantinya
melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya agar rumah
terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola
atau tukang rumah itu sendi

14
2.4 proses kematian pada adat Bugis

Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-


kampung Bugis terdapat satu upacara adat yang
disebut Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat
Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat
seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.

Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat


sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-
bondong menjenguknya. Pelayat y hadir biasanya
membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan)
berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada
juga yang membawa passolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut
berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan
seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah
semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang
umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa
memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan


mayat, yaitu mabbolo(menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi
pembacaan do’a dan tahlil), maggoso’(menggosok bagian-bagian

15
tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat
yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti
anak,adik atau oleh orang tuanya) dan mappajjenne’ (menyiramkan
air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang yang
bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si
mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain
sebagainya. Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani
dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu
imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut
aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya
membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang
kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang
terbentuk 3 susun. Bersamaan dengan pembuatan ulereng, dibuat
pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk
lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas
timbunan liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan
apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai
memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka
jenazahpun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan
diatas ulereng.
Tata cara membawa usungan atau ulurengini terbilang
unik. Ulereng diangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil
melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah
kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti
rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar
jenazah bisa berganti-gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang
yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti,
sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak
boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di
areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang
akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan,
mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh
masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah
dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai

16
tanda siame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu,
mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan
talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas
pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap
ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dan cekko-
cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama
orang Bugis Makassar, bahwa meskipun seseorang telah meninggal
dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu,
kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai
minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung
selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.

Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan,


yaitu imam atau ustadz dipesankan oleh keluarga orang yang sudah
meninggal itu agar melanjutkan dengan ceramah dikuburan sebelum
rombongan/pelayat pulang dari kuburan. Ceramah atau pesan-pesan
agama yang umumnya disampaikan sekaitan dengan kematian dan
persiapan menghadapi kematian, bahwa kematian itu pasti akan
menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya
mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan
kebahagian didunia maupun di akherat, maka seseorang harus mengisi
hari-hari kehidupannya dengan berbuat baik dan amal kebajikan
sebanyak mungkin. Sebelum rombongan pengiring mayat
pulang,biasanya pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan
terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah. Semalaman, di
rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca
al-Quran secara bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu
upacara selamatan sekaligus penghitungan hari kematian yang
dihitung mulai dari hari penguburan jenazah.Biasa dalakukan
selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara
bilampenni sudah bergeser namanya menjadi tiga malam saja.
Sebagai penutup, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji dan
dilanjutkan santap siang bersama kerabat-kerabat yang di undang.

17
Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka
beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat
puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu
dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam
upacara adat ini dilakukan penyembilan sapi. Upacara adat
mattampung akan dibahas khusus di artikel kampung bugis
selanjutnya.

Bab lll
PENUTUP

 Kesimpulan
Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.
Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan, Dalam budaya suku bugis terdapat
tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang
bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse, simbolisme orang bugis
adalah sarung sutra dan tentunya juga adalah adat istiadatnya yang
menarik seperti dalam perayaan kelahiran , perayaan pernikahan ,
perayaan naik rumah dan juga kematian.
 Saran
Karena suku Bugis mempunyai pernikahan yang sangat unik
dan sangat kompleks, maka masyarakat Bugis khususnya dan

18
masyarakat di Indonesia umumnya harus bangga dan menjaga adat
istiadat tersebut supaya tidak punah.

19

Anda mungkin juga menyukai