Anda di halaman 1dari 14

M A K A L A H

“Kiri Loko (Tujuh Bulan)”

Disusun Oleh :

ERLINA
Kelas : X IPA 2

SMA NEGERI 1 MANGGELEWA


TAHUN AJARAN
2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah tentang “Kiri loko
( tujuh bulan )”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ………………..…………………………............…...……
A. Latar Belakang ..........................................................................
B. Rumusan Masalah ......................................................................
C. Tujuan ...........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Budaya mbojo kiri loko ..............................................................
B. Upacara Salama Loko ................................................................
C. Upacara Cafi Sari ........................................................................
D. Upacara Dore Ro Boru ................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................
B. Saran Dan Kritik .........................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu siklus hidup yang dilalui oleh masyarakat Suku Mbojo, adalah kehamilan
(bagi perempuan). Sejak anak dalam kandungan, prosesi adat mulai menyertai hingga si
anak tersebut (jika perempuan) mengandung kembali nantinya. Seperti halnya pada Suku
Sasak dan Samawa, masyarakat Mbojo juga, memiliki tradisi tujuh bulanan, yang disebut
Kiri Loko. Tidak kalah uniknya dengan kedua suku tersebut, Kiri Loko juga disertai
dengan simbol-simbol kehidupan manusia, seperti kain, benang, api atau cahaya, buah-
buahan hingga mandi air kelapa. Seluruh simbol kehidupan itu merupakan pelengkap
dalam upacara adat Kiri Loko.

Upacara Salama Loko disebut juga dengan Kiri Loko dilakukan ketika kandungan
seorang ibu berumur tujuh bulan. Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu yang
pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh
sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita.

Upacara akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di
sekitar jam 07.00. Sando nggana menggelar tujuh lapis sarung. Setiap lapis ditaburi beras
dan kuning uang perak sa ece (satu ketip = 10 sen). Selain itu disimpan pula dua liku atau
dua leo mama (dua bungkus bahan untuk menyirih). Maksud dan taburan beras kuning,
ialah agar ibu beserta calon bayinya akan hidup bahagia dan jaya. Uang sa ece, sebagai
peringatan kepada ibu bersama calon bayi, bahwa uang merupakan salah satu modal
dalam kehidupan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa budaya mbojo kiri lok?
2. Apa Upacara Salama Loko.?
3. Apa Upacara Cafi Sari?
4. Apa Upacara Dore Ro Boru?

C. Tujuan
1. Mengetahui Tentang budaya mbojo kiri lok
2. Untuk Mengetahui Upacara Salama Loko.
3. Mengetahui Upacara Cafi Sari
4. Mengetahui Upacara Dore Ro Boru
BAB II
PEMBAHASAN

A. BUDAYA MBOJO KIRI LOKO


Salah satu siklus hidup yang dilalui oleh masyarakat Suku Mbojo, adalah kehamilan
(bagi perempuan). Sejak anak dalam kandungan, prosesi adat mulai menyertai hingga si
anak tersebut (jika perempuan) mengandung kembali nantinya. Seperti halnya pada Suku
Sasak dan Samawa, masyarakat Mbojo juga, memiliki tradisi tujuh bulanan, yang disebut
Kiri Loko. Tidak kalah uniknya dengan kedua suku tersebut, Kiri Loko juga disertai
dengan simbol-simbol kehidupan manusia, seperti kain, benang, api atau cahaya, buah-
buahan hingga mandi air kelapa. Seluruh simbol kehidupan itu merupakan pelengkap
dalam upacara adat Kiri Loko.
Tradisi tujuh bulanan bisa ditemui di berbagai daerah di Indonesia dengan beragam
cara dan kebiasaan, termasuk pula masih dilestarikan oleh Suku Mbojo, di Bima dan
Dompu.
Tradisi tujuh bulanan khas Suku Mbojo yang dikenal dengan nama Kiri Loko masih
tetap dilaksanakan hingga saat ini. Tradisi Kiri Loko dilakukan saat usia kandungan
memasuki bulan ketujuh. Di usia itu, bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh menjadi
seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan
pada saatnya tiba. Dipercaya, tradisi Kiri Loko bertujuan memberikan kekuatan dan
semangat kepada calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa
dalam hidupnya, yaitu melahirkan.
Dalam prosesi Kiri Loko, terdapat sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap
tahapan prosesnya. Mulai dari kain tujuh lapis yang diatasnya daun pisang termuda dan
kain putih yang dipakai sebagai alasa tidur oleh ibu hamil selama proses berlangsung.
Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya
serupa tujuh lapis langit dan bumi yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini.
Kain putih sebagai pelapis atas tujuh kain tersebut, sebagai simbol bahwa manusia lahir
dalam keadaan putih dan bersih dari segala dosa.
Aksesoris berupa kain berlapis juga dipergunakan oleh Suku Mbojo yang ada di
Dompu, yang disebut dengan Tembe Kanefe (kain atau sarung tradisional). Calon ibu
harus menyiapkan beberapa helai sarung yang simbolnya nanti akan dipakai untuk
menggendong dan mengasuh bayinya. Simbol ini merupakan bentuk tanggung jawab,
yang melahirka anak ke dunia ini untuk mengasuh, merawat, melindungi dan
membimbing dengan benar agar ia menjadi anak yang berguna bagi semua.
Selain itu terdapat juga terdapat setandan pisang dan beras kuning dan putih yang
dipakai untuk menancapkan lilin-lilin kecil yang dinyalakan semenjak prosesi dimulai.
Beras dan pisang sebagai lambang doa kemakmuran dan rejeki beragam bagi calon ibu
dan bayinya kelak. Cahaya lilin sebagai penerang dalam menjalani kehidupan sehari-hari
kelak. Tidak lupa sebutir kelapa yang airnya akan dipakai untuk memandikan sang calon
ibu. Sebutir telur sebagai perlambang asal muasal dari sesuatu yang tengah ditunggu.
Minyak yang diolesi di atas perut calon ibu juga sebagai harapan, agar saat melahirkan
nanti calon ibu bisa dengan mudah menjalani prosesnya serta mampu melahirkan dengan
normal.
Usai prosesi mengolesi minyak, calon ibu akan menyebar uang receh yang sudah
disiapkan dalam berbagai pecahan. uang tersebut akan ditebar pada para tamu yang hadir
dan rata-rata adalah perempuan. Inilah saat yang paling dinanti dalam hajatan Kiri Loko.
Berebut uang receh dari calon ibu. Aksi saling dorong dan hiruk pikuk keramaian akan
terdengar saat ini. Prosesi ini merupakan simbol bersedekah dan berbagai kelebihan
rezeki. Bukan nilai atau jumlahnya yang direbut tamu, melainkan karena uang receh
tersebut dianggap dan dipercaya memiliki berkah tersendiri bagi yang mendapatkan.
Setelah acara inti Kiri Loko berakhir, dilanjutkan dengan acara santai yang diisi
dengan makan rujak bersama. Sebelumnya, jika pada kegiatan selamatan lainnya,
masyarakat akan bergotong royong memasak untuk kebutuhan konsumsi acar, maka di
acara Kiri Loko, para ibu sibuk mengolah rujak sebagai panganan bagi para tamu. Rujak
terbuat dari berbagai macam buah-buahan. Makan rujak bersama menjadi salah satu acara
wajib dalam tradisi Kiri Loko. Ada kebersamaan yang terbangun sebagai komunikasi
tidak langsung antar sesama warga yang hadir sebagai tamu.
Sebagai awal prosesi, sang calon ibu tidur di atas tujuh lapis kain dengan daun
pisang termuda serta kain putih yang baru pertama kali dipakai - kain putih ini harus
benar-benar baru bukan kain sisa pakai. Di atas kain putih tersebut, uang receh dalam
jumlah yang banyak diletakkan. Sebutir telur dan minyak disiapkan di sisi perut calon
ibu. Diawali oleh seorang perempuan sebagai pelaksana utama, lalu diikuti oleh satu per
satu wanita yang dituakan atau dihormati di kampung tersebut, mengelus perut calon ibu,
dilanjutkan dengan mengelus telur secara merata di perut calon ibu yang diiringi doa
masing-masing pengelus. Sembari melafalkan doa dan harapan-harapan akan kebaikan
bagi si ibu dan bayinya kelak, para pengelus perut memberi nasehat dan menguatkan hati
calon ibu untuk sabar, tenang ketika menjalani masa-masa akhir kehamilan termasuk saat
melahirkan kelak. Banyaknya orang yang akan mengelus perut calon ibu ini biasanya
ganjil, tujuh atau sembilan orang.
Setelah proses elus perut selesai, calon ibu dibungkus kain yang penuh dengan uang
receh tersebut. Dengan tergopoh-gopoh, pelaksana Kiri Loko, meminta calon ibu untuk
bangkit dan segera berjalan cepat menuju ibu-ibu undangan. Uang receh tersebut disebar
keberbagai tempat para undangan yang sedari tadi bersiap untuk saling berebut setiap
receh yang dilemparkan oleh calon ibu. Suasana pun seketika pecah, riuh oleh sorak dan
lengkingan gembira para ibu yang saling rebut uang receh. Inilah salah satu acara yang
ditunggu dalam setiap tradisi Kiri Loko.
Ternyata bukan hanya uang receh saja yang dicari sebagai berkah, sisa-sisa prosesi
lainnya seperti telur dan beras putih kuning juga dipercaya sebagai pembawa berkah.
Senada dengan harapan semoga bayi dalam kandungan sang ibu juga sebagai pembawa
berkah bagi keluarga. Selain itu, beras kuning misalnya, juga dianggap membawa berkah,
yakni dengan menyebarkannya di sawah agar tanah menjadi subur.
Usai melemparka receh kepada para undangan, calon ibu kemudian dimandikan
dengan air kembang dan air kelapa sebagai perlambang mensucikan calon ibu agar diberi
kemudahan melahirkan kelak. Calon ibu juga diminta berkaca sembari menyisir
rambutnya sebagai simbol bahwa wanita ini telah siap menjadi ibu dan menerima sang
bayi lahir ke dunia, dengan wajah yang berseri karena bahagia. Dalam prosesi mandi air
kelapa yang sudah dibelah dua oleh pelaksana Kiri Loko, Kemudian dibuang ke belakang
oleh calon ibu. Konon, kalau tempurung kelapa menghadap ke atas, diramalkan kelak
bayinyaakan berjenis kelamin perempuan. Dan jika tempurung kelapa tersebut jatuh
tertelungkup, kelak bayinya berjenis kelamin laki-laki. Prosesi terakhir sebagai penutup
seluruh rangkaian acara adalah saat seutas benag putih melingkar, disusupkan keseluruh
tubuh calon ibu dari atas kepala hingga ujung kaki. Ini sebagai simbol sekaligus
mengingatkan bahwa manusia itu sewaktu-waktu dapat saja kembali pada Sang Pecipta.
Jadi, siapa pun orangnya, sudah harus siap menerimanya, kapanpun ia datang.

B. UPACARA SALAMA LOKO.


Upacara Salama Loko disebut juga dengan Kiri Loko dilakukan ketika kandungan
seorang ibu berumur tujuh bulan. Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu yang
pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh
sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita.
Upacara akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di
sekitar jam 07.00. Sando nggana menggelar tujuh lapis sarung. Setiap lapis ditaburi beras
dan kuning uang perak sa ece (satu ketip = 10 sen). Selain itu disimpan pula dua liku atau
dua leo mama (dua bungkus bahan untuk menyirih). Maksud dan taburan beras kuning,
ialah agar ibu beserta calon bayinya akan hidup bahagia dan jaya. Uang sa ece, sebagai
peringatan kepada ibu bersama calon bayi, bahwa uang merupakan salah satu modal
dalam kehidupan.
Diatas hamparan tembe dan kain putih, ibu yang salamaloko, tidur terlentang.
Sando nggana mengoles perut ibu dengan sebiji telur, yang diminyaki dengan minyak
kelapa. Diikuti secara bergilir oleh enam orang tua adat, memohon kepada Allah SWT,
agar ibu bersama calon bayi selamat sejahtera.
Pada upacara ini keluarga dan tetangga baik pria maupun wanita diundang hadir
untuk menyaksikan. Disaat dukun memperbaiki dan meraba-raba perut ibu hamil tersebut,
saat itu pula para tamu laki-laki mengadakan do`a zikir. Ibu-ibu juga hadir untuk
menyaksikan upacara salama loko /kiri loko, mereka umumnya membawa barang-barang
kado/hadiah/sumbangan untuk sang ibu hamil. Kado/ hadiah/ sumbangan ini biasanya
perlengkapan kebutuhan ibu dan bayi seperti baju bayi, handuk, bedak dan kadang-
kadang uang tunai.
Upacara dilanjutkan dengan memandikan ibu yang salama loko. Dimandikan oleh
sando nggana dengan air roa bou (air yang disimpan dalam periuk tanah yang baru).
Dicampur dengan bunga cempaka dan mundu (cempaka kuning lambang kejayaan.
Melati putih lambang kesucian). Waktu mandi, ibu yang salama loko menginjak telur
bekas dipakai mengoles perutnya. Dengan harapan, agar melahirkan dengan mudah
semudah ibu memecahkan telur. Upacara diakhiri dengan ngaha mangonco (makan
rujak). Sang suami ikut pula makan mangonco bersama peserta upacara.
Sebuah kearifan lokal Bima apabila seorang istri sedang hamil adalah kedua
pasangan suami istri dilarang untuk :
1. Berkata yang tidak senonoh
2. Menganiaya binatang atau manusia
3. Sedapat mungkin tidak menyembelih binatang ternak
4. Tidak berhubungan suami istri bila mendengar berita ada tetanga atau orang lain
meninggal
5. Tidak membuang air besar di sembarang tempat
6. Tidak memotong sesuatu seperti kayu atau mengunting kertas. Jika terpaksa, ia harus
ingat bahwa istrinya sedang hamil
7. Suami tidak diperkenankan berburu atau melakukan pekerjaan yang kurang baik
seperti mengambil milik orang orang lain tanpa seijin orang yang punya dan
sebaginya serta
8. Khusus istri tidak boleh tidur disaat matahari menjelang naik

C. UPACARA CAFI SARI


Upacara cafi sari dilakukan setelah bayi berumur tujuh hari. cafi sari dalam bahasa
Indonesia berarti upacara menyapu lantai. Maksud dari upacana ini, ialah menyampaikan
puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya karena sang ibu bersama bayi
sudah lahir dengan selamat. Menurut kepercayaan tradisional pada usia tujuh hari, bayi
akan memasuki kehidupan dunia, dan meninggalkan kehidupan dalam kandungan.
Sebagai tanda terima kasih kepada sando nggana, sang ibu memberi “soji”atau
sesajen yang terdiri dan kue tradisional mbojo. Seperti pangaha kahuntu,karuncu,
pangaha bunga, pangaha sinci, ka dodo, arunggina dan kalempe. Penyerahan soji
merupakan lambang harapan orang tua, agar bayinya kelak akan hidup bahagia sejahtera.

Bagi keluarga yang mampu, upacara cafi sari dilaksanakan bersamaan dengan
upacara qeqa atau aqiqah. Yaitu upacara yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang
menganjurkan orang tua untuk menyembelih seekor kambing yang sehat. Sebagai tanda
syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

D. UPACARA DORE RO BORU


Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia tiga bulan. Upacara dore ro
borudilakukan secara bertahap sebagai berikut:
1) Upacara boru (upacara Potong rambut bayi)
Upacara boru diawali dengan upacara doa. Memohon kepada Allah SWT. agar
bayi tetap sehat walafiat. Dan apabila dewasa, akan menjadi seorang yang beriman
dan gagah perkasa. Pelindung dan pembela keluarga serta dou labo dana (masyarakat
-red). Setelah upacara doa, maka dilanjutkan dengan upacara boru. Bayi digendong
oleh sando nggana. Tujuh orang tua adat laki-laki, secara bergilir memotong ujung
rambut bayi. Potongan rambut disimpan dipingga bura (piring putih) yang berisi air
dingin. Dengan harapan agar rambut bayl tumbuh subur, sebagai lambang kesuburan
dan kebahagiaan hidup.
Pemotongan rambutdiiringi dengan jiki asraka (jikir asrakal). Para peserta
berjikir dengan suara merdu. Melagukan syair puja puji kepada Allah, Rasul dan para
sahabat.
2) Upacara Dore.
Yang dimaksud dengan upacara dore ialah, upacara menyentuhkan telapak kaki
bayi pada tanah. Beberapa gumpal tanah yang diambil dihalaman masjid disimpan
diatas pingga bura. Tanah itulah yang akan diinjak oleh bayi.
Acara dore, bertujuan untuk mengingatkan bayi, bahwa kelak dia akan hidup di
bumi yang bersih dan subur. Bayi harus mampu memanfaatkan kekayaan bumi untuk
kebahagiaan keluarga dan masyarakat. Sebab itu bayi harus menjaga keselamatan
bumi atau negeri.
Bayi yang di dore ro boru, harus memakai pakaian adat upacara. Hampir sama
dengan pakaian khitanan. Kalau bayi itu laki-laki, maka harus memakai kondo loi,
tembe monca (sarung kuning lambang kejayaan), kawari, songko panggeta’a yang
dihiasi jungge dondo. Kalau bayi itu perempuan,maka harus memakai kondo lo’i,
geno atau kondo randa (kalung panjang), kawari dan bosayaitu ponto kecil. (Bosa =
gelang yang lebih kecil dan ponto).
Pada jaman dulu, bagi keluarga bangsawan atau keluarga yang mampu secara
finansial pada prosesi dore ini biasa diiringi oleh alunan genda silu dan
dipertontonkan atraksi mpa’a Toja. Bersamaan dengan upacara dore ro boru diadakan
pula upacara pemberian nama bagi bayi yang dilakukan oleh seorang ulama. Nama
bayi harus mengikuti nama para Rasul dan Nabi atau nama para sahabat nabi. Dengan
harapan agar mengikuti jejak para Nabi dan Rasul serta sahabat. Bagi bayi putri
mengikuti nama istri Rasul dan Nabi atau nama istri-istri pejuang Islam.
Begitu kayanya tradisi lokal kita yang berkaitan dengan prosesi kelahiran
manusia, penuh dengan nilai-nilai makna filosofis tentang bagaimana sejatinya
manusia diciptakan dan menjadi khalifah di dunia. Teriring do’a dan harapan orang
tua agar anaknya kelak menjadi insan yang berguna bagi dirinya sendiri, bangsa dan
negara serta agama. Sayangnya upacara adat Bima berkaitan dengan kelahiran ini
semakin jarang kita lihat. Semoga kekayaan budaya ini kan tetap lestari dan dinikmati
keindahannya sampai anak cucu kita.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Upacara Salama Loko disebut juga dengan Kiri Loko dilakukan ketika kandungan
seorang ibu berumur tujuh bulan. Upacara ini hanya dilakukan bagi seorang ibu yang
pertama kali mengandung. Jalannya upacara dihadiri oleh kaum ibu dan dipimpin oleh
sando nggana (dukun beranak) yang dibantu oleh enam orang tua adat wanita.

Upacara akan dimulai pada saat maci oi ndeu (waktu yang tepat untuk mandi) di
sekitar jam 07.00. Sando nggana menggelar tujuh lapis sarung. Setiap lapis ditaburi beras
dan kuning uang perak sa ece (satu ketip = 10 sen). Selain itu disimpan pula dua liku atau
dua leo mama (dua bungkus bahan untuk menyirih). Maksud dan taburan beras kuning,
ialah agar ibu beserta calon bayinya akan hidup bahagia dan jaya. Uang sa ece, sebagai
peringatan kepada ibu bersama calon bayi, bahwa uang merupakan salah satu modal
dalam kehidupan.

B. SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca sangat kami
harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Berlanjut ke UPACARA ADAT MBOJO DAN DONGGO – PART 2 (Upacara Sunadan


Saraso)

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo.
Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

Anda mungkin juga menyukai