Anda di halaman 1dari 12

Makalah

PENDAPAT ULAMA TENTANG BID’AH PELET BETTENG

Untuk Memenuhi Tugas UAS

Mata Kuliah: Aswaja dan Keannuqayahan

Dosen Pengampu: Bapak Imam Sutaji

Disusun Oleh:

Dwi Yuliatin

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI ANNUQAYAH

GULUK-GULUK SUMENEP JAWA TIMUR

TAHUN PERIODE 2020-2021


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw serta seluruh keluara dan sahabat. Alhamdulillah setelah melalui proses,
akhirnya makalah yang berjudul PENDAPAT ULAMA TENTANG BID’AH PELET
BETTENG ini dapat terselesaikan.

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah UAS Aswaja disemester
Gasal. Dimana yang didalam makalah ini berisikan tentang acara tujuh bulanan dalam adat
Madura. Tidak hanya itu didalam makalah ini juga berisikan tentang pengertian bid’ah, serta
mengapa acara tujuh bulanan tersebut dianggap bid’ah sayyiah didalam pandangan
masyarakat.

Saya menyadari jika makalah ini jauh dari kata sempurna. Dikarenakan saya masih
dalam tahap proses belajar. Karenanya saya mohon maaf jika terdapat suatu kesalahan
didalam makalah yang saya buat.

Semoga Allah Swt senantiasa menjadikan setiap usaha yang kita lakukan sebagai amal
ibadah yang diridhai-Nya. Amin. Akhirul kalam,

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................................1

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4

a. Latar Belakang..........................................................................................................5
b. Rumusan Masalah.....................................................................................................6
c. Tujuan.......................................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................8
a. Pelet Betteng………………………………………………………………………..9
b. Bid’ah......................................................................................................................10
c. Pandangan Ulama Tentang Pelet Kandung…………………………………….....11

BAB III PENUTUP................................................................................................................12

a. Kesimpulan...................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagian besar masyarakat di Indonesia mempercayai bahwa kehidupan manusia
selalu diiringi dengn masa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan ancaman
dan bahaya (KOENTJARANINGRAT, 1985; KEESING, 1992). Masa – masa itu
adalah peralihan dari tingkat kehidupan yang satu ketingkatan kehidupan yang lainnya
(dari manusia masih berupa janin sampai meninggal dunia). Oleh karna masa – masa
tersebut dianggap masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya, maka diperlukan
adanya suatu usaha untuk menetralkannya, sehingga dapat dilalui dengan selamat
usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara yang kemudia yang dikenal sebagai
upacara lingkaran hidup indifidu yang meliputi: Kehamilan, Kelahiran, Khitanan, P
erkawinan, Dan kematian. namun makalah ini terfokus pada upacra masa kehamilan
yang disebut sebagai pelet kandung atau pelet betthneg (pijat perut) pada masyrakat
maduraa khususnya yang berada di daerah sumenep dan sekitarnya
Acara tujuh bulanan dalam islam ini menjadi perdebatan bagi beberapa ulama,
membolehkan dan ada yang tidak membolehkan karena adanya indikasi bid’ah dan
ritual-ritual yang dilakukan selama prosesi tujuh bulanan.
Banyak yang mengatakan bid’ah karena hal ini dianggap baru dan tidak ada di
zaman Nabi. Sedangkan dalam Islam, syukuran atau peringatan memang tidaklah
wajib. Acara yang dilakukan dengan mewah dan menghambur-hamburkan uang juga
tidak diperkenankan dalam islam apalagi kalau niatnya sebagai ajang unjuk diri
bahwa ia mampu dan kaya untuk membagikan banyak makanan kepada masyarakat.
Namun menurut madzhab Syafi’i, acara syukuran dengan membagikan perjamuan
atau hidangan makanan dan minuman kepada para tamu undangan adalah sunnah
dalam hal tersebut diniatkan untuk menunjukkan untuk rasa syukur akan nikmat Allah
dan sebagai bentuk berbagi kepada para saudara atau tamu undangan. Dimana dalam
proses acara tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk saling mempererat tali silatrrahmi
antara tamu undangan. Sehingga tidak dikatan pelet tujuh bulan ini sebagai bid’ah jika
hal tersebut diniatkan sebagai rasa syukur atas karunia yang telah Allah berikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pellet betteng?
2. Apa yang dimaksud dengan bid’ah?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang pelet betteng?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang pelet betteng
2. Mengetahui tentang bid’ah
3. Mengetahui tentang berbagai pendapat ulama
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pelet Betteng
Upacara pelet betteng diadakan ketika usia kandungan seseorang telah mencapai tujuh
bulan. Sebelum upacara diadakan, pada bulan pertama saat seorang perempuan mengandung,
diadakan upacara nandai. Pada saat upacara nandai selesai akan ditaruh sebiji bigilan atau
beton (biji nangka) diatas sebuah leper (tatakan cangkir) dan diletakkan diatas meja. Setiap
bulannya, dileper itu ditambah satu biji bigilan sesuai dengan usia kandungan perempuan
tersebut. Dan, pada saat di atas leper itu telah ada biji bigilan yang menandakan bahwa usia
kandungan telah mencapai tujuh bulan, maka diadakanlah upacara pelet kandung atau pelet
betteng. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan yang disebut pelet betteng ini diadakan
secara meriah pada perempuan yang mengalami masa kehamilan untuk pertama kali. Pada
masa kehamilan kedua dan ketiga upacara pelet betteng tetap dilakukan. Namun, tidak
semeriah saat kehamilan pertama.
Dalam upacara pelet betteng mempunyai beberapa tahapan, seperti:
1. Tahap pelet kandung (pijat perut)
2. Tahap penyepakan ayam
3. Tahap penginjaan kelapa muda dan telur
4. Tahap pemandian
5. Tahap orasol (kenduri)
Seluruh rentetan upacara ini biasanya dilakukan pada malam bulan pertama setelah
sholat isyak, dengan pertimbangan bahwa malam bulan purnama adalah malam yang
dirahmati Tuhan dan para peserta upacara telah terlepas dari rutinitas keseharian mereka.
Tempat pelaksanaan upacara pelet kandung bergantung pada tahap-tahap yang harus
dilalui. Untuk prosesi pelet kandung, penyepakan ayam, penginjaan telur, ayam dan kelapa
muda, dilakukan didalam kamar yang sedang mengandung. untuk prosesi pemandian
dilakukan dikamar mandi atau belakang rumah. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun
bayi dan dibantu mbah nyai (nenek dari perempuan yang sedang diupacarai). Sedangkan
upacara kenduri dilaksanakan diruang tamu dan dipimpin oleh seorang kyai atau ulama
ditempat tersebut. Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini adalah ayah, ibu, serta sanak
saudara dari yang diupacarai ataupun sanak saudara dari orsng tua suaminya. Disamping itu
hadir pula para tetangga yang sebagian besar perempuan dewasa atau yang sudah kawin.
Pralatan yang perlu disiapkan dalam upacara pelet betteng yaitu:
1. Kain putih sepanjang 1,5 m yang nantinya akan digunakan sebagai penutup badan
perempuan yang akan dimandikan
2. Air satu penai
3. Berbagai jenis bunga (biasanya 40 jenis bunga) untuk campuran air mandi
4. Gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan ganggangnya dari ranting pohin
beringin yang masih ada daunnya
5. Satu butir telur yang masih mentah dan sebutih lagi yang direbus
6. Satu leper ketan kuning yang sudah dimasak
7. Seekor ayam muda
8. Minyak kelapa
9. Kemenyan Arab
10. Setanggi
11. Uang logam
12. Sepasang cengker yang digambari Arjuna dan Subodro serta dibubuhi tulisan
Arab atau Jawa
13. Berbagai macam hidangan untuk kenduri
Ada beberapa nilai budaya yang terkandung dalam upacara pelet betteng. Antara lain:
Kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan dan religius.
Ritual pelet kandung merupakan sebagian tradisi masyarakat Madura dan sudah
popular dan sudah berlangsung lintas generasi. Istilah pelet kandung secara teoritis digunakan
untuk acara selamatan kandungan, khusus bagi sepasang suami istri dalam menyambut
kelahiran pertama. Sementara kehamilan kedua dan seterusnya, tidak perlu lgi diadakan ritual
pelet kandung sebab nilai nilai universal yang terkandung dalam pelet kandung seharusnya
sudah diamalkan sejak masa kehamilan pertama, sehingga tidak perlu diulang ulang
bersamaan dengan berulang – ulangnya anugrah kehamilan.
Sedangkan penyelenggaraan upacara pelet kandung, umumnya dilaksanakan pada usia
kehamilan memasuki tujuh bulan, yang menjadi fase kehamilan terdekat dengan masa
kelahiran, sehingga diperlukan tingkan kewaspadaan yang tinggi dan kesiapan ynag matang
bagi calon orang tua.
Ada pula yang menyeleggarakan pelet kandung dalam usia kandungan empat bulan,
dengan sebuah keyakinan yang didasarkan pada agama bahwa dimasa kandungan berumur
empat bulan, Allah Swt menuipkan roh dan menetapkan takdir si calon anak.
Perlu dipahami bahwa ritual pelet kandung adalah ritual kebudayaan yang penuh
dengan simbolisasi nilai-nilai keagamaan. Bukan dibalik sebagai ritual keagamaan yang
termanefestasi kedalam sebuah bentuk kebudayaan. karena sebagian ritual kebudayaan,
kegiatan upacra pelet kandung akan selamat dari tuduhan -tudhan negatif seperti bid’ah, sesat
dan saudara-saudaranya. Beda halnya ketika dipandang sebagai ritual keagamaan,
sebagaimana juga tahlilan dan maulidan, maka orang akan mudah menuduhnya sebagai
bid’ah, syirik dan tuduhan lain yang serupa, karena sejarah memamg belum pernah mencatat
bahwa kanjeng Nabi Muhammad Saw dan sahabat- sahabat beliau datang kemadura untuk
menghadiri acara pelet kandung.
Meskipun bukan sunah rasul, ritual peet kandung merupakan hasil rekayasa budaya
yang diciptakan oleh para kreator ulama terdahulu sebagai siasat menyusutkan nilai – nilai
keislaman kedalam berbagai kebudayaan masyarakat madura. Namun penyiasatan tersebut
tidak sampai menimbukan sinkrestisme, karea yang disusubkan adalah nilai keisamannya,
bukan ajaran islamya. Sebagai sebuah nilai, tentu islan tidak bis berdiri dan akan berbaur
dengan nilai - nilai yang lain yang berkembang di lapisan masyarakat sebagai pluralitas
sosial.
Sebagai sebua ritual dan tradisi, peet kandung menyimpan aneka ragam simbol yang
penuh dengan kearifan lokal, baik yang berhubungan dengan orang tua atau calon anak yang
hendak lahir. Simbo – simbol tersebut harus diterjemahkan ke dalam bentuk nilai – nilai yang
tindakan nyata, sehingga tidak hanya berupa sistem perlambang yang abstrak, irasional dan
berbau mistik serta tidak punya lahan aplikatif sama sekali.
Proses penerjemahan ini harus didasarkan pada paradikma awam bahwa munculnya
ritual pelet kandung sebagai tradisi menyambut kehamilan, khususnya pada kehamilan
pertama, tidak terlepas dari kontek kebudayaan secara umum, yang bereperan sebagai
pandangan hidup dan sistem bertindak.
B. Bid’ah
Bid’ah menurut imam Syafi’ie yang mengklaim ada macam dua bid’ah yaitu bid’ah
Sayyi’ah dan bid’ah Hasanah. Imam syafi’ie mengemukakan bahwa bid’ah Hasanah adalah
bid’ah yang sesuai dengan tujuan syara’ meskipun tidak diperbuat oleh Rauluah Saw,
sementara bid’ah Syayyi’ah adalah bid’ah yang tidak sesuai dengan tujuan syara’.
Pemahaman semacam ini mengacu pada sikap Umar Bin Khattab yang melakukan renofas
daam solat tarawih pasca wafatnya Nabi, dan ia mengatakan “ni’mat al bid’ah hadhihi”
( sungguh ini bentuk bid’ah yang sangat mulia).
Umat Isam di Madura maupun pulau lainnya, saat menyambut putra pertama ternyata
masih melakukan ritual – ritual yang tidak ada perintahnya dari Nabi Muhammad Saw. Acara
itu adalah ketika kandungan umur tiga bulan, maupun kandungan yang berumur tujuh bulan.
Dan hal ini sangan melekat pada masyarakat Indonesia khususnya Madura, mayoritas
masyarakat menggap budaya pelet kandung merupakan tradisi yang sangat sakral dan
pantang ditinggalkan, hal tersebut mengingat paham tentang ketakutan mereka akan ketidak
sempurnaan lahir dari bayi bila tidak diadakan upacara pelet kandung atau pelet betteng.
Sebenarnya bahkan ditakutkan bahwa yang ghaib merasa ditinggalkan dan bayi
tersebut dapat saja dikutuk untuk dijadikan peringatan jadinya. Hal ainnya tentu saja untuk
meneruskan budaya yang telah lama trurn temurun dari nenek moyang, sehingga seriing kali
dibeberapa daerah keluarga yang tidak melekukan akan dicea warga.
Meski demikian tidak sepenuhnya masyarakat berpendapat sama dan memberi
tanggapan positif akan paham tersebut. Justru paham inilah yang sering kali menimbukan
protes keras dari beberapa pihak. Mereka menyebutkan bahwa paham tersebut sama sekali
bukan ajaran isam dan melenceng jauh dari nilai – nilai agama Islam, bahkan diantaranya
acra tersebut haram dilakukan karena dianggap meencengkan agama (bid’ah). Dan semua
perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah kesesatan, Rasulluah Saw
bersabda, “waiyyakum wamuhdastatil umuri fainna kulla muhdatsatin bid’atun wakula
bid’atin dhalalatun”
Artinya ; “ jauhilah semua perkara baru ( dalam agama) karena semua perkara baru
(dalam agama) dalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan(HR Abu Daud, no.
4607:Tirmidzi, 2676:Addarimi, Ahmad dan lainnya dari Alirbat Bin Syaria).
Kemudian jika keselamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan
membawa keselamatan dan kebaikan dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan
bencana atau keburukan, maka kenyakinan seperti itu merupakan kemusrikan. Karena
sesungguhnya keselamatan dan bencana itu ada ditangan Allah semata. Alah berfirman ;
“kul atta’budhuna min dhunilahi mala yamliku lakum dharra walanaf’a wallahu
huwassamiul ‘alim”
Artinya: “ katakanlah”mengapa kamu menyembah seain kepada Allah sesuatu yang
tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak(pula) memberi manfaat? Dan Allahlah
yang maha mendengar lagi maha mengetahui (QS Al maidah ayat :76).
C. Pandangan Ulama’ Tentang Pelet Kandung
Dalam pandangan fiqih, segala bentuk jamuan yang disuguhkan dan dihidangkan dalam
waktu-waktu tertentu, seperti saat pernikahan, khitan, kelahiran atau atau hal-hal lain yang
ditujukan sebagai wujud rasa kegembiraan itu dinamakan walimah, hanya saja kata walimah
biasanya diidentikkan dengan hidangan dalam acara pernikahan (walimatul 'arus). Semua ulama'
sepakat bahwa selain walimatul 'arusy hukumnya tidak wajib, namun menurut madzhab syafi'i
mengadakan perjamuan/hidangan selain untuk walimatul arusy hukumnya sunat, sebab hidangan
tersebut dimaksudkan untuk menampakkan nikmat Alloh dan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat
tersebut, dan disunatkan pula untuk menghadiri undangan jamuan tersebut untuk menyambung
hubungan baik sesama muslim dan menampakkan kerukunan dan persatuan . Rasululloh shallallahu
ُ ‫اع أَل َ َجب‬
'alaihi wasallam bersabda: ‫ْت‬ ٍ ‫يت إِلَى ُك َر‬
ُ ِ‫لَ ْو ُدع‬
Artinya: “Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu satu paha belakang
(kambing), pasti akan aku penuhi." (Shohih Bukhori, no.5178
Dari sudut pandang ini, acara 7 bulanan hukumnya boleh, bahkan sunat karena termasuk
dalam walimah yang bertujuan untuk menampakkan rasa gembira dan syukur akan nikmat Allah
berupa akan lahirnya seorang bayi. Terlebih lagi apabila hidangan tersebut disuguhkan dengan
mengundang orang lain dan diniati untuk sedekah sebagai permohonan agar ibu yang mengandung
dan bayi yang dikandungnya terhindar dari mara bahaya.
Para ulama' menyatakan bahwa hukum sedekah adalah sunat, apalagi jika dilakukan pada
saat-saat penting dan genting, seperti pada bulan ramadhan, saat terjadi gerhana, saat sakit, dan
َ ‫لصَّدَ َق ُة َت ُس ُّد َس ْبع‬
lain-lain. Dalam satuh hadits diriwayatkan : ‫ِين َبابًا م َِن السُّو ِء‬
Artinya: "Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan". (Mu'jam Kabir
Lit-Thobroni, no.4402).
Nabi memang tidak pernah mengerjakan acara seperti ini, karena memang ini adalah budaya
suatu daerah, namun hal ini tidak serta merta menjadikan acara ini dihukumi bid'ah
sayyi'ah/qobihah (bid'ah yang buruk). Karena bid'ah yang dianggap buruk apabila bertentangan
dengan ajaran dan aturan dalam agama islam, sedangkan apabila tidak melanggar, atau bahkan
malah mendapatkan payung hukum dari agama, maka termasuk dalam bid'ah hasanah (bid'ah yang
baik). Jadi, selama dalam prosesi acaranya tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dalam agama,
acara ini tidak bisa dikategorikan dalam bid'ah sayyi'ah/qobihah. Imam Asy-Syafi'i rahimahullah
berkata: ‫و‬##‫ك فه‬##‫ي ًئا من ذل‬##‫ وما أحدث من الخير ولم يخالف ش‬،‫ما أحدث وخالف كتابًا أو سنة أو إجماعً ا أو أثرً ا فهو البدعة الضالة‬
‫المحمود‬
Artinya: "Hal-hal yang baru yang menyalahi Alqur'an As-sunnah,Ijma'(kesepakatan
Ulama'),atau atsar maka itu bid'ah yang menyesatkan .Sedangkan suatu hal yang baru yang tidak
menyalahi salah satu dari keempatnya maka itu(bid'ah)yang terpuji".
Sehingga, jika kita ingin melakukan acara tujuh bulanan silahkan saja. Asal selama acara
tersebut berlangsung kita tidak melanggar syariat-syariat islam.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ritual pelet kandung merupakan sebagian tradisi masyarakat Madura yang sangat
popular dan sudah berlangsung lintas generasi. Istilah pellet kandung secara teoritis
digunakan untuk acara selamatan kandungan, khusus bagi sepasang suami istri dalam
menyambut kelahiran anak pertama.
Acara 7 bulanan atau pellet kandung itu memang tak ada dalil khususnya dan tidak
pernah dikerjakan oleh Nabi, namun boleh dikerjakan, bahkan hukumnya sunat apabila
dikerjakan untuk menampakkan rasa gembira dan syukur atas nikmat Alloh, apalagi bila
disertai dengan sedekah.Dan tentu saja acara ini diperbolehkan selama tidak terdapat hal-
hal yang dilarang dalam prosesi acara tersebut.
Jika kegiatan yang dilakukan positif, seperti membaca Al-Quran, zikir bersama, atau
menyantuni anak yatim, maka acara selamatan saat hamil 7 bulan, pellet kandung boleh-
boleh saja dilakukan.
Hukum diperbolehkannya melakukan tradisi baik, juga tertuang dalam hadits yang
bersumber dari sahabat Nabi Muhammad SAW, Ibnu Mas'ud.

ِ ‫هللا َح َسنٌ َو َما َرآَهُ ْالمُسْ لِم ُْو َن َسيِّئا ً َفه َُو عِ ْن َد‬
‫هللا َسيِّ ء‬ ِ َ‫ َما َرآَهُ ْالمُسْ لِم ُْو َن َح َس ًنا َفه َُو عِ ْند‬.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula
menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.”
(HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”

Adanya hadits tersebut kemudian dijadikan salah satu pedoman diperbolehkannya


melakukan tradisi-tradisi baik yang dilakukan turun temurun di masyarakat maupun tidak.

DAFTAR PUSTAKA
Keesing, Roger.1992.Antropologi Budaya Edisi ke dua.Jakarta.Erlangga.
Koentjaraningrat.1985.Beberapa Pokok Antropologi Sosial.Jakarta:Dian Rakyat.
Mustopo, Habib.Dkk.1984.Upacara Tradisional Daerah Jawa Timur.Surabaya:Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Mohamad Shafawi Bin Md Isa.2018. Konsep Bid’ah Menurut Imam Nawawi Dan Syekh Abdul Aziz Bin
Baz.Ar-Raniry.Aceh

Anda mungkin juga menyukai