0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
39 tayangan5 halaman
Upacara Mandi Tian Mandaring adalah tradisi adat Banjar di Kalimantan Selatan untuk membersihkan jiwa wanita hamil pertama. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan, dimana si ibu duduk di ruang tengah sambil memangku kelapa dan disiram air bunga oleh bidan dan wanita tua lainnya untuk membersihkan raga dan jiwa agar proses kehamilan dan persalinan berjalan lancar.
Upacara Mandi Tian Mandaring adalah tradisi adat Banjar di Kalimantan Selatan untuk membersihkan jiwa wanita hamil pertama. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan, dimana si ibu duduk di ruang tengah sambil memangku kelapa dan disiram air bunga oleh bidan dan wanita tua lainnya untuk membersihkan raga dan jiwa agar proses kehamilan dan persalinan berjalan lancar.
Upacara Mandi Tian Mandaring adalah tradisi adat Banjar di Kalimantan Selatan untuk membersihkan jiwa wanita hamil pertama. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan, dimana si ibu duduk di ruang tengah sambil memangku kelapa dan disiram air bunga oleh bidan dan wanita tua lainnya untuk membersihkan raga dan jiwa agar proses kehamilan dan persalinan berjalan lancar.
Kalimantan TImur. Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara Tijak Tanah dan Mandi Ketepian Ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 Tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja Kutai Erau berasal dari bahasa Kutai “Eroh” yang Kartanegara. Pelaksanaan Erau yang terakhir artinya ramai, riuh rebut, suasana yang penuh suka menurut tata cara kesultanan Kutai Kartanegara cita, suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dilaksanakan pada tahun 1965, Ketika diadakan dalam arti: banyak kegiatan kelompok orang yang upacara Pengangkatan Putra Mahkota Kesultanan mempunyai hajat dan mengandung makna baik Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Adipati Praboe bersifat sacral, ritual maupun hiburan. Acara yang Anoem Soerya Adiningrat. Sedangkan, Erau sebagai dilaksanakan dalan Festival Erau berupa upacara upacara adat Kutai dalan usaha pelestarian budaya adat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, dari pemda Kabupaten Kutai baru diadakan pada pertunjukan seni dan budaya dari berbagai daerah, Tahun 1971 atas prakarsa Bupati Kutai saat itu, Drs. Lomba Olahraga Tradisional, Lomba Perahu Naga, H. Achmad Dahlan. Upacara Erau dilaksanakan 2 Lomba Perahu Motor, Expo dan Pesta Rakyat. Selain Tahun sekali dalam rangka peringatan ulang tahun menampilkan budaya-budaya yang dimiliki Kutai, kota Tenggarong yang berdiri sejak 29 September adapula pertunjukan adat dan budaya dari daerah 1782. Seiring berjalannya waktu, kini Erau bahkan negara lain. Sehingga Festival Erau tidak dijadiakan sebuah Festival yang diadakan setiap hanya menjadi daya tarik bagi warga Kalimantan, Tahun sebagai pesta budaya. namun juga menjadi pusat perhatian warga Dunia.
Adapun acara puncak dari Festival Erau
adalah Berlimbur, yitu saling membasahi warga yang Peninggalan upacara daur hidup dari masyarakat Banjar mengenal beberapa jenis ritual penyucian diri atau pembersihan jiwa. Ritual pembersihan diri ini disebut badudus atau bamandi-mandi. Istilah badudus hanya digunakan pada jenis acara kerajaan, sedangkan jenis mandi yang sering dilakukan pada upacara daur hidup antara lain, menjelang pesta perkawinan, dan mandi bagi wanita hamil pertama, Pada pelaksanaan upacara mandi, tidak harus semua wanita yang pertama kali hamil harus menjalani. Karena upacara ini awalnya diperuntukkan bagi keluarga wanita yang sudah menjalani adat ini turun temurun. Akan tetapi, bisa saja bagi wanita hamil ada sesuatu yang mengharuskan calon ibu untuk menjalani upacara mandi meskipun ia bukan berasal dari keturunan yang wajib menjalaninya. Upacara mandi dapat terjadi jika terdapat kondisi khusus saat kehamilan atau kekuatiran akan bayi yang berada dalam kandungan. Ada kepercayaan orang Banjar, apabila “gretek hati” atau was-was mengenai kondisi kehamilan, maka hal ini mengharuskan calon ibu untuk melakukan upacara mandi sebagai sarana menguatkan diri dalam menjalani kehamilan. Apabila upacara tersebut dilalaikan atau tidak dilaksanakan dapat menyebabkan yang bersangkutan atau salah seorang kerabat dekat terkena “pingit”. Akibatnya proses kelahiran berjalan lambat atau bayi yang dikandung lahir tidak sempurna. Salah satu upacara mandi yang terdapat di masyarakat Banjar adalah upacara mandi “Tian Mandaring”. Tian artinya mengandung atau hamil, sedangkan mandaring adalah istilah bagi mengandung anak sulung/pertama. Sehingga mandi tian mandaring berarti adat mandi untuk seorang wanita yang baru pertama kali hamil Mandi tian mandaring dilakukan saat usia kehamilan memasuki tujuh bulan. Usia tujuh bulan dipilih sebagai waktu yang tepat karena pada usia inilah bayi dalam kandungan terasa mulai sangat aktif dan akan menuju posisi melahirkan. Ketika kehamilan tujuh bulan, proses fisik bayi mulai berkembang pesat, seperti pertumbuhan otak, penambahan berat badan, tempurung kepala bayi mulai mengeras dan Setelah persiapan dan perlengkapan upacara telah tersedia, maka dilaksanakanlah proses upacara mandi hamil ini. Wanita hamil yang diupacarakan memakai pakaian yang indah-indah dan memakai perhiasan, duduk di atas lapik di ruang tengah sambil memangku sebiji kelapa tumbuh yang diselimuti kain kuning menghadapi sajian wadai ampat puluh. Setelah beberapa lama duduk dengan disaksikan oleh para undangan wanita, perempuan hamil itu turun ke pagar mayang sambil menggendong kelapa tumbuh tadi. Ketika ia turun ke pagar mayang, ia menyerahkan kelapa yang digendongnya kepada orang lain, bertukar pakaian dengan kain basahan kuning sampai batas dada, lalu duduk di atas bamban bajalin, sedemikian sehingga kuantan tanah langsung remuk. Para wanita tua yang membantunya mandi (jumlahnya selalu ganjil, sekurang- kurangnya tiga dan paling banyak tujuh orang dan seorang di antaranya bertindak sebagai pemimpinnya, yaitu biasanya bidan) menyiraminya dengan air bunga, membedakinya dengan kasai temugiring lalu mengeramasinya. Selanjutnya para pembantunya itu berganti-ganti mamapaikan berkas mayang, berkas daun balinjuang dan berkas daun kacapiring kepadanya dan kadang-kadang juga kepada hadirin di sekitarnya. Proses berikutnya ialah menyiramkan berbagai air lainnya, yaitu banyu baya, yang telah dicampur dengan banyu Yasin atau banyu doa, dan banyu Burdah. Setiap kali disiram dengan air-air tersebut, si wanita hamil diminta untuk menghirupnya sedikit. Sebuah mayang pinang yang masih belum terbuka dari seludangnya diletakkan di atas kepala wanita hamil tersebut lalu ditepuk, diusahakan sekali saja sampai pecah. Mayang dikeluarkan dari seludangnya lalu diletakkan di atas kepala wanita hamil dan disirami dengan air kelapa muda tiga kali berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga airnya harus dihirup oleh wanita hamil itu. Kemudian diambil dua tangkai mayang dan diselipkan di sela-sela daun telinga si wanita hamil masing-masing sebuah. Lalu dua orang perempuan tua membantunya meloloskan lawai dari kepala sampai ke ujung kaki, tiga kali berturut- turut. Untuk melepaskan lawai dari kakinya, pada kali yang pertama ia melangkah ke depan, kali yang ke dua melangkah ke Mandi Tian Mandi Tian Mandaring Mandaring