Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ziyan Ababil

NIM : 201010700116

Kelas : 06SIDP002

Pemaknaan Pada Komponen Suguhan Memitu di Indramayu

Tradisi yang hingga saat ini masih berkembang dan dilakukan oleh masyarakat
Indramayu salah satunya yaitu memitu atau miton. Memitu merupakan istilah yang digunakan
oleh masyarakat Indramayu dalam pelaksanaan siraman tujuh bulanan wanita hamil. Kata
memitu diambil dari bahasa Jawa yaitu dari kata “Pitu” yang berarti tujuh. Menurut (Nihayah,
2015: 2) “Tradisi memitu adalah perayaan tujuh bulan yang dilaksanakan pada usia kehamilan
wanita yang berusia tujuh bulan dan pada kehamilan yang pertama kali dalam rangka
menyambut kelahiran sang anak”. Pelaksanaan tradisi memitu ini tidak selalu dilakukan oleh
setiap wanita hamil yang menginjak usia tujuh bulan, tetapi memitu dilaksanakan ketika wanita
hamil tersebut sedang mengandung anak pertama dengan maksud untuk menyambut kelahiran
anak pertama. Sehingga tradisi memitu ini merupakan hajat oleh pasangan suami istri ketika
akan mempunyai seorang anak pertama.

Pelaksanaan tradisi memitu tidak bisa sembarang dilakukan, karena pelaksanaannya


harus sesuai dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. Biasanya tradisi tersebut dilakukan
pada tanggal-tanggal yang mengandung unsur angka tujuh, seperti tanggal tujuh, tujuh belas,
dan dua puluh tujuh pada usia kehamilan tujuh bulan. Menurut (Nihayah, 2015: 2) tradisi
tersebut dilakukan pada usia kehamilan tujuh bulan karena “Usia kandungan tujuh bulan itulah
bayi yang berada di dalam kandungan sudah sempurna dari mulai bentuk kepala, tulang, badan,
otak dan lain sebagainya”. Jabang bayi memiliki bentuk badan yang lengkap dan sempurna
ketika dalam usia kandungan tujuh bulan. Oleh karena itu, pelaksanaan memitu ini bertujuan
sebagai bentuk pengharapan keselamatan dan kesehatan si jabang bayi yang berada dalam
kandungan.

Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan prosesi memitu yaitu pada sebuah bilik
yang dibuat dari bambu berbentuk kotak dengan dibalut kain panjang atau tapih yang
melingkari setiap sisinya. Kain panjang tersebut tidak membalut semua bagian bilik bambu,
tetapi hanya setengahnya saja. Selain itu, bagian atap bilik bambu dibalut menggunakan kertas
wajik sebagai penutupnya.
Sumber : Facebook

Bilik bambu yang dibuat, ukurannya tidak terlalu besar, hanya kisaran untuk bisa dimasuki dua
sampai empat orang saja. Selain itu, di sekelilingnya juga terdapat berbagai hiasan yang
bermacam-macam, mulai dari makanan, uang, bunga dan dedaunan, bahkan bendera merah
putih yang dibuat dengan kertas wajik. Dengan ditambahkannya hiasan-hiasan tersebut
bertujuan agar prosesi memitu ramai didatangi orang, karena setelah siraman tersebut selesai,
maka orang-orang akan memperebutkan hiasan-hiasan itu.

Sebelum memulai prosesi memitu, tuan hajat menyiapkan terlebih dahulu suguhan-
suguhan yang diletakkan di depan bilik bambu tempat pemandian. Suguhan biasa disebut juga
sesajen. Menurut Wa Jebod (narasumber) suguhan ini termasuk dari warisan orang zaman
dahulu, yaitu segala sesuatu yang diberikan untuk orang-orang yang sudah meninggal, baik
orang tua, mau pun kerabat yang berada di dalam maupun luar rumah, maupun berada di
lingkungan itu, diperintahkan untuk makan, lalu kembali ke tempat masing-masing setelah
selesai makan dan meminta untuk tidak mengganggu manusia-manusia yang masih hidup”.
Umumnya, suguhan yang dihidangkan berupa makanan. Adapun media yang digunakan untuk
memanggil arwah-arwah orang yang sudah meninggal yaitu dengan menggunakan kemenyan
yang dibakar lalu mengirim doa dan menyebut arwah-arwah tersebut untuk menikmati suguhan
yang dihidangkan. Oleh karena itu, maksud dari suguhan yang disandingkan untuk arwah
orang-orang yang sudah meninggal memiliki tujuan yang baik, yaitu agar mereka tidak
mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Suguhan yang dihidangkan dalam pelaksanaan memitu bermacam-macam, baik berupa
makanan maupun benda. Suguhan tersebut bukan semata-mata karena tidak memiliki makna,
namun suguhan tersebut masing-masing memiliki makna dan tujuan untuk keselamatan jabang
bayi. Menurut Wa Jebod, “suguhan yang disandingkan dalam tradisi memitu diambil dari
sedekah-sedekah baik berupa makanan maupun benda yang telah dilaksanakan pada usia
kehamilan sebelum-sebelumnya”. Suguhan berupa makanan dan benda dikumpulkan dalam
satu tempat yang bernama “tampah” kemudian dibacakanlah kidung memitu oleh tokoh
masyarakat selaku pelaku dalam tradisi memitu. Setelah pembacaan kidung selesai, maka
prosesi siraman memitu mulai dilakukan, dan masyarakat akan berebut mengambil suguhan
tersebut.

Nasi tumpeng biasanya sering digunakan dalam prosesi upacara adat dalam suatu
kebudayaan. Nasi yang digunakan untuk membuat nasi tumpeng umumnya menggunakan nasi
kuning yang dibuat dengan rempah-rempah yang dicetak dengan membentuk kerucut.
Biasanya nasi tumpeng dan bekakak ayam panggang merupakan seperangkat yang tidak
terpisahkan. Menurut keterangan Wa Jebod, “nasi tumpeng ini dimaknai sebagai perempuan
yang sedang hamil berusia tiga bulan, pemikirannya jujur, jadi diperintahkan kepada
perempuan hamil dengan usia kandungan tiga bulan untuk membunuh kadal atau cicak sambil
mengucap ‘tingeling’. Kemudian untuk menyelamatkan si jabang bayi ini, yaitu dengan
membuat sedekah berupa nasi tumpeng”. Dalam prosesi memitu, nasi tumpeng ini akan
diberikan kepada tokoh masyarakat yang menjadi pengidung di pelaksanaan memitu tersebut.
Oleh karena itu, di antara suguhan-suguhan lain yang disandingkan, yang disisakan hanyalah
nasi tumpeng dan bekakak ayam saja, karena akan diberikan untuk pengidung. Suguhan
lainnya akan diperebutkan oleh orang-orang yang menghadiri prosesi tersebut.

Selain nasi tumpeng dan bekakak ayam, komponen suguhan lain dalam tradisi memitu
terdapat juga rujak buah. Umumnya tradisi memitu identik dengan rujak buah, sehingga rujak
buah ini menjadi simbol dalam tradisi memitu. Menurut Wa Jebod “rujak buah dalam suguhan
memitu bertujuan untuk keselamatan jabang bayi dengan bersedekah buah-buahan yang diolah
menjadi rujak”. Rujak yang dibuat yaitu menggunakan berbagai macam buah-buahan yang
diparut dan dicampurkan dengan sambal gula dan kacang. Pembuatan rujak buah ini biasanya
dibantu oleh ibu-ibu secara ramai. Dengan demikian, masyarakat setempat percaya
bahwasanya jenis kelamin jabang bayi bisa ditentukan melalui rasa pada rujak tersebut. Jika
rujak tersebut rasanya enak, maka kemungkinan bayi yang lahir adalah seorang perempuan.
Tetapi sebaliknya, jika rasa rujaknya tidak enak, maka bayi tersebut yaitu seorang laki-laki.
Komponen suguhan lainnya yang terdapat dalam pelaksanaan memitu yaitu ketupat.
Ketupat merupakan makanan yang terbuat dari bahan dasar beras yang sudah dicuci bersih
lalu dibungkus menggunakan daun kelapa muda yang sudah dianyam berbentuk menyerupai
bangunan jajar genjang. Menurut Wa Jebod “ketika usia kandungan sudah menginjak empat
bulan, maka jabang bayi tersebut sudah diberikan nyawa. Ketupat ini bertujuan untuk
mengharap keselamatan si jabang bayi pada saat menginjak usia kandungan empat bulan
dengan bersedekah ketupat”. Ketupat yang sudah dibuat akan dibagikan kepada kerabat dan
tetangga sekitar. Sedekah ketupat ini bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Indramayu,
tetapi beberapa daerah lain juga membuat ketupat untuk menandakan bahwasanya wanita
hamil ini sudah menginjak usia empat bulan.

Komponen suguhan lainnya ada juga kelapa cengkir yang digambar menyerupai
wayang Arjuna. Kelapa cengkir berbeda dengan kelapa biasa. Ukuran yang dimiliki kelapa
cengkir lebih kecil dibanding kelapa biasa. Bahkan warnanya pun kelapa cengkir cenderung
berwarna warna kuning. Menurut Wa Jebod “Kelapa cengkir dengan ukiran wayang Arjuna
bertujuan agar jabang bayi yang di kandungan memiliki tingkah laku, tuturan yang baik seperti
tokoh Arjuna”. Tokoh wayang Arjuna digambarkan dengan karakter yang baik, sehingga
menjadi pengharapan untuk jabang bayi agar berperilaku seperti tokoh Arjuna. Oleh karena itu,
kelapa cengkir ini suguhan yang tidak terlewatkan dalam tradisi memitu.

Selain suguhan memitu berupa makanan, terdapat juga suguhan berupa benda, yaitu
kendi. Kendi merupakan tempat yang digunakan untuk menampung air yang terbuat dari tanah
liat. Menurut Wa Jebod “Kendi dimaknai sebagai bentuk permintaan untuk kemudahan dan
kelancaran dalam proses persalinan”. Karena pada tradisi memitu, kendil ini digunakan sebagai
wadah air yang akan digunakan untuk siraman. Setelah siraman selesai, kendi tersebut dibawa
lari oleh suami dari perempuan hamil tersebut dan kendi itu dipecahkan di pertigaan maupun
perempatan jalan terdekat. Karena di dalam kendi itu berisikan air dan uang koin, maka orang-
orang akan berebut uang itu ketika kendi dipecahkan.

Dari pemaparan yang sudah disebutkan, kita bisa mengetahui bagaimana prosesi dan
suguhan apa saja yang terdapat dalam tradisi memitu di Indramayu. Tradisi ini merupakan
bentuk rasa syukur terhadap pasangan suami istri yang telah dikaruniai anak, sehingga
mengharapkan keselamatan dan kesehatan pada jabang bayi itu. Wa Jebod mengungkapkan
bahwasanya tradisi ini menjadi salah satu warisan budaya yang masih dikembangkan oleh
masyarakat Indramayu hingga saat ini. Walaupun pelaksanaan memitu dikemas semakin
modern, tetapi hal itu tidak mengurangi rasa khidmat ketika prosesi memitu berlangsung. Oleh
karena itu, pentingnya kita sebagai generasi muda untuk menjaga dan melestarikan warisan
budaya ini agar tidak ditelan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA

Nihayah, N. (2015). Tradisi Memitu Di Masyarakat Desa Pusakaratu Kecamatan


Pusakanagara Kabupaten Subang Dalam Perspektif Hukum Aadat Dan Hukum Islam. 1,
1–27.

Anda mungkin juga menyukai