Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH SKI

Tradisi Sunda

KELAS : IX.X
DISUSUN
O
L
E
H
KELOMPOK II
JOSHUA H.N BESLAR
ARYA FATURAHMAN ABDUL
ELSA NURFADILAH ABDUL
QALIFA MASITHA BAGA
SITTY MIFTHAYANI MAARUF
UPACARA MENGANDUNG TUJUH BULANAN

Asal Muasal Upacara Tingkeban

Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara
tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh
bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya.

Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang
pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali,
namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap
raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut
disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul
17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil
mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma,
hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun.
Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi lalu berganti pakaian
yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang
dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi
Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan
daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar.Setelah kelapa gading tadi di-brojol-
kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.

Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa


menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu,
ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan
lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau
kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda,
karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu
apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau
mitoni.

Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Batas


tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami
istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk
(menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh
bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan
kewajiban luhur.Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku
prihatin.

Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya
burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya,
tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa
agar bayinya lahir selamat. Beberapa pantangan yang patut dicatat oleh ibu
hamil maupun suaminya, juga mengarah pada budi pekerti Jawa luhur. Yakni,
seorang ibu hamil dilarang makan buah yang melintang (misalnya buah kepel),
dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang. Jika posisi melintang akan
menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan
kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila
terlalu banyak akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan
tidak boleh duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk padi,
sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak
dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan memalukan dan
tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang menyembelih hewan,
sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk
lain. Penganiayaan juga merupakan tindakan yang tak baik.

Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau meyembelih hewan, ini
dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak dan perilaku yang
dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih berhati-hati. Di
samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak mencacat atau
membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat, adalah langkah
hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar pasangan tersebut tidak semena-
mena kepada orang lain yang cacat. Proses selamatan mitoni dilakukan di kebun
kanan kiri rumah pada suatu krobongan. Krobongan adalah bilik yang terbuat
dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya menghadap ke timur, dihiasi
dengan tumbuh-tumbuhan.

Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami ketika
melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti
ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun maksud pintu krobongan
menghadap ke timur, dapat dikaitkan dengan asal kata timur dari bahasa Jawa
wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah permulaan hidup (sangkan paraning
dumadi).

Arti atau Makna Upacara Tingkeban

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini
disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini
dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.
Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi
semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang
sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan
berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.

Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan 27 sebelum


bulan purnama pada penanggalan Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah
menghadap kearah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil
misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh
kali, yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh
acara pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan
rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu
ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk
keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk lambang-
lambang yang masing-masing mempunyai makna.

Prosedur Upacara Tingkeban

Dalam upacara tingkeban tidak sembarangan dilaksanakan begitu saja adapun


cara cara dalam melaksanakan upacara tingkeban ini antara lain adalah :

 Siraman yang di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang termasuk


ayah dan ibu wanita hamil serta suami dari calon ibu. Siraman ini
bermakna memohon doa restu agar proses persalinan lancar dan anak
yang akan dilahirkan selamat dan sehat jasmani dan rohani. Sebaiknya
yang memandikan adalah orang tua yang sudah mempunyai cucu.
 Setelah siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara memasukan telur
ayam dan cengkir gading. Calon ayah memasukan telur ayam mentah ke
dalam sarung/kain yang di kenakan oleh calon ibu melalui perut sampai
pecah kemudian menyusul kedua cengkir gading di teroboskan dari atas
ke dalam kain yang di pakai calon ibu sambil di terima di bawah oleh
calon nenek dan kelapa gading tersebut di gendong oleh calon nenek dan
di letak kan sementara di kamar. Hal ini merupakan symbol harapan
semoga bayi akan lahir dengan mudah tanpa ada halangan.
 Upacara Ganti Pakaian. Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai dasar
pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi yang akan di
lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu
berganti baju 6 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas belum?”,
dan di jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang
terakhir ke tujuh kali di jawab “ pantas”. Sebagai informasi, kain yang di
pakai pada upacara berganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang
semua nya dapat dimaknai secara baik

Upacara Angrem
Setelah upacara ganti busana Calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan
kain yang tadi habis di gunakan. Hal ini memiliki symbol bahwa calon
ibu akan selalu menjaga kehamilan dan anak yang di kandungnya dengan
hati hati dan penuh kasih sayang. Calon Ayah menyuapi calon Ibu dengan
nasi tumpeng dan bubur merah putih sebagai symbol kasih sayang
seorang suami dan calon ayah.
Upacara Mecah Kelapa
Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di gendong oleh
calon nenek untuk di bawa keluar dan di letak kan dalam posisi terbalik
(gambar tidak terlihat) untuk di pecah, Kelapa gading nya berjumlah 2
dan masing masing di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan Kamaratih.
Calon ayah memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut.

 Apabila calon ayah memilih Kamajaya maka bayi akan lahir Laki laki,
sedangkan jika memilih Kamaratih akan lahir perempuan ( hal ini hanya
pengharapan saja, belum merupakan suatu kesungguhan)
Dodol Rujak
Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah,
para tamu yang hadir membeli nya dengan menggunakan kereweng
sebagai mata uang. Makna dari upacara ini agar kelak anak yang di
lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat menghidupi keluarga nya.

UPACARA REUNEUH MUNDINGEUN


Upacara Reuneuh Mundingeun di laksanakan apabila perempuan yang
mengandung lebih dari 9 bulan , bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum
melahirkan juga , perempuan yang hamil itu di sebut Reuneuh Mundingeun
,seperti munding atau kerbau yang bunting . upacara ini di selenggarakan agar
perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau , dan
agar tidak terjadi sesuatu yang tidak di inginkan .

Pada pelaksanaannya leher perempuan itu di kalungi kolotok dan di tuntun oleh
indung beurang (tenaga tradisional dalam bidang perawatan ibu dan anak )
sambil membaca doa dibawah kekandang kerbau.kalau tidak ada kandang
kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak 7 kalli. perempuan yang
hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringi oleh anak-anak yang memegang cambuk. setelah
mengelilingi kandang kerbau / rumah, kemudian oleh indung beurang
dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. dikota pelaksanaan upacara ini
sudah jarang di laksanakan.

Upacara Gusaran

Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud
upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar
nampak bertambah cantik. Upacara
Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun.
Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para
undangan, selanjutnya membacakan doa dan
solawat kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian Indung beurang
melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa
ke tangga rumah untuk disawer dinasihati melalui
syair lagu. Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan.
Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi
daun telinga untuk memasang anting-anting,
agar kelihatannya lebih cantik lagi.

Upacara Sepitan/Sunatan Sunda

Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya bersih


dari najis. Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah
melaksanakan salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan
anak perempuan diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih
bayi, supaya tidak malu.

Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki menginjak usia 6


tahun. Dalam upacara sunatan selain paraji sunat, juga diundang para tetangga,
handai tolan dan kerabat. Pada pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan
disunat dimandikan atau direndam di kolam sampai menggigil (kini hal
semacam itu jarang dilakukan lagi berhubung teknologi kesehatan sudah
berkembang).

Kemudian dipangku dibawa ke halaman rumah untuk disunat oleh paraji sunat
(bengkong), banyak orang yang menyaksikan diantaranya ada yang memegang
ayam jantan untuk disembelih. Ada yang memegang petasan dan macam-
macam tetabuhan sambil menyanyikan marhaba.

Bersamaan dengan anak itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai bela,
petasan disulut, dan tetabuhan dibunyikan. Kemudian anak yang telah disunat
dibawa ke dalam rumah untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama setelah itu
para undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh.
Mereka memberikan uang/ nyecep kepada anak yang disunat itu agar
bergembira dan dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini adapula yang
menyelenggarakan hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka tarian

CUCURAK

Apa itu ” Cucurak” ? Tampaknya terdengar aneh,Cucurak berasal dari kata


curak-curak yang diartikan dengan kesenangan atau suka-suka. Sebenarnya
cucurak tidak selalu dilakukan saat menjelang Ramadhan, cucurak juga bisa
dilakukan ketika kita mendapatkan berkah seperti lulus sekolah, naik pangkat,
dan lain-lain.

Namun dalam adat Sunda, cucurak lebih sering dilakukan untuk menyambut
datangnya Ramadhan. Acara cucurak biasanya dilakukan oleh kaum ibu yang
memasak makanan yang berbeda-beda. Setelah itu, makanan dikumpulkan di
masjid terdekat untuk dibagikan dan dimakan bersama-sama.

Tetapi, cucurak tidak selalu dilakukan dengan cara seperti itu. Orang-orang
yang makan bersama dengan niat menyambut datangnya bulan Ramadhan juga
sudah dapat dikatakan sebagai cucurak. Niat menyambut Ramadhan juga harus
selalu diingat dalam cucurak, sebab jika hal itu dilupakan, biasanya kita akan
makan sebanyak-banyaknya dan lupa dengan niat kita.

Cucurak dilakukan untuk menjalin silaturrahmi dan saling memaafkan antar


masyarakat. Selain itu, cucurak juga merupakan bentuk rasa syukur terhadap
rejeki yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Sebagai tradisi unik dari Sunda,
jangan sampai kegiatan cucurak seperti ini hilang atau dilupakan, karena ini
merupakan salah satu cara untuk menjaga kerukunan antar masyarakat.

Bangga dan lestarikanlah tradisi-tradisi daerah yang telah lama dijaga oleh
nenek moyang kita, agar Indonesia menjadi negara yang bukan hanya kaya
dengan sumber daya alamnya, tetapi juga kaya akan tradisi-tradisinya.

Begitulah asal kata ” Cucurak ” yang mempunyai arti luas bukan hanya sebuah
kata yang tidak bermakna,” Cucurak ” bisa juga ungkapan rasa syukur dan
saling berbagi dengan ungkapan rasa syukur

Anda mungkin juga menyukai