Anda di halaman 1dari 6

SELAMATAN TUJUH BULANAN (TINGKEBAN)

A. Pendahuluan
Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan,
sebagai tanda keagungan Sang Pencipta. Berwujud dari benda yang tak
bernilai /sperma secara bertahap berubah hingga akhirnya sempurna dan
lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan
dilengkapi dengan akal pikiran, budi pekerti dan perasaan.

Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat jika sudah mentradisi ditengah
masyarakat muslim, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam
keberlangsungan ajaran disaat tradisi itu telah menyatu dengan ajaran,
karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara
mengubahnya adalah sesuatu yang sangat sulit, maka sangatlah bijaksana
ketika tradisi tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi sebagai
pintu masuk suatu ajaran. Dalam makalah ini sekilas dibahas tentang salah
satu tradisi yaitu mitoni / Tingkeban, yaitu selamatan yang dilakukan ketika
bayi dalam kandungan berusia 7 bulan. Disusun melalui wawancara dengan
beberapa ibu-ibu sepuh di Dusun Blunyah diantarannya ibu Dukuh/bu Sri
Pujiati, bu Murgiono, bu Muhinah, bu Wanti dan lainnya.

B. Pembahasan
Sejarah Tingkeban
Tradisi tujuh bulanan/tingkeban/mitoni yaitu upacara tradisional selamatan
terhadap bayi yang masih dalam kandungan berumur tujuh bulan. Sejarah
tradisi ini berawal pada masa Prabu Jayabaya, waktu itu ada sepasang suami
istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya, mereka melahirkan anak sembilan
kali namun tidak satupun yang hidup. Kemudian keduanya menghadap raja
Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya), mereka disarankan agar
menjalankan tiga hal yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta
mandi menggunakan tempurung kelapa (bathok), setelah mandi berganti
pakaian yang bersih dengan menggembol kelapa gading yang dihiasi
Kamajaya dan Kamaratih/Wisnu dan Dewi Sri yang diikat dengan daun tebu
tulak lalu dibrojolkan kebawah, setelah kelapa gading tadi dibrojolkan, lalu
diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya. Setelah itu Niken
Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Akhirnya sejak saat itu apabila
ada orang hamil apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni.
Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.

Prosesi Tingkepan
Prosesi yang dilakukan bukan berarti pengamalan ajaran agama Hindu tetapi
bentuk transformasi ajaran Islam melalui budaya dan tradisi yang
berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut
masyarakat Jawa.
Pertama, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Sebelum acara
siraman dimulai dengan pembacaan Q.S. Al-Fatihah, Al-ikhlas 3x, al-falaq 1x,
an-nas 1x, dan ayat qursi 7x.Tradisi siraman ini dilakukan di belik / sumber
air dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan siwur dari kelapa,
sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh orang ditambah suaminya
sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi kelak suci
bersih.Tujuh berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan):
agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan.
Setelah itu dilanjutkan dengan memasukkan telur ayam kampung ke dalam
kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai menggelinding ke
bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga bayi yang
akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur tadi.

Sesajen siraman berupa gedang raja setangkep, tumpeng robyong, tukon pasar,
umpluk-umpluk yang berisi: 1. Kuali { beras & telur }, 2. Lendi { Banyu &
Gabah+dadap ayep}, 3. Jupak { minyak goring & kapas}disulut api:
melambangkan semangat hidup. Tumpeng berisi: ayam jawa, kelapa, gula, teh.
Jajan pasar.
Kedua, upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh)
buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan
dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki
kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain. Motif kain tersebut
adalah:
1. Wahyu Tumurun: maknanya agar bayi yang akan lahir senantiasa
menjadi orang yang mendekatkan dir,i selalu mendapat Petunjuk dan
perlindungan dari Allah SWT.
2. Sido Asih: maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu
di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih
3. Sidomukti.: maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang
mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.
4. Truntum: maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun
(tumaruntum) pada bayi.
5. Sidoluhur: maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi
pekerti luhur.
6. Parangkusumo: maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai
tajamnya parang dan memiliki ketangkasan bagai parang yang sedang
dimainkan pesilat tangguh. Diharapkan dapat mikul dhuwur mendhem
jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua serta
mengharumkan nama baik keluarga.
7. Semen Romo: maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada
sesama layaknya cinta kasihRama dan Sinta pada rakyatnya.
8. Udan Riris: maknanya agar anak dapat membuat situasi yang
menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang
bergaul dengannya.
9. Cakar Ayam: maknanya agar anak pandai mencari rezeki sehingga
kebutuhan hidupnya tercukupi, syukur bisa kaya dan berlebihan.
10. Grompol: maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-
berai akibat ketidakharmonisan keluarga (nggrompol : berkumpul).
Parang Kusumo

Wahyu Tumurun

Semen Romo

Sido Asli

Udan Riris

Sido Mukti

Cakar Ayam

Truntum

Grompol
Kain terakhir yang dipakai bermotif sidamukti. Makna simboliknya dapat
dirunut dari makna kata sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia) atau
bahagia. Kain sidamukti yang dikenakan diikat dengan tebu tulak / benang
putih/janur kuning, kemudian ikatan tersebut dipotong oleh suami
menggunakan sebilah keris. Tebu tulak lambang tolak bala, agar anak jauh
dari halangan. Benang putih (lawe) simbol simpul kelahiran telah terbuka,
sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda
bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan,
yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih
dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya
dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi
kesulitan. Sebelum pemotongan tali dimulai dengan pembacaan Al-Fatihah
dan bacaan Robbi shrohli shodri wa yassirli amri 3x.

Ketiga, Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda


yang telah digambari Janaka dan Srikandi atau Komojoyo dan Komoratih ke
dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari
upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa adanya
kesulitan. Upacara brojolan dilakukan oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si
bayi) dan diterima oleh nenek besan. Secara simbolis gambar Janaka dan
Srikandi melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki
sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut, mereka
merupakan tokoh ideal orang Jawa. Dimulai dengan al-Fatihah 3x.

Keempat, Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari


tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji
keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya
juga tetap mudah.

Kelima, Ibu hamil harus melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang
bertugas membeli para tamu menggunakan uang buatan (kreweng) atau
pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari tanah. Kuali
yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini
bermakna agar kelak bayi yang lahir akan banyak mendapatkan rezeki.
Sumber : http://aini.rumahatiku.com

Biasanya sebelumnya diadakan pembacaan 7 surat pilihan dalam al-quran


yaitu yasin, al-kahfi, Yusuf, Maryam, Ad-Dhukhan, Luqman, dan Al-Mulk
kemudian dilanjutkan dengan mujahadah dan ditutup dengan bacaan
shrokal/marhaban dengan si ibu berjabat tangan kepada para tamu
undangan. Biasanya dilakukan malam sebelum kenduren.
Keenam, yaitu kenduri sebagai syukuran.
Pada saat ini, ada
beberapa ubarampe (sesaji) yang biasanya
perlu dipersiapkan, diantaranya: Tumpeng
kuat, yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu
di antara tumpeng itu dibuat paling besar
dan enam yang lain, diletakkan
mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh
menggambarkan umur bayi tujuh bulan.
Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai
lambang agar bayi yang lahir sehat wal
afiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin. Jenang putih dan
merah dipadu sebanyak 7 macam,simbol jenang putih melambangkan
perempuan sedangkan jenang merah melambangkan laki-laki. Kenduren
dimulai dengan pembacaan QS. Al-fatihah dan ditutup doa oleh pemuka
agama setempat.

Ketujuh, upacara menyeret tikar/ kloso bagi orang yang pertama kali keluar
dari ruang kenduren/rumah, hal ini mempunyai maksud agar bayi
dipermudah dalam kelahiran/keluar dari rahim.
C. Kesimpulan

Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari


budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Dari
berbagai simbol tindakan dan ritual tingkeban/mitoni tersebut tampak bahwa
masyarakat Jawa memiliki harapan keselamatan. Tradisi ini memang
merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam. Namun,
sebagaimana wawancara tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan
dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah Swt dalam rangka keselamatan
dan kebahagiaan bagi pasangan . Paling tidak, dari tradisi ini terkandung
nilai-nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain: pertama, melestarikan
tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan. Dalam qaedah ushul
fikh disebutkan al-muhafazhah ala qadim ash-shalih, wal ahdzu bil jadidi al-
ashlih (Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru
yang lebih baik). Kedua, menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan,
dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo). Ketiga, karakter masyarakat
Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat, proses penyucian diri (tazkiyatun
nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Tradisi tujuh bulan yang ada saat ini merupakan akulturasi antara tradisi
masyarkat jawa dengan ajaran agama Islam. Semua tradisi/ritual tersebut
bertujuan mendoakan jabang bayi dan ibu agar selamat sampai proses
melahirkan. Namun tradisi yang ada sekarang hanya dilakukan sederhana
saja, semuanya kembali pada keluarga yang mempunyai hajat.

Anda mungkin juga menyukai