html
2.3 Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan dan Kelairan Anak
Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga
mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia
kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa
pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim
ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman
dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan
rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan 27 sebelum bulan
purnama pada penanggalan Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah
matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah
disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling
pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa
kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu
ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan
kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang masing-masing
mempunyai makna.
Landasan Historis
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional
selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini
berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama
Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan
anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera
menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut
disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta
mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang
Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning
Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi lalu
berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang
dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-
brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan
putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan
sebilah keris oleh suaminya. Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat
Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata
Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang
yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai
wadah harus suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas.
Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban
atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Batas tujuh
bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi
dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi
jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati
orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan
harus disertai laku prihatin. Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila
warsa’, artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya,
tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya
lahir selamat. Beberapa pantangan yang patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga
mengarah pada budi pekerti Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah yang
melintang (misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang. Jika
posisi melintang akan menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan
kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila terlalu banyak
akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak boleh duduk di depan
pintu dan di lumping tempat menumbuk padi, sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni,
agar sikap dan watak ibu hamil tak dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian
juga akan memalukan dan tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang menyembelih
hewan, sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk lain.
penganiayaan juga merupakan tindakan yang tak baik. Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora
ilok’ kalau meyembelih hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak
dan perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih berhati-hati. Di
samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak mencacat atau membatin orang-
orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat, adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan
upaya agar pasangan tersebut tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat. Proses
selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu krobongan. Krobongan
adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya menghadap ke timur,
dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil
dan suami ketika melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak
nanti ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun maksud pintu krobongan menghadap
ke timur, dapat dikaitkan dengan asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya,
timur adalah permulaan hidup (sangkan paraning dumadi).
Secara lengkap, dalam setiap ritual tradisi adat ada proses ngujutne terlebih dahulu. Adapun
konsep ngujutne, itu adalah sebagai berikut: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mugi kalian matur
dumateng poro Bapak lan sederek kulo, ingkang sami pelenggahan wonten panggenan nipun.
Boten namung kulo di sambut wiraos kulo seklima dumateng kapure bageaken rawuh ipun
Bapak lan ngaturaken sembah pangabekti dumateng pernah sepah la ngaturaken dumateng
pernah nem sumrambah skadangepun. Boten among panjenengan sedoyo kerso ngilangken
langkah bucal tempo sauntawes memenuhi undanganepun. Kapure anakseni niatipun bade
ningkepi ingkang putro lan putri meniko dinten ingkang kepengker nampi rezeki sangking
pangeran rupinikun nur Muhammad juluk ipun kunan jabang bayi ingkang dipun kandung
mulai sewulan sehinggo pitung wulan. Derek adat meniko lan dipun tingkepi lan di pitung
wulani. Senjeng titiwancine kunang jabang bayi lahir ampun enten alangan sak tunggal
penopo. Ngajeng dumogineng wingking botenanmung ngedalaken rezekineng pangeran
meniko terbagi sepindah ngedalaken bubur petak miwah abret. Bubur petak mukani sumerep
roh sangking bopo, bubur abret mukani sumerep roh sangking biung, juluk ipun wamuko
rahmuko kakang kawah adi ari-ari, kakang barep adineng ragil. Tebih tampowangenan, celak
tampo senggolan. Milo dingabeteni ampunenten alangan sak tunggal penopo. Ngajeng
dumugineng wingking sekul suci ulam sari kangge mukani sumerep kanjeng nabi
Muhammad sak kerabat, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali nilo dihormati sagetombangsulono
teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken pisang ayu
sekar arum nyukani sumerep mbok dewi pertimah ingkang jumeneng wonten Mekah
Medinah. Milo dimangebateni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten
alangan sak tunggal penopo. Nontennaken jajan pasar mukani sumerep malaikat ingkang bagi
rezeki milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak
tunggal penopo. Nontennaken panggang mukanen sumerep kanjeng sunan kalijogo ingkang
jagi sak lebet ipun wangon sak jawanipun kurung lan sak jawinipun karang
sagetombangsulono selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken
ambengan kangge mukani sumerep kaki datok nini datok kaki danyang nini danyang seng
barekso. Milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan
sak tunggal penopo. Nontennaken sekul gulung nukani sumerep dinten pitu pekenan gangsal,
sasi rolas windu wolu, wuku tigang doso, tahun sekawan papat jatingarang sak peninggalane,
milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak
tunggal penopo. Nontennaken among mukani sumerep kaki among nini among ingkange
mong kunang jabang bayine ingkang dipun kandung binjing titiwancineng kunang jabang
bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Poro lencang lan
poro sederek nyambut sederek nyambul damel wonten pawon mendek tuyo secawu’an ron
setuek kajeng seceklek ingkang dipun damel di tedeni sawa pandungone ingkang dipun ducal
ampun dadake kulo dadeake coyo nur coyo neng cekap semonten atur kawulo menawi lepat
nuwun pangapunten menawi enten kekirangane anggen kulo ngekralaken nuwun mapan
panggenan kiambak-kiambak lan nuwun pangapunten du mateng bapak sederek kulo ingkang
pelenggahan boten among kulo sampuni. Wassalamu’alaikum Wr. Wb." Adapun kandungan
dari “ngujutne” ini adalah proses tradisi ritual adat dari tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang
paling penting terkandung dalam prosesi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) sebagaimana
terdapat dan diulang berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang bayi lahir sageto welujeng
selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo” (Bayinya lahir dengan selamat, tidak ada
halangan sedikitpun, semuanya lancar dan sehat wal’afiat). Secara rinci proses tujuh bulanan
(tingkeban/mitoni) dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, siraman yang dilakukan
oleh sesepuh dan suami. Tradisi siraman ini dilakukan dengan cara memandikan wanita
hamil menggunakan sekar setaman oleh para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang
diambilkan dari tujuh mata air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar,
kenanga, dan daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh[11]
(pitu) orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran bayi
kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur kandungan tujuh bulan.
Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti pitulungun (pertolongan). Artinya, agar
kelak bayi dapat dilahirkan dengan mendapat pertolongan Tuhan. Kedua, setelah siraman
selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain wanita hamil oleh
sang suami melalui perut sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol
dan harapan semoga bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti
menggelindingnya telur tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi pun
setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang hawa). Kadang-
kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong (alat untuk mengikal benang
tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran bayi nanti mudah, tidak ada halangan.
Ketiga, wanita hamil lalu berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan diakhiri dengan kain
bermotif sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini, dapat dirunut dari makna kata sidamukti
yang berarti menjadi mukti (mulia) atau bahagia. Hal ini sekaligus terkandung harapan agar
kelak anak yang dilahirkan dapat mendapat kemuliaan dan kesenangan hidupnya. Keempat,
kain sidamukti yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih)
atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau
janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak
merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe)
merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-
rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi
akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai
pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu
akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau
kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan
janur berarti upaya mengatasi kesulitan. Kelima, seorang suami memegang kelapa gading
muda, kemudian diteroboskan ke dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke
bawah). Kelapa gading tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari
wanita hamil). Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah
selesai, calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut yang masih
hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian dimasukkan ke dalam
sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi (masuk rumah) tanpa pamit.
Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan. Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang
Kamajaya dan Kamaratih tadi, merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang lahir
perempuan cantik seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang
dilepaskan pada sela-sela kain, harus dikejar oleh suami sampai tertangkap, merupakan
lambang agar kelahiran bayi nanti dapat lebih cepat, licin seperti belut. Simbolisasi demikian
merupakan pola pemikiran asosiatif orang Jawa, yaitu karakteristik belut yang licin
dibandingkan dengan kelahiran bayi. Keenam, seusai acara siraman di krobongan (luar
rumah), ibu hamil diajak masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus
melakukan tradisi jual dhawet dan rujak. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan
uang buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam kuali dari
tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh ibu hamil. Hal ini
bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan rezeki. Ketujuh, kenduri sebagai
syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
Tumpeng kuat, yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu dibuat paling besar
dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh menggambarkan
umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai lambang agar bayi yang
lahir sehat wal afiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin. Keleman, yaitu sajian
umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela, gembili, kentang, wortel, ganyong,
dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan
mau hidup sederhana. Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk, mentimun, belimbing,
pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan. Sega megana, yaitu nasi yang
diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk dan sayuran. Ini merupakan simbol
bahwa bayi dalam kandungan tujuh bulan telah berbentuk (gumana) sebagai manusia yang
siap lahir. Bayi tersebut secara fisik dan nonfisik diharapkan telah lengkap. Ketan procot,
yaitu ketan yang diaduk dengan santan dan setelah dimasukkan dalam daun pisang memang
dihidangkan. Yang perlu diketahui, daun pisang tersebut harus berlubang kanan kirinya, tidak
boleh ditusuk dengan biting. Hal ini merupakan lambang agar kelak bayi lahir dengan mudah.
Pada acara kenduri ini, sebagaimana biasanya dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an
dan ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh agama (ustadz).
Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului Ibu tertua, dengan
air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati, kenanga dan kantil), dimana yang
mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali. Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika
terasa pedas maka si bayi diperkirakan laki-laki.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan
mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan baik di dalam
masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a
memohon kepada Tuhan.
Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang pada pokoknya
sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi dipotong habis, maksudnya agar
rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35 (tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara
peringatan yang sama saja dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng
dengan irisan telur ayam rebus dan bubur merah-putih.
Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari sedikit
istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke atas tanah. Untuk itu
diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera. Jika bayinya laki-laki, maka di dalam
kurungan juga diberi mainan anak-anak dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi
ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika
ambil kalung emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon
tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu
melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan anak-anak
yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.