Anda di halaman 1dari 5

Upacara Tingkeban

SBK

Kelompok 3

Alyaa Salsabiila
Fauziyyah Dwi Irandra
Sayyida Nafisa
Tarisa Reysa Hazizah
ADAT ISTIADAT JAWA UPACARA
TINGKEBAN ( TUJUH BULANAN )

Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban disebut juga mitoni yaitu


upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam
kandungan selama tujuh bulan
a) Asal Muasal Upacara Tingkeban
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu
upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam
kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan
Prabu Jayabaya.
Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb
bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan
anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu,
keduanya segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka
(Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan agar
menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00,
diminta mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil
mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan
huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya
wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi
lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara
menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan
Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke
bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak
(hitam dan putih) selembar.Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu
diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa
menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu,
ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini
merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku
kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci,
tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas.
Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama
dilakukan tingkeban atau mitoni.
Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk
selamatan. Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti
agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir
berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat
dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-
hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur.Itulah sebabnya, bayi
berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin.
Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’,
artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang
berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling
mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat. Beberapa pantangan
yang patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga mengarah pada
budi pekerti Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah
yang melintang (misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di
perut tak melintang. Jika posisi melintang akan menyulitkan kelahiran
kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan kesehatan, karena buah
kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila terlalu banyak akan
berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak boleh
duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk padi, sebenarnya
memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak
dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan
memalukan dan tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang
menyembelih hewan, sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar
tidak menganiaya makhluk lain. Penganiayaan juga merupakan tindakan
yang tak baik.
Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau meyembelih
hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak dan
perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih
berhati-hati. Di samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan
tidak mencacat atau membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya
tidak cacat, adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar
pasangan tersebut tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat.
Proses selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu
krobongan. Krobongan adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman
bambu) dan pintunya menghadap ke timur, dihiasi dengan tumbuh-
tumbuhan.
Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami
ketika melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat.
Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun
maksud pintu krobongan menghadap ke timur, dapat dikaitkan dengan
asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah
permulaan hidup (sangkan paraning dumadi).
b) Arti atau Makna Upacara Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa,
upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh.
Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada
kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan
saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim
ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan
dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk
memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah
sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan
27 sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa, dilaksanakan di kiri
atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit. Yang memandikan
jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah disiram,
dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang
dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan
tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan
seterusnya. Hakekat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan
syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan
kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang
masing-masing mempunyai makna.
c) Prosedur Upacara Tingkeban
Dalam upacara tingkeban tidak sembarangan dilaksanakan begitu
saja adapun cara cara dalam melaksanakan upacara tingkeban ini antara
lain adalah :
 Siraman yang di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang
termasuk ayah dan ibu wanita hamil serta suami dari calon ibu.
Siraman ini bermakna memohon doa restu agar proses persalinan
lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat dan sehat jasmani
dan rohani. Sebaiknya yang memandikan adalah orang tua yang
sudah mempunyai cucu.
 Setelah siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara memasukan
telur ayam dan cengkir gading. Calon ayah memasukan telur ayam
mentah ke dalam sarung/kain yang di kenakan oleh calon ibu
melalui perut sampai pecah kemudian menyusul kedua cengkir
gading di teroboskan dari atas ke dalam kain yang di pakai calon ibu
sambil di terima di bawah oleh calon nenek dan kelapa gading
tersebut di gendong oleh calon nenek dan di letak kan sementara di
kamar. Hal ini merupakan symbol harapan semoga bayi akan lahir
dengan mudah tanpa ada halangan.
 Upacara Ganti Pakaian. Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai
dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi
yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan
YME. Calon Ibu berganti baju 6 kali dengan di iringi pertanyaan “
sudah pantas belum?”, dan di jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum
pantas” sampai yang terakhir ke tujuh kali di jawab “ pantas”.
Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara berganti busana
memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai
secara baik :

Anda mungkin juga menyukai