Anda di halaman 1dari 2

TRADISI IBU HAMIL TUJUH BULANAN DI JAWA

Kehamilan adalah suatu anugerah dari Tuhan yang sangat didambakan oleh pasangan suami istri.
Apalagi saat wanita hamil untuk pertama kalinya, pasti semuanya akan merasakan kebahagiaan yang
tiada tara.

Di Jawa, saat perempuan hamil untuk pertama kalinya, maka ia harus melaksanakan salah satu
tradisi Jawa yang unik dan seru, yaitu ‘Tingkepan’ atau biasa dikenal dengan acara ‘Mitoni’.

Tradisi ini dilakukan guna untuk mengungkapkan rasa syukur dan yang pastinya untuk memohon
keselamatan bagi ibu dan calon bayi.

Mitoni itu berasal dari kata tujuh. Upacara ini digelar karena calon ibu sudah hamil memasuki usia
kandungan tujuh bulan. Dalam kandungan ibu, janin yang sudah berusia tujuh bulan itu sudah
memiliki tubuh yang sempurna. Jadi menurut pengertian orang Jawa, pada usia kandungan yang ke
tujuh bulan adalah proses penciptaan manusia nyata dan sempurna pada bulan ke-tujuh.

Menurut sejarah yang ada, tingkeban itu berasal dari seorang perempuan yang bernama Niken
Satingkeb dan suaminya Ki Sedya yang hidup di masa pemerintahan Prabu Jayabaya. Dahulu, Niiken
Satingkeb dan Ki Sedya memiliki anak sebanyak Sembilan tetapi tidak ada satupun yang selamat
terlahir di dunia. Segala cara sudah dilakukan untuk mempertahankan anaknya, namun nihil tidak
ada yang berhasil. Kemudian mereka pergi menghadap Prabu Jayabaya untuk meminta pertolongan.

Prabu Jayabaya memerintahkan untuk Niken Satingkeb dan Ki Sedya melakukan beberapa ritual.
Setelah melakukan semua ritual yang diperintahkan Prabu Jayabaya, akhirnya Tuhan mengabulkan
doanya. Mereka berdua dikaruniai seorang anak yang berumur panjang. Bermula dari kejadian itu,
masyakarat Jawa semua meniru ritual yang dijalankan Niken Satingkeb dan Ki Sedya yang kemudian
dikenal sebagai tingkepan dengan tujuan agar ibu dan janin selamat.

Dalam tradisi tingkepan ini, calon ibu harus melewati serangkaian acara yang harus dilakukan.
Pertama, calon ayah dan ibu bayi harus melakukan sungkeman kepada orang tua masing-masing
guna untuk memohon doa restu.

Yang kedua ada proses siraman. Calon ibu akan disiram dengan air bunga oleh tujuh orang
diantaranya pemimpin ritual, suami, orang tua dari calon ibu, orang tua dari calon ayah, dan sesepuh
lainnya. Proses ini memiliki makna tersendiri yaitu membersihkan jiwa dan raga calon ibu dari semua
dosa-dosanya.

Selanjutnya, dilanjutkan dengan proses memasukkan telur ayam Jawa (ayam kampung) ke dalam
kemben calon ibu yang dilakukan oleh suaminya melewati perut dari atas perut lalu dilepaskan dan
menjadi pecah. Proses ini dilakukan untuk memohon semoga kelak bayi akan lahir dengan mudah
dan tidak ada kendala apapun.

Lalu ada upacara brojolan atau memasukkan kelapa gading muda sebanyak dua buah yang sudah
digambari wajah Kamajaya dan Dewi Ratih ke dalam kemben calon ibu dari atas perut sampai ke
bawah. Upacara ini bermakna agar kelak jika calon bayi yang lahir laki-laki wajahnya akan setampan
Kamajaya dan jika yang lahir perempuan wajahnya akan secantik Dewi Ratih.

Kemudian disusul dengan acara ganti busana sebanyak tujuh kali dengan model jarik yang berbeda.
Lalu dipilih yang paling bagus untuk dipakaikan pada saat ganti yang ketujuh kali. Ketika calon ibu
memakai pakaian pertama sampai pakaian keenam, ia harus bertanya kepada semua tamu, “Sudah
pantas belum?” lalu akan dijawab “Belum pantas” hingga pakaian ketujuh barulah dijawab “Sudah
pantas”. Jarik yang paling bagus dipakaikan terakhir guna berharap kelak calon bayi bisa memiliki
sifat yang bagus dan baik.

Tidak sampai disitu, ada lagi prosesi yang harus dilewati calon ibu, yaitu nugel janur/lawe atau calon
ayah harus memutuskan benang lawe yang dililitkan di perut calon ibu yang berarti simbol
memutuskan ari-ari.

Ada lagi proses angrem dimana calon ibu duduk diatas tumpukan jarik yang telah dipakai tadi yang
bermakna bahwa ia menjaga kehamilannya dengan hati-hati. Dengan diiringi sang calon ayah yang
menyuapi calon ibu dengan tumpeng dan bubur merah putih sebagai simbol kasih sayang.

Yang terakhir ada proses dodol rujak atau calon ibu menjual rujak kepada para tamu didampingi
suaminya, para tamu harus membeli rujak tersebut dengan menukarkan kereweng sebagai
pengganti uangnya. Proses itu bermakna agar calon bayi kelak akan mendapat banyak rejeki.

Anda mungkin juga menyukai