Mitoni, atau dalam istilah lain tingkeban merupakan tradisi lama yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Tradisi ini telah berkembang sejak zaman dahulu, konon pada waktu
Pemerintahan Prabu Jayabaya. Menurut cerita, ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb yang
menikah dengan seorang punggawa Kerajaan Kediri bernama Sadiyo. Dari perkawinan itu lahir
sembilan anak, sayangnya tidak ada seorang pun bertahan hidup. Namun demikian, hal itu tidak
membuat Sadiyo dan Niken merasa putus asa, malahan mereka terus berusaha untuk mendapatkan
keturunan. Akhirnya, mereka berdua pergi menghadap Raja Jayabaya untuk mengadukan nasibnya
dan mohon petunjuk agar mereka dianugerahi anak lagi yang tidak mengalami nasib seperti anak-
anaknya terdahulu.
Selanjutnya, Jayabaya, raja yang arif dan bijaksana itu merasa terharu ketika mendengar
pengaduan Niken Satingkeb dan suaminya. Dia memberi petunjuk kepada Setingkeb untuk
menjalani tiga hal. Pertama, mandi setiap hari tumbak (Rabu). Kedua, mandi setiap hari budha
(Sabtu). Dan ketiga mandi Suci, dilakukan pada pukul 17.00, dengan memanfaatkan air suci dan
gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (bathok) dan disertai do’ a atau mantera.
Setelah mandi Nyai Niken harus memakai pakaian serba putih, berikut dua buah kelapa gading
yang diletakkan atau ditempelkan pada perut. Kelapa gading mempunyai makna simbolik, yaitu
Sang Hyang Wisnu dan Dewi Sri atau Arjuna dan Sumbadra. Artinya, anak yang akan dilahirkan
kelak diharapkan memiliki paras yang tampan atau cantik, setampan
Arjuna bila bayi terlahir laki laki, dan secantik Subadra jika ia berjenis perempuan.
Upacara Mitoni/Tingkeban
Dalam Serat Tatacara I (Padmasusastra, 1983) seperti dikutip oleh Pringgawidagda (2003:2),
menyatakan bahwa waktu pelaksanaan mitoni mengarah pada patokan sebagai berikut: (1)
pelaksanaan mitoni sebaiknya pada hari Selasa atau Sabtu, (2) waktu pelaksanaan mitoni siang
hari hingga sore antara pukul 11. 00 sampai 16. 00 WIB, (3) upacara mitoni dilaksanakan pada
tanggal ganjil sebelum bulan purnama, lebih diutamakan pada tanggal 7. Pada acara mitoni ini,
pemangku hajat mengundang kehadiran para tetua (pinisepuh), sanak saudara, dan tetangga.
Yana (2010:50), menyatakan bahwa tempat untuk menyelenggarakan upacara mitoni biasanya
dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan 11 pasren, yaitu senthong tengah. Pasren
erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, yaitu dewi padi. Upacara
mitoni yang dilaksanakan di senthong tengah merupakan simbolisasi Sri sebagai dewi kesuburan,
dan penggambaran sebuah tahap kehidupan yang harus dilalui oleh seorang perempuan yang
mempunyai tugas mereproduksi generasi ke generasi.
Penyelenggaraan upacara masa kehamilan secara teknis, dilaksanakan oleh dukun atau
anggota keluarga yang dianggap tertua. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, dukun secara
tradisional adalah seorang wanita yang dianggap memiliki keahlian khusus untuk merawat dan
mengobati para wanita yang akan melahirkan pada saat bayi yang dilahirkan itu mencapai umur
tertentu. Kehadiran dukun ini lebih bersifat ceremonial, dalam arti mempersiapkan dan
melaksanakan upacaraupacara kehamilan.
Penggunaan atau pemilihan motif kain dan kemben yang digunakan oleh calon
ibu dalam upacara mitoni dapat berbeda-beda atau bervariasi tergantung pada makna
yang terkandung di
dalamnya. Alternatif pemilihan
motif kain antara mengacu berikut
ini: 1) Kain Sidomukti,
melambangkan
kebahagiaan, 2) Kain Sidoluhur, melambangkan kemuliaan, 3) Kain Truntum,
melambangkan nilai-nilai kebaikan yang selalu dipegang teguh, 4) Kain
Parangkusuma, melambangkan perjuangan untuk tetap hidup, 5) Kain Semen Rama,
melambangkan cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak dan ibu tetap
bertahan selama-lamanya dan tidak terceraikan, 6) Kain Udan Riris, melambangkan
harapan agar kehadiran anak yang akan lahir selalu menyenangkan di dalam
pergaulannya di masyarakat, dan 7) Kain Cakar Ayam, melambangkan anak yang akan
lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai catatan, kain
terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem, dengan kemben
motif dringin.
Mori dipakai sebagai busana dasar sebelum berganti-ganti nyamping, dengan
maksud bahwa segala perilaku calon ibu senantiasa dilambari dengan hati bersih.Jika
suatu saat keluarga tersebut bahagia sejahtera dengan berbagai fasilitas atau kekayaan
atau memiliki kedudukan maka hatinya tetap bersih tidak sombong atau congkak, serta
senantiasa bertakwa kepada Tuhan YME.
g. Pemutusan Lawe atau janur kuning yang dilingkarkan di perut calon ibu, dilakukan
calon ayah menggunakan keris Brojol yang ujungnya diberi rempah kunir, dengan
maksud agar bayi dalam kandungan akan lahir dengan mudah.
h. Setelah membuka atau memutus lawe, dilanjutkan dengan memasukkan sepasang
kelapa gading muda (cengkir gading) yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih,
atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna
simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Upacara ini dilakukan oleh nenek calon bayi (ibu dari calon ibu) dan diterima oleh
nenek besan. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan
Sembadra melambangkan bila si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat
luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna
dan Sembadra merupakan tokoh ideal bagi orang Jawa. Maknanya jika kelak bayi yang
lahir adalah laki-laki maka diharapkan akan tampan, bijaksana, pintar dan mempunyai
sifat luhur seperti Kamajaya, dan jika kelak bayi yang lahir adalah perempuan,
diharapkan cantik lahir dan batin, cerdas dan mempunyai sifat-sifat luhur seperti Dewi
Kamaratih.
i. Setelah itu, calon ayah memiliki satu di antara dua buah
kelapa gading yang bergambar tokoh Kamajaya dan Dewi
Kamaratih. Pada waktu memilih satu di antara buah kelapa
gading, kedua kelapa tersebut berada dalam posisi terbalik. Hal
ini dimaksudkan agar calon ayah tidak bisa melihat gambar tokoh
Kamajaya atau Kamaratih. Selanjutnya, kelapa yang sudah dipilih
itu dipecah atau dibelah. Apabila kelapa yang dipilih bergambar
tokoh Kamajaya, diharapkan bayi yang lahir adalah laki-laki tampan
seperti Kamajaya. Apabila kelapa yang dipilih bergambar tokoh
Dewi Kamaratih, diharapkan bayi yang lahir adalah perempuan
yang cantik rupawan seperti halnya Dewi Kamaratih.
j. Upacara memilih nasi kuning yang diletak di dalam takir sang suami. Setelah itu
dilanjutkan dengan upacara jual dawet dan rujak, pembayaran dengan pecahan genting
(kreweng), yang dibentuk bulat, seolah-olah seperti uang logam. Hasil penjualan
dikumpulkan dalam kuali yang terbuat dari tanah liat. Kwali yang berisi uang kreweng
dipecah di depan pintu. Maknanya agar anak yang dilahirkan banyak mendapat rejeki,
dapat menghidupi keluarganya dan banyak amal.
k. Hidangan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan YME, yang disediakan dalam upacara
Tingkepan antara lain:
1) Tujuh Macam Bubur, termasuk bubur Procot.
2) Tumpeng Kuat, maknanya bayi yang akan dilahirkan nanti sehat dan kuat,
(Tumpeng dengan Urab-urab tanpa cabe, telur ayam rebus dan lauk yang dihias).
3) Jajan Pasar, syaratnya harus beli di pasar (Kue,buah,makanan kecil)
4) Rujak buah-buahan tujuh macam, dihidangkan sebaik-baiknya supaya
rujaknya enak,bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam keluarga
5) Dawet, supaya menyegarkan.
6) Keleman Semacam umbi-umbian, sebanyak tujuh macam.
7) Sajen Medikingan, dibuat untuk kelahiran setelah kelahiran anak pertama
dan seterusnya, macamnya:
a) Nasi Kuning berbentuk kerucut
b) Enten-enten, yaitu kelapa yang telah diparut dicampur dengan gula
kelapa dimasak sampai kering.
c) Nasi loyang, nasi kuning yang direndam dalam air,kemudian
dikukus kembali dan diberi kelapa yang telah diparut.
d) Bubur procot yaitu tepung beras, santan secukupnya, gula kelapa
dimasak secara utuh, dimasukkan ke dalam periuk untuk dimasak
bersama-sama.
l. Acara mitoni diakhiri dengan berjualan rujak dan makan bersama. Sebelumnya,
pasangan calon ibu dan ayah telah berganti pakaian, dan mempersiapkan diri untuk
berjualan rujak. Kepada para hadirin dibagikan dhuwit-dhuwitan dari kreweng atau
uang-uangan dari tanah liat yang telah dibentuk sedemikian rupa, sehingga dapat pula
dijadikan souvenir. Namun, jika ingin lebih sederhana dhuwit-dhuwitan biasanya
hanya menggunakan pecahan genting saja. Uang-uangan tersebut digunakan untuk
“ membeli” rujak kepada pasangan calon ibu dan ayah. Rujak yang disajikan dibuat
dari tujuh macam buahbuahan. Tradisi jualan rujak melambangkan harapan agar anak
yang dilahirkan nanti dapat meneladani ketekunan orangtuanya, khususnya sang ibu
dalam memberikan kesegaran kepada sesama, yang dilambangkan dengan segarnya
rujak yang telah dibuat dari tujuh macam buah buahan.
2. Kronologis Upacara Tingkepan
a. Waktu Pelaksanaan
Antara pukul 9.00 sampai dengan pukul 11.00 Calon ibu mandi dan cuci rambut
yang bersih, mencerminkan kemauan yang suci dan bersih. Kira-kira pukul 15.00-
16.00, upacara tingkepan dapat dimulai, menurut kepercayaan pada jam-jam itulah
bidadari turun mandi. undangan sebaiknya dicantumkan lebih awal pukul 14.30 WIB
b. Hari Pelaksanaan
Biasanya dipilih hari Rabu atau hari Sabtu, tanggal 14 dan 15 tanggal jawa,
menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan
menjadi anak yang cerdas.
c. Pelaksanaan yang menyirami/memandikan
Para Ibu yang jumlahnya tujuh orang, yang terdiri dari sesepuh terdekat. Upacara
dipimpin oleh ibu yang sudah berpengalaman.
d. Perlengkapan yang diperlukan
Satu meja yang ditutup dengan kain putih bersih, Di atasnya ditutup lagi dengan
bangun tolak, kain sindur, kain lurik, Yuyu sekandang, mayang mekak atau letrek,
daun dadap srep, daun kluwih, daun alang-alang. Bahan bahan tersebut untuk lambaran
waktu siraman.
e. Perlengkapan lainnya
1) Bokor di isi air tujuh mata air, dan kembang setaman untuk siraman.
2) Batok (tempurung) sebagai gayung siraman (Ciduk)
3) Boreh untuk mengosok badan penganti sabun.
4) Kendi dipergunakan untuk memandikan paling akhir.
5) Dua anduk kecil untuk menyeka dan mengeringkan badan setelah siraman
6) Dua setengah meter kain mori dipergunakan setelah selesai siraman.
7) Sebutir telur ayam kampung dibungkus plastik.
8) Dua cengkir gading yang digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna
dan Dewi Wara Sembodro.
9) Busana Nyamping aneka ragam, dua meter lawe atau janur kuning
10) Baju dalam dan nampan untuk tempat kebaya dan tujuh nyamping, dan stagen
diatur rapi.
11) Perlengkapan Kejawen kakung dengan satu pasang kain truntum. Calon ayah
dan ibu berpakain komplet kejawen, calon ibu dengan rambut terurai dan tanpa
perhiasan.
f. Selamatan/ Sesaji Tingkepan
1) Tumpeng Robyong dengan kuluban, telur ayam rebus, ikan asin yang
digoreng.
2) Peyon atau pleret adonan kue/nogosari diberi warna-warni dibungkus
plastik, kemudian dikukus.
3) Satu Pasang Ayam bekakah (Ingkung panggang)
4) Ketupat Lepet (Ketupat dibelah diisi bumbu)
5) Bermacam-buah-buahan
6) Jajan Pasar dan Pala Pendem (Ubi-ubian)
7) Arang-arang kembang satu gelas ketan hitam goring sangan
8) Bubur Putih satu piring
9) Bubur Merah satu Piring
10) Bubur Sengkala satu piring
11) Bubur Procot/ Ketan Procot, ketan dikaru santan, setelah masak dibungkus
dengan daun/janur kuning yang memanjang tidak boleh dipotong atau dibiting.
12) Nasi Kuning ditaburi telur dadar, ikan teri goring, ayam,rempah
13) Dawet Ayu (cendol, santan dengan gula jawa)
14) Rujak Manis terdiri dari tujuh macam buah.
Perlengkapan selamatan Tingkepan diatas, dibacakan doa untuk keselamatan
seluruh keluarga. Kemudian dinikmati bersama tamu undangan dengan minum dawet
ayu, sebagai penutup.