Anda di halaman 1dari 13

Akulturasi Islam Dalam Masyarakat Suku Dayak

Kalimantan tengah
Ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata kuliah : islam dan kebudayaan local


Dosen Pengajar :H. FimierLiadi, M.Pd.
Asisten Dosen: Halifah, M. Pd. I

Fatihatur Rizqiah (1703150034)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
TAHUN AKADEMIK 2020 M/1441 H
1. Kebudayaan Mandi 7 bulanan

Masyarakat Banjar ada tradisi bagi peremuan hamil pertama


kali. Ketika usia kehamila mencapai 7 bulan maka diadakan upacara
mandi-mandi, yang disebut Mandi-mandi Manujuh Bulanan (mandi
tujuh bulan). Biasanya untuk menolak bala dan mendapatkan
keselamatan bagi si ibu dan bayi yang dikandung. Kepercayaaan
masyarakat Banjar, orang hamil suka diganggu mahluk halus yang
jahat. Ritual itu, si hamil memakai pakaian indah-indah dan perhiasan
sambil memangku sebuah tunas kelapa yang diselimuti kain kuning
menghadapi sajian 41 macam kue.

Khusus tempat mandi-mandi berbentuk persegi diberi pagar


tali yang digantungi kembang renteng, disela-selanya diikat berbagai
kue, uang dan buah pisang. Kemudian empat sisi dililit dengan kain
khas Banjar sasirangan atau kain berwarna kuning keramat. Air yang
digunakan untuk mandi-mandi direndam bunga dan mayang yang
sudah dibacakan surah Yasin atau Burdah.

Wanita yang memandikan si ibu hamil jumlahnya selalu ganjil,


sekurang-kurangnya tiga dan paling banyak tujuh orang dan biasanya
merupakan para kerabat dekat.

Saat si ibu hamil disirami dengan air bunga biasanya juga


dibedaki dengan bedak beras kuning lalu mengeramasinya. Kembang
Mayang dikeluarkan dari rendaman dan diletakkan di atas kepala
wanita hamil ini dan disirami dengan air kelapa muda tiga kali
berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga
airnya harus dihirup oleh wanita hamil itu.
Sesudah itu badannya dikeringkan dan ia berganti pakaian lalu
keluar dari tenda pemandian. Di luar telah tersedia sebiji telur ayam
yang harus diinjaknya ketika melewatinya. Ketika ia keluar untuk
kembali ke ruang tengah ini dibacakan pula shalawat beramai-ramai.

Di ruang tengah si Ibu hamil kembali duduk di atas alas kain


berlapis di hadapan tamu-tamu, disisiri dan disanggul rambutnya. Pada
saat itu juga di tepung tawari, yaitu dipercikan minyak likat beboreh
dengan anyaman daun kelapa yang dinamakan tapung tawar.

Setelah itu dibacakan doa selamat dan diakhiri dengan si Ibu


hamil yang menyalami semua undangan sebagai bentuk rasa terima
kasih dan mohon doa keselamatan pada semua yang hadir.

Semua prosesi yang dijalani intinya adalah memohon pada


Allah SWT dan dengan pecahnya bunga mayang dengan sekali tepuk
saja menandakan proses kelahiran akan berjalan dengan lancar.
Pecahnya telur ketika diinjak juga melambangkan proses kelahiran
yang cepat pula. Tunas kelapa yang dipangku dan kemudian
digendong melambangkaan si jabang bayi yang kelak dapat tumbuh
dimana saja dan berguna bagi masyarakat. Memerciki dengan tepung
tawar ialah guna memberkatinya dan konon akan memperkuat
semangatnya. (david)

Tradisi, senantiasa menyampaikan pesan secara simbolik. Ia


menuturkan kearifan dengan bahasa tindakan lewat gerak, irama,
upacara, hingga benda-benda di sekeliling. Begitu pun tradisi mandi
tujuh bulanan yang kerap dilakukan masyarakat Banjar. Konon tradisi
ini sudah turun-temurun dilaksanakan. Menurut Saniah (75), yang
berprofesi sebagai juru mandi saat upacara tujuh bulanan, adat budaya
itu bisa lestari sampai saat ini karena nilai luhur yang dipesankan.
Apalagi juga disertai doa-doa yang dipanjatkan secara khusus demi
keselamatan sang ibu dan bayi di kandungan.

Biasanya, dalam ritual mandi tujuh bulanan tersebut pihak


keluarga dari wanita yang mempersiapkan berbagai perlengkapan.
Mulai pakaian serba baru yang akan dikenakan usai mandi hingga
berbagai makanan yang wajib ada. Makanan yang harus disediakan di
antaranya ketupat, nasi lamak, kakoleh habang, kakoleh putih, bubur
habang, bubur putih, cucur, lamang, nasi kuning intalu, cincin, nyiur
anum. Itu wajib sudah seasalan kada tatinggal, nyiur anum tu sebagai
pambarasihnya. Itu ada dari asal urang bahari dan wajib lengkap,

ketika terdengar suara adzan yang kedua pada hari Jumat,


perempuan yang akan dimandikan sudah harus diturunkan untuk
menjalani prosesi. Saat penyiraman pun, doa-doa juga dibacakan demi
kesehatan bayi dan ibunya.Perempuan yang menjalani prosesi mandi
tujuh bulanan akan dimandikan juga bersama satu biji kelapa tua yang
memiliki pucuk. Kelapa tua tersebut beberapa hari sebelumnya
didiamkan kemudian disiram agar pucuknya tumbuh. Apabila
pucuknya sudah tumbuh, kelapa tersebut kemudian dibungkus
menggunakan kain kuning. Dan akan dibuka ketika mandi. Konon,
kelapa tua tersebut berfungsi sebagai pengganti anak yang sedang
dikandung. Sehingga ikut dimandikan bersama. Ketika itu, beberapa
proses juga dilakukan seperti memberi lulur tradisional untuk
membersihkan juga mengharumkan badan wanita yang sedang
mengandung.
Jika sudah diberi lulur, kemudian dibilas. Langkah selanjutnya
yaitu memandikan wanita dengan bunga mayang yang masih muda.
Bertujuan untuk proses lahiran yang mulus juga tidak ada kendala
nantinya, bemayang beharum-harum, ditampung tawari, dirabun
lawan minyak likat baboreh, tuturnya. Setelahnya, lanjut Saniah, ada
juga mayang muda yang masih berkelopak. Kelopak tersebut
kemudian dipukul menggunakan tangan hingga terbelah (tidak boleh
dibelah pakai pisau), kemudian diangkat di atas kepala wanita
mengandung untuk dialirkan airnya melalui kelopak. Air tersebut
merupakan air yang sebelumnya sudah dibacakan oleh orang alim,
juga air yasin, serta air kelapa yang.

Ketika air-air tersebut disiramkan, wanita diminta untuk


meminum air yang mengalir dari atas kepalanya. Bertujuan agar anak
yang dikandung juga ikut meminum apa yang ibunya minum sehingga
anak tersebut juga ikut mendoakan keselamatan ibunya Jadi anak
yang didalam kandungan barasih inya, umpat jua inya bedoa. Selain
itu, sarung yang dipakai sebagai tilasan ketika mandi, setelah selesai
dilangkahkan untuk wanita tersebut dan itu tujuannya juga untuk
meluluskan bayi yang di dalam perut,jelasnya.

Foto pelaksanaan dan persiapan mandi 7 bulanan


lawang sekep
2. Lawang sekepeng

Selain memilki kekayaan seni budaya serta keariifan lokal yang


tinggi, suku Dayak Kalimantan Tengah memilki kekhasan tersendiri,
terutama dalam hal tradisi maupun ritual. Tradisi maupun ritual telah
menjadi adat-istiadat yang hidup di dalam suku Dayak sekaligus
merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi masyarakat Dayak itu
sendiri.

Menyimak lebih mendalam eksistensi tradisi ataupun ritual Dayak


selama ini, maka sangatlah paralel dengan kebudayaan dan adat
istiadat Dayak yang memuat sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia (orang Dayak) dalam menjalankan kehidupan. Tradisi
maupun ritual inipun berurat berakar dalam kehidupan masyarakat
Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di
dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses
belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke
generasi

Kita ambil contoh tradisi pernikahan, dimana hampir setiap daerah


di Indonesia memiliki tradisi pernikahan. Tidak terkecuali Suku
Dayak, yang nota bene memiliki ke-khasan tradisi dalam menjalankan
proses pernikahan. Tradisi ini lebih kental dinamakan Lawang
Sakepeng”.

Menelisik lebih jauh, apa itu Lawang Sakepeng, tentu bagi


masyarakat Kalteng sudah bisa menebak, yakni sebuah atraksi silat
dari suku Dayak (utamanya Dayak Ngaju) Kalteng.

Lawang artinya pintu atau gapura, sedangkan sakepeng berarti satu


keping. Lawang sakepeng biasanya dibuat dari kayu dengan lebar
kurang lebih 1,5 meter dengan tinggi 2,3 meter, bagian atasnya di ukir
dengan tanaman rambat dan hiasan burung Enggang, bagian sisi
sampingnya dihiasi dengan janur atau daun kelapa muda serta
telawang.

Lawang Sakepeng ini dulunya sering diperagakan pada upacara


adat baik untuk menyambut tamu maupun acara pernikahan. Namun
saat ini, tradisi Lawang Sakepeng ini lebih banyak dilihat pada acara
adat pernikahan.

Sejatinya bagi masyarakat Kalteng, tradisi Lawang Sakepeng ini


sudah tidak asing lagi. Bahkan kerap pula dipertontonkan pada
kegiatan lomba. Seperti halnya saat pelaksanaan even akbar
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Festival Budaya Isen
Mulang (FBIM) 2019 baru-baru ini, dimana tradisi Lawang Sakepeng
ini diperlombakan.

Adapun yang ditonjolkan dalam Lawang Sakepeng ini adalah


atraksi bela diri saat menyambut dan menghormati tamu yang hadir
dalam sebuah upacara adat. Seperti halnya acara pernikahan atau
perkawinan, dimana dari pihak laki-laki dan perempuan ada
perwakilan satu atau dua bahkan lebih pemain atau pesilat masing-
masing. Bisa dimainkan oleh pesilat laki-laki maupun pesilat
perempuan.

Para pesilat ini kemudian dipertemukan pada satu titik garis saling
berhadapan satu lawan satu, tepatnya di bawah gapura atau lawang.
Titik garis ini biasanya menggunakan benang sebagai rintangan,
dimana pada benang itu dipasang bunga warna warni. Tali penghalang
ini menjadi pertemuan para pesilat untuk dibuka yang didahului
dengan adu atraksi bela diri.
Namun begitu para pemain harus mengerti cara bermain,
semisalkan kapan waktu menyerang lawan atau memukul, menangkis,
tanpa harus membuat lawan atau dirinya luka. Sampai akhirnya para
pemain Lawang Sakepeng harus memutuskan tali penghalang tadi.

Bentuk permainan bela diri yang dibawakan oleh para pesilat


Lawang Sakepeng di Kalteng ini, lazimnya memiliki gerakan khas
semacam silat, sebagaimana tradisi sejenis seperti Palang Pintu dari
Betawi. Maupun dari Sumatera . Hanya saja para pesilat di Kalteng,
memiliki cara serta gerak khusus bela diri, bahkan beragam macam
bentuk atraksinya. Atraksi Lawang Sakepeng diiringi oleh alat musik
pengiring. Biasanya berupa gendang manca dan garantung khas
Dayak.

Biasanya juga para pesilat dilengkapi dengan baju rompi khas


Dayak, namun sekarang tidak semuanya menggunakan rompi khas
tersebut.

Konon untuk gaya silat Lawang Sakepeng, oleh nenek moyang


suku Dayak kala itu mengadopsi gerakan dan tingkah laku hewan.
Sebut saja meniru hewan ganas atau penyerang endemik yang banyak
dihuni dihutan Kalimantan. Antara lain Beruang, Beruk (jurus
Bangkui) maupun jurus lainnya yang berorientasi pada mahkluk
penyerang atau pemangsa.

“Secara umum makna atau filosopi tradisi Lawang Sakepeng ini


adalah untuk menjauhkan sebuah kehidupan keluarga dari berbagai
rintangan, halangan maupun malapetaka. Sebab itu menjalani
kehidupan harus dijalani dengan kegigihan,”kata Gauri yang
merupakan Stap Analisis Potensi Wisata pada Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Kalteng.
Memang lanjut Gauri, bila dirunut satu persatu, maka akan banyak
pemaknaan dari Lawang Sakepeng. Sebut saja kata dia, kenapa harus
ada benang penghalang dan harus diputus pada gapura Lawang
Sekepeng, tentu bertujuan untuk memutuskan hal-hal yang tidak baik
dalam sebuah hubungan keluarga.

Lawang Sekepeng ialah pintu gerbang yang didirikan di


halaman rumah pengantin wanita yang terbat dari pelepah kelapa yang
masih muda yang diberikan peintang berupa benang yang berwarna
warni yang akan diputuskan oleh pemain manca/ kontau yang
dilaksanakan saat pengantin manda’I atau manyakei. Proses
pelaksanaan Lawang sakepeng di bereng bengkel yaitu

(a) Rombongan pengatin pria akan bejalan menuju rumah pengantin


wanita diiringi musik rebana sambil bersholawat,

(b) Dilaksanakan pada jam 9-10.00 Wib atau sebelum matahari naik,

(c) Sesamapai dirumah pengantin wanita akan disambut oleh mantir


adat,

(d) 2 orang Pemain manca/ kontau dari pihak pria akan


bertarung melawan 2 orang pemain manca/ kontau dari pihak wanita
untuk memutuskan benang perintang selama pertarungan sampai
terputusnya benang akan diiringi oleh musih gandang manca dan
gong,

(e) Pengantin pria akan duduk menyaksikan sampai benang


perintang itu dapat diputuskan oleh pemain manca/ kontau dari
pihaknya,

(f) Setelah benang terputus maka pengantin pria dan


rombongan akan berjalan menuju rumah pengantin wanita sebelum
menaiki rumah pengantin pria akan mengijak telur yang dilapisi daun
keladi yang dibagian bawahnya terdapat batu asah, menginjak telur
menggunakan kaki sebelah kanan,

(g) Kemudian pengantin pria akan dipalas oleh tetua dari


pengantin wanita dengan air yang didalamnya ada kerak nasi,
memalasnya menggunakan kengkawang papas, daun sawang, dan
mayang,

(h) Proses memalas dimulai dari bagian kepala, bahu dari kiri
kekanan, telapak tangan dari kiri kekanan, lutut dari kiri kekanan, dan
kaki yang dilakukan dari kaki kiri kekakan selama memalas setiap
bagian tubuh sambil didoakan/dimamangi,

(i) Setelah itu kaki pengantin pria akan dicuci oleh tetua dari
pihak pengantin wanita dimulai dari kaki sebelah kanan,

(j) Saat berjalan hendak memasuki pintu rumah pengantin


wanita, pengantin pria akan ditaburi beras kuning yang dicampur
dengan minya wangi dan daun pandan sambil dibacakan sholawat oleh
tetua dari pihak wanita,

(k) Ketika pengantin pria sampai pada pintu rumah pengantin


wanita maka akan disambut oleh pengantin wanita yang akan
menggandeng pengantin pria agar duduk dipelaminan.

Foto pelaksanaan lwan sekepeng

Anda mungkin juga menyukai