Anda di halaman 1dari 8

B. Contoh bentuk-bentuk Tradisi Budaya Jawa.

1. Slametan.
Slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat
dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut
Clifford Geertz  slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi
apa-apa” (pada siapa pun).
Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-
kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di
rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti(upacara menginjak
tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga.
Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan
kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak).
Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika mereka
mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat
bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam
kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai
praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik yang sarat
dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat
membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan
kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat.
Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta komunal sebagaimana disebutkan
pada slametan dalam skala besar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai
kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian “buah tangan”, jajan pasar, dalam
bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan
untuk makan bersama —sebagai wujud kebersamaan—, tetapi justru keinginan untuk membawa pulang
makanan bertuah (berkat). Slametan dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya
dimaknai dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng
(selamat). Bahkan, Orde Baru —yang syarat dengan tradisi Jawa—, menginterpretasikan konsep ini
dengan menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan ketertiban, in order
condition, dengan dalih keselamatan bangsa.

Praktik Ritual Slametan: Beberapa Kasus


Dalam makalah ini akan ditampilkan beragam ritual slametan, yang menurut penulis merupakan
representasi dari slametan yang skupnya kecil (individual) dan slametan kolosal (melibatkan orang
banyak). Hal ini penting karena jenis ritual slametan dalam tradisi Jawa sangat banyak.
a. Ngupati dan Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan yang bernama ngupati atau kupatan. Ngupati berasal dari
kata kupat, yakni nama makanan yang terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai
pembungkus. Slametan ini biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 (empat) bulan. Tradisi
ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak yang masih dalam
kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan harapan orangtua. Slametan ini biasanya
menggunakan kupat sebagai hidangan utama. Dalam slametan ini, penyelenggara (tuan rumah)
mengundang tetangga dekat, sekitar radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian
dilanjutkan dengan menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap hidangan.
Tradisi serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni. Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh).
Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara tersebut,
disiapkansebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan
tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika
perempuan. Di samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan kluban/ kuluban/uraban/
gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam, wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-
pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat
ibu (yang mengandung bayi yang di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka
besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dalam acara mithoni,
ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air
yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang
mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan berdoa dan makan
nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut di atas sebagai upaya untuk memohon
kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero
(mengangkat derajat) orangtua dan keluarga.
b.      Brokohan
Saat kelahiran dibeberapa tempat di daerah Jawa diadakan upacara adat brokohan dan sudah
menjadi tradisi turun temurun yang masih dilestarikan masyarakat. Brokohan adalah salah satu upacara
adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan
syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat. Upacara adat seperti ini merupakan warisan
kebudayaan nenek moyang khususnya pada zaman Hindu-Budha, sejak masuknya Islam ke Jawa tradisi ini
diubah namanya oleh para Wali menjadi brokohan yang di ambil dari bahasa arab ”barokah” yang berarti
mengharap berkah dari Tuhan. Upacara brokohan ini memiliki berbagai tujuan yaitu :
1.      Mensyukuri karunia Allah
2.      Memohon agar bayinya mendapat banyak karunia Allah
3.      Terima kasih kerpada seluruh famili dan kerabat
Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran anak dengan mengadakan selamatan
atau kenduri yang dihadiri oleh dukun perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga
terdekat. Setelah kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang telah didoakan.
Sesajian dikemas dalam besek dan encek, yaitu suatu wadah yang terbuat dari sayatan bambu yang di
anyam.
Sesajian serta maknanya yang dipersiapkan pada upacara brokohan, antara lain:
a.   Dhawet cendol gula jawa lambang kesegaran dan kelancaran usaha hidup dan
kemanisan hidup dan syukur atas kelahiran bayi.
b.   Jenang abang dan putih lambang kemanunggalan ayah ibunya.
c. Sekul ambeng: nasi dicampur lauk pauk jeroan atau iwak sakiris (daging seiris), pecel
dicampur lauk ayam matang lambang kekuatan besar lahir batin.
d. Telur ayam kampung mentah sebanyak jumlah neptu lahir lambang pasaran lahir.
e.  Kembang setaman, mengandung makna kesucian.
f. Kelapa melambangkan ketahanan fisik.
g. Ingkung melambangkan si bayi yang baru lahir.
h. Beras melambangkan kemakmuran dan kecukupan pangan
i. Jajanan pasar melambangkan kekayaan.
c.       Mantenan
Dalam tradisi Jawa, mantenan atau pernikahan merupakan peristiwa penting, selain kelahiran
dan kematian, sehingga ada upacara khusus untuk menyambutnya. Garis besar adat
pernikahan Jawa memang sama, misalnya adanya lamaran, siraman, midodareni, panggih,
dan sebagainya.
a . Tepangan dan tembung
Jaman dulu, pasangan suami isteri dijodohkan oleh orang tuanya; sekarang, cara itu sudah
tidak dipakai lagi. Remaja yang telah dewasa, berkenalan, saling mengungkap perasaan, lalu
berpacaran (‘jadian’), dalam arti ingin menikah. Untuk menuju jenjang pernikahan, orang tua
harus terlibat. Remaja pria, sebaiknya menyampaikan keinginan untuk menikah pada orang
tua remaja wanita (dan orang tuanya sendiri, tentu saja), sehingga orang tua remaja wanita
merasa dihormati dan tenang jika anaknya, misalnya, diajak pergi.
Tahap berikutnya, adalah orang tua remaja pria tepangan (berkenalan) dengan orang
tua remaja wanita; dan menyampaikan maksud hati anaknya untukngembun-embun enjing
ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun di sore hari), atau
mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu  ingin menikahi anak orang tua remaja wanita.
Ukara “ngembun-embun enjing ajejawah sonten”  juga merupakan wangsalan. Dalam
Bahasa Jawa nama embun pagi adalah awun-awun , hujan gerimis sore hari
disebut rerabi ; maksudnyanyuwun rabi atau minta menikah.
Setelah kedua keluarga sepakat melangsungkan saat hajat pernikahan, dilakukan acara
puncak, yaitu mantenan.
a)      Pasang Tarub dan blekketepe
Sehari-dua hari sebelum upacara pernikahan, mulai dipasang tarub atau  terobdi rumah
orang tua wanita. Tarub berarti 1) kajang (anyaman bambu) yang dipasang sebagai atap, 2)
berkumpul. Jadi, pasang tarub berarti memasang kajang  tempat tamu berkumpul.  Sekarang,
yang dipakai bukan kajang, tetapi tratag dari terpal (kain tebal tahan
air). Tarub merupakan keratabasa ‘ditata dimen murub ’(ditata agar menyala), maksudnya
diatur agar menerangi lingkungan. Dalam Bahasa Arab ta’arub berarti pengumuman atau
tanda akan ada hajat. .
Selain itu juga dipasang blekketepe . Blekketepe adalah anyaman daun kelapa tua (bukan
janur). Pelepah daun kelapa dibelah dua membujur, lalu dianyam, dipasang di atas pintu
depan. Ini menandakan, bahwa keluarga itu akan mempunya hajat mantu.. Pada kiri kanan
pintu masuk tarub dipasang tuwuhan(tumbuhan). Tuwuhan terdiri atas
1. Pisang Raja suluh
Dipakai Pisang Raja suluh (matang) lengkap dengan batang, daun dan setandan buahnya
yang matang, besar-besar, jumlah sisirnya genap, sebanyak 2 batang, dipasang di kiri kanan
pintu masuk tarub. Pisang raja mengandung harapan agar pasangan yang akan menikah kelak
akan mulia dan terhormat seperti raja, dan mempunyai sifat hambeg para marta ,
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dipilih pisang yang
matang, agar pasangan yang akan menikah memiliki pemikiran dewasa
2. Tebu wulung, dua batang
Tebu ini berwarna wulung (ungu), dan dipakai batang tebu utuh, lengkap dengan
daunnya. Tembung (kata) tebu wulung merupakan kerata basa ’Ante ping kalbu wu juding
lelung an’ ; maksudnya, pasangan baru itu sudah mantap (antep ) hati (kalbu ) untuk
mewujudkan (wujud ) perjalanan (lunga ) menuju kehidupan yang baru.
3. Cengkir Gading
Cengkir adalah buah kelapa muda, di dalamnya berisi air kelapa yang bersih Ini lambang
kesucian dan hasrat membantu sesama.
4. Ron randu lan pari sewuli
Ron randu adalah daun randu, sedang pari sewuli adalah padi seikat. Randu
melambangkan sandang (pakaian), dan  par i melambangkan pangan(makanan).Ini
mengandung  doa agar pasangan baru itu selalu tercukupi sandang dan pangannya
5. Ron-ronan
Terdiri atas berbagai dedaunan, antara lain ron   salam, maja, alang-alang ,apa-
apa, kara (kacang-kacangan), kluwih,   dadap srep , ringin Daun apa-apatermasuk kacang-
kacangan, anak daunnya tiga.  Di daerah Pasundan disebuthahapaan , di Madura
disebut pok-kepokan. Daun salam , maja , alang-alang , danapa-apa melambangkan
“slam et aja ana alang an apa-apa”, atau ‘selalu selamat, tidak ada halangan apa
pun’ selama kehidupan pasangan baru itu.
Dipakai juga daun kara  dengan harapan tidak ada sikara (cobaan),  sukreta(siksaan), atau
perkara (kesulitan) yang menghalangi kehidupan. Daun kluwih , melambangkan harapan agar
pasangan baru itu selalu diberi kaluwihan(kelebihan), baik harta, benda, maupun ilmu, untuk
membantu sesama.
Daun dadap srep ; mengandung doa agar pasangan baru diberi sumerep(mengetahui,
melihat, pengetahuan) yang baru dan manfaat. Dadap srep juga mengandung arti
permohonan agar keluarga pasangan baru selalu asrep atau sejukhidupnya. Ron
ringin   (beringin), mengandung doa agar semua pepengin(keinginan)-nya terkabul. Tajuk
daun beringin yang rimbun melambangkan pengayoman
6. Janur
Janur adalah daun kelapa muda Keratabasa janur adalah “seja - tine   (sungguh-
sungguh) nur (cahaya, sinar)”. Ini berarti, pasangan baru itu,  nantinya benar-benar
memancarkan cahaya, memancarkan aura
b)     Siraman
Siraman berasal dari kata siram yang berarti mandi, biasanya siraman dilakukan di kamar
mandi, tetapi jika terlalu sempit dapat dilakukan di tempat lain, dengan persiapan seperlunya.
1.      Pecah kendi
Setelah siraman, dilakukan upacara pecah kendi. Ibu pengantin putri (atau juru rias)
memecahkan kendi yang berisi toya perwitosari sambil berkata “ Niat ingsun ora mecah
kendi, nanging mecah pamore anakku… (nama penganten putri)”.Pecah pamor-e berarti
sudah dewasa. Ini melambangkan, ibu sudah siap melepaskan anak gadisnya yang sudah
dewasa.
2.      Pangkas dan tanem rikma
Rambut (rikma ) penganten dipotong (pangkas ) sedikit, lalu ditanam di belakang
rumah. Ini berarti penganten putri tetap menjadi bagian dari keluarga besar orang tuanya,
sekali pun telah berkeluarga sendiri
3.      Gendongan
Kedua orangtua pengantin menggendong anak mereka untuk terakhir kali, dari tempat
siraman ke kamar penganten, melambangkan sudah ngentaskeanaknya
4.      Midodareni
Midodareni berlangsung di kamar penganten putri, pada malam hari sebelum panggih. Acara
midodareni terdiri atas tantingan , dan turunnya kembar mayang. Sementara itu, di luar,
berlangsung acara srah-srahan, jonggolan danwilujengan ini adalah bentuk permohonan
keselamatan
5.      Pasrah sanggan
            Pasrah sanggan atau srah-srahan berasal dari kata srah atau serah dan sanggan. Srah-
srahan berarti menyerahkan. Sanggan berasal dari kata sangga , yang berarti 1) melipat
tangan, 2) menjalani (misalnya  hukuman), 3) membiayai; di sini, sanggatukon , dari
kata tuku (membeli). Kata tukon di sini, tidak dalam arti membeli, tetapi lebih bersifat ikut
membiayai upacara. Uba rampe pasrah sanggan ini diserahkan oleh keluarga pihak kakung
pada keluarga pihak putri. Uba rampe srah-srahan terdiri atas:
a.      Kalpika atau cincin, kalau bisa yang penampangnya berbentuk lingkaran (tidaknyigar
penjalin , atau setengah lingkaran), dan lingkaran cincinnya utuh, tidak terpotong. Ini
melambangkan kasih sayang yang abadi, tidak pernah putus
b.      Ageman putri sakpengadeg atau pakaian wanita lengkap, seperti kebaya,nyamping batik,
sepatu, selop, dan sebagainya Ini berarti, suami akan menutupi kekurangan, kelemahan atau
aib isterinya
c.       Rerenggan pelik-pelik terdiri atas perhiasan, seperti gelang, kalung, cincin, anting-anting
Ini melambangkan, bahwa suami akan menjaga, melindungi, dan merawat cahaya, dan
keindahan istrinya
d.      Jadah, wajik, lapis abang putih melambangkan sumsum yang merah dan tulang yang
putih, yang saling terikat / kakung dan putri sudah menjadi loro-loroning atunggal
e.      Woh-wohan melambangkan kakung dan putri menginginkan adanya wohing ngurip , atau
buah kehidupan, yaitu kebahagiaan dunia akhirat setelah menikah
f.        Suruh temu rose-e lan pisang raja Sirih ini melambangkan, bahwa  pasangan itu sudah
bertemu atau menyatu hatinya. Pisang raja, mengandung makna, nantinya pasangan itu
menjaga keluhuran dan kesucian budi dan martabat mereka seperti raja
g.      Cengkir Gading melambangkan kesetiaan
h.      Urip-urip berupa sepasang ayam, atau bebek atau angsa sebagai lambang pasangan baru
itu akan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya
c)      Pasrah tampi penganten kakung
Pasrah berarti menyerahkan, sedang tampi berarti menerima. Keluarga calon penganten
kakung menyerahkan calon penganten kakung pada keluarga calon penganten putri untuk di-
ijab kabul-kan. Secara administrasi, status calon penganten kakung harus satu domisili
dengan calon penganten putri, sehingga calon penganten kakung harus pindah sementara ke
domisili calon penganten putri
d)     Ijab kabul
Nikah adalah persetujuan pria dan wanita untuk bersuami-isteri. Ijab adalah kalimat
menikahkan yang diucapkan oleh fihak wali (wakil) penganten putri, kabulberarti ucapan
tanda persetujuan dinikahkan, yang dilakukan oleh penganten kakung. Jadi,  ijab kabul adalah
proses menikahkan oleh wali penganten putri, yang disetujui oleh penganten
kakung.  Akad adalah perjanjian, jadi akad nikahberarti perjanjian untuk menikah
Setelah acara agama ini, dilakukan acara adat, yaitu panggih . Setelah ijab kabul, orang
tua penganten kakung, nyanggrah (dari kata sanggrah , istirahat) di rumah kerabat atau
tetangga yang dekat. Selama panggih, orang tua penganten kakung (besan), tidak boleh
menyaksikan. Tetapi, sekarang, banyak yang melanggar adat ini. Nantinya, pada
acara mertuwi.   orang tua penganten kakung akan dijemput untuk mengikuti acara
selanjutnya
e)      Liru kembar mayang
Setelah ijab kabul, yang merupakan acara agama, diteruskan dengan acara adat Jawa.
Rombongan penganten kakung memasuki rumah penganten putri dan rombongan penganten
kakung diterima oleh keluarga penganten putri,
Panggih diawali dengan liru kembar mayang . Liru berarti menukar. Penganten kakung
beserta rombongan datang membawa sepasang kembar mayang kakungyang dibawa oleh
dua satriya kembar .   Penganten putri beserta rombongan juga membawa sepasang kembar
mayang putri   yang dibawa oleh dua putri domas . Ke empat remaja itu saling
menukarkan kembar mayang . Ini merupakan lambang, bahwa keluarga kakung menyatu
dengan keluarga putri dan sebaliknya. Nantinya,kembar mayang putri dibuang atau dilarung,
sedang kembar mayang kakung tetap mengikuti upacara, diletakkan di samping pelaminan.
Ini melambangkan, bahwa kakung akan menjadi imam atau pemimpin keluarga.
f)       Panggih
Setelah ijab kabul , dan liru kembar mayang , acara berikutnya adalah panggih atautemu atau
bertemu. Panggih adalah tanda, bahwa penganten kakung dan putri sudah resmi
menjadi garwa atau suami istri sah secara adat Jawa.
g)      Ngunduh mantu
Hakekatnya, mantenan adalah tanggung jawab keluarga putri. Kadang-kadang, pihak kakung
(apalagi jika tempat tinggal kedua orang tua berjauhan), ingin mengadakan mantenan juga ;
yang  disebut ngunduh manten atau ngunduh mantu .Ngunduh berarti mengunduh, atau
memetik. Ada juga yang menyebut boyong manten . Tidak ada acara spesifik dalam ngunduh
mantu, penganten boleh berpakaian adat Jawa atau model barat
d.      Kematian
Berkenaan dengan kematian ada macam-macam tradisi Jawa yang mempercayai eksistensi
roh setelah berpisah dari raga, yang ditujukan sebagai penghormatan terakhir :
1)      Brobosan, Upacara brobosan diselenggarakan dihalaman rumah orang yang meninggal,
sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Upacara
tradisional ini merupakan pengejawantahan sesanti (pepetah) “Mikul dhuwur mendhem
jero”  ( menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya
dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu diungkit-ungkit )
2)      Tigang dinten yaitu tiga hari meninggalnya Almarhum/ mah, Pitong Dinten yaitu tujuh
hari meninggalnya Almarhum/ mah, Petang Puluh Dinten yaitu Empat Puluh hari
meninggalnya Almarhum/ mah, Nyatos Dinten yaitu seratus hari meninggalnya Almarhum/
mah, Mendhak yaitu setahun dan Dua Tahun meninggalnya Almarhum/ mah, Nyewu yaitu
Seribu hari meninggalnya Almarhum/ mah, Kol (Kol kolan) yaitu peringatan setelah Seribu
hari dan peringatan ini bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya Almarhum/ mah dan
semua acara sebagaimana tersebut diatas dilakukan dengan mengundang tetangga dan kerabat
masudnya untuk kirim doa/ mendoakan Almarhum/ ah agar kehidupannya di akhirat selamat
dan bahagia dan dilanjutkan dengan shodaqohan yang bertujuan dengan shodaqoh semua
hajat keluarga yang ditujukan kepada Almarhum/ ah dapat terkabul.
Contoh simbolisasi dalam kematian adalah : Daun kelor / dadhap srep yang menyertai
pemandian mayit, kelor (Lungsur dosa-dosanya), dadhap srep (menghadap dengan tenang),
Kelapa Muda : mempunyai arti Toyo wening/ toyo suci (air yang melambangkan keheningan
dan kesucian) Payung melambangkan tanda belas kasih cinta sanak keluarga terhadap orang
yang baru saja meninggal, Kembang Setaman bermakna penghormatan kepada jenazah dan
untuk mengenang kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan juga suatu upaya
keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima Tuhan

c. Kesalah pahaman masyarakat terhadap tradisi


Sebuah acara atau tindakan tradisi bagi sebagian masyarakat adalah hukumnya wajib,
sehingga apabila tidak dilakukan akan menimbulkan malapetaka atau bencana, hal inilah
yang harus kita luruskan kebenarannya sehingga masyarakat nantinya tidak terbebani dengan
adanya tradisi tersebut tetapi kita tidak boleh melarangnya (kecuali yang melanggar norma-
norma Agama) karena dalam tradisi tersebut menyimpan berbagai makna-makna kebaikan
Perlu diwaspadai juga, seiring derasnya arus globalisasi dan modernisasi, telah
berkembang aliran-aliran Islam bahkan aliran tersebut termasuk terbesar di Negara kita yang
anti tradisi dan berupaya membabat habis tradisi lokal serta menggantinya dengan tradisi
sebagian bangsa Arab modern dengan dalih purifikasi ajaran Islam serta kembali kepada
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun sayang sekali, semangat dan obsesi kelompok tersebut
dalam upaya membabat habis tradisi lokal, bukanlah berangkat dari dalil-dalil Al-Qur’an,
Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif (mu’tabar), yang selama ini menjadi pedoman
mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah diberbagai belahan dunia Islam. Bahkan
tidak jarang, semangat dan obsesi gerakan anti tradisi tersebut bertentangan dengan dalil Al-
Qur’an, Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif menurut kalangan mereka sendiri
1. Tradisi budaya Jawa adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara
turun temurun dijalankan oleh masyarakat Jawa dan menjadi kebiasaan yang bersifat
rutin
2. Bentuk tradisi budaya saat ini Jika diamati secara detail terkesan sangat njlimet atau
rumit. Hal ini dikarenakan banyaknya perlambang yang dipakai di
dalamnya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena sampai saat ini masyarakat
Jawa masih senang menggunakan simbol atau perlambang dalam kehidupannya.
3. Sebuah acara atau tindakan tradisi bagi sebagian masyarakat adalah hukumnya wajib,
sehingga apabila tidak dilakukan akan menimbulkan malapetaka atau bencana, hal
inilah yang harus kita luruskan kebenarannyatetapi kita tidak boleh melarangnya
(kecuali yang melanggar norma-norma Agama) karena dalam tradisi tersebut
menyimpan berbagai makna-makna kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai