Anda di halaman 1dari 6

NAMA:SAFA RAMANIA SANTOSO

KELAS:5B
NO:22
UPACARA ADAT DI INDONESIA
1.)UPACARA NGABEN DI BALI

Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah umat HIndu di Bali.Upacara ngaben merupakan suatu
ritual yang dilaksanakan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya.Ngaben dalam
bahasaBali berkonotasi halus yang sering disebut palebon.Palebon berasal dari kata lebu yang
artinya prathiwi atau tanah.Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu).Untuk menjadikan tanah itu
ada dua cara yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).

JENIS UPACARA NGABEN


UPACARA PENGABENAN NGEWANGUN
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya
banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara
Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.  (2) Upacara
Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan
dengan  adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa
Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud.
Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).
Tujuan upacara ngaben
Tujuan dari upacara ngaben adalah mempercepat ragha sarira agar dapat kembali ke
asalnya,yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dapat cepat menuju alam
pitra.landasan filosofis ngaben secara umum adalah panca sradha yaitu lima kerangka dasar
Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa. Sedangkan secara
khusus ngaben dilaksanakan karena wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada
orang tuanya.Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha
kepada Sang pencipta. Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya ( lontar yama purwana
tattwa).Pitra yang artinya leluhur atau orang yang mati sedangkan yadnya adalah
persembahan suci yang tulus ikhlas.
Pelaksanaan ritual upacara ngaben / Pitra Yadnya
UPACARA ATIWA-TIWA
Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa =  terang atau bening atau bersih. Artinya:
Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha
buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan
upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha
Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.
Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari
manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi
kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi
menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan
sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian
bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra
(Nuriastra) antara lain:
1.    A = kekuatan pada Ati Putih
2.    Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3.    Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4.    Ra = tulang dada (tulang keris)
5.    Ka = pangrengan (telinga)
6.    Da = dada
7.    Ta = netra (mata)
8.    Sa = sebuku-buku (sendi)
9.    Wa = ulu hati  (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)
Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu
dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini
disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian
tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau
wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing
karena masih berstatus Petra.
2.) UPACARA ADAT SEKATEN DI D.I.Y

Sekaten merupakan salah satu upacara tradisional yang berkembang di dalam kehidupan
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.  Upacara Sekaten adalah upacara tradisional yang
diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Upacara ini
diselenggarakan secara periodik satu tahun sekali yaitu setiap tiap tanggal 5 sampai 11 Rabi’ul
Awal (atau dalam kalender Jawa disebut bulan Mulud). Upacara sekaten tersebut ditutup pada
tanggal 12 Rabi’ul Awal dengan menyelenggarakan upacara Garebeg Mulud.

 Upacara Sekaten pada hakekatnya adalah suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang
kita. Pada mulanya, upacara tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu,
berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur. Namun dalam perkembangannya,
Upacara Sekaten sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam melalui kegiatan kesenian
gamelan. Penyebarluasan agama Islam menggunakan media berupa kesenian gamelan karena
masyarakat saat itu menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya. Sehingga, untuk
memperingati Maulid Nabi   Muhammad SAW tidak  lagi dengan kesenian rebana, melainkan
dengan kesenian gamelan.

Asal usul nama sekaten, ada beberapa pendapat. Pertama, sekaten berasal dari kata sekati, diambil
dari nama perangkat gamelan pusaka kraton yang dibunyikan dalam rangkaian upacara peringatan
Maulid Nabi Muhammad. Kedua, sekati berasal dari kata suka dan ati yang berarti senang hati.
Ketiga, sekaten berasal dari kata sesek dan ati yang berarti sesak hati. Ada juga yang berpendapat
bahwa kata sekaten bersal dari syahadatain yang artinya dua kalimat syahadat. maksud dan tujuan
diaakannya upacara sekaten adalah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu
bertujuan sebagai sarana penyebaran ajaran agama Islam.
3. )TEDAK SINTEN DI JAWA

tedak berarti "melangkah", dan "siten" berasal dari kata siti yang artinya "tanah atau
bumi". Jadi, tedak siten memiliki makna "melangkah di bumi".

Upacara ini menggambarkan kesiapan seorang anak untuk menghadapi


kehidupan yang sukses di masa depan, dengan berkah Tuhan dan bimbingan
dari orang tua, sejak masa kecilnya.

Upacara tedak siten dilakukan ketika seorang anak perempuan atau laki-laki
berusia 7 lapan karena 1 lapan sama dengan 35 hari, jadi umur anak saat
mengadakan tedak siten berusia 245 hari (7 x 35 = 245 hari).

Hal ini karena pada usia ini, perkembangan anak sudah berada pada tahap
berdiri, dan di momen ini kaki anak sudah bisa menginjak tanah.

Perlu diketahui juga bahwa ada lima hari Pasaran (pasar) dalam satu
Selapan: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Oleh karena itu, setiap hari
diberi nama berbeda dalam satu periode Selapan.

Rital tedak sinten ada 7 yaitu:

1 . Berjalan di 7 Warna 7. Dipakaikan Pakaian Baru

2. Menginjak Tangga dari Tebu

3. Diletakkan di Tumpukan Pasir

4. Masuk ke Kandang Ayam

5. Menyebarkan Udik-udik
6. Dimandikan dengan Bunga Sritama

4.)UPACARA RAMBU SOLO DI SULAWESI SELATAN

Upacara adat Rambu Solo adalah upacara adat pemakaman sebagai bentuk penghormatan
terakhir kepada seseorang yang sudah meninggal.

Masyarakat Toraja memandang kematian sebagai perpindahan orang dari dunia ke tempat alam
roh untuk peristirahatan (Puya).

Maka, untuk mencapai tujuan itu, mayat harus diperlakukan dengan baik oleh keluarga yang
ditinggalkan.

Bagi suku Toraja, orang yang sudah meninggal dikatakan telah benar-benar meninggal ketika
seluruh kebutuhan prosesi upacara Rambu Solo telah terpenuhi. Jika belum, orang meninggal
akan diperlakukan layaknya orang sakit, sehingga masih harus disediakan minuman, makanan,
dan dibaringkan di tempat tidur.
5.)UPACARA ADAT PEUSIJUEK DI ACEH

Peusijuek adalah sebuah prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh yang masih dipraktikan


hingga saat ini. Tradisi peusijuek ini dilakukan pada hampir semua kegiatan adat dalam
kehidupan masyarakat di Aceh. Misalnya ketika memulai sebuah usaha, menyelesaikan
persengketaan, terlepas atau selesai dari musibah, menempati rumah baru, merayakan
kelulusan, memberangkatkan dan menyambut kedatangan haji, kembalinya keluarga dari
perantauan dan masih banyak lagi

Pada kalangan masyarakat pedesaan di Aceh peusijuek merupakan prosesi adat yang cukup
biasa dilakukan bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun misalnya ketika membeli kendaraan
baru atau ketika hendak menabur benih padi di sawah. Sementara bagi masyarakat perkotaan
yang lebih modern tradisi peusijuek ini hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan adat saja
misalnya dalam prosesi adat perkawinan.

Ritual peusijuek ini mirip dengan tradisi tepung tawar dalam budaya Melayu. Di Aceh yang
melakukan acara peusijuek adalah tokoh agama maupun adat yang dituakan ditengah
masyarakat. Bagi kaum lelaki yang melakukan peusijuek adalah tokoh pemimpin
agama Teungku (Ustadz) sedangkan bagi wanitanya adalah Ummi atau seorang wanita yang
dituakan ditengah masyarakat. Diutamakan yang melakukan peusijuek ini adalah mereka yang
memahami dan menguasai hukum agama sebab prosesi peusijuek ini diisi dengan acara
mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bersama sesuai dengan agama Islam yang dianut
secara umum oleh masyarakat Aceh

Anda mungkin juga menyukai