Anda di halaman 1dari 7

BUDAYA JAWA PADA BAYI

 Budaya pada ASI


Sosio budaya gizi saat menyusui misalnya praktik membuang kolostrum karena dianggap kotor
dan sosio budaya gizi masa balita seperti pemberian makanan pendamping ASI dini (sebelum
usia enam bulan)
 Larung Ari –Ari
Larung Ari – Ari adalah prosesi upacara adat melarung atau menghanyutkan ari – ari si jabang
bayi yang dikenal di Kota Surabaya. Ari – ari si bayi akan dilarung bersama dengan bunga 7
rupa, kendil, kain putih, dan jarum ke laut. Upacara Larung Ari – Ari ini dilakukan dengan
diiringi proses menyanyikan tembang Macapat yaitu Dhandhang Gula. Setelah acara melarung
ari – ari ini selesai maka akan ditutup dengan pesta merayakan kelahiran si bayi dengan meriah.
Larung Ari – Ari ini memang masih terjaga keberadaannya hingga sekarang. Terutama bagi
warga Kota Surabaya yang ada wilayah pesisir.
 BABARAN
Babaran adalah upacara untuk merayakan kelahiran dari si anak yang sudah selamat hingga mengirup
udara pertamanya di dunia ini. Babaran ditujukan kepada tanda syukur kepada Sang Pencipta
bahwa ibu dan anak yang diberikan keselamatan selama dalam proses melahirkan sang buah
hati. Babaran dikenal sebagai upacara adat yang sangat kental di kalangan warga Kota
Surabaya. Babaran sendiri memang merupakan kata dalam Bahasa Jawa yang berarti
melahirkan. Tak heran jika upacara untuk merayakan kelahiran sang anak dan keselamatan sang
ibu dikenal dengan kata tersebut.
 SEPASARAN
Sepasaran adalah syukuran yang dilakukan oleh keluarga yang sudah dikaruniai momongan dimana
sang buah hati sudah menginjak usia 5 hari. Disini pihak keluarga yang merayakannya akan
membuat sebuah proses syukuran sebagai ungkapan tanda syukurnya karena telah dikaruniai
momongan. Sepasaran sendiri memang merupakan rangkaian upacara adat kelahiran anak di
kepercayaan masyarakat Jawa. Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta upacara
Sepasaran ini juga bisa kita temui secara langsung disana
 PITONAN
Pitonan adalah upacara selametan yang digelar oleh masyarakat Kota Surabaya guna
merayakan kelahiran anaknya dimana usia sang anak sudah menginjak usia tujuh bulan.
Upacara Pitonan ini juga diselenggarakan sebagai wujud simbol rasa syukur mereka atas
kelahiran sang buah hati sang sudah diberkahi hingga umur 7 bulan dan upacara selametan ini
juga bertujuan mendoakan keselataman, rejeki, serta masa depan sang anak agar menjadi baik
dan sejahtera dalam perkembangan kedepannya
 Upacara Puputan atau Dhautan
Upacara adat tradisional tahap ketiga disebut dengan istilah "puputan" atau "dhautan". Upacara
ini diselenggarakan setelah putus tali pusat bayi. dalam bahasa Jawa kata "dhaut" atau "puput"
yang berarti putus. Adapun dalam acara ini memerlukan perlengkapan-perlengkapan. Adapun
perlengkapan dalam upacara puputan ini antara lain:
a. Sekul gudangan, yaitu nasi dengan lauk pauk sayur-sayuran dan parutan kelapa (sebagai
bumbunya). Maknanya yaitu agar si bayi selalu dalam keadaan segar bugar.
b. Jenang abang, jenang putih, jenang baro-baro, Hal ini mengandung makna:
 Jenang abang, melambangkan sebuah harapan kepada orang tua keduanya agar
supaya memberikan maaf segala kesalahan anaknya.
 Jenang putih, melambangkan harapan kepada orang tua agar diberi doa restu
 Jenang baro-baro, melambangkan penghormatan pada air ketuban. (liquor amnii)
dan ari-ari (tembuni, placenta) yang dianggap sebagai saudaranya, karena ketika
manusia lahir keduanya menyertai.
c. Jajanan pasar, yaitu berbagai makanan kecil yang dijual di pasar. Perlengkapan ini
melambangkan kekayaan.
d. Mainan kertas yang berupa payung, bendera panji-panji, mainan dari bambu berupa keris,
tombak. Semua mainan itu disebut blungkang. Semua mainan ditancapkan pada sepotong
batang pisang (Jawa: debok), ditaruh di bawah atau di dekat tempat tidur bayi. Adapun
makna dari perlengkapan ini ialah untuk memikat perhatian roh-roh halus sesaudara
dengan si bayi (kakang kawah adi ari-ari). Atau agar supaya dengan memasang mainan
tersebut akan menarik perhatian roh halus/jahat yang datang akan mengganggu
keselamatan si bayi; sehingga dengan adanya mainan (Jawa: dolanan) ia tidak jadi
mengganggu si bayi.
e. Gandhik, yaitu alat untuk menghaluskan atau menumbuk jamu. Gandhik itu digambari
seperti wujud bayi, dibungkus dengan kertas, sehingga seperti bayi. Gandhik tersebut
diletakkan di atas nyiru (tampah) yang masih baru, diberi alas daun senthe (daun talas),
lalu diletakkan di tempat tidur. Adapun makna dari penyelenggara ini untuk memancing
roh halus/roh jahat yang akan datang mengganggu si bayi, maka roh halus jahat itu akan
terkecoh, yang diganggu keselamatannya bukan si bayi, tetapi gandhik yang dibentuk
seperti bayi.
f. Sawuran, perlengkapan ini terdiri dari bawang merah, dlingo, bengle yang ditaruh dalam
ketupat (kupat luar). Kupat luar yaitu, ketupat yang berbentuk empat persegi panjang,
maknanya untuk melunasi atau menepati janji (Jawa; ngluwari ujar atau nadzar).
g. Tumbuk suwu, yaitu sapu lidi yang sudah dipakai, diletakkan terbalik. Ujung-ujung lidi
ditancapi empon-empon (segala macam jamu) bawang merah, cabe merah. Perlengkapan
ini mengandung makna, sebagai senjata yang menghalau berbagai roh halus atau roh jahat
yang akan mengganggu
h. Lawa wenang, direntangkan di sekeliling rumah atau kamar bayi. Adapun maknanya yaitu
untuk menghalang-halangi roh halus jahat yang hendak memasuki kamar bayi.
i. Daun kemarung dan daun-daunan berduri, dipasang pada sudut-sudut rumah. Makna yang
terkandung yaitu menolak segala macam gangguan. Sedang coreng-coreng yang berwarna
hitam putih (seperti ular welang) diletakkan di depan pintu rumah. Maknanya untuk
menolak pengaruh jahat yang akan masuk melalui pintu.
j. Unsur perlengkapan upacara yang berupa kuwali atau kendil yang dipasang terbalik,
melambangkan dunia. Pelita (Jawa: jlupak), melambangkan sinar yang menerangi
kegelapan alam.
k. Gelang berangkai irisan dlingo, bengle. Adapun maknanya untuk menghalang-halangi roh
halus jahat yang akan mengganggu
 Upacara Selapan
Mengenai upacara selapan, merupakan tahap upacara yang terakhir dalam menyambut upacara
kelahiran bayi. Upacara selapanan, diselenggarakan setelah bayi berumur lima puluh lima hari.
Dalam bahasa Jawa, kata selapanan bermakna tiga puluh lima hari. Menurut tradisi Jawa berati
hari jadi seseorang (weton, neptu). Adapun dalam upacara ini memerlukan perlengkapan-
perlengkapan. Perlengkapan upacara selapanan dan maknannya :
a. Sekul tumpeng gudangan, yaitu nasi dengan lauk-pauk sayur-sayuran, dan parutan kelapa
sebagai bumbunya. Adapun maknanya ialah mengharapkan kepada roh halus bernama
Nyai Mong, Kaki Mong, Nyai Bodho, Kaki Bodho (Jawa; masa bodho, artinya terserah)
kepada mereka bagaimana menjaga (Jawa; ngemong) keselamatan orang yang sedang
mengadakan selamatan. Sedangkan lauk pauk gudangan melambangkan kesegaran jasmani
dan rohani atau mengandung makna agar si bayi selalu dalam keadaan segar bugar.
b. Jenang abang, jenang putih, jenang baro-baro, Hal ini mengandung makna:
 Jenang abang, melambangkan sebuah harapan kepada orang tua keduanya agar
supaya memberikan maaf segala kesalahan anaknya.
 Jenang putih, melambangkan harapan kepada orang tua agar diberi doa restu
 Jenang baro-baro, melambangkan penghormatan pada air ketuban. (liquor amnii)
dan ari-ari (tembuni, placenta) yang dianggap sebagai saudaranya, karena ketika
manusia lahir keduanya menyertai.
c. Jajanan pasar, yaitu berbagai makanan kecil yang dijual di pasar. Perlengkapan ini
melambangkan kekayaan.
d. Sekul gelong, yaitu nasi putih yang dibentuk bulat. Melambangkan kegelangan atau
kemantapan tekat bulat dalam melaksanakan pekerjaan
e. Sekul asrap-asrapan, yaitu nasi tumpeng tanpa garam melambangkan pikiran dingin.
f. Sekul gurih, yaitu nasi dimasak yang diberi santan dan garam serta lauknya ingkung ayam,
rambak, dan lalapan (petai, jengkol dan sayur-sayuran mentah, seperti; kubis/kol, kemangi
dan sebagainya).
g. Pecel ayam (ayam, santan mentah, dan kemangi). Hal ini mengandung makna gairah dalam
mencari makan.
h. Tumpeng inthuk-inthuk, yaitu nasi tumpeng kecil-kecil bagian ujungnya ditancapi tusukan
bawang merah, cabe merah, dan dipinggirnya diberi bunga. Tumpeng itu diletakkan pada
daun pisang yang berbentuk conteng. Adapun makna Yang terkandung yaitu kesiap-
siagaan dalam menghadapi kesulitan dan cobaan hidup.
i. Jangan menir (sayur bening dan menir, atau jagung muda yang diiris kecil-kecil). Hal ini
melambangkan lenyapnya bahaya (Jawa; nir ing sambikala). Buah pisang melambangkan
budi luhur atau derajat mulia.
j. Kemenyan, maknanya: bahwa kemenyan yang dibakar untuk sarana permohonan sewaktu
mengucapkan doa. Bersamaan dengan asap yang membumbung ke atas, ada harapan agar
roh-roh halus membantu si pemohon dan tidak mengganggu. Di sini asap kemenyan
sebagai sarana sebuah doa.
 TEDHAK SITEN
Tedhak Siten yang juga dikenal sebagai ritual Turun Tanah merupakan salah satu adat dan
tradisi masyarakat Jawa Tengah. Istilah dari Tedhak Siten sendiri berasal dari dua kata yaitu
Tedhak yang berarti kaki atau langkah dan Siten yang berasal dari kata Siti yang artinya tanah.
Jadi, tedhak siten merupakan sebuah acara adat dimana seorang anak yang berumur tujuh lapan
(7 x 35 hari atau 245 hari) akan dituntun oleh ibunya untuk berjalan menapak diatas tanah.
Upacara adat ini sendiri memiliki beberapa tujuan, termasuk diantaranya adalah sebagai bentuk
rasa syukur karena sang anak akan mulai belajar berjalan. Selain itu, upacara ini merupakan
salah satu upaya memperkenalkan anak kepada alam sekitar dan juga ibu pertiwi. Hal ini juga
merupakan perwujudan dari salah satu pepatah Jawa yang berbunyi “Ibu Pertiwi Bopo
Angkoso” (Bumi adalah ibu dan langit adalah Bapak).
Sama seperti berbagai upacara adat Jawa lainnya, upacara tedhak siten juga tidak lepas dari
berbagai simbol dan makna filosofis. Setiap langkah dan aspek dari upacara ini menyimbolkan
hal-hal tertentu dalam kehidupan sang anak, dan hal inilah yang membuat upacara ini penuh
warna. Tahapan dari upacara tedhak siten meliputi:
1. Tahap 1
Pada tahap ini, sang anak akan dituntun oleh sang Ibu untuk berjalan diatas 7 jadah
(makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan garam dan kelapa yang
kemudian dikukus, dihaluskan dan dicetak) dengan 7 warna berbeda yaitu putih, merah,
hijau, kuning, biru, coklat, dan ungu. Warna-warna dari jadah tersebut merupakan simbol
dari warna-warna kehidupan. Pengaturan jadah tersebut dimulai dari yang berwarna gelap
hingga berwarna terang (putih) sebagai simbol bahwa akan ada jalan keluar yang terang
dari setiap masalah yang menghadang. Sementara jumlah 7 mengacu pada bahasa Jawa
Pitu yang bermakna pitu atau pertolongan, dimana dalam perjalanan sang anak dalam
setiap tahap kehidupannya kelak, semoga selalu mendapat pertolongan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Tahap 2
Sang anak akan dituntun untuk menaiki tangga yang terbuat dari tebu. Pemilihan tebu yang
dianggap sebagai singkatan dari antebing kalbu atau mantapnya hati merupakan bentuk
harapan agar sang anak memiliki ketetapan hati dalam menjalani setiap tahap
kehidupannya kelak, dimana setiap anak tangga yang dilewati merupakan simbol dari
tahapan kehidupan.
3. Tahap 3
Anak dituntun untuk berjalan diatas tanah atau tumpukan pasir dimana sang anak akan
mengais (ceker-ceker) tanah dengan kedua kakinya. Hal ini merupakan simbol dari harapan
agar sang anak saat telah dewasa nanti mampu mengais rejeki untuk memenuhi
kebutuhannya.
4. Tahap 4
Anak dimasukkan dalam kurungan ayam, dimana di dalam kurungan tersebut telah
disediakan berbagai benda seperti buku, uang, mainan, makanan dan berbagai benda
lainnya. Benda yang dipilih oleh sang anak merupakan gambaran dari potensi anak yang
diharapkan akan membantu orang tua untuk bisa mengasah potensi tersebut dengan baik.
Sang anak yang berusia sekitar 8 bulan dipercaya masih memiliki naluri atau insting yang
belum tertutupi oleh hal-hal lain, dan pada saat yang sama mereka sudah mampu merespon
dunia luar dengan baik. Hal inilah yang membuat sang anak akan memilih benda yang
sesuai dengan insting mereka, yang dipercaya sebagai potensi yang ada dalam diri mereka.
5. Tahap 5
Pemberian uang logam yang telah dicampurkan dengan berbagai jenis bunga dan beras
kuning oleh sang ayah dan kakek sebagai simbol harapan agar sang anak nantinya memiliki
rejeki berlimpah namun tetap bersifat dermawan
6. Tahap 6
Sang anak dimandikan dengan air yang dicampur dengan kembang setaman sebagai simbol
harapan agar sang anak akan membawa nama harum bagi keluarga

7. Tahap 7
Anak dipakaikan baju yang bagus dan bersih dengan harapan agar anak akan menjalani
hidup yang baik nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/23959160/UPACARA_TRADISIONAL_WANITA_HAMIL_SAMP
AI_MELAHIRKAN_ADAT_JAWA

http://digilib.unila.ac.id/10426/15/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai