Anda di halaman 1dari 13

BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya pada hakekatnya adalah cerminan nilai-nilai dari sekumpulan
manusia yang ada di dalamnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki keanekaragaman budaya, karenanya pelestarian budaya yang ada
menjadi keharusan. Agar nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya
dapat berperan membimbing perilaku masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut kamus bagi istilah kejawen atau kejawaan sebagaimana dikutip
Niels Mulder (1985:16), dalam bahasa inngris adalah Javaneseness, Javanism
yang merupakan suatu cap diskripsi bagi unsur-unsur kebudayaan jawa yang
dianggap sebagai pada hakikatnya jawa dan yang mendefinisikannya sebagai
suatu khategori khas. Dalam pandangan kejawen pengetahuan yang sebenarnya
adalah bersifat gaib dan subyektif sekaligus, merupakan suatu wawasan pribadi
atas sesuatu yang sebenarnya dan mengenai susunannya yang tidak dapat
dirumuskan secara obyektif. Oleh karena itu ajaran-ajaran jawa penuh dengan
simbolisme dan ilmu rahasia (ngelmu) yang memacu angan-angan dan renungan
(Niels Mulder, 1985:24).
Adapun salah satu kehidupan budaya diantaranya adalah budaya jawa
yang ada di klaten , yang mana adat istiadat dan upacara adat tersebut sangat
menarik. Tidak semua adat yang selama ini diterapkan di masyarakat
bermanfaat dan aman bagi keselamatan ibu dan bayi. Sehingga perlunya kita
untuk mempelajari dan meneliti adat istiadat khususnya pada asuhan persalinan
kala IV.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari adat istiadat dan kebudayaan?


2. Apa saja adat istiadat dan budaya ibu bersalin di kabupaten Klaten?
3. Apa saja adat istiadat dan budaya bayi baru lahir di kabupaten Klaten?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari adat istiadat dan kebudayaan.
2. Untuk mengetahui adat istiadat dan budaya ibu bersalin di kabupaten
Klaten.
3. Untuk mengetahui adat istiadat dan budaya bayi baru lahir di
kabupaten Klaten.
\
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam makalah ini kami akan membahas adat istiadat ibu bersalin kala
IV di kabupaten Klaten. Berikut hasil diskusi kelompok kami mengenai beberapa
adat istiadat ibu bersalin di kabupaten Klaten :
A. Pengertian
Adat-istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat
ketika melaksanakan pesta, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah raga, dsb.
Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
B. Adat Istiadat pada Ibu Bersalin
Beberapa adat istiadat pada ibu bersalin di kabupaten Klaten diantaranya
:
1. Upacara Mendhem Ari-ari
Ari-ari atau plasenta disebut juga dengan aruman atau embing-embing
atau mbingmbing. Bagi orang Jawa, ada kepercayaan bahwa ari-ari merupakan

saudara bayi tersebut oleh karena itu ari-ari dirawat dan dijaga sebaik mungkin,
misalnya di tempat penanaman ari-ari tersebut diletakkan lampu sebagai
penerangan. Artinya, lampu tersebut merupakan simbol pepadhang bagi bayi.
Pemagaran di sekitar tempat penanaman ari-ari dan menutup bagian atas pagar
juga dilakukan agar tidak kehujanan dan binatang tidak masuk ke tempat itu.
Tata Cara/Adat
Ari-ari setelah dicuci bersih dimasukkan ke dalam periuk yang terbuat
dari tanah (kendhil). Di beberapa tempat, periuk dari tanah ini dapat diganti
dengan tempurung kelapa dan tabonan kelapa. Sebelumnya kendhil diberi alas
daun senthe yang di atasnya diletakkan beberapa barang yang merupakan
syarat.
Syarat yang dimaksud di beberapa daerah berlainan jenisnya, yaitu:
kembang boreh, lenga wangi, kunir bekas alas untuk memotong usus,
welat (pisau yang terbuat dari potongan bambu tipis) yang dipakai untuk
memotong usus, garam, jarum, benang, gereh pethek, gantal dua kenyoh, kemiri
gepak jendhul, tulisan huruf Jawa (ha na ca ra ka, ...), tulisan huruf Arab, tulisan
huruf latin (a, b, c, ...), dan uang sagobang; biji kemiri gepak jendhul, jarum,
gereh, beras merah, kunyit, garam, dan kertas tulisan Arab,pensil, buku, kertas
tulisan Arab, tulisan Jawa, dan tulisan latin. Selain itu, bagi bayi perempuan ke
dalam kendhil dimasukkan juga empon-empon seperti temu ireng, kunir, dlingo
bengle, bawang merah, bawang putih, benang, dan jarum. Bagi bayi laki-laki,
dimasukkan juga uang logam Rp 100,00 .
Setelah beberapa syarat itu dimasukkan disusul kemudian dengan ari-ari,
kendhil ditutup dengan lemper yang masih baru lalu dibungkus dengan kain mori
yang juga masih baru.
Pelaku atau orang yang menanam ari-ari haruslah ayah kandung si bayi
dengan mengenakan pakaian tradisi lengkap, yaitu: bebedan dan mengenakan

blangkon. Kendhil berisi ari-ari digendhong dan dibawanya ke tempat


penguburan dengan dipayungi. Timbunan tanah untuk mengubur ari-ari dipagari
dan di atasnya ditaburi kembang setaman (bunga mawar, melati, dan kenanga).
Di atasnya dipasang lampu yang dinyalakan setiap malam selama selapan (35
hari). Tempat penguburan ari-ari ini biasanya terletak di samping kanan pintu
masuk.
2. Upacara Brokohan
Upacara brokohan merupakan upacara yang diselenggarakan oleh
masyarakat Jawa untuk menyambut hadirnya warga baru dalam keluarga, yaitu
si bayi sebagai ungkapan rasa syukur. Seluruh upacara kelahiran ini bertujuan
agar sejak saat kelahiran sampai pertumbuhan masa bayi selalu mendapat
karunia keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Unsur kata brokohan berasal
dari kata bahasa Arab barokah yang mengandung makna: mengharapkan
berkah.
Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran anak
dengan mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh dukun
perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat.
Setelah kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang
telah didoakan. Biasanya sesajian sudah dikemas dalam besek, yaitu suatu
wadah yang terbuat dari sayatan bambu.
Sesajian yang dipersiapkan pada upacara brokohan, antara lain:
minuman dhawet, jangan menir, sekul ambeng: nasi dicampur lauk
pauk jeroan, pecel dicampur lauk ayam matang, telur mentah, kembang
setaman, kelapa, dan beras. Makanan yang telah matang tersebut dapat juga
diganti dengan bahan makan yang belum diolah, misalnya bawang merah,
bawang putih, lombok merah, lombok hijau, lombok rawit, gula jawa,
sebungkusteh, sebungkus gula pasir, tempe mentah, garam, beras, minyak

goreng, telur mentah, sepotong kelapa, dan penyedap rasa atau sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
3. Upacara Sepasaran

.Upacara sepasaran merupakan suatu upacara yang menandai bahwa


bayi telah berumur sepasar (lima hari). Sepasar merupakan satu rangkaian hari
Jawa, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing. Upacara sepasaran biasanya
diselenggarakan secara sederhana. Upacara sepasaran dilakukan pada sore hari
dengan melakukan kenduri yang disaksikan oleh keluarga dan tetangga terdekat.
Kenduri atau sesajian selamatan kemudian dibawa pulang oleh yang
menyaksikannya.

Namun bagi golongan masyarakat tertentu, sepasaran justru merupakan


upacara paling meriah yang diselenggarakan oleh keluarga untuk menyambut
hadirnya bayi di tengah keluarganya seklaigus pemberian nama bagi si bayi.
Kemeriahan ini tergantung pada kemampuan masing-masing keluarga untuk
menyelenggarakan pesta.

4. Upacara Selapanan
Upacara sepasaran merupakan suatu upacara yang menandai bahwa
bayi telah berumur selapan (tiga puluh lima hari). Hitungan selapan itulah yang
menandai bahwa hari itulah hari weton si bayi. Upacara selapanan pada
kalangan masyarakat tertentu bersamaan dengan pemberian nama bagi si bayi.
Tempat penyelenggaraan upacara selapanan biasanya di pendapa atau di ruang
samping rumah atau di suatu ruang yang cukup luas untuk menyelenggarakan
upacara.

Upacara selapanan didahului dengan upacara parasan. Parasan berasal


dari kata paras yang berarti cukur. Parasan dilakukan pertama kali oleh ayah si
bayi kemudian para sesepuh. Setelah rambut tercukur bersih, dilakukan
pengguntingan kuku. Selama pencukuran rambut dan pemotongan kuku, dhukun
mengucapkan mantra-mantra penolak bala dan membakar kemenyan. Cukuran
rambut dan guntingan kuku dimasukkan ke dalam kendhil baru kemudian
dibungkus dengan kain putih (mori), lalu dikubur di tempat penguburan ari-ari.

Upacara mencukur rambut dan menggunting kuku si bayi pada


hakekatnya adalah perbuatan ritual yaitu semacam kurban menurut konsepsi
kepercayaan lama dalam bentuk mutilasi tubuh.

Setelah pencukuran rambut dan pemotongan kuku selesai, diucapkanlah


ujub disusul dengan doa keselamatan bagi si bayi dan keluarga. Sebagian
sesajian selamatan dibawa pulang oleh kerabat dan tetangga yang hadir.
Dengan demikian, selesailah sudah upacara selapanan.

Dalam melaksanakan upacara kelahiran, masyarakat Jawa percaya


bahwa keseluruhan unsur dalam upacara tersebut mempunyai makna atau
lambang tersirat. Makna atau lambang yang tersirat dalam upacara-upacara
masa kelahiran dalam masyarakat Jawa, ialah:

Duri dan daun-daunan berduri dipasang di penjuru rumah, maknanya


ialah menolak gangguan bencana gaib.
Tumbak sewu, yaitu sapu lidi yang diberi bawang dan cabe, diletakkan di
dekat tempat tidur bayi. Tumbak sewu ini bermakna untuk menolak makhluk
gaib yang datang, yang mungkin akan mengganggu keselamatan si bayi.

Dengan adanya tumbak sewu ini makhluk gaib tidak akan berani mendekati si
bayi.
Coreng-coreng hitam putih pada ambang pintu untuk menolak pengaruh
jahat yang akan masuk melalui pintu.
Kertas bertuliskan huruf Arab, latin, dan Jawa mengandung makna agar
bayi kelak mahir membaca ayat suci, memilki kepribadian Jawa, menguasai
berbagai pengetahuan. Syarat yang berupa benang dan jarum bagi bayi
perempuan, diharapkan agar si bayi tumbuh menjadi perempuan yang tahu
tanggungjawabnya kelak sebagai ibu/istri. Syarat yang berupa uang bagi bayi
laki-laki, diharapkan agar si bayi kelak dapat mencari nafkah bagi keluarganya.
Payung mengandung makna agar si bayi kelak menjadi orang luhur. Kain
mori putih agar si bayi kelak berhati jujur. Kuali yang dipasang terbalik (kuali
bolong) melambangkan dunia. Pelita melambangkan sinar yang menerangi
kegelapan.
Air dan kembang setaman mengandung makna kesucian.
Kaca/cermin (pangilon) mengandung makna magis yang mampu
mengusir kedatangan makhluk halus jahat.
Dedaunan apa-apa, awar-awar, dan girang maknanya mengandung
harapan agar kelahiran tidak mengalami sesuatu gangguan (apa-apa), semua
kekuatan jahat menjadi tawar (awar-awar), dan seluruh keluarga bergembira
(girang). Duri (ri) kemarung dianggap memiliki kekuatan magi alam yang mampu
mencelakakan setiap makhluk halus yang mencoba datang untuk maksud jahat.
Daun nanas yang diolesi hitam putih menyerupai ular welang
mengandung makna magis yang mampu menakut-nakuti makhluk halus jahat
yang hendak memasuki kamar bayi.
Telur mentah melambangkan kekuatan.
Kelapa melambangkan ketahanan fisik.

Ingkung melambangkan embrio.


Jajan pasar melambangkan kekayaan.
Pisang raja melambangkan budi luhur atau derajat mulia.
Gula jawa melambangkan kemanisan hidup.
Sega gudangan melambangkan kesegaran jasmani rohani.
Dawet melambangkan kelancaran usaha hidup

5. Walik Dadah
Beberapa hari setelah melahirkan, biasanya 35 hari (selapan) setelah
melahirkan ibu bersalin dibalik perutnya dengan cara digecel / didadah. Biasanya
walik dadah dilakukan oleh dukun. Ibu bersalin setelah melahirkan hingga walik
weteng harus memakai tagen, jarik dan sempitan. Ibu bersalin menggunakan
tagen dan jarik agar perut ibu tidak udar/ambyar. Sedangkan ibu bersalin
menggunakan sempitan yang ternuat dari jarik sebagai pengganti pembalut
bertujuan untuk merapatkan daerah kemaluan.
6. Piles
Piles merupakan daun belimbing yang sudah dilembutkan. Biasanya ibu
bersalin memakai piles di bagian dahi. Hal ini bertujuan untuk madangke mripat.
7. Minum Jamu
Ibu bersalin biasanya minum jamu. Jamu yang biasa dikonsumsi ibu
bersalin diantaranya : jamu beras kencur yang menurut orang Jawa bermanfaat
untuk membersihkan rahim ibu bersalin, jamu manis jangan bermanfaat untuk
melancarkan ASI dan mengharumkan daerah kemaluan, serta godhong gantung
yang bermanfaat untuk menyegarkan tubuh, menyehatkan dan membuat bayi
doyan minum ASI. Ibu bersalin mengkonsumsi jamu sehari sekali.
C. Adat Istiadat pada Bayi Baru Lahir

Beberapa adat istiadat pada bayi baru lahir di kabupaten Klaten


diantaranya :
1. Upacara Puputan
puputan berasal dari kata puput yang berarti lepas. Upacara puputan
diselenggarakan pada sore hari untuk menandai putusnya tali pusar bayi dengan
mengadakan kenduri selamatan. Kenduri selamatan sebagai ungkapan rasa
syukur dipimpin oleh kaum dengan dihadiri oleh para kerabat dan bapak-bapak
tetangga terdekat. Sesajian yang perlu dipersiapkan pada upacara puputan ialah
sega gudangan: nasi dengan lauk pauk sayur mayur dan parutan kelapa, jenang
abang, jenang putih, dan jajan pasar.
Waktu penyelenggaraan upacara puputan tidak dapat ditentukan secara
pasti karena putusnya tali pusar masing-masing bayi tidak sama. Adakalanya tali
pusar lepas setelah bayi berumur satu minggu, adakalanya kurang dari satu
minggu.
Upacara puputan ini ditandai antara lain
Dengan dipasangnya sawuran, yaitu bawang merah, dlingo, bengle
yang dimasukkan ke dalam ketupat, dan aneka macam duri kemarung di sudutsudut kamar bayi. Selain itu dipasang juga daun nanas dipoles warna hitam
putih, dedaunan apa-apa, awar-awar, dan girang, dan duri kemarung. Di
halaman rumah ditegakkan tumbak sewu. Di tempat tidur bayi diletakkan bendabenda tajam seperti pisau, gunting.
Bayi perempuan setelah tali pusarnya lepas, pusarnya ditutupi dengan
biji ketumbar sedangkan laki-laki ditutupi dengan biji merica dengan dilekati obat
tradisional Jawa berupa ramuan benangsari bunga nagasari, dan lain-lain yang
ditumbuk sampai halus. Tali pusar yang barusaja putus dibungkus dengan kain
banguntulak untul bantal si bayi sampai bayi berumur selapan
2. Mamakai Gurita

Pada bayi baru lahir dipakaikan gurita. Hal ini bertujuan agar perut bayi
tidak kembung/ambyar. Menurut kelompok kami mitos ini tidak benar, karena
organ dalam tubuh malah akan kekurangan ruangan. Jika bayi menggunakan
gurita, maka ruangan untuk pertumbuhan organ-organ seperti rongga dada dan
perut serta organ lain akan terhambat. Kalau mau tetap memakaikan gurita,
boleh saja asalkan ikatan bagian atas dilonggarkan, sehingga jantung dan paruparu bisa berkembang.
3. Tidak boleh memotong kuku dan rambut sebelum usia 35 hari
Pada bayi baru lahir tidak boleh dipotong kuku dan rambutnya sebelum
usia 35 hari (selapan). Menurut kelompok kami budaya ini tidak tepat karena
kalau kuku tidak dipotong kuku yang panjang bisa berisiko melukai wajah bayi.
Bahkan bisa melukai mata. Larangan ini mungkin lebih disebabkan kekhawatiran
akan melukai kulit jari tangan / kaki si bayi saat ibu mengguntingi kuku-kukunya.
4. Menarik hidung agar mancung
Beberapa ibu bersalin meginginkan bayinya memiliki hidung yang
mancung. Salah satu cara mewujudkannya yaitu dengan cara menarik hidung
bayi setiap pagi hari agar mancung. Menurut kelompok kami hal ini salah karena
tidak ada hubungannya menarik pucuk hidung dengan mancung-tidaknya
hidung. Mancung-tidaknya hidung seseorang ditentukan oleh bentuk tulang
hidung yang sifatnya bawaan
5. Menindih pusat dengan koin
Pada bayi yang sudah puput di bagian pusar ditindih dengan koin.
Setelah pusar kering, pusar ditindih koin agar tidak bodong. Menurut kelompok
kami hal ini tidak apa-apa dilakukan pada bayi karena secara ilmiah memang
ada betulnya. Koin yang digunakan untuk menindih pusar hanyalah alat untuk
menekan karena jendela rongga perut ke pusar belum menutup sempurna, jadi
meonjol (bodong),.

6. Mengoleskan air embun di lutut bayi


Dengan mengoleskan air embun di lutut bayi setiap pagi maka bayi akan
cepat bisa berjalan. Menurut kelompok kami hal ini tidak ada kaitannya. Secara
medis biologis, bayi bisa berjalan bila tulang dan otot-otot betis dan pahanya
telah tumbuh kuat. Kekuatan ini ditentukan oleh faktor genetika dan nutrisi.
Faktor nutrisi yang terpenting adalah kalsium, energi dan protein. Air embun
jelas tidak mengandung unsur tersebut.
7. Tetesan
Tetesan anak perempuan, atau semacam sunatan pada anak lelaki,
masih berkembang di pedesaan di wilayah Klaten. Tradisi tersebut diyakini
sebagai upacara tulak bala atau ruwatan bagi anak perempuan, agar hidupnya
bahagia di masa datang.
Tetesan diawali dengan upacara menyucikannya memakai kembang
setaman. Setelah mandi air kembang setaman, anak didandani dan dibaringkan
di tempat tidur yang dilengkapi uba rampe atau rangkaian sesaji berupa antara
lain kloso bongko (tikar kecil dari anyaman pandan), pisang raja dan kembang
setaman. Setelah anak ditidurkan dalam ruang tertutup, Mbah Dukun membaca
doa-doa untuk kemuliaan anak gadis tersebut. Selesai membaca doa, lalu
memotong kunyit pertanda untuk menghilangkan sukerta (sial) yang ada pada
anak itu. Dengan dipotongnya kunyit, berarti upacara menghilangkan sukerta
anak gadis telah selesai. Sebagai upahnya Mbah Dukun memberi telor rebus dan
uang yang ditempatkan pada sebuah takir (dari daun pisang). Anak gadis
kemudian disuruh makan telor rebus serta diberi ganti baju yang bagus.
Upacara berikutnya adalah bancakan nasi gudangan dan jajan pasar.
Dibagikan kepada teman-teman sebayanya. Pada sore hari diadakan kenduri
untuk para orang tua, guna mendoakan keselamatan dan kebaikan bagi si gadis.

Tradisi tetesan di pedesaan biasanya disertai hajadan dengan mengundang


sanak saudara dan tetangga sekitarnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adat-istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat
ketika melaksanakan pesta, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah raga, dsb.
Sedangkan kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Beberapa adat istiadat dan budaya ibu bersalin di kabupaten Klaten
diantaranya upacara mendhem ari-ari, upacara brokohan, walik dadah, piles,
minum jamu. Sedangkan beberapa adat istiadat da budaya bayi baru lahir di
kabupaten Klaten diantaranya upacara puputan, memakai gurita, tidak boleh
memotong kuku dan rambut sebelum usia 35 hari, menarik hidung agar
mancung, menindih pusat dengan koin, mengoleskan air embun di lutut bayi dan
tetesan
B. Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang langsung terjun ke masyarakat
hendaknya kita memperhatikan adat istiadat dan budaya yang berkembang di
sekitar kita. Hal ini bermanfaat bagi bidan untuk melakukan pendekatan kepada
masyarakat sehingga masyarakat dengan mudah percaya dan menerima apa
yang diberikan oleh bidan. Karena terkadang sebagai tenaga kesehatan, bidan
mengalami kesulitan dalam memberikan pelayanan yang bertentangan dengan
adat istiadat dan budaya setempat.
DAFTAR PUSTAKA

http://posyandu.org/tradisional/70-upacara-tradisional/256-berbagaiupacara-untuk-bayi.html
http://yrmasfytryana.multiply.com/journal/item/3/MITOS_DAN_ADAT_ISTIA
DAT_JAWA_SEPUTAR_KEHAMILAN?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Anda mungkin juga menyukai