Anda di halaman 1dari 2

TEDHAK SITEN, TRADISI TURUN TEMURUN ORANG JAWA UNTUK BAYI

Saat ini banyak warga kota Kudus mengadakan acara tradisi tedhak siten. Mungkin beberapa orang
belum paham tentang ritual tradisi ini, untuk diketahui tedhak siten artinya adalah sebagai berikut:

Setiap pertumbuhan pada bayi sudah pasti menjadi kebahagiaan bagi para orang tua. Apalagi bila si
bayi sudah bisa menapak lantai dan berjalan.

Untuk mensyukuri kebahagiaan tersebut, ada salah satu tradisi yang harus dilakukan oleh orang
Jawa, “Tedhak Siten”. Tradisi ini dilakukan guna untuk mengungkapkan rasa syukur atas
pertumbuhan bayi yang sudah mengenal alam lingkungan dan sekitarnya serta sudah bisa berjalan,
memohon keselamatan bayi dan dianggap dapat memprediksi masa depan si bayi untuk menjadi
lebih baik.

Tradisi ini merupakan realisasi dari salah satu pepatah Jawa yang berbunyi “Ibu pertiwi, bopo
angkoso” yang berarti bumi adalah ibu dan langit adalah bapak.

Tedhak siten atau tedhak siti atau juga lebih sering dikenal dengan upacara turun tanah merupakan
salah satu upacara adat Jawa untuk bayi yang sudah menginjak usia tujuh sampai delapan bulan.
Tedhak siten itu berasal dari kata ‘tedhak’ yang berarti turun atau menapakkan kaki ke lantai dan
‘siten’ (dari kata siti) yang berarti tanah atau bumi.

Upacara yang dilakukan saat bayi berusia tujuh bulan (dalam hitungan pasaran Jawa) dan baru
belajar berjalan ini bertujuan agar si bayi tumbuh menjadi anak yang mandiri di masa depannya
kelak.

Perlu diketahui bahwa hitungan pasaran Jawa dengan hitungan kalender masehi berbeda. Pada
hitungan pasaran Jawa, satu bulan berjumlah 36 hari. Jadi tujuh bulan si bayi dalam hitungan Jawa
setara dengan bayi berusia delapan bulan kalender masehi.

Bagi nenek moyang kita, tradisi ini digelar untuk penghormatan kepada bumi tempat dimana si bayi
pertama kali menginjakkan kakinya ke tanah.

Di dalam proses tedhak siten ini juga dibarengi dengan doa-doa dari orang tua, sesepuh, dan
saudara yang dipimpin oleh pemuka agama atau ustadz untuk lebih menyempurnakan proses
pengharapan doa agar kelak bayi bisa tumbuh kembang dengan baik (pengharapan kesuksesan sang
bayi).

Proses tedhak siten ini digelar di hari dan waktu yang baik menurut perhitungan Jawa. Menurut
weton Jawa, hari yang paling baik yaitu hari kelahiran bayi menurut adat tata cara Jawa (Selasa Legi,
Kemis Paing, Rebo Pon, dan lainnya). Biasanya, proses tedhak siten dimulai di pagi hari dengan
menyiapkan makanan tradisional yang dianggap sebagai simbol keselamatan yaitu berupa ‘jadah’
atau ‘tetel’ sebanyak tujuh warna yang memiliki makna tersendiri untuk bayi.

‘Jadah’ atau ‘tetel’ ini makan yang terbuat dari bahan dasar beras ketang yang dicampur dengan
parutan kelapa muda kemudian ditumbuk hingga tercampur menjadi satu dan bisa dibentuk lalu bisa
diiris.

Warna warna yang digunakan untuk mewarnai jadah ini memiliki simbol kehidupan bagi sang bayi
dan menggambarkan jalan hidup yang harus dilalui bayi. Warna-warnanya antara lain: merah, putih,
jingga, biru, hijau, ungu, dan hitam.
Makna dari warna-warna tersebut yaitu merah yang berarti keberanian, putih yang berarti kesucian,
jingga (kuning) yang berarti kekuatan, biru yang berarti kesetiaan, hijau yang berarti cinta kasih,
umgu yang berarti ketenangan, dan hitam yang berarti kecerdasan.

Makanan lainnya yang identik dengan tedhak siten yaitu berupa tumpeng dan ayam utuh. Tumpeng
memiliki simbol permohonan orang tua agar kelak bayi menjadi orang yang berguna bagi nusa,
bangsa dan agama. Kacang Panjang memiliki makna panjang umur, kecambah (taoge) yang berarti
kesuburan dan ayam sendiri memiliki makna kemandirian.

Rangkaian acara tedhak siten selanjutnya adalah proses orang tua menapakkan kaki bayi di atas
jadah tujuh warna yang sudah disiapkan tadi.

Selanjutnya, proses menaiki tangga yang terbuat dari yang berjumlah tujuh anak tangga. Maknanya,
tebu (dalam Bahasa Jawa merupakan kependekan dari ‘antebing kalbu’) itu sebagai lambang ‘kalbu’
yang berarti si bayi diharapkan bisa menjadi tokoh si Arjuna yang terkenal bertanggungjawab dan
tangguh.

Kemudian, bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang sudah dihiasi janur yang didalamnya
sudah disediakan barang-barang yang berarti baik, misalnya Al-Qur’an, uang, alat kedokteran, alat
tulis, dan lain sebagainya. Lalu, bayi harus mengambil barang-barang yang sudah disediakan sesuai
dengan kata hatinya. Barang-barang yang telah diambil bayi agaknya melambangkan profesi yang
akan dijalaninya di masa depan.

Makna dari bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam yaitu berharap jika kelak bayi bisa menjadi
orang yang bisa menghidupi kehidupannya sendiri (mencari makan sendiri) dan tidak bergantung
pada orang lain seperti ayam.

Proses terakhir yaitu bayi dimandikan dengan air ‘kembang setaman’ lalu dipakaikan pakaian baru
dan rapi yang bermakna kehormatan, karena kehormatan seseorang dilihat dari pakaian yang
dipakai.

Anda mungkin juga menyukai