Anda di halaman 1dari 9

NAMA : ELVIRA JUDDA

KELAS : X IPS 1

Tradisi yang ada di daerah Sulawesi Selatan

1. Maccera’ Tasi’

Upacara Maccera’ Tasi’ adalah salah satu manifestasi budaya Luwu mengenai hubungan
antara umat manusia dengan Tuhan Yang Maha Pencipta, maupun dengan seluruh makhluk
hidup dan lingkungan hidup yang ada di alam ini. Maccera’ tasi’ berasal dari dua kata, yaitu
cera’ yang berarti darah dan tasi’ artinya laut.
Dalam mitologi I La Galigo disebut bahwa pada masa paling awal, bumi ini dalam keadaan
kosong dan mati. Tidak ada satupun makhluk hidup yang berdiam dimuka bumi. Keadaan itu
digambarkan oleh naskah I La Galigo, bahwa tidak ada seekor burungpun yang terbang di
angkasa, dan tidak ada seekor semut pun yang melata di atas muka bumi ini, serta tidak ada
seekor ikanpun yang berenang di dalam lautan dan samudera.
Melalui suatu musyawarah antara Dewa-Dewa Penguasa dari seluruh lapisan alam ini, baik
dari “Boting Langi” atau khayangan, maupun dari “Toddang Toja” atau dasar samudra yang
ketujuh, maka To PalanroE atau Yang Maha Pencipta memutuskan akan menciptakan
kehidupan dimuka bumi atau atawareng ini, dengan tujuan agar kelak mereka akan
mengucapkan doa memohon keselamatan bila mereka ditimpa bencana dan malapetaka dan
atau mengucapkan “Doa Syukur” bila mereka mendapat rahmat dan rejeki dari Yang Maha
Esa.
Demikianlah maka acara Pesta Laut atau Maccera’ Tasi’ ini adalah salah satu acara
mengucapkan doa syukur atas nikmat dan rejeki dari hasil laut yang melimpah, sebagai
karunia dari Tuhan Yang Maha Pemberi Rezeki. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama
dan terus dilakukan secara turun-temurun, yang diadakan setiap setahun sekali.
Di dalam acara ini hubungan fungsional antara setiap mahluk hidup, baik manusia maupun
Flora dan Fauna, dengan seluruh isi alam ini, akan di tata kembali dan akan ditempatkan pada
proporsi yang sebenarnya secara harmonis. Ini semua mengikuti ketentuan-ketentuan adat
yang sakral, yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta sebagai suatu hukum alam yang
harus dipatuhi.
Dengan demikian diharapkan akan terhindar dari timbulnya chaos atau kekacauan, dan akan
tercipta keteraturan yang serasi, sehingga terwujudlah keseimbangan yang merupakan
manifestasi yang hakiki dari eksistensi Tuhan.
Tanpa merubah esensi dari acara Maccera’ Tasi’, maka setelah kedatangan Islam, aqidah
maupun ritualnya telah disesuaikan dengan akidah dan syariat Islam, sesuai dengan kaidah
adat Luwu yang mengatakan “Pattuppui ri – Ade’E, Mupasanrei ri – Syara’E”, yang secara
bebas berarti bahwa setiap tindakan dan kegiatan harus selalu didasarkan pada adat dan
disandarkan pada syariat agama Islam.

2. Mappacekke wanua

“Mappacekke Wanua” yang secara harfiah berarti mendinginkan negeri. Maksudnya adalah
untuk mendinginkan suasana atau menghilangkan ketegangan ketegangan dan keretakan-
keretakan yang mungkin terjadi dalam kehidupan praktis sehari-hari yang bisa berakibat
melonggarkan komitmen kesatuan masseddi siri’didalam masyarakat.
Acara Mappacekke Wanua adalah suatu ritual adat yang bertujuan melakukan rekonsiliasi
untuk memulihkan keseimbangan (equilibrium) kesatuan ikatan masseddi siri’ antara seluruh
komponen di dalam masyarakat. Keseimbangan (equilibrium) persatuan dan kesatuan ikatan
masseddi siri didalam masyarakat diharapkan secara adi kodrati akan menciptakan suasana
harmonis dan dinamis yang akan mendatangkan berkah berupa kedamaian dan kesejahteraan
bersama.
Menurut tradisi masyarakat adat Luwu, setiap rumpun keluarga besar masing-masing
memiliki Bubung Parani (Turungeng) atau sumber air khusus untuk di gunakan oleh keluarga
tersebut dalam setiap upacara adat. “Air” adalah simbol “Kebersihan” karena “air” adalah
sarana untuk membersihkan segala noda, “air” juga merupakan kebutuhan paling vital bagi
kehidupan setiap makhluk hidup, jadi air juga merupakan simbol kesejahteraan hidup.
Karena itu “air khusus” yang di lekke (diambil) secara ritual untuk di gunakan dalam upacara
mappacekke wanua yang merupakan simbol “Kolektivitas” sekaligus sebagai simbol
“Kebersihan” niat/nawaitu dari segenap rumpun keluarga (Rara Buku) dalam pelaksanaan
upacara mappaccekke wanua ini demi mengharapkan “kesejahteraan hidup” bersama di
bawah Rakhmat dan Hidayah Allah Subhanahuwataala.
Pagi hari sekitar jam 08.00 dilakukan acara mallekke wae atau mengambil air suci dari
bubung parani, sebuah sumur khusus sebagai sumber air yang digunakan dalam acar ritual
adat. Acara ini dilakukan di pagi hari dengan harapan agar kesejahteraan hidup masyarakat
adat akan senanatiasa menanjak seperti matahari terbit di ufuk timur. Air suci yang diambil
(ri lekke) melalui sebuah ritual adat dan kemudian diarak dengan Sinrangeng Lakko
(usungan adat) di atas pangkuan seorang gadis remaja yang belum aqil balik ( tenna wette
dara) sebagai symbol kesucian. Sinrangeng Lakko (Usungan adat) tersebut diiringi oleh
Palluru Gau ( insntrumen dan atribut-atribut upacara adat) serta para pemuka adat. Air yang
disucikan tersebut diarak menuju Baruga untuk diletakkan di atas “lamming pulaweng” atau
“ Singgasana kehormatan”.
Malam hari sekitar jam 07.00 dilakukan acara maddoja roja yang secara harfiah berarti
berjaga semalam suntuk yang bermaksud menjaga kesadaran atau paringerreng yang dalam
masyarakat adat dianggap memeiliki kekuatan adi kodrati . Segala sesuatu kegiatan diawali
dengan memperbaiki kesadaran atau paringerreng,misalnya sebelum tidur dimalam hari atau
sebelum bangun di pagi hari, ketika mau turun dari rumah dan lain-lain.
Jadi acara “Maddoja Roja” ini adalah merupakan semacam semedi (meditasi) secara
collective di malam hari untuk menyempurnakan/ membersihkan “kesadaran collective”
sebelum pada esok harinya dilaksanakan acara“Mangngeppi”(memercikkan air) yang
merupakan inti upacara Mappacekke Wanuau menurut tradisi dan adat istiadat masyarakat
Luwu tradisional.
Acara maddoja roja diawali dengan acara mattoana atau perjamuan adat . Dalam acara
ini berlaku kaidah adat yang disebut Mangngati Maneng Akka Rakki’na yang secara bebas
berarti bahwa perlakuan adat bagi semua yang hadir dalam acara perjamuan adat mengikuti
perlakuan adat bagi Datu Luwu. Maka apabila perlakuan adat bagi Datu Luwu sudah
dianggap prima atau sesuai dengan adat yang berlaku maka tidak ada seorangpun yang
diperbolehkan memprotes perlakuan adat bagi dirinya. Hal ini merupakan simbolisme bahwa
Raja atau penguasa dalam budaya politik masyarakat Luwu tradional yang dianggap Dewata
Mallino atau wakil Tuhan di dunia adalah symbol sebuah keteraturan (keharmonisan).
Sambil menikmati perjamuan adat (mattoana) para hadirin dihibur dengan tari Pajaga Bone
Balla atau tarian istana. Setelah selesai pertunjukan tari pajaga , maka dilanjutkan dengan tari
sajo. Tarian sajo ditarikan oleh penari tunggal secara bergilir. Acara pertunjukan tari
sajo atau Massajo biasanya berlangsung sampai pagi hari dalam suasana kekeluargaan yang
akrab. Anggota keluarga para penari secara bergantian Maccebbang atau memberi hadiah
kepada masing-masing penari. Jumlah hadiah yang di peroleh merupakan refleksi dari citra
kepribadian penari, jadi tari sajo ini juga merupakan sarana educasie bagi para remaja untuk
membentuk kepribadian yang prima. menjelang waktu tengah malam acara tari Sajo
dihentikan untuk sementara untuk melaksanakan inti acara maddoja roja yaitu Mattemmu
Lahoja atau membaca doa. Rangkaian ayat-ayat suci Al-Qur’an serta tata cara melakukan
Mattemmu Lahoja disusun oleh Datuk Sulaiman yang diberikan kepada Datu Luwu untuk
dibacakan setiap tahun demi mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan
masyarakat Luwu. Ayat-ayat suci Al-Qur’an yang akan dibacakan berjumlah ribuan kali dan
oleh Sembilan (9) orang ulama. Selama pembacaan doa, tidak seorangpun dari kesembilan
ulama tersebut yang boleh mengucapkan kata-kata selain rangkaian ayat-ayat suci yang harus
dibacakan. Apabila ada seorang pembaca yang melanggar ketentuan ini maka pembacaan
harus dimulai lagi dari awal. Sesudah membaca ayat suci maka kesembilan ulama
membacakan doa dan kemudian dilanjutkan dengan sembahyang berjamaah dua (2) rakaat.
Acara ini diakhiri dengan memakan manisan bersama.
Pada keesokan harinya dilakukan acara “Mangngeppi” atau memercikkan air yang
merupakan inti acara mappacekke wanua. Air yang disucikan tersebut diarak ke perbatasan
wilayah Kabupaten Luwu. Disepanjang jalan air tersebut yang merupakan manifestasi dari
kesucian doa masyarakat adat Luwu secara coletive dipercikkan ke segala penjuru. Semoga
seluruh lapisan masyarakat Luwu senantiasa mendapat berkah serta Rahmat dari Allah
Subhanahu wataalah.

3. Rambu Solo

Tana Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Provinsi Sulawesi
Selatan. Di sini Anda menikmati kebudayaan khas Suku Toraja yang mendiami daerah
pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli. Cicipilah nuansa lain kebudayaan yang
unik dan berbeda, mulai dari rumah adat Tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo,
Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.
Menurut mitos yang diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang Toraja
turun langsung dari surga dengan cara menggunakan tangga, di mana tangga ini berfungsi
sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).
Nama Toraja pertama kali diberikan oleh Suku Bugis Sidenreng yang menyebut penduduk
yang tinggal di daerah ini sebagai "Riaja" (orang yang mendiami daerah pegunungan).
Sementara rakyat Luwu menyebut mereka, "Riajang" (orang-orang yang mendiami daerah
barat).
Versi lain mengatakan bahwa Toraja dari kata "Toraya" (Tau: orang, dan raya atau maraya:
besar), gabungan dua kata ini memberi arti "orang-orang hebat" atau "manusia mulia".
Berikutnya istilah yang lebih sering dipakai adalah sebutan Toraja, kata "tana" sendiri berarti
daerah. Penduduk dan wilayah Toraja pun akhirnya dikenal dengan Tana Toraja.

Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan
ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas
masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi
leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.
Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait
dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait dengan musim
tanam dan panen.
Masyarakat Toraja mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang tinggi
batangnya. Di sepanjang jalan akan Anda temui padi dijemur dimana batangnya diikat dan
ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut disimpan di lumbung khusus yang dihiasi
dengan tanduk kerbau pada bagian depan serta rahang kerbau di bagian sampingnya.
Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan Rambu
Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara atas
rumah adat yang baru direnovasi.
Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah
orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang
ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih
harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan,
minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.
Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan. Sementara
menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah
leluhur atau tongkonan.
Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu
orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta
dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan
wisatawan mancanegara.
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi
tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.
Bagi kalangan bangsawan yang meninggal maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya
24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau
belang yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi
yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang
dalam sekali ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.
Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil di mana anak-anak yang sudah menikah
meninggalkan orangtua mereka dan memulai hidup baru di tempat lain. Meski anak
mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya tetapi mereka semua merupakan satu keluarga
besar yang tinggal di satu rumah leluhur (tongkonan).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual Suku Toraja. Oleh karena itu, semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.

4. Ritual Ma’nene, Tradisi Mengganti Pakaian Mayat di Tana Toraja

Seorang pria bertubuh kurus berdiri. Kepalanya tak berambut dan sedikit miring ke arah
kanan. Bajunya kelihatan baru dengan setelan dasi bercorak abu-abu. Banyak masyarakat
yang mengelilingi, tampak bahagia dan bersuka cita dengan berbagai hidangan yang
disediakan. Ternyata orang itu adalah seorang mayat. Ma’nene namanya, kebudayaan dari
Tana Toraja, Sumatera Selatan.
Tana Toraja sangat dikenal dengan berbagai kebudayaan yang tak lazim orang dengar.
Sensasi ini dimanfaatkan untuk menggaet wisatawan berkunjung, baik domestik maupun
mancanegara. Alih-alih untuk melestarikan budaya nenek moyang, tradisi ini juga dapat
meningkatkan perekonomian lewat wisata. Terkenal dengan tradisi pemakaman yang tak
biasa, Toraja juga memiliki keunikan lainnya seperti Ma’nene.
Ma’nene merupakan upacara adat mengganti pakaian mayat para leluhur. Upacara ini
dilakukan setiap tiga tahun sekali dan biasanya pada bulan Agustus.
Ritual Ma’nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara.
Masyarakat adat Toraja percaya bahwa jika ritual tersebut tidak dilakukan, maka sawah-
sawah dan ladang mereka akan rusak oleh hama dan ulat yang datang tiba-tiba.
Proses Ma’nene sudah berlangsung sejak lama dan waktu pelaksanaannya berdasarkan
kesepakatan bersama keluarga dan tetua adat melalui musyawarah
desa. Ne’tomina merupakan gelar adat yang diberikan kepada tetua kampung, di mana orang
yang dituakan juga imam atau pendeta.
Saat Ma’nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur akan dikeluarkan dari makam-makam
liang batu dan diletakkan di arena upacara. Baik jasad tersebut sudah tinggal tulang-belulang
sampai yang masih utuh dibersihkan dengan cara dimandikan lalu pakaiannya diganti.
Bagi mayat pria akan dikenakan pakaian jas lengkap dengan dasi dan kacamata hitam yang
serba baru. Biasanya baju tersebut dibelikan oleh cucu dan anak-anak mereka yang sudah
berhasil. Mereka memperlakukan mayat tersebut seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi
bagian dari keluarga.
Ritual Ma’nene dimulai dari seorang pemburu bernama Pong Rumasek yang menemukan
jasad sesorang yang telah lama meninggal dunia terletak di bawah pepohonan dan hanya
tinggal tulang-belulang. Merasa iba, Pong Rumasek membawa mayat tersebut ke rumah lalu
merawat dengan semampunya.
Tulang-tulang dari mayat tersebut dibersihkan lalu dibungkus dengan pakaian dan diletakkan
di area yang lapang. Setelah memperlakukan mayat tersebut dengan baik, Pong tak
menyangka mendapati sawah miliknya telah menguning dan panen sebelum waktunya. Ia
beranggapan bahwa keberuntungan itu didapatkannya sebab ia telah merawat mayat yang ia
temukan. Sejak saat itu, Pong Rumasek menurunkan tradisi tersebut kepada keturunannya
dan desa tempat ia tinggal dan hingga saat ini masih berjalan dengan baik.
Kegiatan ini dilakukan selama tiga puluh menit. Usai mengganti pakaian mayat leluhur,
masyarakat kemudian berkumpul mengikuti acara makan bersama. Makanan yang disajikan
adalah hasil sumbangan setiap keluarga keturunan leluhur yang melaksanakan kegiatan
prosesi adat Ma’nane. Masyarakat Toraja berharap arwah leluhur mereka akan menjaga
mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
Ma’nene biasanya dilakukan beriringan dengan upacara adat Rambu Solo, di mana keluarga
membawa kurban hewan seperti babi atau kerbau ke kuburan untuk meminta perlindungan
dan mendoakan agar rezeki melimpah. Beberapa tempat melakukan Ma’nene biasanya
disebut Ma’ta’da yang artinya memberikan sesajian kepada arwah keluarga yang telah
meninggal dunia.
Budaya ini juga telah menarik minat wisatawan luar untuk berkunjung. Keberagaman budaya
yang tak biasa rupanya mengundang penasaran wisatawan dan akhirnya memilih untuk
melihat langsung.
5. Mappacci

Mappacci adalah merupakan acara adat, dalam acara mappacci ini sebelum pelaksanaan
didahului dengan acara “Malekke Pacci”. Sebelum dilaksanakan acara “Mappacci” oleh
sanro menetapkan sebagai hari hari yang baik maka dilakukanlah acara Malakke Pacci. Acara
ini dilakukan oleh sanro dengan di usung (Ri Sinrang) dengan di iringi parullu gau atau
instrumen instrumen adat seperti : Gendang, LaE laE, Kanci, Curiga, Mongeng mongeng,
Suci Kamma, Pappa sisia, dll. Pada malam harinya dimulailah acara Mappacci. Dalam acara
ini calon mempelai didudukkan diatas pelaminan yang dilengkapi dengan dekorasi menurut
adat, sambil meletakkan kedua telapak tangan diatas sebuah bantal yang diterangi lilin, lalu
bergantianlah keluarga terdekat (Tomasiri’ na) dari calon mempelai mengambil sejumput
pacci yang kemudian dengan hikmat diusapkan diatas telapak tangan calon mempelai. Hal ini
melambangkan ikrar dari anggota keluarga tersebut. Bahwa dia dengan rela dan hati yang
ikhlas didalam memberikan doa restu dalam perkawinan yang akan dilaksanakan sesudah
acara Mappacci ini. Urutan urutan siapa yang melakukan Mappacci ini terserah pada kerelaan
hati masing masing to masiri’na atau anggota keluarga dekat yang hadir. Acara Mappacci ini
pada hakekatnya adalah tanda syukur kepada Dewata Se uwwaE Tuhan Yang Maha Kuasa
dan sekaligus merupakan ucapan terima kasih dari orang tua dan seluruh rumpun keluarga
yang terdekat calon mempelai yang telah berhasil menjaga diri dan martabat ornag tua serta
seluruh rumpun keluarga (Toamasiri’na) semasa masih walempelang, sehingga acara Akad
Nikah segera akan dilaksanakan dan dipestakan secara terhormat yang dapat disaksiskan oleh
keluarga dan handai tolan. Setelah selesai acara Mappacci ini dilaksanakan maka
kesalahpahaman yang mungkin terjadi selama ini, sejak proses Mabbalao cici, mammanu
manu mapata duta, sampai saat selesainya acara Mappacci ini kesemuanya itu telah dianggap
bersih sama sekali. Kemudian acara Mappacci ini terlihat ada beberapa alat dekorasi yang
perlu mendapatkan perhatian serta penjelasan. Oleh sebab itu dalam kesempatan yang
berbahagia ini akan dicoba memberikan penjelasan secara singkat mengenai atribut/alat
Dekorasi yang kita saksikan bersama adalah : 1. SINGKERRU MULA JAJI (YANG ADA
DI ATAS PELAMINAN) 2. WALA SUJI Di atas Lamming/Pelaminan dapat dilihat satu
macam Dekorasi khusus yang namanya “SINGKERRU MULA JAJI”. Ini terbuat dari
selembar kain putih dan selembar kain Patola sejenis kain klasik yang dianggap sakral yang
berwarna merah. Dimana saling dikaitkan dengan cara yang khas yang cukup rumit, sehingga
memerlukan waktu dan perhatian khusus untuk mengaitkan satu sama lainnya. Ke empat
ujung kain itu dikaitkan pada ke empat sudut bagian atas dari Lamming/Pelaminan. Singkerru
Mula Jaji berarti ikatan sejak lahir yang mengandung arti bahwa ikatan abadi yang tidak bisa
dipisahkan antara Sang Pencipta dengan setiap ciptaaNya yang sering dihubungkan dengan
nasib atau were seseorang yang telah digariskan oleh DEWATA SEUWAE ALLA SWT.
SINGKERRU MULA JAJI ini didalamnya terdapat atribut atribut adalah :
1. Uso, yang merupakan perlambangan/simbol bahwa kehidupan manusia itu ditentukan oleh
berfungsi tidaknya jantung itu. Oleh sebab itu jantung ini perlu mendapat perhatian dalam
menunjang kesehatan seseorang tentunya merupakan sumber kebahagiaan jasmani/rohani.
2. Keteng ri mangke atau cermin yang merupakan simbol kesadaran. Ada sebagian paham
dari masyarakat Luwu tradisional terdapat ungkapan secara bebas mengatakan bahwa,
bilamana berusaha untuk mengetahui hakekat yang tediri dari alam raya ini, maka janganlah
mencarinya diluar dirimu, akan tetapi carilah dalam jiwa dan kesadaranmu sendiri, karena
sesungguhnya jiwa itu dan kesadaran merupakan ALANG LOMPO ata MAKRO COSMOS
yang meliputi seluruh Alam Baiccu atau Alam Nyata (Mikro Cosmos)
3. Ula Minreli dan Lipan yang terbuat dari empat berkas benang yang masing masing
berwarna merah, putih, hitam dan kuning yang mengandung makna :
a. Bahwa di dalam mengarungi bahtera hidup dan kehidupan di dunia ini sudah barang tentu
dibujuk dan dirayu oleh syaitan dan iblis. Oleh sebab itu selalu kita waspada.
b. Adalah merupakan simbol dari ke empat unsur dalam tubuh manusia yakni : api, tanah, air
dan udara yang terjalin menjadi satu sistem atau satu kesatuan yang tak terpisahakan.
c. Daung pacekke dan daung tabang. Daung pacekke atau daun pendingin mengandung arti
bahwa di dalam setiap menghadapi hidup dan kehidupan di jagad raya ini pasti penuh dengan
berbagai macam tantangan oleh karenanya harus dihadapi dengan penuh kesabaran.
d. Selain dari tersebut diatas ada pula atribut yang merupakan kelengkapan dari Singkerru
Mula Jaji yaitu Lola, Bakkang, Camppa Nikka dan Lellung Rape yang kesemuanya ini
mengandung makna tersendiri.
4. Wala Suji atau Batas Suci yang terbuat dari kepingan bambu yang disilangkan sehingga
membuat belah ketupat berbentuk “SA” dalam aksara Bugis. Dari huruf SA ini muncul kata
“SEUWWA” atau “SEDDI” yang berarti tunggal atau “ESA” dengan simbol Wala Suji ini
dimaksudkan bahwa eksistensi kita dalam Cosmos ini berada dalam satu totaliteit dari ke
Esaan Yang Maha Esa yang meliputi segala galanya .

Anda mungkin juga menyukai