Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KEARIFAN LOKAL

Oleh:
Nur Imaniar Naraya

1. TRADISI BARI PADA MASYARAKAT PETANI DI TERNATE

Tradisi Bari adalah sebuah tradisi gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Ternate
seperti saat tiba masa memanen hasil tanaman cengkeh, pala, kelapa, atau lainnya, bahkan
bergotong royong saat membangun rumah (Bari Fala) maupun kerja-kerja sosial lainnya.
Tradisi Bari biasanya dilakukan secara bersama-sama antara anggota masyarakat
menyumbangkan tenaga atau bentuk material lainnya guna saling membantu menyelesaikan
suatu pekerjaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, perempuan adalah penentu dalam pelaksanaan
“Bari” itu sendiri. Mulai dari awal perencanaan hingga proses akhirnya sebagai pemanfaat
(konsumen). Di saat membangun rumah misalnya, setiap anggota masyarakat secara sukarela
menyumbangkan tenaga untuk membantu mereka yang berhajat bahkan para ibu rumah tangga
secara bersama-sama datang dengan membawa bahan-bahan sembako seadanya untuk
disumbangkan dan dimasak secara bersama guna dikonsumsi secara bersama pula.
Seiring perubahan zaman, tradisi Bari telah terasa mulai terkikis. Budaya lama mulai
tergantikan dengan orientasi nilai budaya baru yang ditransformasikan. Pengikisan kohesivitas
sosial yang ditandai dengan memudarnya solidaritas dan semangat gotong royong mulai terasa
saat ini sehingga semangat gotong royong bagaikan barang mahal karena langka atau sulit kita
temui. Eksistensi Bari yang terlembaga sebagai pranata sosial diatas prinsip kebersamaan yang
bersifat asossiatif ini seolah menjadi pemandangan tak lazim dimasyarakat kita. Individualitas
dan orientasi kapital atau akumulasi keuntungan menjadi ukuran berbagai keputusan hidup
bermasyarakat yang menghinggapi masyarakat petani di kampung-kampung kita saat ini. Belum
lagi perubahan cara pandang akibat perubahan zaman yang serba individualistik dan pragmatis
sehingga segala sesuatu tindakan dalam interaksi sosialpun selalu diakitkan logika ekonomi atau
pertimbangan untung dan rugi.
Dengan demikian, pilihan yang harus diambil petani saat tiba masa penen ditengah gejolak
turunnya harga beli rempah menjadi pilihan yang sulit khususnya bagi mereka yang memiliki tanaman
rempah seperti Cengkeh dalam jumlah banyak. Cengkeh misalnya jika mempertimbangkan faktor
belanja pengeluaran untuk memanen dengan jalan Bari yang menurut kalkulasi mengalami kerugian
sehingga keputusannya adalah sengaja dibiarkan maka akan berdampak pada musim panen selanjutnya
dimana resiko terburuknya adalah buah tanaman tersebut menjadi tidak produktif atau tidak lagi
berbuah.
1. KEARIFAN LOKAL "UCI DOWONG" DI SULAMADAHA

Ritual Uci Dowong merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat pesisir yang menyisahkan
jejak kebudayaan baik benda maupun tak benda yaitu berupa keramat para leluhur dan juga "batu" khas dari
tanah Sula atau sejenis batu alam yang umumnya banyak kita temukan di Kabupaten Sula (Sanana).
Secara harafiah, ritual Uci Dowong memiliki arti "turun ke pasir/pantai" untuk melaksanakan adat
dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulu negeri ini yang termasuk dipertahankan
dan dilestarikan hingga saat ini di wilayah adat Kesultanan Ternate yang lebih dikenal dengan Soa Tabanga,
Soa Sula, Soa Toma Afu, dan Soa Yalafai. Empat Soa inilah yang saat ini menurunkan keturunan dari
generasi ke generasi secara geneologis dan bermukim di wilayah yang kita kenal saat ini dengan sebutan "Sula
Madaha".
Dengan demikian maka ritual "Uci Dowong" merupakan sebuah napak tilas perjalanan kehidupan
migrasi sekelompok manusia dari negeri seberang tanah Sula yang "mengabdi" kepada Sultan dan Kesultanan
Ternate (dalam bahasa Ternate diebut Ma Coou) sebagai bagian dari wilayah adat Kesultanan Ternate dimasa
lalu hingga sekarang dengan pemimpinnya yang dikenal dengan sebutan Salahakan dengan pranata
kelembagaan adat yang fungsional hingga sekarang.
Relasi politik kekuasaan antara Kesultanan Ternate dengan negeri para Salahakan tersebut hingga kini
meninggalkan jejak historis dan arkeologis yang memukau sebagai pusaka Sejarah, pusaka Alam dan
sekaligus pusaka Saujana. Warisan budaya baik benda maupun tak benda sebagai bukti dari relasi sosial
politik dan kultural yang terpaut antara Ternate dan Sula masih kita temukan hingga saat ini baik secara
geneologis (keturunan), kebahasaan (linguistik) hingga arkeologis (situs keramat dan benda pusaka)..
Relasi budaya yang terpaut kental antara tanah Sula dengan Ternate merupakan bukti kebesaran Allah
SWT yang dapat kita petik makna dan hikmah penting dalam membangun kebudayaan bersama dan
peradaban bagi kemanusiaan. Sebagaimana tergambar jelas pada simbolisasi atau lambang Kesultanan
Ternate dengan burung "Goheba" yang berkepala dua namun berhati satu yakni mengisyaratkan bahwa
sesungguhnya perbedaan suku, ras dan agama diantara kita sebagai manusia adalah Sunnatullah namun
sesungguhnya kita adalah satu yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal diatas pilar kemanusiaan
(humanisme).
Pada segi yang lain, ritual "Uci Dowong" juga merupakan sebuah implementasi penghormatan atas
keagungan penciptaan alam semesta oleh Allah SWT khususnya yang berkaitan dengaan alam pantai dan
masyarakat pesisir. Sebuah praktik dari produk kebudayaan lokal yang berorientasi pada upaya pelestarian
ekologi (lingkungan) dan juga nilai-nilai fundamental kultural bagi keberlanjutan lingungan hidup manusia itu
sendiri melalui berbagai do'a yang di panjatkan ke "langit" kehadirat Yang Maha Kuasa melalui rangkaian
baca Do'a hingga ziarah keramat di darat maupun dilaut dengan menggunakan perahu oleh para bobato
akhirat dan bobato dunia (urusan agama/Syar'i dan pemerintahan dunia) lembaga Kesultanan Ternate.
Ritual "Uci Dwong" yang digelar juga merupakan sebuah implementasi konsep
pembangunan kepariwisataan daerah yang berbasis pada pendekatan historis (share history) serta
kearifan lokal (share heritage) yang bertumpu pada semangat lokalitas sehingga diharapkan
dapat berjalan secara selaras, serasi, dan harmonis dengan kebudayaan yang berakar pada nilai-
nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita.
Seiring detak waktu, pantai Sulamadaha tempat berlangsungnya ritual "Uci Dowong" ini
telah menjadi tempat favorit dari berbagai kunjungan para wisatawan baik lokal, nasional
maupun internasional sejak dahulu kala. Hal ini tidak lain karena keindahan panorama alam yang
sulit dilukiskan dengan kata-kata. Karena itu pula, pantai Sulamadaha pernah dikunjungi oleh
Pangeran Bernard dari kerajaan Belanda pada beberapa tahun silam.
3. ELA-ELA DAN KEARIFAN LOKAL WARGA MALUKU UTARA
DI BULAN SUCI RAMADHAN

Tradisi menyalakan api sebagai "tanda" jatuhnya malam Lailatulqadar (ela-ela) bagi
masyarakat adat Ternate telah berlangsung secara turun temurun sejak dahulu kala, demikian
pula pawai obor yang lebih dikenal dengan "Kololi Gam". Pengalaman dimasa kecil, sebagai
pribadi yang dilahirkan di kampung tentu tradisi pawai obor (kololi gam) dimalam penuh
kemuliaan tersebut menjadi sebuah momen penuh kegembiraan yang selalu dinantikan meskipun
tanpa ketahui apa maksud atau makna dibalik semua itu namun kami hanyut dalam gegap
gempita pawai keliling kampung hingga melewati ke kampung tetangga sebelah.
Singkat cerita untuk merepresentasikan kebahagiaan masa kanak-kanak tatkala tibanya
malam ela-ela, kami serasa sedang bermain bersama teman sebaya di taman syurga. Jika bisa
berkata-kata saat itu pula, akan kami klaim diri kami seolah sekumpulan para malaikat yang
bermain dalam dunia intrepretasi dan imajinasi ketika itu. Sementara itu disetiap rumah tersedia
masing-masing pelita (botol) dan obor (bambu) yang dinyalakan menerangi gelapnya malam
sembari menyaksikan beberapa pohon pisang dan buah-buahan yang tersedia di setiap depan
halaman rumah para Joguru (guru ngaji). Pawai diawali dengan membentuk formasi layaknya
sebuah barisan, saling membantu satu sama lain untuk menyalakan obornya kemudian
dilanjutkan dengan berjalan sambil berteriak kencang "Ela-ela pake jam-jam to suba jou suba
jou", seuntai kata-kata penuh makna yang teramat dalam untuk sekedar dianggap sebagai sebuah
permainan semata. Tak sekedar filosofis namun juga berdimensi teologis.
Setiap orang memiliki pengalaman spritual tersendiri terkait keistimewaan malam ela-ela,
dan hanya mereka yang beruntung yang dapat merasakannya melalui rasa juga pengamatan akan
alam raya. Wittgenstein pernah berkata bahwa: "the limit of language meaning the limit of my
world", batas-batas bahasa juga adalah batas-batas dunia. Jika ditafsir secara filosofis maka dapat
disempitkan kedalam pendekatan metafisik tentang dimensi "keberaadaan".
Bahwa sesuatu yang ber"ada" secara fisik (dilihat dan disentuh) akan memiliki batasan
dalam konteks bahasa dengan sesuatu yang bersifat sebaliknya (mistis) yaitu dari dunia yang
berbeda. Pada konteks inilah ritualitas dimalam Lailatul Qadar tersebut merupakan tradisi turun-
temurun yang telah berlangsung lama sejak Islam terlembaga dalam struktur dan nilai adat
Ternate termasuk pula di kerajaan-kerajaan awal di bumi Moloku Kie Raha. Dalam pandangan
doktrinal ajaran Islam disebut sebagai malam yang sebaik-baiknya dari seribu bulan. Atas alasan
inilah kaum muslimin kemudian berlomba-lomba semakin meningkatkan keimanan dan
ketakwaannya sembari melakukan berbagai bentuk peribadatan seolah mengharapkan pahala dan
amal termasuk juga melakukan I'tikaf di berbagai Mesjid.
Ternate, Alma'rifat wa Ismuhu Ghafilun, adalah sebuah negeri yang keberadaannya
mewarisi nilai hakekat dibalik pandangan doktrinal syariat. Ternate adalah sebuah negeri yang
kaya akan sumber pengetahuan namun tersembunyi bagi kita. Falsafah local yang dipahami
masyarakat Ternate dengan ungkapan: “Toma Ua Hang Moju, Koa Idadi Susira” (apa yang
mula-mula ada, sebelum adanya ada) adalah sebuah perbendaharaan pengetahuan yang
tersembunyi di ruang dan waktu yang dirahasiakan terkecuali bagi mereka yang menggunakan
akal dan imannya untuk memaknai pelajaran dari segala peristiwa dan hukum alam disekitar kita
termasuk pula ketika kita dilanda pandemi Covid-19 waktu lalu.
Alam sebagai ruang dengan gunung sebagai pasak dimana bumi berpijak dan malam
Lailatul Qadar sebagai sebuah pertanda akan waktu seolah menjadi simbol sekaligus rahasia dari
tabir kuasa dan kehendak-Nya, maka sepatutnya hubungan keseluruhan unsur antara isi ruang
dan waktu tersebut tak sekedar kita jadikan sebagai sarana seremonial ataupun festival semata
melainkan dapat kita kaji dan maknai sebagai misteri yang telah dikonstruksi sang Pencipta,
memiliki makna teologis tidak sebatas pada dimensi spritual melainkan pula fungsional dalam
relasi Tuhan, manusia dengan alam (ekologis).
Perhatikan saja ritual dan tradisi dari Ela-ela yang dilakukan dengan membakar getah
damar dan menggunakan batang pisang sebagai pilar. Secara nalar, dipilihnya batang pohon
pisang, karena memiliki kadar air yang banyak sehingga resiko terbakar sangat kecil. Disamping
itu, batang pohon pisang memiliki diameter yang cukup besar hingga bisa berdiri kokoh
sekalipun tidak ditancapkan dalam tanah. Bagi masyarakat adat, penggunaan batang pisang
sebagai pilar memiliki makna yang sangat dalam yakni melambangkan pencarian jati diri
manusia, dimana batang pisang memiliki banyak lapisan, jika dikelupas satu persatu maka kita
bisa menemukan inti dari batang tersebut yang bersih dan murni.
Hal ini merupakan penggambaran dari pencaharian jati diri manusia untuk kembali ke
fitrah. Kalau getah damar digunakan karena aromanya yang wangi dan menghasilkan sumber api
yang tahan lama. Tentu semua itu adalah representasi unsur alam yang terpaut erat dengan nilai-
nilai syar'i yang dipedomani oleh masyarakat adat tentunya. Mereka meyakini bahwa pada
malam tersebut para malaikat memberikan hidayah yang berlimpah kepada siapa saja yang
beruntung. Pada malam itu turun para malaikat dan Rµh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk
mengatur semua urusan yang telah ditugaskan dan dikehendaki-Nya. Sastra lisan Ternate berbunyi:
"Ngofa-ngofa nga duniru, himo=himo nga rahasia" (permainan anak-anak, rahasia para tetua
(orang tua).
Hal ini bermakna jelas tentang rahasia dibalik sebuah permainan dimana "kololi gam" bisa
ditafsir sebagai simbolisasi "tawaf", dan membakar obor/pelita sebagai simbolisasi sumber cahaya
untuk menerangi bumi sebagaimana bersinarnya beribu bintang dan meteor dilangit menyinari para
malaikat. "Wahai yang kurindu! Dibalik sesuatu yang Maujud, hanyalah sandaran sifat atas
kehendak-Mu, sedangkan Engkau dalam keelokan dihari yang tersembunyi yang masih
dirahasiakan (ghaib), tak lagi terjamah dalam isyarat dan ibarat Ihsan. Disanalah Engkau dan
Kekasih-Mu masih menyatu dalam kekakalan rahasia-Mu. Alam tersandera diliputi hamparan
menghiasi megahnya alam ideal, alam yang terpinar pujian, alam Qadim Izzaty diatas bidara
tempat berlaku ketetapan Illahi".

Anda mungkin juga menyukai