Oleh
Ahmad Pansari
Email : ahmad.pansari@gmail.com
A. DEFENISI TEKSTUAL
Indonesia mempunyai banyak kebudayaan dan tradisi yang diwariskan secara turun
temurun di masyarakat oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Warga negara Indonesia
diharapkan dapat menjaga dan melestarikan tradisi agar budaya-budaya Indonesia tidak hilang
seiring dengan perkembangan zaman. Budaya yang ada dalam masyarakat sangat beraneka
ragam, salah satu budaya tersebut adalah Khitanan anak perempuan.
Sunat adalah istilah yang berasal dari bahasa arab “Khitan”. Kata itu secara etimologis
memotong. Dalam keilmuan islam, berbagai buku fiqih klasik menjelaskan bahwa yang
dimaksud sunah adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit), yang menutupi
hasyafah ujung kepala penis. Adapun sunat pada anak perempuan adalah dalam bahasa arab
disebut Khifadh berasal dari kata khifad artinya memotong ujung kitoris pada wanita.
Secara umum khitanan di masyarakat luas adalah khitanan pada anak laki-laki, namun
diberbagai daerah terdapat juga khitanan pada anak perempuan. Khitanan pada anak perempuan
berbeda dengan anak laki-laki. Khitanan anak laki-laki dilakukan oleh bidan tanpa upacara
tradisi, pada anak perempuan, namun anak perempuan harus ada upacara dalam proses khitanan
tersebut. Proses khitanan dilakukan atas nilai-nilai di dalam ajaran agama yang dianut oleh
masyarakat terutama yang agama islam. 1
Pada saat ini, praktek khitanan pada perempuan sangat familiar di asia terutama
dikalangan orang-orang muslim di negara Filiphina, Malaysia dan Indonesia. Praktek sunatan ini
di Indonesia dapat di jumpai di daerah Aceh, Bengkulu Selatan dan Sumatera Selatan. Praktek
sunatan juga dapat dijumpai di sebuah desa di Provinsi Sumatera Selatan, tepatnya di kabupaten
1
Maulida, Indah. 2013. Konstruksi Sosial Budaya Tentang Sunat. Semarang: Skripsi
1
Empat Lawang, di desa Nanjungan kecamatan Pasemah Air Keruh, kab. Empat Lawang yang
mempunyai tradisi Khitanan/Sunatan anak perempuan.
Tradisi khitanan pada anak perempuan di desa Nanjungan tersebut dikenal dengan
“Bekaye’an”. Bekayean yang artinya “upacara turun ke air” bagi anak perempuan untuk
membersihkan diri dari segala kotoran dan penyakit yang menempel pada diri anak perempuan
tersebut. Proses khitanan ini dilakukan pada anak perempuan yang beranjak remaja dan yang
telah mampu mengingat dan berfikir. Hal yang penting dalam proses Bekaye’an ini adalah
dilaksanakan pada anak perempuan yang belum datang bulan (haid), yang dilakukan oleh dukun
di desa.
Tradisi Bekaye’an dilakukan dengan beberapa tahapan yang harus dilalui, dengan
demikian proses tradisi Bekaye’an ini berlangsung dengan para masyarakat ikut serta dalam
proses adat ini. Seluruh masyarakat saling bergotong royong, dengan ikut serta ambil bagian
dalam proses tradisi upacara Bekaye’an. Masyarakat masih menjunjung tinggi tali persaudaraan,
terbukti dalam proses acara adat ini masyarakat saling bahu-membahu, bantu-membantu satu
sama lain agar proses khitanan dapat berjalan lancar.2
2
Jauharotul, dkk. 2017. Sunat Pada Anak Perempuan (khifadz) dan Perlindungan Anak Perempuan di Indonesia.
Semarang: Jurnal.
2
Oleh karena itu, upacara bekayekan ini masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat
Desa Nanjungan, walaupun zaman sekarang prossesi khitan untuk anak perempuan ini sudah
dilakukan oleh ahli medis atau bidan setempat, namun tak jarang masyarakat tetap melaksanakan
upacara ini dengan prosesi yang sama, hanya saja sang dukun tidak mengkhitan anak yang
dikayekan.
Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Desa Nanjungan Air masih
memegang teguh dan masih melestarikan apa yang diyakini mereka dalam upacara bekayekan ini
sebagai ritual peralihan status anak perempuan sebelum memasuki status gadis di lingkungan
masyarakatnya.
3
Faktor yang mendorong anak perempuan di khitan (Bekaye’an):
a. Adanya adat istiadat yang menganjurkan agar anak perempuan di khitan. Anak
perempuan sudah menginjak remaja maka harus di khitan, apabila tidak dilaksanakan
maka anak perempuan tersebut akan di gunjing dan diejek dengan sebutan kulup
(Kotor).
b. Adanya ajaran agama Islam untuk mengkhitan anak laki-laki maupun anak
perempuan. Apabila anak tersebut belum di khitan, maka mereka belum sah untuk
melakukan ibadah, karena belum suci lahir maupun batin.
c. Rasa malu apabila tidak dikhitankan sebab anak perempuan tersebut masih kotor,
sehingga merasa malu dengan teman-temannya yang telah melakukan khitan.
d. Faktor umur yang sudah memasuki masa remaja, apabila anak tersebut sudah masuk
pada rentan usia yang di tetapkan yaitu usia anak perempuan 4-6 tahun atau ada juga
6-12 tahun, maka anak perempuan tersebut harus di khitan.3
4
b. Proses Bekaye’an (Khitanan Anak Perempuan)
Proses bekaye’an anak perempuan berlangsung pada pagi hari sekitar pukul 07.00-
sebelum azan dzuhur. Sebelum anak perempuan yang akan di khitankan tersebut turun
kesungai akan di rias terlebih dahulu di rumahnya. Persiasan ini dilakukan untuk
menjadikan anak gadis tersebut siap untuk melakukan tradisi upacara Bekaye’an.
Anak gadis tersebut akan dirias seperti seorang pengantin atau yang sering disebut
oleh masyarakat lokal sebagai “Bunteng kecek” (pengantin kecil). Yang merias
biasanya tukang rias yang disewa dan ada juga yang menghias sendiri. Setelah dirias
menjadi pengantin kecil maka akan ada arak-arakan oleh masyarakat sekitar
mengunakan mobil pribadi atau menyewa. Biasanya yang ikut mengarak adalah anak-
anak, ibu-ibu, bapak-bapak dan kaum muda.
Selama dukun (ahli sunat) membacakan mantra-mantra ada satu proses ritual
dimana dukun (ahli sunat) melakukan pemotongan atau penyunatan pada alat kelamin
anak perempuan, dengan menggunakan alat yang disebut dengan “Pencukukil” ( Daun
pandan yang dibalut dengan kunyit).
5
yang berarus kecil saja. Setelah si anak perempuan ini “disenayungkan” maka akan di di
dandani lagi menjadi “bunteng kecek”.4
Kemudian selama upacara “jamuan makan” berlangsung anak perempuan yang telah
melakukan semua ritual, akan memasuki rumahnya sambil memegang uang koin di tangan
kanannya lalu dilemparkan uang koin tersebut ke arah anak-anak yang berkumpul
menunggu Bunteng kecek (pengantin kecil). Hal ini dilaksanakan sebagai tanda syukur dan
sebagai bentuk berbagi kebahagiaan.
Saat anak gadis yang telah melakukan ritual Bekaye’an ini memasuki rumahnya, maka
sang bapak akan menenteskan air kunyit ke mata anak tersebut, gunanya sebagai simbol
kebahagian dan sebagai tolak penyakit untuk anak perempuan tersebut. Setelah itu anak
akan duduk dan ditemani makan oleh sang pendamping biasanya pemuda dewasa, kakak,
paman dan sepupu.
4
Nanguning. 2019. Upacara Bekaye’an. Sumatera Selatan: Tokoh Masyarakat Desa Nanjungan kec. Pasemah Air Keruh.
6
Adapun hal yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam tradisi
Bekaye’an karena, mereka masih memiliki ikatan tali persaudaraan, dalam masyarakat
wajib saling tolong menolong, serta mereka peduli dengan kondisi dan situasi lingkungan
sekitar.
Kemudian salah satu alasan kenapa masyarakat sangat berpartisipasi dalam upacara
Bekaye’an adalah antara lain:
a. Masih adanya rasa ikatan saudara yang sangat kuat
b. Masyarakat saling tolong menolong dalam berbagai kegiatan adat yang dilakukan
c. Adanya rasa peduli akan tradisi desa.
Masyarakat desa Nnjungan kec. Pasemah air keruh membantu kelangsungan upacara
ini dari perencanaan, pembukaan sampai memenuhi panggilan tuan rumah yang meminta
tolong untuk mengsukseskan kelangsungan upacara Bekaye’an tersebut.5
Meskipun belum ada bukti medis tentang manfaat khitan bagi wanita namun cukuplah
perintah adanya syariat khitan sebagai bukti bahwa khitan bermanfaat bagi wanita. Di antara
manfaat khitan bagi wanita adalah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
untuk menstabilkan syahwat dan memuaskan pasangan.
Bahkan masyarakat di Nanjungan ini menganggap bahwa khitan bagi anak perempuan
adalah suatu kewajiban, dan bagi yang tidak melaksanakannya dianggap bukan merupakan
bagian dari masyarakat muslim.
Namun, unsur kearifan lokal terhadap apa yang disyariarkan Islam ini bercampur baur,
dengan masih adanya pemahaman masyarakat terhadap pemahan animisme yang meskipun itu
hanya sedikit. Seperti halnya dalam upacara bekayekan ini, masyarakat Nanjungan suku
Pasemah masih mempercayai doa atau jampi yang diucapkan dukun bekayekan, adanya unsur
pemahaman masyarakat terhadap setiap hal yang ada dalam setiap prosesi adalah ada
hubungannya dengan masa depan anak perempuan yang dikayekan. Seperti mengenai kehidupan
dan jodoh di masa depan.
5
Syafe’i, AW. 2019. Partisipasi Masyarakat. Sumatera Selatan: Ketua Adat Desa Nanjungan kec. Pasemah Air Keruh.
7
E. DOKUMENTASI / ILUSTRASI BEKAYE’A
F. makan seghajang (makan sepiring bersama)
8
G. KONDISI KINI TRADISI BEKAYE’AN
Dalam hubungannya dengan khitan wanita adalah termasuk bagian dari syariat Islam
yang mana agama Islam adalah agama yang banyak dianut masyarakat Desa Nanjungan. Hukum
khitan bagi wanita adalah diperintahkan. Sebagian ulama mewajibkannya, sebagian hanya
menganggapnya sunnah.
Meskipun tidak melakukannya, seorang muslim wajib meyakini bahwa khitan adalah
bagian syariat Islam. Telah jelas bahwa khitan merupakan bagian dari perintah syariat Islam
yang mulia. Semua hal yang diperintahkan dalam syariat pasti memberikan manfaat bagi hamba,
baik kita ketahui maupun tidak. Tidak mungkin ada perintah syariat yang tidak memberikan
manfaat bagi hamba atau bahkan merugikan hamba. Termasuk dalam hal ini khitan bagi wanita
yang merupakan bagian dari syariat Islam.
Meskipun belum ada bukti medis tentang manfaat khitan bagi wanita namun cukuplah
perintah adanya syariat khitan sebagai bukti bahwa khitan bermanfaat bagi wanita. Di antara
manfaat khitan bagi wanita adalah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
untuk menstabilkan syahwat dan memuaskan pasangan.
Bahkan masyarakat di Nanjungan ini menganggap bahwa khitan bagi anak perempuan
adalah suatu kewajiban, dan bagi yang tidak melaksanakannya dianggap bukan merupakan
bagian dari masyarakat muslim.
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) menyatakan bahwa sunat perempuan boleh
dilakukan asal tidak menyimpang. MUI menegaskan batasan atau tata cara khitan perempuan
seusia dengan ketentuan syariah, yaitu khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya
menghilangkan selaput (jaldah atau praeputium atau kulup) yang menutupi klitoris; dan khitan
perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris
(insisi dan eksisi).
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan pedoman bagi sebagian besar
orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun
9
di desa. Hukum Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup
dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum
adat itu berlaku. Tak terkecuali masyarakat suku Pasemah di Desa Nanjungan ini.
Menurut beberapa penulis Barat bahwa sebelum masuknya agama islam di Pasemah
dahulu masyarakat menganut Aninisme. Namun ada pendapat lain bahwa orang Pasemah sangat
percaya pada apa yang disebut puyang sebagai leluhur yang sangat di hormati, disegani. Karena
puyang-puyang ini disamping asal-usul keturunan juga mempunyai kesaktian terlihat ini jelas
hingga sekarang masih diceritakan dan diakui walau pun sebelum agama islam masuk juga ada
pengaruh dari agama Hindu dan Budha.
Kata ayek atau ayiak berarti sungai atau alir. Istilah bekayekan secara harfiah berarti
membawa anak ke sungai untuk dimandikan, disucikan menjelang memasuki usia remaja.
Upacara kayek pada umumnya ada dua macam, yaitu kayek kupik yang ditujukan untuk anak
bayi dan bekayekan yang ditujukan untuk anak perempuan. Upacara ini merupakan upacara
sunat atau khitan perempuan yang berusia 4-7 tahun yang dalam istilah lokal disebut dengan
bekayekan di Desa Air Mayan, Kecamatan Pasemah Air Keruh, Kabupaten Lintang Empat
Lawang Provinsi Sumatera Selatan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan. 2019. Kondisi Desa. Sumatera Selatan: Kepala Desa Nanjungan kec. Pasemah Air
Keruh.
Jauharotul, dkk. 2017. Sunat Pada Anak Perempuan (khifadz) dan Perlindungan Anak
Perempuan di Indonesia. Semarang: Jurnal.
Maulida, Indah. 2013. Konstruksi Sosial Budaya Tentang Sunat. Semarang: Skripsi.
Nanguning. 2019. Upacara Bekaye’an. Sumatera Selatan: Tokoh Masyarakat Desa Nanjungan
kec. Pasemah Air Keruh.
Syafe’i, AW. 2019. Partisipasi Masyarakat. Sumatera Selatan: Ketua Adat Desa Nanjungan kec.
Pasemah Air Keruh.
11