Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Wawasan Budaya

Molonthalo

Dosen Pembimbing

Dr. Lintje Boekoesoe, M.Kes

Disusun Oleh

Jeylan Djibu

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT.sehingga makalah yang berjudul Tondhalo
ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas
mata kuliah Wawasan Budaya.Makalah ini berisi tentang salah satu budaya Gorontalo
yakni Molondhalo atau Tujuh bulanan yang sudah jarang di adakan oleh masyarakat
seiring berjalannya waktu. Sekarang banyak orang yang lebih memilih merayakan
tujuh bulanan dengan tema yang lebih mewah dan mengikuti zaman.

Semoga dengan adanya makalah ini masyarakat Indonesia khususnya Gorontalo tetap
menjaga budaya ini agar tetap lestari dan nantinya sampai anak cucu kita.

Demikian makalah ini dibuat, semoga bisa bermanfaat.

Gorontalo, 2 September 2018


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Molonthalo

2.2 Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara

2.3 Peralatan Upacara

2.4 Jalannya Upacara

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagian besar masyarakat di Indonesia mempercayai bahwa kehidupan manusia


selalu diiringi dengan masa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan
ancaman dan bahaya (Koentjaraningrat, 1985; Keesing, 1992). Masa-masa itu adalah
peralihan dari tingkat kehidupan yang satu ke tingkat kehidupan lainnya (dari
manusia masih berupa janin sampai meninggal dunia). Oleh karena masa-masa
tersebut dianggap sebagai masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya, maka
diperlukan adanya suatu usaha untuk “menetralkannya”, sehingga dapat dilalui
dengan selamat. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara yang kemudian
dikenal sebagai upacara lingkaran hidup individu yang meliputi: kehamilan,
kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Tulisan ini terfokus pada upacara
masa kehamilan yang disebut sebagai molonthalo atau raba puru pada masyarakat
Gorontalo di Pulau Sulawesi.

Penyelenggaraan upacara molonthalo atau tondhalo (bahasa Gorontalo) atau raba


puru (bahasa Manado) diadakan ketika usia kandungan seseorang telah mencapai
tujuh bulan. Tujuan dari diadakannya upacara ini adalah sebagai pernyataan dari
pihak keluarga suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan
kelanjutan keturunan dari perkawinan yang sah. Selain itu juga sebagai pernyataan
atau maklumat kepada pihak keluarga suami bahwa sang isteri benar-benar suci
ketika belum menikah. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan yang disebut
sebagai molonthalo ini diadakan hanya pada saat seorang perempuan mengalami
masa kehamilan untuk yang pertama kalinya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Molonthalo ?


2. Apa tujuan dari diadakannya Molonthalo ?
3. Bagaimana tata cara pelaksanaan Molonthalo ?
4. Apa syarat pelaksanaan Molonthalo?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Tondhalo

2. Untuk mengetahui tujuan diadakannya Tondhalo

3. Untuk mengetahu tata cara pelaksanaan Tondhalo

4. Untuk mengetahui apa saja syarat pelaksanaan Tondhalo


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Molondhalo

Molonthalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama,
merupakan pra acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan,
yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Istilah Raba Puru merupakan dialeg
Manado Sulawesi Utara, Puru artinya Perut. Dalam Bahasa Adat Gorontalo di
sebut Molonthalo atau Tondhalo.

Acara Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa
kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari
perkimpoian yang syah. Serta merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua
belah pihak, bahwa sang istri benar-benar suci dan merupakan dorongan bagi
gadis – gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya.
Dalam upacara ini disediakan berbagai jenis makanan yang dihidangkan diatas 7 buah
baki, kemudian makanan tersebut dibagi bagikan kepada para undangan termasuk
anak perempuan kecil yang diusung oleh sang suami calon ayah dari jabang bayi.
2.2 Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat
dalam Upacara

Penyelenggaraan upacara molonthalo atau tondhalo (bahasa Gorontalo) atau raba


puru (bahasa Manado) diadakan ketika usia kandungan seseorang telah mencapai
tujuh bulan. Tujuan dari diadakannya upacara ini adalah sebagai pernyataan dasssri
pihak keluarga suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan
kelanjutan keturunan dari perkawinan yang sah. Selain itu juga sebagai pernyataan
atau maklumat kepada pihak keluarga suami bahwa sang isteri benar-benar suci
ketika belum menikah. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan yang disebut
sebagai molonthalo ini diadakan hanya pada saat seorang perempuan mengalami
masa kehamilan untuk yang pertama kalinya. Pemimpin dalam
upacara molonthalo adalah seorang dukun bayi atau bidan kampung yang biasa
disebut Hulango yang beragama Islam, mengetahui seluk beluk umur kandungan,
mengetahui urut-urutan upacara molonthalo, hafal bacaan-bacaan dalam upacara,
dan telah diakui oleh masyarakat setempat. Adapun pihak-pihak lain yang terlibat
dalam penyelenggaraan upacara adalah: (1) para kerabat dari pihak suami; (2) imam
kampung atau Hatibi; (3) dua orang anak (laki dan perempuan) berusia 7-9 tahun
yang masih memiliki orang tua (payu lo hulonthalo); (4) tiga orang ibu yang
dianggap dari keluarga sakinah; dan (5) warga masyarakat lainnya yang membantu
menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.

2.3 Peralatan Upacara

Atribut Adat sebagai pelengkap Upacara Adat Molonthalo, antara lain :

* Hulante yang berbentuk seperangkat bahan diatas baki, terdiri dari beras cupak atau
3 liter, diatasnya terletak 7 buah pala, 7 buah cengkih, 7 buah telur, 7 buah limututu
(lemon sowanggi), 7 buah mata uang yang bernilai Rp. 100,- Dahulu mata uang
terdiri dari Ringgit, Rupiah, Suku, Tali, Ketip dan Kelip.

* Seperangkat bahan pembakaran dupa diatas baki, yang terdiri dari 1 buah polutube
(pedupaan), 1 buah baskom tempat tetabu (dupa) dan segelas air masak yang tertutup.
* Seperangkat batu gosok (botu pongi’ila) yaitu batu gosok untuk mengikis kunyit
sepenggal, dicampur sedikit kapur, dan air dingin yang disebut Alawahu Tilihi.
* Seperangkat Pomama (tempat sirih, pinang), Tambaluda atau Hukede.
* 1 buah Toyopo, atau seperangkat makanan, tempatnya terbuat dari daun kelapa
muda (janur) yang berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goreng dan kue – kue seperti
wapili, kolombengi, apangi dll ditambah pisang masak terdiri dari pisang raja atau
pisang gapi (Lutu Tahulumito atau Lutu Lo Hulonti’o).

* Seperangkat makanan diatas baki terdiri dari sepiring bilinti, atau sejenis nasi
goring yang dicampur dengan hati ayam, sepiring ayam goreng yang masih utuh dan
diperutnya dimasukkan sebuah telur rebus, dua buah baskom tempat cuci tangan dan
dua buah gelas berisi air masak, dan dua buah sendok makan.

* Sebuah daun silar (tiladu) berkeping tiga (tiladu tula-tula pidu), seukuran perut sang
ibuyanghamil.
* Bulewe atau upik pinang (Malo ngo’alo).

* Sebuah tempurung tidak bermata (buawu huli).

* Seperangkat tikar putih (amongo peya-peya atau ti’ohu) yang terbungkus (bolu-
bolu). Yang terpancang didepan pintu (pode-podehu). Dimana ada seorang ibu
dibalik tirai itu meneruskan pertanyaan dari syara’ (hatibi atau syarada’a atau imam)
yang bertugas / diundang membacakan doa, kepada Hulango (bidan kampung).
Pertanyaan yang disampaikan adalah “MA NGOLO HULA” artinya sudah berapa
bulan dan dijawab oleh anak-anak tersebut atas petunjuk Hulango.
* Pale Yilulo (Tilondawu) yaitu : beras yang diwarnai dengan warna merah, kuning,
hijau, hitam dan putih).
* Sebilah keris memakai sarung.

Bagi yang diacarakan (sang ibu hamil) memakai busana walimomo konde pakai
sunthi dengan tingkatan, 1 tangkai untuk umum, 3 tangkai untuk golongan istri
wuleya lo lipu (Camat), 5 tangkai untuk golongan istri Jogugu / wakil Bupati /
Walikota, dan 7 tangkai untuk Mbui, istri Raja / Bupati / Walikota. Suami (calon
ayah) memakai Bo’o takowa kiki dan payungo tilabatayila memakai salempang, keris
terselip di pinggang. Dua orang untuk perempuan memakai galenggo wolimomo,
kepalanya memakai Baya Lo Bo’ute, atau bahan hiasan kepala. Dua orang ibu yang
sakinah memakai kebaya dan batik, serta batik surang sebagai penutup atau (wulo-
wuloto) atau busana lo mango tiilo.

2.4JalannyaUpacara
Upacara diawali dengan pemberian tanda dengan alawahu tilihi oleh hulango
pada dahi, leher, bahu, lekukan tangan, bagian atas telapak kaki, dan bawah
lutut perempuan yang diupacarakan. Tujuannya adalah sebagai ungkapan
bahwa sang calon ibu tersebut akan meninggalkan sifat-sifat mazmunah-nya
(tercela) ketika membesarkan dan mendidik anaknya nanti. Selanjutnya, ia
dibaringkan di atas sebuah tikar putih dengan kepala menghadap ke arah timur
dan kaki ke barat. Pada bagian kepala diletakkan sebuah bantal yang selalu
dipegangi oleh seorang ibu. Sedangkan bagian kaki juga dijaga oleh seorang
ibu lainnya sambil memegang lututnya agar posisinya terlipat ke atas. Selain
dua orang ibu yang menjaga bagian kepala dan kaki, terdapat juga dua orang
anak (laki dan perempuan) berusia 7-9 tahun yang masih memiliki orang tua
(payu lo hulontalo). Mereka duduk di sebelah kiri dan kanan sambil
meletakkan tangan tepat di atas ikat pinggang janur berkepala tiga yang
dikenakan si perempuan hamil. Sebagai catatan, selain ikat pinggang janur
berkepala tiga, si perempuan hamil juga memakai busana khusus, yaitu
waliomomo dengan konde memakai sunti yang terdiri dari 1 hingga 7 buah
tangkai, bergantung dari status sosialnya dalam masyarakat. 1 tangkai untuk
golongan orang kebanyakan, 3 tangkai untuk golongan isteri wuleya lo lipu
(camat), 5 tangkai untuk isteri jogugu/wakil bupati/wakil walikota, dan 7
tangkai untuk Mbui, isteri raja/bupati/walikota. Usai dibaringkan, syara’ atau
imam kampung atau hatibi menanyakan pada ibu yang memegang talante bula
(tikar terbungkus kain yang digunakan sebagai tirai penutup pintu kamar),
dengan perkataan “Ma mongola hula?” yang artinya “Sudah berapa bulan?”.
Pertanyaan ini segera diteruskan pada hulango yang segera menjawabnya
dengan kalimat “Oyinta oluwo”. Jawaban hulango diteruskan lagi oleh ibu
penjaga tirai pada syara’ dengan suara yang agak keras.Hal ini berlangsung
sebanyak tiga kali. Setelah acara tanya-jawab selesai, sang suami segera
masuk ke dalam kamar isterinya lalu melangkahi perutnya sebanyak tiga kali.
Selesai melangkahi perut isterinya, sang suami lalu menghunus keris untuk
memotong anyaman silar yang telah disediakan. Potongan anyaman silar
tersebut lalu dibawanya keluar mengelilingi rumah sebanyak satu kali,
kemudian dibuang agak jauh dari rumah. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar
sang bayi lahir dengan selamat dan setelah dewasa akan memegang teguh
adat, syara’, dan baala sebagai pedoman hidupnya dalam bermasyarakat.
Setelah itu sang suami kembali masuk ke rumah dan duduk berhadapan
dengan isterinya untuk acara saling menyuapi dengan seperangkat makanan
dalam baki yang terdiri dari nasi bilinthi dan ayam goreng. Sebelum acara
saling menyuapi berlangsung yang juga sebagai lambang kasih sayang serta
adanya hak dan kewajiban dari siami-isteri, terlebih dahulu sang suami akan
mengeluarkan telur yang telah dimasukkan dalam perut ayam goreng. Telur
yang keluar dari tubuh ayam goreng tersebut bermakna agar sang isteri diberi
kemudahan ketika melahirkan bayinya. Selesai prosesi saling menyuapi, acara
dilanjutkan dengan pembacaan doa dan shalawat yang dipimpin oleh hatibi.
Kemudian, sang suami dan isterinya akan dimandikan oleh hulango dengan
air yang telah dicampur dengan berbagai macam bunga dan ramuan. Acara
lalu diakhiri dengan makan bersama diantara peserta upacara dengan hidangan
berupa kue tradisional khas Gorontalo. Dan sebelum para peserta upacara
pulang, sang suami memberikan pala’u (sedekah sesuai keikhlasan hati)
kepada hulango, hatibi, tiga orang ibu (penjaga kepala, kaki dan tirai), serta
dua orang anak yang ikut menjaga perempuan yang sedang diupacarakan.
Dengan berakhirnya tahap pemberian pala’u ini, berakhirlah seluruh rentetan
upacara molonthalo.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Molonthalo merupakan acara tujuh bulanan versi suku Gorontalo yang


memiliki ciri khas tersendiri yang sekarang mulai dilupakan seiring
berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi.Tapi alhamdulilah di
beberapa daerah yang ada di Gorontalo masih melakukan Tondhalo hingga
sekarang ini.

Molonthalo adalah satu dari banyaknya budaya suku Gorontalo yang sangat
unik dan masing-masing memiliki nilai tersendiri.

Tetapi perlu diingat bahwa kebudayaan Gorontalo semakin hari semakin


memudar oleh karena itu perlu diadakan pelestarian budaya daerah
Gorontalo, agar warisan budaya tetap eksis dan dapat dinikmati oleh
generasi-generasi berikutnya.
3.2 Saran

Di akhir penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada pembaca


khususnya teman – teman praja agar dapat lebih memahami kebudyaan –
kebudayaan gorontalo. Karena mempelajari budaya daerah lain akan
membuat kita memperoleh tambahan ilmu baik dari sisi sosiologis maupun
segi budaya.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.tulismenulis.com/upacara-adat-molonthalo/
https://uun-halimah.blogspot.com/2011/01/upacara-molonthalo-pada-
masyarakat.html
http://dowora.blogspot.com/2011/06/molondalo-bagi-masyarakat-gorontalo.html

Anda mungkin juga menyukai