XII MIPA 2
Agama Kristen
A. Suku Nias
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang
masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Beberapa hal yang ditentukan dan diatur
dalam fondrakö mencakup aspek-aspek fondu (kepercayaan atau agama); fangaso
(perekonomian), hao-hao atau ele-ele (kebudayaan); forara hao fowanua (hak dan kewajiban);
serta böwö (adat dalam pernikahan). Salah satu bentuk nyata hukum adat tersebut
adalah masyarakat Nias kuno yang hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh
peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batubesar yang masih ditemukan di wilayah
pedalaman pulau Nias sampai sekarang. Dalam aspek fondu (kepercayaan atau agama) para
leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme.
B. Suku Minahasa
Perubahan makna Opo Wailan Wangko sebagai konsep pribumi dewa tertinggi
menjadi konsepsi Tuhan Allah telah lama dilakukan semenjak Kristen menjadi agama umum
dalam masyarakat. Dan rupanya dari segi teologi, perubahan ini tidak menjadi masalah.
Tetapi kepercayaan-kepercayaan dan upacara pribumi lainnya serta mitologi yang menurut
persepsi emic bukan masalah, bagi teologi Kristen merupakan ajaran-ajaran yang salah.
Inilah yang merupakan masalah bagi Gereja di Minahasa, walaupun secara emic, sinketisme
adalah penyesuaian yang tidak mengandung masalah. Jadi persepsi masalah perilaku agama
pada orang Minahasa tergantung pada orientasi penilaian apa yang dipakai seseorang.
Kejawen adalah kebudayaan Jawa asli yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan
kuno dengan ajaran agama yang datang kemudian seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Meskipun demikian ajaran Kejawen masih mengacu dan berpegang teguh pada ajaran tradisi
Jawa asli sehingga masih nampak ciri-cirinya yang khas dan kemandiriannya. Membahas
masalah Kejawen tentunya tidak terlepas dengan istilah-istilah Manunggaling Kawulo Gusti,
Sedulur Papat Lima Pancer, Sangkan Paraning Dumadi, Ngeruwat, Tapa Brata, dan lain-lain.
Dalam ilmu Kejawen Raja adalah pemuka agama. Hal ini nampak dari penggunaan atau
pemakaian gelar “Sayidina Panatagama”, “Khalifatullah”, “Ajaran agama ageming aji” (
perhiasan ) raja, karena itu harus disesuaikan dengan tradisi Jawa. Kitab Mahabarata dan
Ramayana merupakan sumber inspirasi ajaran Kejawen yang mengandung ajaran moral dan
karakter perilaku tuntunan hidup. Tinjauan kajian pikiran Jawa lebih terfokus pada aspek indra
batin dan perilaku batin. Strategi pendekatan Kejawen adalah mencari pendekatan kepada
Tuhan bahkan selalu ingin menyatu dengan Tuhan ( Manunggaling Kawula Gusti) dan
analisanya bersifat batiniah.
D. Hindu-Tengger
Upacara adat suku Tengger yang terkenal adalah Upacara Kasada. Upacara ini
dilakukan di Gunung Bromo. Perpaduan antara sinkretisme dan agama Hindu menghasilkan
kekhasan tradisi suku Tengger. Kepercayaan mereka terhadap perbintangan dan leluhur
memang menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang
perbedaan. Oleh karena itu, suku ini tidak tertelan oleh zaman. Bagaimanapun juga dikatakan
bahwa Hindu Tengger berbeda dengan Hindu Bali.
Suku Tengger yang berada di sekitar taman nasional merupakan suku asli yang
beragama Hindu. Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari Kerajaan Majapahit yang
mengasingkan diri. Uniknya, melihat penduduk di sekitar (Su-ku Tengger) tampak tidak ada
rasa ketakutan walaupun menge-tahui Gunung Bromo itu berbaha-ya, termasuk juga
wisatawan yang banyak mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada saat
Upacara Kasodo.
E. Ajaran Hindu-Dharma
Ajaran Hindu-Dharma adalah sejenis agama Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan
Brahma yang bersinkretis dengan kepercayaan setempat/lokal orang Bali. Salah satu ritual
keagamaan penganut Hindu Dharma di Bali adalah Upacara Ngaben. Aliran ini umumnya
hampir sama dengan agama Hindu lainnya. Selain di Bali, ajaran ini juga berkembang di Tanah
Toraja, Sulawesi.
F. Ajaran Siwa-Buddha