Indonesia, dengan keberagaman etnis dan budaya yang kaya, memiliki lanskap
agama yang beragam dan kompleks. Di tengah gemerlapnya keragaman agama,
terdapat tiga suku utama di Kalimantan yang memiliki tradisi keagamaan yang
khas dan berpengaruh: suku Banjar, suku Dayak, dan suku Melayu. Masing-
masing suku memiliki sistem religi yang unik, yang mencerminkan warisan
budaya dan nilai-nilai yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Sistem religi suku Banjar, suku Dayak, dan suku Melayu memiliki ciri-ciri yang
berbeda-beda, yang mencerminkan sejarah, lingkungan geografis, serta interaksi
dengan kelompok-kelompok agama lainnya. Dalam makalah ini, kita akan
mengeksplorasi akar budaya dan nilai-nilai yang membentuk sistem religi
masing-masing suku, serta bagaimana sistem-sistem tersebut berevolusi dalam
menghadapi perubahan zaman dan dinamika sosial yang terus berubah.
Gambar 2. Animisme
Pada tahap awal perkembangan suku Melayu Pontianak, sistem religi yang
mendominasi adalah animisme. Animisme adalah keyakinan bahwa segala hal,
termasuk benda mati dan alam semesta, memiliki roh atau kekuatan spiritual
yang harus dihormati dan dipelihara. Dalam konteks suku Melayu Pontianak,
animisme melandaskan kepercayaan mereka pada roh nenek moyang sebagai
entitas penting. Nenek moyang dipercaya masih mempengaruhi kehidupan
sehari-hari mereka, memegang peranan penting dalam mengendalikan berbagai
aspek kehidupan, termasuk keberuntungan, kesuburan tanah, hasil panen, dan
perlindungan terhadap bencana alam. Pentingnya roh nenek moyang dalam
kehidupan suku Melayu Pontianak tercermin dalam praktik dan ritus mereka
sehari-hari. Mereka meyakini bahwa memelihara hubungan harmonis dengan roh
nenek moyang merupakan kunci untuk mendapatkan berkah dan kesuksesan
dalam segala hal. Oleh karena itu, mereka mengadakan berbagai upacara dan
persembahan sebagai bentuk penghormatan dan upaya untuk menjaga
hubungan baik dengan roh nenek moyang mereka. Upacara-upacara ini
seringkali melibatkan doa-doa, persembahan makanan, tarian, dan musik
tradisional sebagai wujud penghormatan dan ungkapan rasa syukur kepada
nenek moyang.
Selain itu, kepercayaan pada roh nenek moyang juga mempengaruhi cara suku
Melayu Pontianak memandang lingkungan sekitar mereka. Mereka merawat
alam dengan penuh kehati-hatian, meyakini bahwa kesuburan tanah dan hasil
panen mereka tergantung pada perlindungan dan berkat yang diberikan oleh roh
nenek moyang. Dalam pandangan mereka, alam bukan hanya sekedar sumber
kehidupan materi, tetapi juga merupakan rumah bagi roh nenek moyang yang
harus dijaga dan dihormati. Dengan demikian, sistem religi animisme yang
didasarkan pada kepercayaan pada roh nenek moyang menjadi landasan
spiritual dan filosofis bagi suku Melayu Pontianak dalam mengarungi kehidupan
mereka. Meskipun seiring waktu, pengaruh agama-agama lain mungkin telah
masuk dan mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi akar animisme dan
kepercayaan pada roh nenek moyang tetap menjadi bagian integral dari identitas
dan kebudayaan suku Melayu Pontianak hingga saat ini.
Dalam sistem religi suku Melayu Pontianak, tata cara sistem religi ini sangat
terkait erat dengan pelaksanaan ritual dan persembahan kepada roh nenek
moyang. Ritual ini merupakan ekspresi dari penghormatan, pengakuan, dan
hubungan spiritual antara manusia dan dunia roh. Salah satu bentuk utama ritual
adalah persembahan makanan, minuman, dan pengorbanan hewan. Mereka
meyakini bahwa dengan memberikan persembahan-persembahan ini, mereka
dapat memperoleh berkah dan perlindungan dari roh nenek moyang. Dalam
upacara-upacara ini, makanan dan minuman yang dihidangkan sering kali
disusun secara simbolis dan diatur dalam tata letak yang khusus sebagai bentuk
penghormatan. Selain persembahan, suku Melayu Pontianak juga mengadakan
ritual dan upacara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual atau dukun. Dukun
dipercaya memiliki kemampuan khusus untuk berkomunikasi dengan roh nenek
moyang dan menjadi perantara antara dunia manusia dan dunia spiritual. Mereka
memimpin upacara-upacara dengan menggunakan doa-doa khusus, mantra, dan
serangkaian ritual lainnya untuk memohon berkah dan bimbingan dari roh nenek
moyang.
Pentingnya tempat-tempat suci atau keramat juga menjadi bagian integral dari
kepercayaan suku Melayu Pontianak. Mereka meyakini bahwa tempat-tempat ini
merupakan tempat di mana kehadiran roh nenek moyang dirasakan paling kuat.
Tempat-tempat suci ini dapat berupa pohon-pohon tua yang dianggap sakral,
batu-batu besar, sumber air, atau bahkan lokasi tertentu di hutan atau gunung.
Tempat-tempat suci ini dijaga dengan penuh hormat dan dianggap sebagai pusat
spiritual di mana manusia dapat berhubungan langsung dengan dunia roh.
Dengan demikian, praktik-praktik ritual dan kepercayaan kepada tokoh-tokoh
spiritual serta tempat-tempat suci menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
sistem religi suku Melayu Pontianak. Melalui pelaksanaan ritual-ritual ini, mereka
mempertahankan dan memperkuat hubungan spiritual dengan nenek moyang
mereka serta menjaga keseimbangan antara dunia material dan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan pada roh nenek moyang tidak hanya menjadi aspek spiritual, tetapi
juga mempengaruhi setiap aspek kehidupan suku Melayu Pontianak, dari
pertanian hingga keselamatan dalam berlayar di perairan. Mereka percaya
bahwa menjaga hubungan yang baik dengan nenek moyang adalah kunci untuk
memperoleh berkah dan perlindungan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks pertanian, mereka meyakini bahwa roh nenek moyang memiliki
pengaruh besar terhadap kesuburan tanah dan hasil panen. Oleh karena itu,
mereka melakukan berbagai upacara dan persembahan sebagai ungkapan
penghormatan kepada nenek moyang agar tanah mereka tetap subur dan hasil
panen melimpah. Selain pertanian, kepercayaan ini juga mempengaruhi
keselamatan dalam berlayar, yang merupakan bagian penting dari kehidupan
suku Melayu Pontianak yang berbasis di daerah pesisir. Mereka percaya bahwa
roh nenek moyang juga memiliki kendali atas cuaca dan kondisi laut. Sebelum
berlayar, mereka biasanya mengadakan upacara khusus untuk memohon
perlindungan dan keselamatan dari nenek moyang mereka. Hal ini termasuk
memberikan persembahan dan doa-doa kepada roh nenek moyang agar dapat
melindungi para pelaut dari bahaya di laut.
Pada tingkat yang lebih luas, sistem religi ini menjadi bagian integral dari budaya
dan identitas suku Melayu Pontianak pada masa awal perkembangannya.
Praktik-praktik ritual dan kepercayaan kepada roh nenek moyang membentuk
landasan spiritual bagi kehidupan mereka. Ini bukan hanya sekedar keyakinan,
tetapi juga menjadi cara hidup yang tercermin dalam setiap aspek kegiatan
sehari-hari. Dengan demikian, sistem religi ini tidak hanya merupakan bentuk
spiritualitas, tetapi juga merupakan identitas budaya yang memperkuat jati diri
suku Melayu Pontianak dan mengikat mereka dalam hubungan yang erat dengan
nenek moyang mereka serta alam semesta di sekitar mereka. Secara
keseluruhan, kepercayaan pada roh nenek moyang memainkan peran sentral
dalam membentuk cara berpikir dan bertindak suku Melayu Pontianak. Dengan
menghormati dan memelihara hubungan yang baik dengan nenek moyang,
mereka mengharapkan berkah dan perlindungan dalam menjalani kehidupan
mereka di darat dan di laut. Sistem religi ini bukan hanya menjadi bagian dari
kehidupan spiritual mereka, tetapi juga menjadi fondasi dari budaya dan identitas
suku Melayu Pontianak yang kaya dan beragam.
Salah satu tokoh yang memiliki peran yang sangat signifikan dalam
menyebarkan Islam di wilayah Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie,
yang juga dikenal sebagai Syarif Abdurrahman Alkadrie al-Pontianak. Beliau
adalah seorang ulama yang berasal dari Hadhramaut, Yaman, yang pada awal
abad ke-18 M memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Nusantara dengan
tujuan menyebarkan agama Islam. Keputusannya untuk berangkat ke Nusantara
didorong oleh semangat dakwah dan keinginan untuk menyebarkan ajaran Islam
ke wilayah yang belum terjangkau. Setelah tiba di Nusantara, Syarif
Abdurrahman Alkadrie menjelajahi berbagai wilayah, termasuk Pontianak dan
sekitarnya. Dengan kepribadiannya yang karismatik dan pengetahuannya
tentang ajaran Islam yang mendalam, beliau dengan cepat memperoleh pengikut
dan pengaruh di wilayah tersebut. Melalui ceramah, pengajaran agama, dan
teladan kehidupan yang Islami, Syarif Abdurrahman Alkadrie berhasil
memenangkan hati masyarakat Pontianak dan sekitarnya, serta membawa
ribuan orang masuk Islam. Pengaruhnya yang besar di wilayah Pontianak tidak
hanya terbatas pada aspek keagamaan, tetapi juga mencakup bidang politik dan
sosial. Beliau memainkan peran kunci dalam membangun struktur keagamaan,
seperti mendirikan masjid-masjid dan lembaga-lembaga keagamaan, serta
memberikan bimbingan dan arahan kepada masyarakat dalam berbagai hal, baik
agama maupun dunia. Selain itu, kehadirannya juga membawa stabilitas dan
kedamaian di tengah masyarakat yang masih dipenuhi dengan berbagai
perbedaan.
Penerapan tata cara agama Islam ini tidak hanya mencakup aspek ibadah ritual,
tetapi juga mencakup aspek etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, dan keadilan
dipromosikan dan diamalkan dalam setiap interaksi dan transaksi masyarakat. Ini
mencerminkan bagaimana Islam tidak hanya menjadi panduan dalam hubungan
manusia dengan Allah SWT, tetapi juga dalam hubungan antarmanusia dan
dengan lingkungan sekitar. Secara keseluruhan, pengaruh Islam di kalangan
suku Melayu Pontianak pada abad ke-19 hingga ke-20 M telah membentuk pola
pikir dan pola perilaku yang mencerminkan nilai-nilai agama Islam. Praktik ibadah
seperti salat, puasa, zakat, dan haji menjadi rutinitas yang diterapkan secara
konsisten dalam kehidupan sehari-hari, sementara nilai-nilai etika dan moral
Islam juga menjadi landasan dalam interaksi sosial dan kehidupan masyarakat
secara luas. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam telah menjadi bagian integral
dari identitas dan budaya suku Melayu Pontianak selama berabad-abad.
Pengaruh Islam di kalangan suku Melayu Pontianak tidak hanya tercermin dalam
praktik keagamaan, tetapi juga dalam adat dan tradisi mereka. Nilai-nilai Islam
seperti keadilan, kesederhanaan, dan tolong-menolong telah meresap ke dalam
tatanan sosial, budaya, dan politik masyarakat Pontianak. Hal ini tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari mereka. Dalam sistem sosial, konsep
keadilan dan persaudaraan dalam Islam menguatkan solidaritas di antara
anggota masyarakat. Prinsip-prinsip Islam mendorong masyarakat Pontianak
untuk berlaku adil dan menghormati hak-hak sesama, tanpa memandang
perbedaan suku, status sosial, atau kekayaan materi. Solidaritas ini tercermin
dalam berbagai tradisi sosial, seperti gotong-royong dalam membangun rumah
atau membantu tetangga dalam kebutuhan mendesak.
Selain itu, nilai kesederhanaan yang ditekankan dalam Islam juga mempengaruhi
adat dan tradisi suku Melayu Pontianak. Masyarakat Pontianak ditanamkan nilai-
nilai kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hidup dengan penuh
kejujuran dan menjalani kehidupan yang sederhana menjadi nilai yang dijunjung
tinggi. Ini tercermin dalam gaya hidup mereka yang mengutamakan kebutuhan
yang esensial dan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara
kebutuhan duniawi dan spiritual. Dalam bidang politik, pengaruh Islam juga
terlihat dalam pembentukan norma-norma yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah Islam. Meskipun dalam konteks modern hal ini mungkin tidak selalu
diekspresikan secara formal dalam hukum positif, namun prinsip-prinsip moral
dan etika Islam tetap memainkan peran penting dalam penegakan keadilan dan
kebenaran di tengah masyarakat Pontianak. Pengaruh Islam telah memainkan
peran penting dalam membentuk identitas dan kehidupan masyarakat Melayu
Pontianak. Nilai-nilai Islam tidak hanya menjadi pedoman dalam praktik
keagamaan, tetapi juga menjadi pondasi moral dan etika yang membentuk adat
dan tradisi mereka. Dengan demikian, Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi
juga menjadi bagian integral dari budaya dan identitas suku Melayu Pontianak,
mengikat mereka dalam kesatuan spiritual dan sosial yang kuat.
Nilai-nilai keagamaan tradisional juga tetap dijaga dan dilestarikan oleh suku
Melayu Pontianak. Nilai-nilai seperti keadilan, tolong-menolong, dan
persaudaraan terus menjadi bagian integral dari budaya dan identitas mereka.
Kehadiran agama-agama lain di Pontianak tidak menggeser nilai-nilai tradisional
ini, melainkan memberikan warna yang beragam dalam kehidupan keagamaan
dan budaya masyarakat Pontianak. Dengan demikian, Pontianak menjadi contoh
harmonisasi antara tradisi dan modernitas, di mana Islam tetap menjadi pilar
keagamaan utama sementara nilai-nilai keagamaan tradisional juga tetap dijaga.
Meskipun terdapat keragaman agama, masyarakat Pontianak terus memelihara
semangat toleransi dan saling menghormati antar-agama, menciptakan
lingkungan yang inklusif dan damai bagi semua umat beragama.
2. Suku Banjar
Selain itu, suku Banjar juga memiliki keyakinan terhadap roh-roh alam yang
menguasai berbagai unsur alam, seperti hutan, sungai, gunung, dan tanah.
Mereka meyakini bahwa menjaga keseimbangan dengan roh-roh alam ini sangat
penting untuk memastikan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, dan
kelangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, mereka seringkali melakukan
berbagai ritual dan upacara sebagai ungkapan penghormatan kepada roh-roh
alam ini.
Selain itu, kepercayaan animisme suku Banjar juga tercermin dalam praktik-
praktik sehari-hari mereka, seperti dalam pertanian, perburuan, dan pengobatan
tradisional. Mereka mengandalkan pengetahuan spiritual dan ritual-ritual khusus
untuk mendapatkan keberkahan dan kesuksesan dalam kegiatan-kegiatan
tersebut.
2) Hindu Budha
Kehadiran agama Hindu-Buddha pada masa tersebut juga tercermin dalam seni
dan budaya suku Banjar, seperti seni ukir, seni pahat, seni tari, dan seni musik
yang menggambarkan cerita-cerita mitologi Hindu-Buddha. Secara keseluruhan,
kepercayaan Hindu-Buddha suku Banjar sebelum masuknya Islam menunjukkan
pengaruh yang kuat dari kebudayaan Hindu-Buddha klasik, yang memperkaya
kehidupan spiritual, budaya, dan sosial mereka pada masa tersebut.
B. Masuknya Islam
Setelah masuknya Islam ke dalam kehidupan suku Banjar di Kalimantan,
kepercayaan dan praktik keagamaan mereka mengalami perubahan yang
signifikan. Meskipun Islam menjadi agama mayoritas di kalangan suku Banjar,
unsur-unsur kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha masih mempengaruhi
pemikiran dan praktik keagamaan mereka. Dalam kerangka kepercayaan Islam,
suku Banjar menjalankan ibadah-ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan
haji sesuai dengan ajaran Islam. Masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan dan
pendidikan Islam di masyarakat, dan ulama serta tokoh agama memegang peran
penting dalam menyebarkan ajaran Islam dan memberikan petunjuk keagamaan
kepada masyarakat.
3. Suku Dayak
Suku Dayak di Pulau Kalimantan memiliki agama asli mereka yang disebut
dengan Kaharingan. Agama Kaharingan ini telah ada di Kalimantan bahkan
sebelum adanya agama-agama lainnya yang masuk di Kalimantan. Agama
Kaharingan ini bukan merupakan sebuah animisme atau dinamisme, tetapi
merupakan agama monoteisme yaitu percaya bahwa Tuhan itu tunggal. Agama
asli suku Dayak ini menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang bahkan
masih bertahan dan dianut oleh sebagian suku Dayak yang ada di Kalimantan
walau pada kenyataannya tidak sedikit orang suku Dayak yang saat ini telah
menganut agama Islam, Kristen, atau Katolik. Hal tersebut terjadi karena orang
suku Dayak banyak yang telah berbaur dengan penduduk di berbagai daerah.
walaupun demikian, agama Kaharingan ini masih melekat erat dengan kehidupan
mereka, ditunjukkan dengan adanya bahasa, simbol, situs, dan gaya hidup pada
orang suku Dayak.
A. Kepercayaan Suku Dayak Kalimantan Sebelum Datangnya Islam
Sekitar abad ke 15, Kalimantan Tengah merupakan daerah yang masih hutan
belantara dan belum berinteraksi dengan para pendatang. Penduduk aslinya
adalah suku Dayak Ngaju, yaitu suku Dayak yang mendiami sepanjang sungai
Kapuas, dan kepercayaam yang dianut oleh suku ini adalah kepercayaan nenek
moyang yaitu Kaharingan yang memiliki arti “Kehidupan”.
Sementara itu, tempat ibadah agama Kaharingan disebut sebagai Balai Basarah
atau Balai Kaharingan. Penganut agama Kaharingan melakukan ibadah rutih
pada setiap hari kamis atau malam jumat.
Gambar 7. Balai Basarah
Selain itu, juga terdapat beberapa buku suci yang berisikan ajaran dan aturan
agama Kaharingan, yaitu:
Agama Kaharingan juga memiliki ritual penting, diantaranya yaitu upacara Tiwah
yang merupakan ritual kematian tahap akhir dan Basarah. Tiwah merupakan
upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang telah
meninggal ke Sandung yang telah dibuat. Sandung merupakan tempat yang
berbentuk rumah kecil khusus untuk mereka yang telah meninggal dunia. Prosesi
penguburan sekunder bagi orang yang telah meninggal pada penganut
Kaharingan disebut Tiwah. Prosesi ini merupakan simbol pelepasan arwah
menuju lewu tatau atau alam kelanggengan yang dilaksanakan setahun atau
dalam beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Seperti halnya penyebaran Islam yang ada di daerah lainnya, suku Dayak
mulai memeluk agama Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebar agama
Islam dari Demak. Agama Islam masuk ke wilayah suku Dayak dengan melewati
jalur perniagaan atau perdagangan dari daerah Kuin. kemudian, daerah-daerah
yang telah memeluk Islam terlebih dahulu, seperti daerah Banjarmasin juga mulai
memberikan pengaruh Islam kepada suku Dayak dengan adanya aktifitas
perdagangan pada sekitar abad ke-18 dan akhirnya para penduduk suku Dayak
pun banyak yang tertarik dengan ajaran agama Islam sehingga agama Islam pun
mulai menyebar pesat di daerah suku Dayak. Masuknya Islam di daerah suku
Dayak ini ditunjukkan dengan berbagai bukti yang ada seperti adanya corak
budaya Islam yang ditemukan di suku Dayak, seperti bentuk nisan makam
berukiran tulisan arab.
KESIMPULAN
Bonxy, R., Rochayanti, C., & Ashriyanto, P. D. (2018). Upacara Adat Tiwah
Masyarakat Dayak Di Kalimantan Tengah. 22(2), 207–218.
Nazmi, A., Fatimah, & Suroto. (2018). UPAYA SUKU DAYAK DALAM
MEMPERJUANGKAN KAHARINGAN MENJADI SALAH SATU
AGAMA DI INDONESIA. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan,
8(November), 250–256.