Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Indonesia, dengan keberagaman etnis dan budaya yang kaya, memiliki lanskap
agama yang beragam dan kompleks. Di tengah gemerlapnya keragaman agama,
terdapat tiga suku utama di Kalimantan yang memiliki tradisi keagamaan yang
khas dan berpengaruh: suku Banjar, suku Dayak, dan suku Melayu. Masing-
masing suku memiliki sistem religi yang unik, yang mencerminkan warisan
budaya dan nilai-nilai yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam makalah ini, kita akan melakukan identifikasi terhadap perkembangan


sistem religi pada tiga suku utama di Kalimantan, yaitu suku Banjar, suku Dayak,
dan suku Melayu. Identifikasi ini penting untuk memahami dinamika keagamaan
yang terjadi di Kalimantan, terutama di tengah banyaknya keberagaman agama
yang ada di Indonesia. Melalui pemahaman yang lebih dalam terhadap sistem
religi suku-suku ini, kita dapat merespons secara lebih baik tantangan dan
peluang yang muncul dalam konteks keagamaan di Indonesia.

Sistem religi suku Banjar, suku Dayak, dan suku Melayu memiliki ciri-ciri yang
berbeda-beda, yang mencerminkan sejarah, lingkungan geografis, serta interaksi
dengan kelompok-kelompok agama lainnya. Dalam makalah ini, kita akan
mengeksplorasi akar budaya dan nilai-nilai yang membentuk sistem religi
masing-masing suku, serta bagaimana sistem-sistem tersebut berevolusi dalam
menghadapi perubahan zaman dan dinamika sosial yang terus berubah.

Dengan demikian, makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam


pemahaman yang lebih baik tentang pluralitas agama dan keberagaman budaya
di Indonesia, serta menggali perspektif-perspektif yang lebih mendalam terkait
dengan sistem religi suku Banjar, suku Dayak, dan suku Melayu di Kalimantan.
Dengan demikian, diharapkan makalah ini dapat menjadi landasan bagi diskusi
lebih lanjut mengenai peran agama dalam membangun harmoni sosial dan
pluralisme di Indonesia.
PEMBAHASAN

1. Suku Melayu Pontianak

Gambar 1. Suku Melayu Pontianak


Suku Melayu Pontianak memiliki sejarah perkembangan sistem religi yang
menarik, dari masa awal hingga saat ini. Berikut adalah gambaran umumnya,

A. Awal Perkembangan (Abad ke-7 hingga ke-14 M)

Gambar 2. Animisme

Pada tahap awal perkembangan suku Melayu Pontianak, sistem religi yang
mendominasi adalah animisme. Animisme adalah keyakinan bahwa segala hal,
termasuk benda mati dan alam semesta, memiliki roh atau kekuatan spiritual
yang harus dihormati dan dipelihara. Dalam konteks suku Melayu Pontianak,
animisme melandaskan kepercayaan mereka pada roh nenek moyang sebagai
entitas penting. Nenek moyang dipercaya masih mempengaruhi kehidupan
sehari-hari mereka, memegang peranan penting dalam mengendalikan berbagai
aspek kehidupan, termasuk keberuntungan, kesuburan tanah, hasil panen, dan
perlindungan terhadap bencana alam. Pentingnya roh nenek moyang dalam
kehidupan suku Melayu Pontianak tercermin dalam praktik dan ritus mereka
sehari-hari. Mereka meyakini bahwa memelihara hubungan harmonis dengan roh
nenek moyang merupakan kunci untuk mendapatkan berkah dan kesuksesan
dalam segala hal. Oleh karena itu, mereka mengadakan berbagai upacara dan
persembahan sebagai bentuk penghormatan dan upaya untuk menjaga
hubungan baik dengan roh nenek moyang mereka. Upacara-upacara ini
seringkali melibatkan doa-doa, persembahan makanan, tarian, dan musik
tradisional sebagai wujud penghormatan dan ungkapan rasa syukur kepada
nenek moyang.

Selain itu, kepercayaan pada roh nenek moyang juga mempengaruhi cara suku
Melayu Pontianak memandang lingkungan sekitar mereka. Mereka merawat
alam dengan penuh kehati-hatian, meyakini bahwa kesuburan tanah dan hasil
panen mereka tergantung pada perlindungan dan berkat yang diberikan oleh roh
nenek moyang. Dalam pandangan mereka, alam bukan hanya sekedar sumber
kehidupan materi, tetapi juga merupakan rumah bagi roh nenek moyang yang
harus dijaga dan dihormati. Dengan demikian, sistem religi animisme yang
didasarkan pada kepercayaan pada roh nenek moyang menjadi landasan
spiritual dan filosofis bagi suku Melayu Pontianak dalam mengarungi kehidupan
mereka. Meskipun seiring waktu, pengaruh agama-agama lain mungkin telah
masuk dan mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi akar animisme dan
kepercayaan pada roh nenek moyang tetap menjadi bagian integral dari identitas
dan kebudayaan suku Melayu Pontianak hingga saat ini.

Dalam sistem religi suku Melayu Pontianak, tata cara sistem religi ini sangat
terkait erat dengan pelaksanaan ritual dan persembahan kepada roh nenek
moyang. Ritual ini merupakan ekspresi dari penghormatan, pengakuan, dan
hubungan spiritual antara manusia dan dunia roh. Salah satu bentuk utama ritual
adalah persembahan makanan, minuman, dan pengorbanan hewan. Mereka
meyakini bahwa dengan memberikan persembahan-persembahan ini, mereka
dapat memperoleh berkah dan perlindungan dari roh nenek moyang. Dalam
upacara-upacara ini, makanan dan minuman yang dihidangkan sering kali
disusun secara simbolis dan diatur dalam tata letak yang khusus sebagai bentuk
penghormatan. Selain persembahan, suku Melayu Pontianak juga mengadakan
ritual dan upacara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual atau dukun. Dukun
dipercaya memiliki kemampuan khusus untuk berkomunikasi dengan roh nenek
moyang dan menjadi perantara antara dunia manusia dan dunia spiritual. Mereka
memimpin upacara-upacara dengan menggunakan doa-doa khusus, mantra, dan
serangkaian ritual lainnya untuk memohon berkah dan bimbingan dari roh nenek
moyang.

Pentingnya tempat-tempat suci atau keramat juga menjadi bagian integral dari
kepercayaan suku Melayu Pontianak. Mereka meyakini bahwa tempat-tempat ini
merupakan tempat di mana kehadiran roh nenek moyang dirasakan paling kuat.
Tempat-tempat suci ini dapat berupa pohon-pohon tua yang dianggap sakral,
batu-batu besar, sumber air, atau bahkan lokasi tertentu di hutan atau gunung.
Tempat-tempat suci ini dijaga dengan penuh hormat dan dianggap sebagai pusat
spiritual di mana manusia dapat berhubungan langsung dengan dunia roh.
Dengan demikian, praktik-praktik ritual dan kepercayaan kepada tokoh-tokoh
spiritual serta tempat-tempat suci menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
sistem religi suku Melayu Pontianak. Melalui pelaksanaan ritual-ritual ini, mereka
mempertahankan dan memperkuat hubungan spiritual dengan nenek moyang
mereka serta menjaga keseimbangan antara dunia material dan spiritual dalam
kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan pada roh nenek moyang tidak hanya menjadi aspek spiritual, tetapi
juga mempengaruhi setiap aspek kehidupan suku Melayu Pontianak, dari
pertanian hingga keselamatan dalam berlayar di perairan. Mereka percaya
bahwa menjaga hubungan yang baik dengan nenek moyang adalah kunci untuk
memperoleh berkah dan perlindungan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks pertanian, mereka meyakini bahwa roh nenek moyang memiliki
pengaruh besar terhadap kesuburan tanah dan hasil panen. Oleh karena itu,
mereka melakukan berbagai upacara dan persembahan sebagai ungkapan
penghormatan kepada nenek moyang agar tanah mereka tetap subur dan hasil
panen melimpah. Selain pertanian, kepercayaan ini juga mempengaruhi
keselamatan dalam berlayar, yang merupakan bagian penting dari kehidupan
suku Melayu Pontianak yang berbasis di daerah pesisir. Mereka percaya bahwa
roh nenek moyang juga memiliki kendali atas cuaca dan kondisi laut. Sebelum
berlayar, mereka biasanya mengadakan upacara khusus untuk memohon
perlindungan dan keselamatan dari nenek moyang mereka. Hal ini termasuk
memberikan persembahan dan doa-doa kepada roh nenek moyang agar dapat
melindungi para pelaut dari bahaya di laut.

Pada tingkat yang lebih luas, sistem religi ini menjadi bagian integral dari budaya
dan identitas suku Melayu Pontianak pada masa awal perkembangannya.
Praktik-praktik ritual dan kepercayaan kepada roh nenek moyang membentuk
landasan spiritual bagi kehidupan mereka. Ini bukan hanya sekedar keyakinan,
tetapi juga menjadi cara hidup yang tercermin dalam setiap aspek kegiatan
sehari-hari. Dengan demikian, sistem religi ini tidak hanya merupakan bentuk
spiritualitas, tetapi juga merupakan identitas budaya yang memperkuat jati diri
suku Melayu Pontianak dan mengikat mereka dalam hubungan yang erat dengan
nenek moyang mereka serta alam semesta di sekitar mereka. Secara
keseluruhan, kepercayaan pada roh nenek moyang memainkan peran sentral
dalam membentuk cara berpikir dan bertindak suku Melayu Pontianak. Dengan
menghormati dan memelihara hubungan yang baik dengan nenek moyang,
mereka mengharapkan berkah dan perlindungan dalam menjalani kehidupan
mereka di darat dan di laut. Sistem religi ini bukan hanya menjadi bagian dari
kehidupan spiritual mereka, tetapi juga menjadi fondasi dari budaya dan identitas
suku Melayu Pontianak yang kaya dan beragam.

B. Masuknya Islam (Abad ke-14 hingga ke-17 M)


Gambar 3. Masuknya Islam
Masuknya Islam ke wilayah Pontianak pada abad ke-14 hingga ke-17 M didorong
oleh sejumlah faktor yang meliputi jalur perdagangan maritim dan upaya
penyebaran agama oleh para ulama Islam. Wilayah Pontianak, yang terletak di
sepanjang jalur perdagangan maritim Nusantara, menjadi pusat penting dalam
interaksi antarbudaya. Sebagai pusat perdagangan yang ramai, Pontianak
menjadi tempat bertemunya berbagai budaya dan agama, termasuk pertukaran
gagasan keagamaan. Jalur perdagangan maritim Nusantara membawa
pedagang Muslim dari berbagai wilayah ke Pontianak. Mereka tidak hanya
membawa barang dagangan, tetapi juga membawa pesan-pesan agama Islam
dan berinteraksi dengan masyarakat setempat untuk menyebarkan kepercayaan
baru ini. Melalui kontak dan dialog yang terjalin, mereka secara bertahap
memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Melayu Pontianak,
membangun masjid-masjid, dan memberikan pengajaran agama kepada mereka.
Dengan berinteraksi dengan masyarakat lokal, para pedagang Muslim secara
bertahap memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Melayu Pontianak.
Mereka membawa pesan-pesan agama, memperkenalkan praktik-praktik ibadah,
dan membangun hubungan dengan tokoh-tokoh lokal untuk memperluas
pengaruh Islam di wilayah tersebut.

Selain pedagang, ulama-ulama Islam juga memainkan peran penting dalam


penyebaran agama Islam di Pontianak. Mereka melakukan perjalanan jauh untuk
menyebarkan ajaran Islam, membangun masjid-masjid, dan mengajar agama
kepada masyarakat setempat. Ulama-ulama ini juga menjadi panutan dan
pemimpin spiritual bagi masyarakat, membantu mengonsolidasikan ajaran Islam
di wilayah tersebut. Perkembangan Islam di Pontianak juga terjadi melalui proses
inkulturasi, di mana ajaran Islam disesuaikan dengan budaya dan tradisi lokal. Ini
memungkinkan Islam untuk berkembang secara organik dalam konteks
kehidupan masyarakat Melayu Pontianak. Dengan adanya proses ini, Islam tidak
hanya diterima sebagai agama baru, tetapi juga menjadi bagian integral dari
identitas dan budaya suku Melayu Pontianak. Secara keseluruhan, masuknya
Islam ke wilayah Pontianak merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara
perdagangan, upaya penyebaran agama oleh para ulama, dan adaptasi ajaran
Islam dengan budaya lokal. Proses ini membentuk lanskap keagamaan di
Pontianak dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan identitas
dan budaya suku Melayu Pontianak.

Respons masyarakat Melayu Pontianak terhadap masuknya Islam umumnya


positif. Meskipun sebagian dari mereka telah mengenal agama Hindu dan
Buddha melalui perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, mereka
mulai tertarik dan akhirnya memeluk Islam setelah berinteraksi dengan para
pedagang dan ulama Islam. Keberadaan pedagang Muslim dan ulama-ulama
Islam yang membawa ajaran Islam dengan cara yang damai dan bersahabat,
tanpa adanya unsur paksaan, menjadi faktor utama dalam penerimaan agama
baru ini oleh masyarakat setempat. Penerimaan Islam di Pontianak terjadi secara
bertahap dan damai. Tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan adanya
penindasan atau pemaksaan dalam masuknya Islam di wilayah ini. Sebaliknya,
proses konversi menjadi Islam dipandang sebagai hasil dari dialog dan pengaruh
yang bersahabat antara para pedagang Muslim, ulama-ulama Islam, dan
masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan sikap toleransi dan keramahan yang
mendalam dari suku Melayu Pontianak terhadap agama baru yang datang.

Penerimaan Islam oleh masyarakat Melayu Pontianak juga mencerminkan


adaptasi agama dengan budaya lokal. Praktik-praktik keagamaan Islam
dikombinasikan dengan tradisi-tradisi lokal yang telah ada sebelumnya,
membentuk identitas keagamaan yang unik bagi suku Melayu Pontianak.
Dengan demikian, proses masuknya Islam tidak hanya mengubah lanskap
keagamaan, tetapi juga membentuk identitas budaya yang kaya dan beragam
bagi masyarakat Pontianak. Secara keseluruhan, masuknya Islam ke Pontianak
adalah hasil dari interaksi yang harmonis antara pedagang Muslim, ulama-ulama
Islam, dan masyarakat setempat. Sikap toleransi, keramahan, dan adaptabilitas
suku Melayu Pontianak terhadap agama baru tersebut telah membentuk
landasan kuat bagi perkembangan Islam di wilayah ini serta memperkaya
identitas dan budaya mereka.

C. Penyebaran Islam (Abad ke-17 hingga ke-19 M)

Gambar 4. Syarif Abdurrahman Alkadrie


Penyebaran Islam di kalangan suku Melayu Pontianak pada abad ke-17 hingga
ke-19 M dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang saling terkait. Salah satu faktor
utama adalah aktivitas perdagangan yang menjadi jalur penting untuk
penyebaran ajaran Islam. Para pedagang Muslim yang menjalankan
perdagangan di wilayah Pontianak tidak hanya bertugas membawa barang
dagangan, tetapi juga membawa serta ajaran Islam. Perkawinan lintas agama
juga memainkan peran dalam penyebaran Islam di Pontianak. Melalui
perkawinan antara anggota masyarakat Melayu yang telah memeluk Islam
dengan orang-orang non-Muslim, ajaran Islam dapat tersebar ke dalam keluarga-
keluarga baru. Hal ini menyebabkan terjadinya konversi ke Islam secara
bertahap dalam lingkungan keluarga, yang pada akhirnya memperluas pengaruh
agama tersebut di masyarakat. Pendidikan juga menjadi faktor penting dalam
penyebaran Islam di kalangan suku Melayu Pontianak. Sekolah-sekolah agama
yang didirikan oleh para ulama atau lembaga keagamaan menjadi tempat di
mana pengetahuan tentang Islam disampaikan secara formal kepada generasi
muda. Dengan demikian, pendidikan berperan dalam membentuk pemahaman
yang lebih mendalam tentang ajaran Islam dan memperkuat keyakinan dalam
masyarakat.

Tidak ketinggalan, kesenian juga turut berkontribusi dalam penyebaran Islam di


Pontianak. Melalui seni dan budaya, pesan-pesan agama dapat disampaikan
dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat. Misalnya,
melalui seni tari, musik, dan teater, nilai-nilai Islam dapat diungkapkan dan
dipromosikan kepada masyarakat dengan cara yang menarik dan menginspirasi.
Selain itu, dakwah Islam juga dilakukan secara aktif oleh ulama-ulama atau tokoh
agama yang melakukan perjalanan ke wilayah pedalaman dan pegunungan di
sekitar Pontianak. Mereka melakukan perjalanan jauh untuk memberikan
ceramah, mengajar, dan memberikan panduan agama kepada masyarakat
setempat dengan tujuan memperkenalkan ajaran Islam. Dalam perjalanan
mereka, para ulama ini bertemu dengan berbagai kelompok etnis dan suku
bangsa yang tinggal di pedalaman, membuka dialog dengan mereka, dan
menjelaskan nilai-nilai serta ajaran Islam. Tindakan dakwah ini memainkan peran
penting dalam menjangkau masyarakat yang mungkin belum terpapar secara
langsung dengan perdagangan atau interaksi dengan pedagang Muslim.

Salah satu tokoh yang memiliki peran yang sangat signifikan dalam
menyebarkan Islam di wilayah Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie,
yang juga dikenal sebagai Syarif Abdurrahman Alkadrie al-Pontianak. Beliau
adalah seorang ulama yang berasal dari Hadhramaut, Yaman, yang pada awal
abad ke-18 M memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Nusantara dengan
tujuan menyebarkan agama Islam. Keputusannya untuk berangkat ke Nusantara
didorong oleh semangat dakwah dan keinginan untuk menyebarkan ajaran Islam
ke wilayah yang belum terjangkau. Setelah tiba di Nusantara, Syarif
Abdurrahman Alkadrie menjelajahi berbagai wilayah, termasuk Pontianak dan
sekitarnya. Dengan kepribadiannya yang karismatik dan pengetahuannya
tentang ajaran Islam yang mendalam, beliau dengan cepat memperoleh pengikut
dan pengaruh di wilayah tersebut. Melalui ceramah, pengajaran agama, dan
teladan kehidupan yang Islami, Syarif Abdurrahman Alkadrie berhasil
memenangkan hati masyarakat Pontianak dan sekitarnya, serta membawa
ribuan orang masuk Islam. Pengaruhnya yang besar di wilayah Pontianak tidak
hanya terbatas pada aspek keagamaan, tetapi juga mencakup bidang politik dan
sosial. Beliau memainkan peran kunci dalam membangun struktur keagamaan,
seperti mendirikan masjid-masjid dan lembaga-lembaga keagamaan, serta
memberikan bimbingan dan arahan kepada masyarakat dalam berbagai hal, baik
agama maupun dunia. Selain itu, kehadirannya juga membawa stabilitas dan
kedamaian di tengah masyarakat yang masih dipenuhi dengan berbagai
perbedaan.

Selain menjadi tokoh kunci dalam penyebaran Islam di Pontianak, Syarif


Abdurrahman Alkadrie juga dikenal sebagai pionir dalam upaya rekonsiliasi
antara suku-suku yang berbeda di Kalimantan Barat. Beliau mendorong
perdamaian dan kerukunan antara suku-suku yang berbeda agama dan budaya,
membangun jembatan antar kelompok dan memperkuat solidaritas di antara
mereka. Pada dasarnya, Syarif Abdurrahman Alkadrie al-Pontianak adalah sosok
yang sangat berpengaruh dalam sejarah agama Islam di Kalimantan Barat.
Kontribusinya dalam penyebaran Islam, pembangunan struktur keagamaan,
serta upaya rekonsiliasi antar suku-suku yang berbeda, menjadikan beliau
sebagai tokoh yang dihormati dan diingat oleh masyarakat Pontianak dan
sekitarnya hingga saat ini.

Respons masyarakat terhadap penyebaran Islam bervariasi. Sebagian


masyarakat merespons dengan antusias dan menerima Islam dengan baik,
terutama karena nilai-nilai yang diajarkan dan praktik-praktik keagamaan yang
dianggap relevan dengan kehidupan mereka. Namun, ada juga sebagian
masyarakat yang mungkin mempertahankan kepercayaan agama mereka yang
lama atau mengalami proses konversi yang lebih lambat karena faktor-faktor
budaya, sosial, atau ekonomi tertentu. Meskipun demikian, penyebaran Islam di
kalangan suku Melayu Pontianak berlangsung secara bertahap dan membawa
perubahan dalam pola pikir dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Dengan adanya upaya dakwah, perkawinan lintas agama, dan berbagai faktor
lainnya, Islam secara perlahan namun pasti menjadi bagian integral dari
kehidupan masyarakat Melayu Pontianak. Proses ini tidak hanya membawa
perubahan dalam keyakinan keagamaan, tetapi juga dalam pola pikir, tatanan
sosial, dan budaya masyarakat secara keseluruhan. Seiring waktu, Islam menjadi
salah satu komponen utama dalam membentuk identitas dan kehidupan
masyarakat Pontianak, mencerminkan toleransi dan pluralisme dalam
pengalaman keagamaan mereka.
D. Pengaruh Islam (Abad ke-19 hingga ke-20 M)

Gambar 5. Pengaruh Islam


Pengaruh Islam di kalangan suku Melayu Pontianak pada abad ke-19 hingga ke-
20 M memiliki signifikansi yang sangat besar, terutama dalam mengatur tata cara
agama yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka. Salah satu
praktik utama yang mencerminkan pengaruh Islam adalah pelaksanaan ibadah
lima waktu, yang dikenal sebagai salat. Salat menjadi kewajiban yang
dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Muslim Pontianak, baik di rumah, di
masjid, maupun di tempat-tempat umum lainnya. Praktik salat ini menjadi pijakan
spiritual yang memperkuat hubungan individu dengan Allah SWT dan
memberikan kesadaran akan kewajiban agama yang harus dilaksanakan dengan
konsistensi. Selain pelaksanaan salat, praktik ibadah lainnya juga menjadi bagian
penting dalam tata cara agama Islam yang diterapkan oleh suku Melayu
Pontianak. Puasa Ramadhan, sebagai salah satu dari lima rukun Islam,
dijalankan secara rutin oleh umat Muslim Pontianak selama bulan Ramadhan.
Puasa ini tidak hanya menjadi kewajiban agama, tetapi juga menjadi momen
refleksi spiritual dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri secara spiritual
dan moral. Selain itu, membayar zakat sebagai bentuk pengabdian kepada
sesama dan menjalankan ibadah haji sebagai satu-satunya rukun Islam yang
harus dilaksanakan sekali seumur hidup juga menjadi bagian integral dari tata
cara agama Islam suku Melayu Pontianak.

Penerapan tata cara agama Islam ini tidak hanya mencakup aspek ibadah ritual,
tetapi juga mencakup aspek etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, dan keadilan
dipromosikan dan diamalkan dalam setiap interaksi dan transaksi masyarakat. Ini
mencerminkan bagaimana Islam tidak hanya menjadi panduan dalam hubungan
manusia dengan Allah SWT, tetapi juga dalam hubungan antarmanusia dan
dengan lingkungan sekitar. Secara keseluruhan, pengaruh Islam di kalangan
suku Melayu Pontianak pada abad ke-19 hingga ke-20 M telah membentuk pola
pikir dan pola perilaku yang mencerminkan nilai-nilai agama Islam. Praktik ibadah
seperti salat, puasa, zakat, dan haji menjadi rutinitas yang diterapkan secara
konsisten dalam kehidupan sehari-hari, sementara nilai-nilai etika dan moral
Islam juga menjadi landasan dalam interaksi sosial dan kehidupan masyarakat
secara luas. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam telah menjadi bagian integral
dari identitas dan budaya suku Melayu Pontianak selama berabad-abad.

Pengaruh Islam di kalangan suku Melayu Pontianak tidak hanya tercermin dalam
praktik keagamaan, tetapi juga dalam adat dan tradisi mereka. Nilai-nilai Islam
seperti keadilan, kesederhanaan, dan tolong-menolong telah meresap ke dalam
tatanan sosial, budaya, dan politik masyarakat Pontianak. Hal ini tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari mereka. Dalam sistem sosial, konsep
keadilan dan persaudaraan dalam Islam menguatkan solidaritas di antara
anggota masyarakat. Prinsip-prinsip Islam mendorong masyarakat Pontianak
untuk berlaku adil dan menghormati hak-hak sesama, tanpa memandang
perbedaan suku, status sosial, atau kekayaan materi. Solidaritas ini tercermin
dalam berbagai tradisi sosial, seperti gotong-royong dalam membangun rumah
atau membantu tetangga dalam kebutuhan mendesak.

Selain itu, nilai kesederhanaan yang ditekankan dalam Islam juga mempengaruhi
adat dan tradisi suku Melayu Pontianak. Masyarakat Pontianak ditanamkan nilai-
nilai kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hidup dengan penuh
kejujuran dan menjalani kehidupan yang sederhana menjadi nilai yang dijunjung
tinggi. Ini tercermin dalam gaya hidup mereka yang mengutamakan kebutuhan
yang esensial dan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara
kebutuhan duniawi dan spiritual. Dalam bidang politik, pengaruh Islam juga
terlihat dalam pembentukan norma-norma yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah Islam. Meskipun dalam konteks modern hal ini mungkin tidak selalu
diekspresikan secara formal dalam hukum positif, namun prinsip-prinsip moral
dan etika Islam tetap memainkan peran penting dalam penegakan keadilan dan
kebenaran di tengah masyarakat Pontianak. Pengaruh Islam telah memainkan
peran penting dalam membentuk identitas dan kehidupan masyarakat Melayu
Pontianak. Nilai-nilai Islam tidak hanya menjadi pedoman dalam praktik
keagamaan, tetapi juga menjadi pondasi moral dan etika yang membentuk adat
dan tradisi mereka. Dengan demikian, Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi
juga menjadi bagian integral dari budaya dan identitas suku Melayu Pontianak,
mengikat mereka dalam kesatuan spiritual dan sosial yang kuat.

E. Perkembangan Modern (Abad ke-20 hingga sekarang)


Perkembangan modern di Pontianak, terutama sejak abad ke-20 hingga saat ini,
telah menjadi saksi dari masuknya pengaruh agama-agama lain, seperti agama
Kristen dan Katolik, ke dalam kawasan ini. Faktor-faktor seperti globalisasi,
migrasi penduduk, dan aktivitas misionaris telah memfasilitasi penyebaran
agama-agama non-Islam di Pontianak. Meskipun demikian, dalam konteks ini,
Islam masih tetap berdiri teguh sebagai agama dominan di kalangan suku
Melayu Pontianak. Keberadaan agama-agama lain ini mencerminkan dinamika
keagamaan yang terus berubah seiring dengan perjalanan waktu dan interaksi
antarbudaya yang semakin intensif.
Meskipun terdapat masuknya agama-agama lain, seperti Kristen dan Katolik, ke
dalam masyarakat Pontianak, Islam tetap mempertahankan posisinya sebagai
agama yang dominan. Masjid-masjid yang tersebar luas di Pontianak dan
kegiatan keagamaan Islam yang aktif menunjukkan kekokohan Islam di tengah-
tengah masyarakat. Praktik keagamaan seperti salat, puasa Ramadan, zakat,
dan ibadah haji tetap dijalankan oleh masyarakat Muslim Pontianak sebagai
bagian tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan mereka. Akan tetapi,
hubungan antar-agama di Pontianak umumnya berlangsung dengan damai dan
harmonis. Masyarakat Pontianak cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi
dan saling menghormati antar-agama. Ini tercermin dalam interaksi sehari-hari
antar-umat beragama yang seringkali berlangsung dengan penuh keramahan
dan kebersamaan. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya
menjaga kerukunan antar-umat beragama dalam masyarakat yang beragam.

Nilai-nilai keagamaan tradisional juga tetap dijaga dan dilestarikan oleh suku
Melayu Pontianak. Nilai-nilai seperti keadilan, tolong-menolong, dan
persaudaraan terus menjadi bagian integral dari budaya dan identitas mereka.
Kehadiran agama-agama lain di Pontianak tidak menggeser nilai-nilai tradisional
ini, melainkan memberikan warna yang beragam dalam kehidupan keagamaan
dan budaya masyarakat Pontianak. Dengan demikian, Pontianak menjadi contoh
harmonisasi antara tradisi dan modernitas, di mana Islam tetap menjadi pilar
keagamaan utama sementara nilai-nilai keagamaan tradisional juga tetap dijaga.
Meskipun terdapat keragaman agama, masyarakat Pontianak terus memelihara
semangat toleransi dan saling menghormati antar-agama, menciptakan
lingkungan yang inklusif dan damai bagi semua umat beragama.
2. Suku Banjar

Sistem religi suku Banjar di Kalimantan merupakan perpaduan antara


kepercayaan animisme, Hindu-Buddha, dan Islam. Animisme masih memegang
peranan penting dalam kehidupan spiritual mereka, dengan keyakinan bahwa
segala hal memiliki roh atau kekuatan spiritual yang harus dihormati dan dirawat.
Konsep-konsep Hindu-Buddha juga turut memengaruhi pola pikir dan praktik
keagamaan suku Banjar, terutama dalam hal ritual, upacara, dan mitos-mitos
yang diteruskan secara lisan. Namun, Islam menjadi agama mayoritas di
kalangan suku Banjar seiring dengan masuknya pengaruh-pengaruh Islam dari
abad ke-15 hingga ke-17. Meskipun Islam telah meresap ke dalam kehidupan
sehari-hari mereka, tetapi unsur-unsur lokal dan kepercayaan tradisional masih
seringkali terlihat dalam praktik keagamaan mereka. Ritual-ritual seperti upacara
adat, pemujaan leluhur, dan persembahan kepada roh-roh alam masih dijalankan
secara berdampingan dengan ibadah Islam. Hal ini mencerminkan adanya
sinkretisme atau penyatuan unsur-unsur dari berbagai agama dan kepercayaan
dalam kehidupan keagamaan suku Banjar, yang memperkaya dan memperluas
pemahaman spiritual mereka.

A. Sebelum Masuknya Islam


1) Animisme

Kepercayaan animisme yang dianut oleh suku Banjar di Kalimantan merupakan


suatu sistem kepercayaan yang sangat kaya dan kompleks. Dalam pandangan
ini, alam semesta dipandang sebagai tempat yang dihuni oleh berbagai entitas
spiritual, seperti roh-roh alam, roh leluhur, dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya.
Suku Banjar meyakini bahwa segala sesuatu memiliki roh atau energi spiritual
yang harus dihormati dan dirawat. Salah satu aspek kunci dari kepercayaan
animisme suku Banjar adalah pemujaan kepada roh leluhur. Mereka percaya
bahwa leluhur mereka memiliki peran penting dalam mempengaruhi nasib dan
kesejahteraan keluarga dan masyarakat mereka. Oleh karena itu, mereka secara
rutin melaksanakan ritual dan upacara untuk menghormati leluhur, memohon
bimbingan, perlindungan, dan berkat dari mereka.

Selain itu, suku Banjar juga memiliki keyakinan terhadap roh-roh alam yang
menguasai berbagai unsur alam, seperti hutan, sungai, gunung, dan tanah.
Mereka meyakini bahwa menjaga keseimbangan dengan roh-roh alam ini sangat
penting untuk memastikan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, dan
kelangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, mereka seringkali melakukan
berbagai ritual dan upacara sebagai ungkapan penghormatan kepada roh-roh
alam ini.

Selain itu, kepercayaan animisme suku Banjar juga tercermin dalam praktik-
praktik sehari-hari mereka, seperti dalam pertanian, perburuan, dan pengobatan
tradisional. Mereka mengandalkan pengetahuan spiritual dan ritual-ritual khusus
untuk mendapatkan keberkahan dan kesuksesan dalam kegiatan-kegiatan
tersebut.

Keseluruhan, kepercayaan animisme suku Banjar mencerminkan kedalaman


hubungan mereka dengan alam semesta dan keyakinan akan kehadiran roh-roh
dan kekuatan-kekuatan gaib yang memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini
merupakan bagian integral dari identitas dan budaya spiritual suku Banjar, yang
telah diwariskan dari generasi ke generasi dan tetap berpengaruh dalam
kehidupan mereka hingga saat ini.

2) Hindu Budha

Kepercayaan Hindu-Buddha yang dianut oleh suku Banjar di Kalimantan


sebelum masuknya Islam merupakan perpaduan dari unsur-unsur kepercayaan
Hindu dan Buddha yang telah masuk ke wilayah Nusantara pada masa lampau.
Suku Banjar pada masa tersebut terpengaruh secara signifikan oleh kebudayaan
dan ajaran agama Hindu-Buddha yang tersebar melalui perdagangan dan
hubungan budaya dengan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di kawasan Asia
Tenggara, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera.

Dalam kepercayaan Hindu-Buddha, suku Banjar mengakui keberadaan berbagai


dewa dan dewi, serta sistem kepercayaan karma dan reinkarnasi. Mereka
percaya bahwa tindakan mereka dalam kehidupan ini akan memengaruhi nasib
mereka di kehidupan selanjutnya. Penghormatan terhadap para dewa dan dewi,
seperti Shiva, Vishnu, Dewi Saraswati, Dewi Lakshmi, dan lainnya, ditunjukkan
melalui upacara-upacara keagamaan dan pemujaan di kuil-kuil dan candi-candi
yang dibangun dalam gaya arsitektur Hindu-Buddha.

Selain itu, ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha juga memberikan panduan moral


dan etika bagi masyarakat suku Banjar. Konsep-konsep seperti karma (hukum
sebab-akibat), dharma (tugas atau kewajiban yang benar), dan moksha
(pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian) menjadi bagian penting dari
sistem nilai mereka. Praktik keagamaan Hindu-Buddha juga terintegrasi dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari suku Banjar, termasuk dalam upacara
perkawinan, upacara kematian, dan perayaan-perayaan keagamaan seperti
Nyepi (Tahun Baru Saka) dan Waisak (perayaan kelahiran, pencerahan, dan
kematian Siddharta Gautama Buddha).

Kehadiran agama Hindu-Buddha pada masa tersebut juga tercermin dalam seni
dan budaya suku Banjar, seperti seni ukir, seni pahat, seni tari, dan seni musik
yang menggambarkan cerita-cerita mitologi Hindu-Buddha. Secara keseluruhan,
kepercayaan Hindu-Buddha suku Banjar sebelum masuknya Islam menunjukkan
pengaruh yang kuat dari kebudayaan Hindu-Buddha klasik, yang memperkaya
kehidupan spiritual, budaya, dan sosial mereka pada masa tersebut.

B. Masuknya Islam
Setelah masuknya Islam ke dalam kehidupan suku Banjar di Kalimantan,
kepercayaan dan praktik keagamaan mereka mengalami perubahan yang
signifikan. Meskipun Islam menjadi agama mayoritas di kalangan suku Banjar,
unsur-unsur kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha masih mempengaruhi
pemikiran dan praktik keagamaan mereka. Dalam kerangka kepercayaan Islam,
suku Banjar menjalankan ibadah-ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan
haji sesuai dengan ajaran Islam. Masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan dan
pendidikan Islam di masyarakat, dan ulama serta tokoh agama memegang peran
penting dalam menyebarkan ajaran Islam dan memberikan petunjuk keagamaan
kepada masyarakat.

Namun demikian, kepercayaan animisme masih bertahan dalam budaya dan


tradisi suku Banjar. Mereka masih percaya pada keberadaan roh-roh alam, roh
leluhur, dan kekuatan gaib lainnya yang memengaruhi kehidupan sehari-hari
mereka. Upacara adat, seperti perkawinan adat, upacara panen, dan ritual
persembahan kepada roh-roh alam, masih dijalankan secara bersamaan dengan
praktik-praktik Islam. Hubungan yang harmonis dengan alam dan roh-roh gaib
tetap dijaga sebagai bagian dari identitas budaya suku Banjar.

Selain itu, aspek-aspek kepercayaan Hindu-Buddha juga masih terlihat dalam


seni, budaya, dan arsitektur suku Banjar, meskipun dalam skala yang lebih kecil
dibandingkan dengan masa sebelum masuknya Islam. Cerita-cerita mitologi
Hindu-Buddha masih diwariskan secara lisan, dan unsur-unsur seni tradisional
seperti tarian dan musik masih menggambarkan pengaruh dari kepercayaan
Hindu-Buddha.

Secara keseluruhan, setelah masuknya Islam, kepercayaan suku Banjar di


Kalimantan menjadi semakin kompleks dengan adanya interaksi antara ajaran
Islam dengan kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha. Ini menciptakan
sebuah keseimbangan unik antara Islam dan tradisi lokal, yang mencerminkan
adaptasi dinamis masyarakat suku Banjar terhadap agama baru yang dianutnya.

3. Suku Dayak

Suku Dayak di Pulau Kalimantan memiliki agama asli mereka yang disebut
dengan Kaharingan. Agama Kaharingan ini telah ada di Kalimantan bahkan
sebelum adanya agama-agama lainnya yang masuk di Kalimantan. Agama
Kaharingan ini bukan merupakan sebuah animisme atau dinamisme, tetapi
merupakan agama monoteisme yaitu percaya bahwa Tuhan itu tunggal. Agama
asli suku Dayak ini menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang bahkan
masih bertahan dan dianut oleh sebagian suku Dayak yang ada di Kalimantan
walau pada kenyataannya tidak sedikit orang suku Dayak yang saat ini telah
menganut agama Islam, Kristen, atau Katolik. Hal tersebut terjadi karena orang
suku Dayak banyak yang telah berbaur dengan penduduk di berbagai daerah.
walaupun demikian, agama Kaharingan ini masih melekat erat dengan kehidupan
mereka, ditunjukkan dengan adanya bahasa, simbol, situs, dan gaya hidup pada
orang suku Dayak.
A. Kepercayaan Suku Dayak Kalimantan Sebelum Datangnya Islam

Sekitar abad ke 15, Kalimantan Tengah merupakan daerah yang masih hutan
belantara dan belum berinteraksi dengan para pendatang. Penduduk aslinya
adalah suku Dayak Ngaju, yaitu suku Dayak yang mendiami sepanjang sungai
Kapuas, dan kepercayaam yang dianut oleh suku ini adalah kepercayaan nenek
moyang yaitu Kaharingan yang memiliki arti “Kehidupan”.

Agama Kaharingan ini dipercaya diturunkan langsung oleh Ranying Hattala.


Agama ini percaya pada Tuhan yang tunggal yang disebut sebagai Ranying
Hatalla. Selain itu, orang suku Dayak juga percaya bahwa terdapat banyak roh
halus yang ada di dunia ini. Beberapa roh halus yang mereka percaya, yaitu:

a. Sangian, yaitu roh yang tinggal di tanah dan udara


b. Timang, yaitu roh yang tinggal di batu keramat
c. Tandoi, yaitu roh yang tinggal di bunga
d. Kujang, yaitu roh yang tinggal di pohon
e. longit, yaitu roh yang tinggal di mandau-mandau suku Dayak

Roh-roh tersebut sangat memiliki dampak di kehidupan suku dayak. Kaharingan


sendiri berasal dari bahasa Sangen (Dayak Kuno) yang memiliki akar kata
“Haring”. Haring memiliki arti “ada” dan “tumbuh” atau “hidup” yang digambarkan
atau dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon
Batang Garing ini memiliki bentuk seperti tombak yang tegak dan menunjuk ke
atas. Sementara itu, bagian bawah pohon ini ditandai dengan adanya guci yang
memiliki isi air suci yang menggambarkan dunia bawah (Jata). Oleh sebab itu,
pohon ini menggambarkan bahwa antara dunia atas dan dunia bawah
merupakan dua dunia yang berbeda tetapi saling berhubungan.

Gambar 6. Simbol Batang Garing

B. Tempat Ibadah Kepercayaan Kaharingan

Sementara itu, tempat ibadah agama Kaharingan disebut sebagai Balai Basarah
atau Balai Kaharingan. Penganut agama Kaharingan melakukan ibadah rutih
pada setiap hari kamis atau malam jumat.
Gambar 7. Balai Basarah

C. Buku Suci Kepercayaan Kaharingan

Selain itu, juga terdapat beberapa buku suci yang berisikan ajaran dan aturan
agama Kaharingan, yaitu:

a. Penaturan, ini merupakan sebuah kitab suci


b. Talatah Basarah, ini merupakan kumpulan doa
c. Tawar, ini merupakan petunjuk atau tata cara dalam meminta
pertolongan kepada Tuhan dengan upacara keagamaan menabur
bunga
d. Pemberkatan dan Perkawinan
e. Buku Penyumpahan, ini berguna untuk pengambilan sumpah jabatan.

Gambar 8. Kitab Suci Panaturan

D. Ritual Penting Kepercayaan Kaharingan

Agama Kaharingan juga memiliki ritual penting, diantaranya yaitu upacara Tiwah
yang merupakan ritual kematian tahap akhir dan Basarah. Tiwah merupakan
upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang telah
meninggal ke Sandung yang telah dibuat. Sandung merupakan tempat yang
berbentuk rumah kecil khusus untuk mereka yang telah meninggal dunia. Prosesi
penguburan sekunder bagi orang yang telah meninggal pada penganut
Kaharingan disebut Tiwah. Prosesi ini merupakan simbol pelepasan arwah
menuju lewu tatau atau alam kelanggengan yang dilaksanakan setahun atau
dalam beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.

Gambar 9. Upacara Tiwah

E. Masuknya Agama Islam

Seperti halnya penyebaran Islam yang ada di daerah lainnya, suku Dayak
mulai memeluk agama Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebar agama
Islam dari Demak. Agama Islam masuk ke wilayah suku Dayak dengan melewati
jalur perniagaan atau perdagangan dari daerah Kuin. kemudian, daerah-daerah
yang telah memeluk Islam terlebih dahulu, seperti daerah Banjarmasin juga mulai
memberikan pengaruh Islam kepada suku Dayak dengan adanya aktifitas
perdagangan pada sekitar abad ke-18 dan akhirnya para penduduk suku Dayak
pun banyak yang tertarik dengan ajaran agama Islam sehingga agama Islam pun
mulai menyebar pesat di daerah suku Dayak. Masuknya Islam di daerah suku
Dayak ini ditunjukkan dengan berbagai bukti yang ada seperti adanya corak
budaya Islam yang ditemukan di suku Dayak, seperti bentuk nisan makam
berukiran tulisan arab.
KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah disampaikan mengenai suku Melayu Pontianak,


suku Banjar, dan Suku Dayak, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting.
Pertama, keberagaman agama dan kepercayaan spiritual menjadi ciri khas yang
mencolok dari masyarakat Kalimantan. Suku Melayu Pontianak memperlihatkan
evolusi sistem religi dari animisme menuju Islam, dengan tetap mempertahankan
beberapa praktik tradisional sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Begitu
pula suku Banjar yang mencampurkan elemen-elemen dari animisme, Hindu-
Buddha, dan Islam dalam kehidupan keagamaan mereka. Sementara itu, Suku
Dayak menampilkan kesinambungan kepercayaan dalam agama asli mereka,
Kaharingan, walaupun beberapa individu telah beralih ke agama-agama lain.
Kedua, proses masuknya Islam memainkan peran signifikan dalam transformasi
keagamaan masyarakat Kalimantan. Dalam kasus suku Melayu Pontianak, Islam
menggantikan kepercayaan animisme sebagai agama mayoritas, tetapi jejak
animisme masih terlihat dalam praktik-praktik keagamaan mereka. Suku Banjar
juga mengalami perubahan serupa dengan Islam menjadi agama dominan,
meskipun unsur-unsur Hindu-Buddha tetap mempengaruhi budaya dan tradisi
mereka. Di sisi lain, Suku Dayak mempertahankan agama Kaharingan mereka,
tetapi beberapa individu telah memeluk agama-agama lain karena proses
akulturasi dan interaksi dengan agama lain.
Ketiga, toleransi dan kerukunan antar-agama menjadi nilai penting dalam
masyarakat Kalimantan. Meskipun terdapat perubahan keagamaan, hubungan
antar-agama umumnya berlangsung dengan damai dan harmonis. Hal ini
tercermin dalam praktik-praktik keagamaan yang bersamaan dari agama-agama
yang berbeda, serta sikap saling menghormati dan bekerja sama antar-umat
beragama.
Keempat, proses masuknya agama-agama baru tidak menghapuskan identitas
budaya yang sudah ada, tetapi malah memperkaya dan memperluas
pemahaman spiritual masyarakat Kalimantan. Elemen-elemen tradisional seperti
persembahan kepada nenek moyang, upacara adat, dan simbol-simbol
keagamaan masih berperan dalam membentuk identitas dan budaya
masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat Kalimantan mengilustrasikan bagaimana agama
dan kepercayaan spiritual dapat berdampingan secara harmonis dalam konteks
pluralitas agama. Sementara agama mungkin berubah seiring waktu, nilai-nilai
keagamaan dan budaya tradisional tetap menjadi fondasi yang kuat dalam
membentuk identitas dan kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Akhsan Fauzi. Adat dan Kepercayaan Suku Dayak Kalimantan Sebelum


Datangnya Islam. Diakses pada
https://www.scribd.com/document/624765888/Adat-dan-Kepercayaan-
Suku-Dayak-Kalimantan-sebelum-datangnya-Islam

Bonxy, R., Rochayanti, C., & Ashriyanto, P. D. (2018). Upacara Adat Tiwah
Masyarakat Dayak Di Kalimantan Tengah. 22(2), 207–218.

Estuningtiyas, R. (2021). Peta Dakwah Islam Di Pontianak. The International


Journal of Pegon : Islam Nusantara Civilization, 6(02), 17-32.
https://doi.org/10.51925/inc.v6i02.52

Hermansyah. (2012). Pengembangan Islam di Pedalaman Kalimantan:


Biografi H. Ahmad HAB. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Mujib, A. (2021). Sejarah Masuknya Islam dan Keragaman Kebudayaan


Islam di Indonesia. Jurnal Dewantara, 11(01), 117-124. Retrieved from
https://www.ejournal.iqrometro.co.id/index.php/pendidikan/article/view/164

Nazmi, A., Fatimah, & Suroto. (2018). UPAYA SUKU DAYAK DALAM
MEMPERJUANGKAN KAHARINGAN MENJADI SALAH SATU
AGAMA DI INDONESIA. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan,
8(November), 250–256.

SEJARAH DAKWAH SULTAN SYARIF ABDURRAHMAN AL-QADRI:


ISLAMISASI DI PONTIANAK. (2021). Jurnal Lektur Keagamaan, 19(2),
347-388. https://doi.org/10.31291/jlka.v19i2.914

Sri Wahyuni (2014, 1 Februari). Tradisi Penguburan Suku Dayak. Diakses


pada https://muslimlokal.blogspot.com/2014/02/islam-dan-budaya-
dayak.html

Suprianto, B. (2021). Sejarah Kesultanan Pontianak dalam Mengembangkan


Pendidikan Islam di Tahun 1771-1808 M: Sejarah Kesultanan
Pontianak dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Tahun 1771-
1808 M. Ngaji: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 25–38. Retrieved from
http://www.ngaji.or.id/index.php/ngaji/article/view/1

Anda mungkin juga menyukai