Rustang
Ilmu komunikasi reguler
Semester 5
Abstrak
Kerauhan merupakan tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang masyarakat Bali sebagai
bukti kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dan perwujudannya. Kerauhan berbeda
dengan kesurupan karena Kerauhan dilakukan sebagai bagian dari upacara keagamaan yang
meliputi ritual (sulunggih/pura pemangku), ritual atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian
ritual, pelaksanaannya di tempat suci (pura) adanya Tapakan Kerauhan yang dilakukan oleh
masyarakat (pembangun candi), adanya prosesi penyucian, dan lain-lain Berdasarkan hal tersebut
maka kekuatan suci yang masuk ke dalam tubuh Tapakan Kerauhan adalah Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan wujudnya, sedangkan jika seseorang kerasukan tanpa unsur-unsur di atas maka perlu
ditanyakan kepada roh Siapa yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut
Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci
Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam
Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan,
waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan.
Hadirnya Tapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam
melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar.
B. Pembahasan
Tinjauan atau analisis fenomena Kerauhan difokuskan kepada lima hal, yaitu pura tempat
Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana
Kerauhan). Kelima hal ini membuktikan kekuatan suci Tuhan benar-benar hadir dalam setiap
proses ritual yang dilaksanakan. Dengan pembuktian ini masyarakat dalam menghayati keberadaan
Tuhan merasa dekat dan merasakan kemahakuasaan-Nya, sehingga dengan pembuktian tersebut
akan menambah sikap sradha dan bhakti masyarakat dalam melaksanakan setiap ritual keagamaan.
Kelima hal tersebut sebagaimana uraian di bawah ini:
2. 1 Pura Tempat Kerauhan
Kehidupan masyarakat di Bali, khususnya di masing-masing Desa Pakraman pastilah
memiliki sebuah tempat suci/pemujaan yang disebut Pura. Istilah “Pura” berasal dari kata
Sansekertha, yang berarti “kota” atau “benteng” yang sekarang berubah arti menjadi tempat
pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakan kata “pura” untuk menamai tempat suci atau tempat
pemujaan digunakan kata kahyangan atau hyang. Pada zaman Bali kuna yang merupakan data
tertua ditemukan dalam Prasasti Sukawana A 1 Tahun 882 M. Dalam prasasti Trunyan A 1 tahun
891 M, ada disebutkan ……..…”Sanghyang di turunan“ yang artinya “tempat suci di Trunyan”
Demikian pula dalam prasasti Pura Kehen A (tanpa tahun), disebutkan pemujaan kepada Hyang
Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda, yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat
suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda (Titib, 2000:91).
Selain itu Pura juga sebagai sarana umat menyampaikan rasa bhakti dan syukur bahkan
unek-unek umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Rasa bhakti
dan syukur masyarakat umat Hindu di Bali khususnya di Desa Pakraman diwujudkan dalam bentuk
pembangunan tempat suci yang disebut Pura Kahyangan Tiga yang merupakan warisan Mpu
Kuturan. Sebab pada zaman tersebut Mpu Kuturanlah yang memprakasai terbentuknya Desa Adat/
Pakraman, sehingga lebih mudah mengatur tatanan kehidupan masyarakat Bali. Setelah dibentuk
Desa Adat/Pakraman agar dapat menunjang keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya,
maka di setiap Desa Adat/Pakraman dibuatkan tempat pemujaan/Kahyangan Tiga sebagai wujud
bhakti kehadapan Tri Murti yaitu Dewa Brahma sebagai dewa pencipta diistanakan di Pura Desa/
Bale Agung, Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara di istanakan di Pura Puseh dan Dewa Siwa
sebagai dewa pelebur di istanakan di Pura Dalem.
Selain Pura Kahyangan Tiga di masing-masing Desa Pakraman, biasanya memiliki pura-
pura besar lainya yang disungsung di sebuah Desa Pakraman. Hal ini tergantung dari historis
masing-masing Desa Pakraman tersebut. Pura merupakan tempat suci yang dihormati oleh setiap
pengemponnya. Pendirian pura tidak mudah didirikan, sebab tidak sembarang tempat dapat
dijadikan kawasan membangun pura dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar)
menyatakan tanah yang layak dijadikan pura adalah tanah yang berbau harum, yang gingsing dan
tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal membangun pura adalah seperti yang
dikutip dari bhavisya purana dan brhat samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-
hyangin sagaragiri atau sagara-giri adumuka”, tempatnya tentu sangat indah dan memancarkan
fibrasi kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut (Titib, 2003: 91).
Disamping itu, pendirian pura memerlukan sarana upacara, seperti pemlaspasan,
mepadagingan atau upacara paling sederhana Ngambe, serta melarang mereka masuk pura akibat
cuntaka, salah satunya ada upacara kematian, wanita haid, pertumpahan darah dan semua yang telah
diatur dalam agama Hindu, jika itu dilanggar, maka wajib dibuatkan upacara penyucian ulang. Pada
waktu upacara piodalan Ida Sang Hyang Widhi, para dewata, roh leluhur, beserta manifestasi-Nya
dimohon untuk hadir, sebagai tamu agung yang patut menerima ritual persembahan, berupa
upakara, tari-tarian dan lain sebagainya, setelah kehadiran para dewa dalam upacara piodalan, maka
seluruh umat diberikan anugrah sesuai wujud bhakti dalam menjalani kehidupanya.
Begitu sulitnya mendirikan pura, setelah upacara pemlaspasan keberadaan pura mesti
dijaga kesucianya. Hal ini telah diatur lembaga Hindu dengan menetapkan kawasan suci dibatasi
dengan beberapa aturan yang telah ditetapkan, seperti Pura Kahyangan jagat, areal kawasan
sucinya sepanjang 5 km, mesti bebas dari berbagai kekotoran yang disebabkan oleh manusia,
sehingga secara nyata lingkungan sekitar pura dapat menyeimbangkan ekologi yang selama ini
mulai rusak. Sebab Pura diibaratkan atau dipercaya sebagai replica kahyangan tempat para Dewa.
Jadi semuanya mesti indah dan ditata sebagai tempat Dewa di dunia, oleh karena itu diperlukan
perlindungan, agar kesucian pura tetap terjaga, sehingga para dewa berkenan hadir dan memberikan
waranugraha kepada para umatnya.
Setelah upacara pemlaspasan dan keberadaan pura dijaga kesucianya, berdasarkan bhakti
masyarakat, tentu mengembangkan rasa cipta, rasa dan karsa dalam menjaga eksistensi pura
masing-masing, sehingga terwujudlah tradisi yang berlaku sampai hari ini. Salah satu tradisi unik
sebuah pura yaitu adanya tradisi Kerauhan, dimana Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di pura
tersebut dihadirkan pada waktu piodalan, sebagai wujud kehadiran beliau, para dewa menunjukan
kemahakuasaan dengan merasuki tubuh seseorang dengan kekuatan sucinya, sehingga orang
tersebut berperilaku tidak seperti manusia biasa, yaitu kebal terhadap senjata tajam yang sengaja
ditancap-tancapkan ke dalam tubuhnya, atau bermain-main dengan api tanpa ada rasa sakit
sedikitpun, membuka kelapa dengan gigi dan lain sebagainya.
Demikian keberadaan pura yang dibuat umat Hindu dengan sejarahnya masing-masing dan
sangat disakralkan serta dijaga kesuciannya, sampai melahirkan tradisi unik yang tetap dilaksanakan
sampai hari ini, sehingga apabila seseorang Kerauhan di pura (tempat suci), yang merasuki
tubuhnya tiada lain adalah perwujudan tuhan dan manifestasi-Nya, bukan makluk lainnya, berbeda
halnya jika seseorang trance diluar pura, seperti di sekolah, tempat hiburan dan lain sebagainya.
Orang kerasukan tersebut perlu dipikirkan apakah yang merasuki tubuhnya adalah kekuatan dewa
atau kekuatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, dibawah ini akan dipaparkan sebuah pura yang
memiliki tradisi Kerauhan dalam ritual agamanya