Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH INDONESIA KELAS XI SMA SANTA URSULA BSD 2023-2024

ENSIKLOPEDI
Budaya

ENSIKLOPEDI AKULTURASI BUDAYA ANTARA BUDAYA LOKAL


DENGAN HINDU-BUDDHA (ARSITEKTUR & TRADISI)

Airis XI-D/1, Jessica XI-D/11, Joanna XI-D/12, Evan XI-D/22


Upacara NGABEN
Pengaruh Hinduisme terhadap Ritual Upacara Ngaben
Akulturasi antara Hindu-Buddha dan kepercayaan penduduk lokal Nusantara dapat
dilihat dari berbagai kegiatan yang sering diselenggarakan oleh rakyat yakni upacara dan
tradisi tradisional. Salah satu diantara berbagai kebiasaan adalah upacara Ngaben. Upacara
tersebut menggabungkan unsur kepercayaan Hindu dan kepercayaan mengenai roh leluhur,
kepercayaan animisme.

Kepercayaan Hindu:
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang
didasari oleh lima dasar kepercayaan. Dasar
kepercayaan tersebut terdiri dari Brahman, Atma
Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa. Kitab suci bagi
penganut agama tersebut adalah Weda, yang terdiri
dari berbagai himne, doa, mantra, dan filsafat. Weda
membentuk dasar dari pengajaran Hinduisme yang
terdiri dari dewa dan dewi, siklus kehidupan dan
kematian (samsara), konsep karma (tindakan dan
konsekuensinya), serta moksa (pembebasan dari siklus
kelahiran dan kematian).

Upacara Ngaben sendiri merupakan tradisi yang biasanya dilakukan oleh rakyat
Bali dimana pembakaran jasad seseorang yang telah meninggal dunia (kremasi).
Hal tersebut menunjukan kepercayaan terhadap reinkarnasi dalam agama Hindu.
Ngaben sebagai Tradisi Rakyat Bali Reinkarnasi dapat diartikan sebagai penjelmaan kembali makhluk yang telah mati
atau kelahiran kembali yang berulang. Reinkarnasi dalam konteks tersebut dapat
diartikan sebagai pemindahan roh dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang
lain. Terjadinya reinkarnasi disebabkan oleh tidak mencapainya moksa atau tujuan
tertinggi dengan perbuatan atau karma baik sehingga tidak dapat bersatu dengan
Brahman. Maka, terjadilah reinkarnasi roh ke tubuh lain.

Kepercayaan Animisme:
Sejak masa praaksara, rakyat Nusantara telah
mengenal berbagai bentuk kepercayaan. Salah satu
diantaranya adalah pemujaan roh nenek moyang
yang telah meninggal. Orang yang menganut
kepercayaan tersebut menganut kepercayaan
animisme. Hal ini berarti bahwa penganut
mempercayai akan keberadaan campur tangan
roh-roh gaib yang mengendalikan kehidupan
manusia. Roh-roh ini meliputi roh-roh baik dan
roh-roh jahat yang dianggap sebagai roh leluhur
yang kemudian harus dihormati.
Penganut kepercayaan animisme meyakini bahwa kawasan seperti goa, pohon,
laut, dan sebagainya menyimpan atau mengandung roh-roh yang harus dihormati
agar tidak mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Beberapa suku di Indonesia memiliki kegiatan atau ritual tersendiri dalam penerapan
kepercayaan animisme. Hal ini dibuktikan dengan tradisi-tradisi lokal milik
masyarakat Jawa dan Bali yang sangat kental akan tujuan menghormati roh-roh
leluhur dalam bentuk upacara-upacara keagamaan.
Airis XI-D/1, Jessica XI-D/11, Joanna XI-D/12, Evan XI-D/22
Upacara NGABEN
Kepercayaan animisme yang telah dianut oleh rakyat Nusantara sebelum kedatangan agama Hindu di
Indonesia dianggap berakulturasi dan bercampur dengan kepercayaan Hindu. Hal tersebut menghasilkan
perpaduan antara kedua kepercayaan yang sekarang dikenal sebagai agama Hindu Bali. Maka dari itu, dapat
diartikan bahwa kepercayaan animisme menjadi dasar kepercayaan yang terdiri dari kebiasaan, moral,
kegiatan dan ritual adat keagamaan Hindu, salah satu diantaranya adalah ritual upacara Ngaben.

Ngaben merupakan tradisi atau ritual yang dilakukan dengan tujuan


kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara tersebut
merupakan ritual yang dipercaya mengantar roh dari pemilik jenazah
kepada kehidupan yang mendatang. Kehidupan berikutnya dapat bersama
Brahman apabila sudah mencapai moksa (tujuan tertinggi atau perbuatan
baik) atau ke tubuh makhluk lain. Secara singkat, jenazah diletakan dalam
posisi terlentang selama proses upacara hingga menjadi abu. Maka,
upacara Ngaben dapat dianggap sebagai upaya dalam membakar
“kotoran” yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan
mengembalikan roh kepada Sang Pencipta.

Tujuan dari upacara tersebut menunjukan bahwa terdapat kemiripan


antara kedua budaya sebelum berakulturasi. Berdasarkan penjabaran
kedua kepercayaan tersebut, dapat dianggap bahwa kedua kepercayaan
tersebut mengakui adanya roh dalam kehidupan. Menurut kepercayaan
Hindu, roh mengalami tiga tahap selama hidupnya yakni karma, samsara,
dan moksa. Sedangkan, berdasarkan kepercayaan animisme yang telah
dianut oleh rakyat Nusantara sebelum pengaruh Hindu-Buddha di
Nusantara, terdapat campur tangan roh-roh gaib yang mengendalikan
kehidupan manusia. Kedua kepercayaan tersebut menganut terhadap
adanya roh walau dalam konteks yang berbeda.

Dengan adanya kesamaan tersebut, hal tersebut mempermudah


rakyat Nusantara dalam menerima budaya dari kepercayaan Hindu karena
secara bersama menganut adanya roh dalam kehidupan. Maka, akulturasi
terjadi karena adanya kesamaan atau kemiripan antara kedua budaya yang
berbeda. Kemiripan tersebut dapat saling menjembatani antara kedua
budaya tersebut dan menghasilkan budaya yang bercampur dengan tidak
menghilangkan unsur kebudayaan yang lama.

Airis XI-D/1, Jessica XI-D/11, Joanna XI-D/12, Evan XI-D/22


Candi BOROBUDUR
Candi Borobudur Sebagai Hasil Akulturasi dari Budaya Megalitikum

Budaya-budaya Nusantara yang dapat kita jumpai hingga saat kini merupakan hasil
akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan lokal masyarakat pada
zaman Megalitikum, salah satunya adalah candi Borobudur. Candi yang terletak di
kawasan Magelang, Jawa Tengah secara segi arsitektur ternyata memiliki kesamaan
dengan unsur budaya masyarakat Nusantara pada zaman Megalitikum, yakni punden
berundak. Untuk itu, mari kita telusuri lebih lanjut mengenai punden berundak dan
candi Borobudur.

Punden Berundak

Punden berundak merupakan struktur tata ruang bangunan yang berupa teras atau
trap berganda yang mengarah pada satu titik dengan tiap teras semakin tinggi
posisinya. Pada zaman Megalitikum, punden berundak umumnya difungsikan
sebagai tempat suci yang digunakan untuk pemujaan arwah roh leluhur. Sebab, pada
zaman tersebut, manusia telah mulai menganut kepercayaan roh yakni kepercayaan
animisme dan ingin memuja roh yang dipercayai. Struktur ini kerap ditemukan pada
situs kepurbakalaan di Nusantara dan dianggap sebagai salah satu ciri kebudayaan
asli Nusantara.

Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan sebuah monumen peninggalan keagamaan Buddha


dari masa Kerajaan Mataram Kuno di Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur
berbentuk setengah bola dan terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat mendasar
bernama Kamadhatu, lalu tingkat kedua disebut dengan Rupadhatu, dan tingkat
tertinggi adalah Arupadhatu. Dulunya, candi ini berfungsi sebagai bentuk
ungkapan rasa hormat yang mendalam terhadap leluhur.

Nak, gambar disamping ini merupakan susunan


tingkatan pada candi Borobudur yang terdiri atas
Kahmadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Nah,
kira-kira sudah ada yang udah tahu belum
mengenai tingkatan-tingkatan tersebut? Jika
belum, mari kita lanjut ke halaman berikutnya!
Tetap tersenyum, Salam Viva Historia!

(Maaf Pak, ini buat menuh-menuhin halaman)

Airis XI-D/1, Jessica XI-D/11, Joanna XI-D/12, Evan XI-D/22


Candi BOROBUDUR
Melihat Candi Borobudur Sebagai Akulturasi
Kepercayaan Buddha dengan Punden Berundak
Seperti yang sudah disinggung tadi, terdapat beberapa kesamaan antara candi Borobudur dengan punden berundak sehingga dengan
adanya kesamaan tersebut menunjukkan bahwa candi Borobudur merupakan hasil akulturasi antara kepercayaan Buddha dengan
kebudayaan lokal masyarakat Nusantara pada zaman Megalitikum. Untuk menelaah lebih lanjut proses akulturasi tersebut, terdapat
beberapa aspek kesamaan yang perlu dicermati antara punden berundak dengan candi Borobudur. Aspek-aspek tersebut antara lain:

1. Berdasarkan bentuk fisik


Bentuk dasar Candi Borobudur terdiri dari tiga tingkatan yang Punden berundak memiliki tiga tingkatan yang
melambangkan kosmologi Buddha Mahayana: bermakna menunjukkan perjalanan hidup roh
nenek moyang hingga menuju dunia akhirat:
Kamadhatu - Kaki candi
1. Merupakan kaki Borobudur Bawah
2. Dilambangkan Kamadhatu, dunia yang masih dikuasai Kehidupan dalam kandungan
nafsu rendah
3. Menggambarkan kehidupan janin saat masih dalam Tengah
kandungan
Kehidupan dalam duniawi
Rupadhatu - Tubuh candi
1. Berisi relief-relief Atas
2. Dilambangkan Rupadhatu, dunia yang sudah bebas dari Kehidupan di akhirat
nafsu, tapi masih berbentuk
3. Menggambarkan kehidupan manusia di dunia Analisis
Arupadhatu - Puncak candi
1. Mencakup lantai kelima hingga ketujuh Tiga tingkatan yang terdapat pada candi
2. Dilambangkan Arupadhatu, yang berarti tidak Borobudur melambangkan tingkatan kehidupan
berwujud/berupa manusia dari sebelum dilahirkan hingga mencapai
nirwana, yang merupakan puncak tertinggi
3. Menggambarkan kehidupan di alam atas, bebas dari
pencarian umat Buddha terhadap kebebasan dari
keinginan duniawi tetapi belum mencapai nirwana
samsara, yaitu siklus mati dan kelahiran kembali.

Secara bentuk
bangunan dan
Gambar 2.1 Kemiripan susunan struktur bangunan punden berundak dengan Candi Borobudur
filosofi dari setiap
bagian arsitektur,
2. Berdasarkan fungsi punden berundak
Candi Borobudur merupakan tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus tempat ziarah untuk dengan candi
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan
sesuai dengan ajaran Buddha. Hal tersebut menunjukkan bahwa candi Borobudur menjadi sarana
Borobudur memiliki
umat Buddha untuk mencapai Nirwana dalam kehidupannya. Sama halnya dengan Candi tujuan yang sama.
Borobudur, fungsi Punden Berundak adalah sebagai sarana pemujaan dan menghormati roh
leluhur. Maka dari itu, dapat diartikan bahwa Candi Borobudur maupun Punden Berundak memiliki
fungsi pembangunan yang sama yakni pemujaan sesuai dengan kepercayaan masing pembangun.
Airis XI-D/1, Jessica XI-D/11, Joanna XI-D/12, Evan XI-D/22
REFLEKSI
HISTORIS
Pemikiran modern yang difasilitasi akulturasi budaya sangatlah penting bagi
sebuah bangsa untuk berkembang. Masyarakat Nusantara di masa lalu pun sudah
menyadari hal ini, dibuktikan dari kemiripan antara beberapa budaya lokal
Nusantara dengan budaya Hindu-Buddha. Meskipun sudah memegang kebiasaan
dan adat istiadat lokal yang dijunjung tinggi, peninggalan berupa kebudayaan Hindu-
Buddha yang masuk ke Indonesia tetap diolah serta disesuaikan dengan kehidupan
masyarakat Nusantara melalui proses akulturasi. Proses akulturasi menawarkan
perpaduan budaya dengan hasil gabungan keduanya yang saling menjembatani satu
sama lain tanpa menghilangkan ciri khas masing-masing kebudayaan.

Dengan penerimaan budaya Hindu-Buddha serta dilakukan proses akulturasi untuk


menjaga budaya lokal tetap tercerminkan, masyarakat Nusantara sadar bahwa
mereka bisa meraih lebih dari yang sudah mereka miliki. Masyarakat menumbuhkan
kemampuan untuk menerima, memilah, dan mengolah dasar-dasar kepribadian
budaya yang mereka miliki ketika dihadapi dengan akulturasi budaya yang juga
disebut dengan local genius. Dari akulturasi budaya dengan budaya Hindu-Buddha,
masyarakat Nusantara mengadaptasi pola arsitektur Hindu-Buddha dengan alasan
yang tidak hanya berpusat pada bangunannya tapi juga filosofi dibaliknya yang dinilai
berjalan beriringan dengan nilai-nilai dan kebiasaan lokal. Proses yang sama berjalan
di bidang lainnya seperti sistem kepercayaan dan pemerintahan.

Pemikiran yang terbuka disertai dengan rasa penghargaan terhadap budaya-


budaya lokal terbukti menghasilkan produk sejarah yang unik. Tentunya, akulturasi
budaya tidak berhenti di sini dan akan terus terjadi secara berlanjut hingga di masa
mendatang. Akulturasi budaya yang terjadi dalam sejarah dapat menjadi pelajaran
dan pijakan bagi masyarakat modern ketika mereka dihadapkan dengan akulturasi
budaya di masa kini. Dengan sikap ini diharapkan akan juga dihasilkan berbagai
produk sejarah yang baru dan tak kalah uniknya.

SUMBER

Airis XI-D/1, Jessica XI-D/11, Joanna XI-D/12, Evan XI-D/22

Anda mungkin juga menyukai