Sebelum kita membahas lebih jauh bagaimana Pelaksanaan Panca Yadnya dalam Agama
HINDU atau dengan kata lain manusia dalam beragama khususnya agama HINDU, mari kita
lihat sedikit bagaimana filsafah agama hindu yang mengandung banyak pedoman-pedoman
untuk manusia dalam menjalani hidup.
Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri
Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu
sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa
menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.
Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri
Campa, yang saat ini Negara Cina. Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman
keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya
bernama Gajah Mada.
Pada jaman itu perkembangan budaya yang berlandaskan Agama Hindu sangat pesat termasuk di
Daerah Bali dan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para Arya dari Kerajaan Majapahit
sebagian besar hijrah ke Bali dan di Daerah ini para Arya-Arya tersebut lebih memantapkan
ajaran-ajaran Agama Hindu sampai sekarang.
Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran
Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual
dalam Falsafah Tri Hita Karana.
Dalam pelaksanaannya tetap berlandaskan ajaran-ajaran Agama Hindu dan dalam kegiatan
Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya.
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para dewa-
dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur
alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah
meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci
umat Hindu.
Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan Panca Yadnya secara simpel dapat diuraikan
sebagai berikut :
Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan
Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi. Adanya pemujaan kehadapan dewa-
dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan
di dunia ini.
Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci
yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang
dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara
Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu
Pengetahuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina
(sejenis alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan sastra ilmu
pengetahuan di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang melambangkan kesucian.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan
Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan
memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke
Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali).
Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci
yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan
kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.
Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah suatu
wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula.
Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri
dari air, api, tanah, angin dan akasa.
Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan
api pralina (api alat kremasi). Pelaksanaan dari upacara pitra yadnya disebut dengan ngaben.
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat atau kremasi umat Hindu di Bali. Acara Ngaben
merupakan suatu ritual yang dilaksanakan guna mengirim jenasah kepada kehidupan mendatang.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa
beranggapan demikian (tertidur). Tidak ada airmata, karena jenasah secara sementara waktu
tidak ada dan akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha
(bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).