Anda di halaman 1dari 13

BAB I 

 PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Yajna

kata yajna berasal dari kata yaj (bahasa sanserkerta) yang berarti korban, pemujaan. Yajna berarti
upacara korban suci. Sebagai suatu pemujaan yang memakai korban suci maka yajna
memerlukan dukungan sikap mental yang suci pula.siamping adanya sarana yang akan
dipersembahkan. Secara harfiah tata pelaksanaan suatu yajna disebut upacara. Kata upacara
dalam bahasa sanserkerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan
terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa, kepada sesame
manusia, kepada alam lingkungan, pitara maupun Rsi. Pendekatan itu diwujudkan dengan
berbagai bentuk persembahan ajaran agama hindu. Kesucian adalah sifat tuhan. Orang harus suci
lahir dan bathin bila ingin memanjatkan doa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara
memeberikan identitas tersendiri bagi agama-agama tertentu membedakan dengan agama yang
lainnya. Masing-masingagama memiliki aturan dalam tata pelaksanaan upacaranya.

Yajna dalam agama hindu merupakan bagian yang utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas
agama.bahkan yajna merupakan merupakan unsure yang sangat penting. Bagaikan kulit telor
yang membungkus dan melindungi bagian dalamnya yang merupakan inti dari telor itu sendiri.
Seperti itulah yajna dengan upacara dan upakaranya merupakan kulit luar yang tampak dan
dilaksanakan dalam kehidupan keagamaan sehari-hari. Yajna tidak hanya menandakan
identitaskeagmaan tetapi lebih dari pada itu yajna merupakan pengejewantahan ajaran agama
hindu itu sendiri
BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Jenis-jenis yajna

Jenis atau penggolongan yajna yang telah umum dikenal adalah didasarkan atas tujuan atau
sasaran yajna itu dipersembahkan. Dalam hubunan ini  Agastya Parwa dalam terjemahannya
yaitu :

Adapun yang disebut yajna lima bentuknya, yaitu dewa yajna, rsi yajna, pitra yajna, bhuta yajna,
manusia yajna, semuanya disebut panca yajna. Dari kelima jenis panca yajna tersebut dalam
tulisan ini akan membahas tentang Rsi Yadnya.

Selain keempat bagian panca yajna diatas yang harus dilakukan, umat juga wajib melakukan rsi
yajna, adalah salah satu yadnya dari panca yadnya. Yadnya juga berarti upacara agama. Kata
yadnya berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari akar kata yaj artinya sembhyang. Dari akr kata
yaj ini berkembang menjadi kata yajna artinya persembahan.

 Selain itu juga dari akar kata yaj berkembang menjadi kata yajur dalam istilah Yajur Weda.
Yajur weda berarti pengetahuan suci mengenai persembahan. Maka dari itulah dapat dipahami
bahwa isi pokok dari yajur weda itu adalah mantra-mantra yang disebut stawamengenai
persembahan kepada Hyang Widhi. Sering terjadi kekeliruan persepsi bahwa, yadnya diartikan
korban saja. Kata korban mempunyai pengertian lain dengan persembahan. Yadnya mempunyai
arah yang naik dan arah yang turun. Yadnya yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi dan
leluhur, sperti dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya dan manusia yadnya tidak dapat disebut
korban, melainkan merupakan seuatu persembahan. Yadnya yang diperuntukan bagi bhuta dan
kala tidak patut disebut dengan persembahan karena manusia tidak menyembah bhuta dan kala
melainkan member aci atau korban suci kepada bhuta dan kala.

Masing –masing yadnya dari panca yadnya, mengandung dua aspek, yaitu aspek ritual dan aspek
karma marga yang diwujudkan dalam perbuatan yang mulia dalam kehidupan, sebagai sarana
untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Khusus di dalam rsi yadnya, kedua aspek itu
terwujudkan didalam kehidupan umat hindu. Dalam aspek ritual, rsi yadnya berarti suatu upacara
untuk meningkatkan kesucian diri seperti : mawinten atau mediksa.

 Upacara mediksa banyak macamnya dan erat hubungannya dengan ortientasi kehidupannya.
Dalam aspek karma marga, rsi yadnya berarti beryadnya kepada para rsi atau sulinggih, baik
dalam bentuk materi maupun tenaga atau non materi seperti : memberikan sesutau dengan rasa
bhakti dalam bentuk punia, sesantun,dan lain-lain. Termasuk berupa tenaga dan pemikiran yang
diperlukan olehnya. Rsi yadnya dalam aspekkarma marga merupakan suatu perwujudan dari
pada rsi rnam dalam konsep tri rnam. Sebagaiman diketahui bahwa rsi rnam adalah suatu hutang
pengetahuan suci kepada rsi atau sulinggih atas perannya membimbing umat hindu didalam
membina dan meningkatkan penghayatan terhadap agama hindu dan juga atas jasa-jasanya di
dalam lokaparasrya di masyarakat.

2.2  Pengertian Rsi

Siapakah yang disebut Rsi itu ? Dalam Negarakertagama51.5. disebutkan : sang tripaksa Rsi –
siwa-buddha. Dalam lontar di bali sering disebut pedanda Rsi-siwa-buddha/sogata. Selanjutnya
Negarakertagama 81.2. mengatakan, bahwa sang catur dwija yaitu Pendeta-Rsi-Siwa-Buddha,
mengajarkan kebaikan memeluk ajaran tutur, semua catur asrama, terutama catur basma (empat
piagam). Catur artinya empat dan dwija artinya yang lahir dua kali. Sebelumnya ada disebut
sapta Rsi yang menerima wahyu-wahyu keempat weda tersebut dari Sang Hyang Widhi. Para Rsi
tersebut adalah orang-orang yang sudah memiliki kesucian lahir/bathin, dapat menghubungkan
dirinya dengan Hyang Widhi Wasa dan sudah mencapai moksha semasa mereka masih hidup,
sehingga mereka mampu melihat yang telah lampau(atita), yang sekarang(wartamana) dan yang
akan datang (anagata).

Kemampuan-kemampuan yang demikian, beliau miliki berkat usahanya yang keras dan
sungguh-sungguh melalui tapa, yoga, semadhi.kewajiban utama mereka adalah memelihara dan
menuntun umat manusia berdasarkan ajaran-ajaran Weda ke arah keselamatan, kebahagiaan lahir
bathin untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Mereka juga bertugas
memimpin upacara keagamaan dan bertanggung jawab atas penyelesaiannya.

2.3  Rsi di Indonesia

Zaman dahulu Indonesia juga pernah memiliki sejumlah Rsi. Yang pertama Rsi Agastya, yang
sangat besar jasanya sebagai Pembina dan penyebar agama hindu di india dan akhirnya di
indonesia. Hal ini disebutkan dalam prasasti Dinoyo, jawa timur pada tahun Saka 682 dan di
jawa tengah, tahun 785 Saka, dibuatkan palinggih disana. Dibali Rsi Agastya dimuliakan sebagai
saksi dan pennguat sumpah-sumpah. Beliau juga dimuliakan sebagai bhatara guru. Tidak hanya
dijawa dan di Bali, tetapi juga di Lombok, Sulawesi selatan, Kalimantan dan lainnya.

Rsi Markendya adalah Rsi yang pertama dari jawa yang datang ke Bali yang diriimgi sejumlah
pengikutnya, tetapi gagal misinya karena terkena penyakit. Namun pada ekspedisinya yang
kedua berhasil merabas hutan untuk dijadikan sawah untuk dibagi-bagikan kepada pengikutnya
tempat itu sekarang bernama desa Taro. Beliau berhasil memakmurkan masyarakat Bali. Dalam
masa keemasan kerajaan Kertanegara dan Majapahit dapat dicatat Mpu Kuturan, berjasa berhasil
merampingkan sejumlah sekta-sekta agama hindu di bali, menjadi hanya tiga Palinggih Bhatara,
yaitu Bhatara Brahma, Bhatara di Pura Desa, Bhatara Wisnu malinggih di Pura Puseh dan
Bhatara Siwa malinggih di Pura Dalem.

Mpu Bharadah, adiknya Mpu kuturan, menjadi penasehat raja airlanggadi Kediri, jawa timur. Di
Bali , Beliau juga disungsung. Beliau berperan besar dalam sejarah Calonarang yang sangat
disukai di Bali hingga kini.
Mpu Tantular, yang mengubah Sutasoma, yang dijadikan referensi falsafah Negara kita, yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh para pendiri Negara kita. Kemudian Dang Hyang
Nirartha, yang datang dari majapahit ke Bali pada tahun 1486 masehi sangat besar jasanya
membina/mengembangkan agama hindu di bali sampai kini masih tetap dianut oleh orang bali ,
sebagian Lombok, dan pulau Sumbawa.

Pada tahun 1530 masehi, Dang Hyang Asthapaka datang ke Bali dari majapahit. Bersama dengan
pamannya, Dang Hyang Nirartha, berperan melaksanakan Homa atas permintaan Raja Bali,
Batur Renggomg, Dang Hyang Asthapaka menetap di Bali dan beliaulah menjadi cikal bakal
para Pedanda Buddha, juga di Lombok dan di tempat lain hingga kini.

Keturunan kedua beliau yang menjadi wiku, tidak lagi menyandang predikat Dang Hyang, tetapi
diganti menjadi Pedanda. Sebabnya ialah, rupa-rupanya sebutan Dang Hyangdirasakan
menyamai kedudukan kedua leluhur beliau, yang mereka junjung tinggi itu. Keturunan Dang
Hyang Nirartha menyebut diri mereka Pedanda Siwa dan keturunan Sang Hyang Asthapaka,
Pedanda Buddha.

Kata Pedanda ini mungkin berasal dari Hastapada (Hasta + pada).  Hasta artinya tangan


dan pada artinya kaki. Jadi Hastapada artinya tangan dan kaki, pembantu, abdi,
hamba. Ida  artinya Beliau. Kedua kata itu kemudian dijadikan menjadi Hastapada + Ida, menjadi
Hastapada + Ida, menjadi Hastapada dan Ida, artinya tangan Kaki Beliau, disingkat dikatakan
Padanda. Artinya, semua Wiku keturunan Dang Hyang Nirartha dan Dang Hyang
Asthapaka menyebut diri Padanda, sebagai tangan kaki, pembantu, abdi, hamba dari Hyang
Widhi. Adalagi predikat Rsi, Bujangga, Sengguhu, Dan Dukuh, yang kesemuanya melaksanakan
kependetaan. Di luar Bali, Pandita itu bergelar Pinandita, Wasi, Romo. Di daerah gunung
Bromo Panditanya disebut Dukun.

Seperti dikemukakan sebelumnya untuk melakukan tugas-tugas kependetaan tidaklah ringan,


tetapi cukup berat. Seorang Pandita/ Pendeta setiap pagi bertugas melakukan puja di pemerajan.
Bila ada yang datang meminta nasehat tentang seluk beluk keagamaan, harus bersedia melayani
setiap saat. Demikian juga apabila anggota masyarakat yang meminta agar Pendeta muput suatu
upacara, tidak boleh menolak, terkecuali karena sakit atau apabila ada hal-hal lain, misalnya
tidak kurang tepatnya upacara tersebut, seperti hari, waktu tempat, dan tujuan tidak kurang tepat.

Apabila beliau tidak mampu melakukan upacara pada saat yang sudah di tentukan, beliau minta
agar upacara pada saat yang sudah ditentukan, beliau minta agar upacara tersebut ditunda hingga
beliau sehat kembali atau beliau memohon seorang pengganti Beliau yang bersedia
menggantikan beliau.

Sebaliknya bila beliau tidak diminta, tidaklah menjadi masalah baginya. Dalam era yang makin
mengglobal dalam semua aktifitas masyarakat dunia, sangat diharapkan, agar mereka yang ingin
terjun dalam tugas kependetaan, sebaliknya, ketika mereka dalamgrahasta, menimba
pengalaman-pengalaman  yang positif untuk bekal kelak.Makin baik lagi bagi mereka yang
sudah pernah mengenyam pendidikan, cerdas, memiliki rasa kemanusiaan dan pengabdian yang
menonjol, dan sifat-sifat kerohanian yang dapat dibanggakan seperti sabar, tahan uji, jujur,
merasa ada tanggung jawab atas tugas yang dipikulnya, senantiasa membela kebenaran, memiliki
rasa kemanusiaan yang universal, pendek kata senantiasa menjalankan Kedharman. Pada
dasarnya semua orang dapat menerima tanggung jawab sebagai Pandita, apabila sudah
memenuhi berbagai persyaratan, baik secara fisik, spiritual, maupun persyaratan administrasi
kenegaraan.

2.4  Tingkat Penyucian seorang Rohanian

Dalam aspek ritual rsi yadnya untuk meningkatkan kesucian diri, dalam hal ini rohanian agama
hindu yang bertugas secara langsung menghantarkan suatu upacara dikenal dengan berbagai
nama. Dilihat dari tingkat penyuciannya umumnya hanya dibedakan atas dua golongan yaitu,:

a. Rohanian yang tergolong (status) Dwi Jati,dengan sebutan Pandita atau sulinggih. Dalam
istilah nasional juga disebut Pendeta. Kata dwi jati berasal dari kata Sansekerta, yaitu dari
kata dwi yang artinya dua dan jati berasal dari kata ja yang artinya lahir. Lahir yang
pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Guru
Suci yang disebut Nabe. Maka dari itulah dalam upacara mediksa, yaitu upacara
pengesahan untuk menjadi seorang Sulinggih atau pandita dilakukan nuwun pada atau
disebut juga matapak.

b. Rohanian yang tergolong (status) Eka Jati, dengan sebutan pinandita, pemangku, wasi
dan   sejenisnya. Pinandita adalah yang bertugas selaku pembantu mewakili pandita. Hal
ini telah ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam Sabha II tahun 1968.

2.5 Syarat-syarat seorang calon pandita/sulinggih

Secara umum syarat-syarat calon sulinggih telah ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma dalam
keputusan Maha Sabha II tahun 1968 bahwa umat hindu dari segala warga yang memenuhi
syarat dapat disucikan (didiksa).

Adapun syarat-syaratnya adalah :

1. Laki-laki yang sudah kawin

2.  sukla brahmacari

3. Wanita yang sudah kawin

4. Wanita yang tidak kawin(kanya)

5. Pasangan suami istri.

6. Umur sudah dewasa.


7. Paham bahasa kawi, sansekerta dan Indonesia, memliki pengetahuan umum, mendalami
intisari ajaran-ajaran agama.

8. Sehat lahir bathin, ingatan tidak terganggu, tidak cacat tubuh dan bebrudi luhur

9. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon nabenya yang akan menyucikan.

2.6 Syarat-syarat seorang calon Pinandita/Pemangku

Secara formal terutama yang menyangkut prosedur administrasi Parisada Hindu Dharma
menetapkan syarat-syarat bagi calon Pinandita/Pemangku hampir sama dengan calon
pandita/sulinggih. Kecuali yang meyangkut hubungan dengan Nabe.Seorang pandita/sulinggih
dan pinandita/pemangku harus melaksanakan upacara mediksa, diksa adalah bahasa sansekerta
yang artinya persiapan penyucian meyeluruh untuk mengemban tugas dalam kehidupan agama
yang dipimpin oleh seorang yang berhak untuk itu. Upacara mediksa mempunyai tujuan mulia
yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan dumadi menjadi
manusia.mediksa merupakan suatu klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari
tingkatan ekajati dan dwijati. Mencapai suatu kesucian diri merupakan suatu kewajiban dapat
berhubungan dengan Hyang Widhi Karena Beliau adalah Maha suci.Di dalam pustaka rontal
Kunti yadnya ada disebutkan, bahwa apabila semasih hidup seseorang tidak bisa madiksa, maka
pada waktu upacara kematiannya dilakukan diksa dengan istilah askara. Maka itulah peralatan
aksara pada upacara ngaben sama dengan peralatan upacara diksa. Sang Diksita adalah orang
yang telah mencapai kesucian diri lahir bathin. Maka itulah beliau di golongkan sebagai orang
suci dan mempunyai kedudukan nulia didalam masyarakat yang disebut dengan sulinggih.
Walaupun Sang Diksita telah suci akan tetapi, beliau berkewajiban agar setiap hari menyucikan
diri dengan cara melakukan Puja Parikrama, tapa, brata, yoga dan semadhi serta memegang
teguh sasana kawikon.Kewajiban  atau tata tertib seorang kerohanian atau pendeta yang hendak
menerjunkan diri di dalam hidup keagamaan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan kesucian
batin yang berupa kebajikan , keluhuran budi yang disebut Dharma untuk mendapatkan
kebahagiaan akhirat yaitu rohani yang langgeng dan kebebasan roh dari penjelmaan yang disebut
moksa, yaitu

1.  Wewenang seorang Pandita/Sulinggih

Sesuai dengan keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu,
seorang Sulinggih, Pandita / Pendeta berwenang dalam menyelesaikan segala upacara/upakara
Panca Yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Kewenangan ini Yajna yang dilaksanakan oleh
umat Hindu. Kewenangan ini tidak terbatas pada upacara yang bersifat rutin maupun tidak
terbatas pada upacara yang bersifat rutin maupun persembahan, melainkan juga termasuk
menyelesaikan upacara yang bermakna mengesahkan, seperti upacara perkawinan, upacara
pengangkatan anak, upacara penyumpahan dan sejenisnya.
Kewenangan seorang sulinggih tidak secara otomatis diperoleh setelah menyelesaikan upacara
padiksan, melainkan masih diperlukan pengesahan yang bersifat member legalitas. Pengesahan
tersebut terkadang harus dilalui dalam beberapa tahapan lagi. Untuk berwenang menggunakan
weda, dan menyelesaikan upacara-upacara tingkat sederhana, seorang sulinggih/pandita yang
telah mediksa, harus melaksanakan upacarangalingihang Weda yang di saksiakan
oleh Nabenya serta Wiku saksi  lainnya. Pada upacara ini seorang Sulinggih dites kembali apakah
yang bersangkutan sudah menguasai weda dengan baik atau belum.

Setelah upacara ngalinggihang weda ini dapat dilaksanakan dengan baik, barulah seorang
Pandita/sulinggih memiliki kewenangan menyelesaikan upacara tingkat yang tertentu, sesuai
dengan izin nabenya. Untuk dapat menyelesaikan upacara tingkat yang besar (upacara yang
menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga), seorang Pandita/sulinggih harus memiliki
kemampuan dalam penguasaan weda yang diistilahkan dengan apasang lingga, yaitu tingkat
tertentu dalam penguasaan weda. Bagi sulinggih yang telah berhasil melewati tahapan
penguasaan weda sebagaimana tersebut di atas, maka tugas pokok Pandita/Pendeta/sulinggih
adalah ngeloka parasraya yaitu melaksanakantugas selaku sandaran umat untuk mohon
bantuan/membantu umat dalam hal kehidupan keagamaan secara umum.Dalam prakteknya lebih
banyak membantu dalam pelaksanaan upacara keagamaan, sedangkan hubungan pandita dengan
pinandita dengan umat, dilukiskan sebagai hubungansiwa dengan sisyanya, dimana Pendeta/
Pandita juga dipandang sebagai hubungan Siwa. Sedangkan umat dipandang
ebagai sisyanya artinya sebagai murid dari pandita/pendeta/sulinggih yang bersangkutan.
Bilamana umat mengalami kesulitan untuk mendapatkan petunjuk dari kitab suci maka petunjuk
pandita/pendeta/sulinggih itulah yang dijadikan sebagai penggantinya.

Tugas dan kewajiban pandita/pendeta/sulinggih setiap harinya adalah melaksanakan pemujaaan


yang dikenal dengan nyurya sewana . yaitu melaksanakan pemujaan untuk menyucikan diri serta
mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk dunia ini(sarva prani hitangkarah).
Pemujaan ini biasanya dilaksanakan di merajan/ tempat suci yang ada di rumahnya masing-
masing. Tugas dan kewajiban harus dilaksanakan setiap hari, kecuali karena sakit.

Sesuai dengan keputusan Maha Sabda II Parisada Hindu Dharma Pusat tahun 1968, ditetapkan
fungsi/tugas kewajiban pandita/sulinggih sebagai berikut:

a)  Memimpin umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahir batin.

b)  Melakuakan pemujaan penyelesaian yajna.

          Pendeta sejak mendapat ijin ngeloka para sraya bagi kemantapan ngalinggihang weda,
harus melakukan tirta yatra pemujaan pada tempat-tempat suci, terutama pada pura yang sangat
keramat. Dalam hubungannya dengan pembinaan umat menuju kepada kemantapan pelaksanaan
ajaran agama seorang Sulinggih juga sangat diharapkan untuk melaksanakan tugas-tugasnya
yaitu :
1). Dalam memimpin upacara yajna menyesuaikan dengan ucap sastra (pustaka lontar) yang
mengaturnya.

2) sulinggih agar berkenan membimbing untuk meningkatkan kesucian dan kemampuan para
Pinandita/pemangku.

3) Aktif mengikuti paruman dalam rangka menyesaikan, memantapkan dan meningkatkan ajaran
agama dihubungkan dengan perkembangan kemajuan zaman.

4) Sulinggih/ pandita disamping memimpin menyelesaiakan upacara yajna, juga patut


memberikan Upadesa untuk memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran agama hindu.

 2. Wewenang Pinandita

Dalam keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap Aspek-aspek agama hindu, batas
kewenangan seorang Pinandita/Pamangku tersebut dijabarkan  lebih lanjut sebagai berikut:
Seorang Pinandita/Pemangku berwenang:

a. Nganteb upakara apacara pada kahyangan yang diamongnya.

b. Dapat ngeloka para sraya sampai dengan madudus alit, sesuai dngan tingkat pawintenannya
dan juga atas panugrahan sulinggih.

c. Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih, dandanan rambut wenang agotra,
berambut panjang, anyondong, menutup kepala dengan destar.

Dalam hubungan dengan panca yajna, batas kewenangan tersebut lebih lanjut dirinci sebagai
berikut:

1) Menyelesaikan upacara puja wali/ piodalan sampai tingkat piodalan pada pura yang
bersangkutan.

2) Apabila pinandita menyelesaikan upacara di luar pura yang diamongnya atau upacara/upakara
yajna tersebut bersifat rutin seperti pujawali/piodalan, manusa yajna, bhuta yajna yang
seharusnya dipuput dengan tirta sulinggi, maka pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb
serta menggunakan tirta sulinggih selengkapnya.

3) Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan


nganteb/masehe serta memohon tirta kehadapan Ida sang Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari yang
malinggih atau diistanakan di Pura tersebut termasuk upacara yjna membayar kaul an lain-lain.

4) Dalam menyelesaikan upacara Bhuta yajna/caru Pinandita diberi wewenang muput upacara
Bhuta Yajna tersebut maksimal sampai dengan tingkat menggunakan tirta sulinggih.

5) Dalam hubungan muput upacara manusia yajna Pinandita diberi wewenang dari upacara bayi
lahir, sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirta sulinggih.
6) Dalam hubungan dengan muput upacara pitra yajna Pinandita diberi wewenang sampai pada
mendem sawa sesuai dengan Catur Dresta.

Dalam hubungan dengan pembinaan kehidupan beragama, pinandita juga bertugas untuk
menuntut umat dalam menciptakan ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara di pura
tempatnya bertugas, serta mengatur persembahyangan, maupun mengatur sesajen yang akan
dipersembahkan. Di luar dari kegiatan upacara di pura, pinandita/pemangku bertugas untuk
menjaga dan memelihara kelestarian dan kesucian pura. Selain itu juga seorang pinandita juga
harus mematuhi tata tertib seorang pemangku yaitu :

(1)   Dalam hal penggunaan bhusana :

Pinandita/Pemanguku tidak berwenang mengenakan bhusana  pada waktu memuja dengan


bhusana seperti bhusana Sulinggih. Termasuk juga dalam hal dandanan rambut
Pinandita/Pemangku tidak berwenang menggunakan dandanan rambut seperti seorang Sulinggih,
yang dikenaldengan dandanan rambut.:

-    Malingga mudra, bagi Pendeta Siwa yang laki.

-   Masipat aking, bagi Pendeta Budha yang laki.

-   Magelung Gota, bagi Pendeta yang perempuan.

(2)  Dalam hal cara mendapatkan tirtha.

Dalam keadaan yang tertentu dan bersifat khusus untuk mendapatkan tirtha pangentas pamangku
dapat melakukannya dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa.
Sedangkan  bagi  Pendeta (sulinggih) karena tingkat  kesuciannya , beliau menjadikan dirinya
sebagai Siwa di dunia setelah melalui proses penyucian dalam yoganya sehingga untuk
mendapatkan tirtha seperti tersebut Sulinggih dapat melakukan dengan cara membuat sendiri
dengan puja wedanya. Dalam hal pemangku menghantarkan upacara tingkatpiodalan alit, di pura
tempatnya bertugas, bilamana tidak memungkinkan untuk mendapatkan tirtha dari seorang
sulinggih, pemangku dapat melakukan pemujaan mohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan
pengastawa yang berlaku bagi seorang pemangku.

(3)   Batas kewenangan dalam mengantarkan yadnya:

Pinandita/pamangku dan sulinggih diberikan batas kewenangan yang berbeda dalam


mengantarkan yadnya, disesuaikan dengan tingkatan yadnya itu sendiri. Berdasarkan Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu yang ke 9 tahun 1986 telah
ditetapkan tentang batas kewenangan tersebut antara lain: bagi pi nandita atau pemangku dalam
mengantarkan yadnya memiliki kewenangan sebagai berikut:

a)  Menyelesaiakan upacara pujawali piodalan pada tingkat piodalan  pada pura yang


bersangkutan.
b)  Apabila Pinandita menyelesaikan upacara di luar pura yang diemomgnya (tempatnya bertugas
sehari-hari) atau upakara yadnya itu diselenggarakan di luar pura atau jenis upakara/upacara
yadnya tersebut bersifat rutin seperti pujawali/ odalan, manusa yadnyabhuta yadnya,yang
seharusnya dipuja dengan tirtha Sulinggih, maka Pinandita boleh menyelesaikan
dengan nganteb serta menggunakan tirtha Sulinggih selengkapnya.

2.7 Tugas dan kewajiban pinandita/ pemangku

Tugas dan kewajiban pinandita/pemangku meliputi:

a)   Mengantarkan upacara yang dipersembahkan di pura sesuai dengan batas kewenangannya,
baik pada saat piodalan maupun pada hari-hari lainnya, pada hari piodalan dengan tingkat
upacara yang besar biasanya akan dipuja oleh seorang sulinggih. Namun deminkian
pinandita/pemangku juga tetap memiliki tugas kewajiban yang cukup berat bahkan sejak mulai
persiapannya, hingga pada saat yang terkhir dari seluruh rangkaian piodalan itu pemangku
hampir tidak pernah dapat dibebaskan dari kewajibannya.

b) Pinandita/pemangku berkewajiban  melaksanakan  tugas-tugas yang berhubungan dengan


sarana yang disucikan di pura, dan juga berkewajiban untuk menuntut umat dalam meciptakan
ketertiban dan kehidmatan pelaksanaan upacara di pura tempatnya bertugas, seperti mengatur
persembahyangan maupun mengatur sajen yang dipersembahkan, serta menjaga dan memelihara
kesuvan pura dari segala hal yang dipandang dapat menodai kesucian pura, melayani masyarakat
untuk mengantarkan yadnya yang dipersembahkan oleh perseorangan sesuai dengan batas
kewenangannya.

Selain pinandita/pemangku melaksanakan kewajiban-kewajibannya, pinandita/pemangku juga


memiliki hak-hak yaitu hak pemangku untuk menerima bagian sesari aturan yang sudah
disesuaikan oleh awig-awig desa yang telah mengaturnya. Salah bentuk pengaturan pembagian
sesari tersebut yaitu:

-   Satu bagian dari sepertiga diperuntukkkan bagi kepanetingan pura

-   Satu bagian dari sepertiga diperuntukkan bagi para pemangku yang bertugas dipura tersebut.

-   Satu bagian atas sepertiga diperuntukkan bagi para pengurus atau prajuru dan para ptugas
lainnya sperti juru sapu, penjaga pura maupun petugas lainnya.

-  Demikianlah kewajiban-kewajiban sulinggih dan pemangku. Bila dibandingkan dengan


masyarakat umum kewajiban sulinggih dana pemangku tersebut cukup berat, oleh karena itu
sudah sepatutnya pamangku diberi leluputan di desa adat, yaitu diberi dispensasi dan
dibebaskan dari tugas dan kewajiban sebagai masyarakat umum karena telah dibebani dengan
tugas dan kewajiban yang bersifat khusus.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Demikianlah pandita dan pinandita sebagai panutan masyarakat, patut memimpin dan menuntun
masyarakat dalam melaksanakan yadnya, khususnya dipura. Untuk itu pandita dan pinandita
perlu memahami bahasa Kawi, Sansekerta, dan memahami ajaran-ajaran agama. Khususnya yg
berhubungan dengan tugasnya sehari-hari
TUGAS AGAMA HINDU

MAKALAH RSI YADNYA

OLEH :

KADEK ARI ANDINI(22/X IPS 2)

SMA NEGERI 1 GIANYAR

TAHUN AJARAN2019/2020

Anda mungkin juga menyukai