Anda di halaman 1dari 19

Upacara Nyambutin

Upacara Nyambutin adalah upacara pemujaan dan permohonan kehadapan Hyang Widhi
agar jiwa di si bayi diberkati dan benar-benar menyatu kembali kepada raganya, juga
sebagai penegasan nama si bayi dan memohon izin dan berkah ke hadapan ibu pertiwi
agar diizinkan mengijakkan kaki ke bumi.
Kata Nyambutin berasal dari kata sambut, jadi bila diuraikan mempunyai makna
memberikan ucapan salam, selamat datang kepada bayi. Dalam istilah Bali ada sekala
dan niskala, sekala untuk bayi itu sendiri (terlihat) dan niskala tidak terlihat, saat bayi
lahir dipercaya dia tidak sendiri, dia lahir bersama temannya namun tidak terlihat jadi
teman nya itu di namakan niskala.
Upacara Nyambutin ini dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari/ 3 bulan sering juga
disebut nelubulanin dan tuun tanah = 3 bulanan dan turun ke tanah, karena pada saat
seumur itu si bayi mulai belajar duduk, dan di mandi kan sebagai penyucian atas
kelahirannya di dunia.
Dalam ajaran Hindu di kenal (Panca Yadnya) yang wajib dilaksanakan di dalam usaha
mencapai kesempurnaan hidup lahir maupun batin, salah satunya adalah manusa yadnya
yaitu suatu upacara pengorbanan suci demi kesempurnaan dan keselamatan hidup

manusia baik saat berada di alam dunia maupun alam baka, Ada beberapa upacara yang
berhubungan dengan Manusa yadnya dan salah satu nya upacara Nyambutin.
Pelaksanaan upacara Nyambutin dipimpin oleh seorang Pemangku, upacara ini dilakukan
di halaman rumah (ngatah), antara dapur dan rumah tengah dimana plasenta (ari-ari) si
bayi di kubur, untuk sesajen (babaten) diletakan disebuah meja kecil. Sebelum upacara
berlangsung, bayi dan orang yang mengikuti kegiatan upacara duduk dibelakang
pimpinan upacara, lalu disiapkan daun dadap, benang dan kapas putih.
Ritual upacara pemujaan ini di tujukan kepada Bhatara Surya, ini bermakna agar si bayi
mendapat berkah, persembahan ini juga diberikan untuk para dewa, adapun dewa tersebut
I Ratu Taksu Pengijen, I Ratu Gede di Dasar dan I Ratu Gede, lalu persembahan juga
diperuntuk bagi dewa yang berada di bumi yaitu I Ratu Bagus Blangsingan, persembahan
yang terakhir di berikan kepada Dewa Rajapati, dewa yang menjaga Plasenta (ari-ari) si
bayi, semua persembahan ini mempunyai tujuan agar sang bayi mendapat perlindungan
dan keselamatan dari Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) lewat menifestasinya
Bhatara Surya. (Christian Riemenschneider,Brigitta Hauser-Schublin).
Berbagai upacara, pemujaan dan persembahan yang dilakukan umat Hindu di Bali
sebagai ungkapan dari rasa terima kasih ke hadapan Sang Pencipta, dengan melaksanakan
upacara Nyambutin ini, dengan ketulus ikhlasan menjalankan nya, di harapan mendapat
berkah dan karunia.

Tradisi hindu di indonesia Tradisi adalah kebiasaan nenek moyang yang masih dijalankan
oleh masyarakat saat ini. Tradisi agama Hindu banyak ditemukan di daerah Bali karena
penduduk Bali sebagian besar beragama Hindu. Tradisi agama Hindu yang berkembang
di Bali, antara lain: 1. Upacara nelubulanin ketika bayi berumur 3 bulan. Upacara ini
dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya,
keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga
besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda.
Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan 2. Upacara potong gigi (mapandes).
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontarkalapati dimana
disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu
dua taringdan empat gigi seri di atas.Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol
pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia).Meliputi kama (hawa
nafsu),Loba (rakus),Krodha (marah),mada (mabuk),moha (bingung),dan Matsarya (iri
hati).Sad Ripu yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan
manusia,maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta
memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu 3. Upacara
pembakaran mayat yang disebut Ngaben. Dalam tradisi Ngaben, jenazah dibakar beserta
sejumlah benda berharga yang dimiliki orang yang dibakar 4. Ziarah, yaitu mengunjungi
makam orang suci dan tempat suci leluhur seperti candi. Tradisi budha di Indonesia
Tradisi Lepas Burung Waisak untuk Buang Sial (Vibizdaily-Sosbud) Melepaskan burung
menjadi salah satu tradisi umat Buddha dalam merayakan Hari Raya Waisak. Tradisi ini
dianggap bisa menjadi sarana untuk membuang sial. Burung-burung yang dilepaskan itu
diharapkan bisa membawa keberhasilan dalam pekerjaan. Andi (40), salah seorang
jemaat, melepaskan 108 ekor burung ke angkasa dengan harapan mendapatkan
kesuksesan kerja.? "Katanya angka baiknya segitu. Itu? buat buang sial dan agar sukses
kerjaan," ujarnya. Di sisi lain pelataran Vihara Dharma Bakti, Lim Nan Sun melepaskan
30 ekor burung gereja

Pendahuluan
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya
adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah
aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat
terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang
menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka
jnana.Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam
tradisi upacara sebagai

wujud

simbolis

komunikasi

manusia

dengan

Tuhannya. Acara

agamaadalah

wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama
dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara
sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah
sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan
aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan
pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acaraagama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan
dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada
dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya
yadnya adalahyadnya yang

dilaksanakan

sehari-hari,

misalnya yadnya

sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada
waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim,
2005). Akan tetapi sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang tampak dominan di
Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan diuraikan
tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.
Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhantayang mulanya
berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan
setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki
kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli
daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang
datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia

mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72)
bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu
di Indonesia, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya
menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di
India.
Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang
tertinggi

adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau

adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagiBhagavadgita, dan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja
dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan
ini, Vedamengatakan ekam sat viprah bahuda vadanti, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi,
secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan
dalam Veda. Artinya,

Agama

Hindu

yang

selama

ini

diwarisi

di

Bali

tidak

bertentangan

dengan

ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.


Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti itu dan twa juga berarti itu. Jadi secara leksikal
kata tattwa berarti ke-itu-an. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna kebenaranlah itu.
Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang
Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat
merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya
harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan
membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh
mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak
dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama
Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa,
Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).
Sementara itu susila berasal dari kata su dan sila. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau
tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata etika. Definisi ini kurang lebih tepat
karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara
mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata
etika yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata moral berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik.

Perbuatan membunuh misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi etika
memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang
dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara
dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.
Sampai di sini jelas bahwa antara moral dan etika dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian
dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang perilaku baik yang harus
dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku
dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya
merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun
institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas
yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata susila lebih tepat diterjemahkan dalam
kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh
Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi
secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary karangan Sir
Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata acara antara lain diartikan sebagai berikut.
(1) Tingkah laku atau perbuatan yang baik;
(2) Adat istiadat;
(3)

Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok

masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.


Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya ( cra, acra, dan acara).
Kata cra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap.
Kata acra bermakna pergi

bersama atau teman. Dapat

dibandingkan

dengan

kata craka yang

bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parkan yang
bermakna ia

yang

selalu

dekat. Sedangkan

kata acara berarti

tidak

berjalan.

Bandingkan

dengan

kata carcara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna
tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama ( cra), yang
memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat
atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan
Agama Hindu.

Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:
nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra,
yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi, dadyaning
alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning
swabhawa, cra ngaraning prawrtti kawaran ring aji
Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut
diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya
harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi
istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan
diamalkan, cra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.
Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat
dipisahkan. Tattwa menjadi

landasan

teologis

dari

semua

bentuk

pelaksanaan

ajaran

agama

Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama
manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan cra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan
kebudayaan religius. cramengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih
riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya cra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak
dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, cra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga
dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya
dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan
norma-norma sosial.
Kedudukan Acara dalam Agama Hindu
Acara agama Hindu sesungguhnya mencakup bidang yang sangat luas terutama berkaitan dengan tradisi
ritual. Acara agama Hindu mencakup hal sebagai berikut : (1) ajaran tentangyadnya; (2) ajaran tentang hari-hari
suci keagamaan; (3) ajaran tentang tempat suci atau tempat-tempat pemujaan; dan (4) ajaran tentang orang suci
(Sudharta&Punyatmadja, 2001).
Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan mengenai acara agama sebagai berikut.
wedo khilo dharma mulam, smrti sile ca tadvidam,
Acaras ca iwa sadhunam, atmanastutirewa.
Artinya:

Weda Sruti merupakan sumber utama daripada dharma (agama Hindu), kemudian Smerti, setelah itu Sila,
Acara dan Atmanastuti.
Weda

Sruti

adalah

Kitab Catur

Veda

Samhita,

Brahmana,

Aranyaka, dan Upanisad, sedangkanSmerti adalah Wedangga dan Upaweda (Sura&Musna,

1996:26-29).

Sila adalah tingkah laku orang-orang suci. Acara adalah tradisi yang bersumber pada sastra atau ajaran-ajaran
agama yang telah diikuti secara turun temurun. Atmanastuti adalah rasa puas diri sendiri yang berdasarkan
kesepakatan oleh para pemuka agama. Dengan demikian maka acara agama Hindu memiliki kedudukan yang
jelas sebagai salah satu sumber pelaksanaan ajaran agama Hindu.
Acara sebagai kebiasaan memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kata drsta. Drstaberasal dari urat kata
Sansekerta drs yang berarti memandang atau melihat. Kemudian kata drsta memiliki makna konotatif yang
bermakna tradisi (Sudharma,2000). Acara atau drstadibagi menjadi 5 (lima) hal, yaitu : (1) sastra drsta berarti
tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti tradisi agama yang
berlaku dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu
wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti secara terus
menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga tertentu saja
(Sudharma,2000).
Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata cra sering diberi awalan upa, yang
bermakna sekitar, sehingga kata upcra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian
maka cra Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana
upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyibunyian upacara (instrumen).
Sebagai sebuah sistem religi sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat (1987) maka craAgama Hindu
meliputi: (1) adanya emosi keagamaan atau perasaan religius yang mendorong suatu upcra dilaksanakan; (2)
adanya sistem keyakinan yang melandasi suatu upcradilaksanakan (tattwa); (3) ada sistem upacara yang
ditetapkan sesuai dengan jenis upcra (eedatau dudonan karya); (4) ada peralatan upcra yang sesuai dengan
tingkatan yajna (nista, madhya, uttama); dan (5) adanya struktur masyarakat sebagai pendukung dari
pelaksanaanupcra tersebut (umat, orang-orang suci, institusi keagamaan, dan sebagainya). Apabila kelima
komponen ini telah terpenuhi dalam sebuah upcra maka secara budaya, upcratersebut telah dikatakan
berhasil.
Dasar Pelaksanaan cra Agama Hindu

Telah dikemukakan di atas bahwa dasar dari pelaksanaan cra Agama Hindu adalah Kitab suciVeda. Dalam kitab
suci Catur

Veda telah

persembahan Homa (api

diajarkan
suci)

tentang

yang

pelaksanaan

dilakukan

oleh

berbagai

upacara

masing-masing

ritual.

keluarga,

Dari

sampai

mulai

upacara

upacara

besar

seperti Aswamedha yajna (kurban kuda) dan Sarwamedha yajna(kurban seluruh binatang) telah ditemukan
dalam Veda. Kemudian pada zaman Brahmana,kitab-kitab upacara mulai disusun secara sistematis, yaitu
mengenai Panca Mahayajna. Kitab terbesar pada masa ini adalah Kitab Satapatha Brahmana yang pada intinya
memuat tentangUpcra dan Upakara yajna.
Kitab Satapatha Brahmana ini tidak diterima secara langsung di Indonesia, tetapi mashabSaiwasiddhanta yang
masuk ke Indonesia tetap melaksanakan upcra yajna dan tetap mengikuti pemikiran mimamsa awal (purwa
mimamsa). Berbeda halnya dengan golonganwaisnawa yang sudah mulai meninggalkan upacara kurban
keagamaan dan beralih ke pemikiran mimamsa akhir (uttara mimamsa atau vedanta). Oleh karena mashab yang
berkembang di Indonesia adalah Saiwasiddhanta maka keberlangsungan upcra yajna tersebut tetap terjada
hingga saat ini. Sari pati yajna sebagaiamana tertulis dalam Kitab Satapatha Brahmana, di tulis kembali
dalam lontar-lontar seperti Mpu Lutuk (Plutuk), Sundarigama, Dewa Tattwa, Gong Besi, dan sebagainya yang
pada dasarnya juga menguraikan tentang cra agama Hindu. Kitab-kitab inilah yang selanjutnya menjadi
pedoman dalam pelaksanaan cra Agama Hindu, khususnya di Bali.
Salah satu konsepsi yang digunakan sebagai dasar dari semua pelaksanaan yajna ialah Tri Rnam.Konsepsi ini
mengajarkan bahwa setiap manusia yang dilahirkan ke dunia sesungguhnya telah memiliki tiga hutang yang harus
dibayar selama hidup, yaitu hutang kepada Tuhan (Dewa Rnam), hutang kepada Para Maharsi (Rsi Rnam) dan
hutang kepada leluhur (Pitra Rnam). Ketiga hutang ini sesungguhnya terkait dengan eksistensi manusia di dunia
ini. Keberadaan manusia di dunia ini dan keberlangsungannya (survival) merupakan karya agung dari Tuhan, Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau menciptakan alam semesta beserta isinya melalui sebuah yajna,menjaga
dengan yajna, dan mengembalikan semua yang ada dengan yajna pula. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta,
termasuk di dalamnya manusia, diturunkanlah pengetahuan suciVeda yang menuntun manusia agar hidup serasi,
selaras,

dan

seimbang

dengan

alam

karena

kaharmonisan

inilah

yang

akan

membuat

manusia survive kehidupannya. Tentunya, turunnya wahyu Veda tidak dapat dipisahkan dari peranan para
Maharsi yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi. Melalui proses
inilah Para Maharsi menerima wahyu suci Veda dan kemudian mengajarkannya kepada seluruh umat manusia.
Selanjutnya, ajaran Veda mengalir dan diterima oleh generasi sekarang karena adanya regenerasi dari para leluhur
terdahulu. Proses siklis bahwa setiap yang lahir akan mati, kemudian terlahir kembali menjadi pedoman bahwa

setiap generasi hilang dan muncul generasi baru. Oleh karena itu kitab Veda yang masih diterima hingga saat ini
dan mungkin juga generasi yang akan datang merupakan keberlanjutan kehidupan manusia dari leluhurleluhurterdahulu yang dari generasi ke generasi berikutnya melahirkan keturunan yang berkualitas sehingga
keberlanjutan pengetahuan suci Veda dan keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri tetap terjaga. Demikian
besar hutang manusia terhadap Tuhan, para Maharsi, dan paraLeluhur karena beliau-lah eksistensi manusia di
dunia ini terpelihara.
Panca Mahayajna
Sesungguhnya Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya ini melalui sebuah yajna,memelihara
dengan yajna, dan meleburnya juga dengan yajna. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam Bhagavadgita sebagai
berikut.
Sahayajnah prajah srstava, purovaca prajapatih,
Anena prasavis yadhvam, eso vostu istakamadhuk.
Artinya:
Dengan yajna engkau akan mengembang (srsti), kata Prajapati,
dan ia (yajna) akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Kamadhuk adalah sapi dari Indra yang dapat memenuhi semua keinginan. Selanjutnya dalam pustaka suci yang
sama disebutkan bahwa:
Devam bhavayatanena,
te deva bhavayantu vah,
Parasparam bhavayantah,
Artinya:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi saling
memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Kedua sloka di atas menegaskan bahwa Alam semesta (bhuwana agung), dan manusia (bhuwana alit) ini
diciptakan oleh Prajapati melalui sebuah yajna. Yajna ini pula yang akan memenuhi keinginan manusia sehingga
ia dapat tetap eksis di dunia ini. Oleh karena itu yajna juga harus dilakukan oleh manusia karena
dengan yajna manusia menghormati para Dewa dan para Dewa akan memelihara manusia. Saat manusia telah
mendapat anugerah dari para Dewa, di mana kehidupannya selalu dipelihara dan diselamatkan oleh para Dewa
maka itulah kebahagiaan yang maha tinggi. Di sini Bhagavadgita berbicara tentang konsep bhakti, yaitu manusia
melakukan yajna untuk berkomunikasi dengan para Dewa, dan atas yajna tersebut para Dewa akan memberikan

anugerah kepada manusia. Inilah puncak dari konsep bhakti, yaitu manusa bhakti dewa asih (manusia
beryajna untuk mendapatkan kasih Tuhan).
Upcra dalam rangka pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat digolongkan menjadi lima kelompok besar
berdasarkan sasaran dalam pelaksanaannya yang disebut Panca Mahayajna atau sering disebut Panca Yajna.
Yajna adalah suatu pengorbanan yang dilandasi oleh hasrat yang suci untuk menguhubungkan diri dengan Tuhan.
Kelima jenis korban suci tersebut meliputi:
(1) Dewa Yajna, yakni korban suci yang ditujukan kepada para Dewa.
(2) Rsi Yajna, yakni korban suci kepada para Maharsi, dan juga proses untuk menjadi seorangdwijati tergolong
dalam Rsi yajna.
(3) Pitra Yajna, yakni kurban suci untuk menghantarkan roh leluhur mencapai sorga.
(4) Manusa Yajna, yakni kurban suci untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia.
(5) Bhuta Yajna, yakni kurban suci untuk memelihara dan memanfaatkan sumber-sumber energi yang ada di
alam agar tetap lestari, seimbang, dan harmoni (satyam, sivam, sundaram).
(1) Dewa Yajna
Upacara-upacara yang tergolong dalam Dewa Yajna meliputi upacara0-upacara sejak pengadaan hingga
pemeliharaan tempat suci. Dimulai dengan pemasangan fondasi (nasarin) hingga penyelesaian bangunan
(mlaspas). Disusul dengan upacara penyucian (makarya) melalui beberapa tahapan.
(a)

Tahapan pertama dilakukan upacara penyampaian tekad (Nyanjan/ Matur Piuning) sehubungan dengan

akan diselenggarakannya upacara penyucian. Dalam rangka acara tersebut dilakukan juga penentuan Pendeta
yang akan berperan menuntun dan menyelesaikan upacara serta para tukang banten yang akan menggarap semua
perlengkapan upacara.
(b) Tahapan kedua dilakukan upacara persiapan dalam bentuk upacara penyucian terhadap bahan perlengkapan
upacara, baik yang tergolong eka pramana (tumbuh-tumbuhan) maupundwi pramana (hewan). Bahan dari
tumbuh-tumbuhan

(sarwa

tumuwuh/

kekayonan)

diwakili

oleh

beras

dalam

upacara Negteg

Beras atau Ngingsah Beras. Sedangkan dari golongan binatang (sarwa prani/wewalungan) diwakili oleh kurban
dalam bentuk upacara mapepada.
(c)

Tahap ketiga setelah bahan perlengkapan upacara diolah menjadi sarana upacara maka dilakukan upacara

menjalin hubungan harmonis dengan penghuni alam, baik vertikal maupun horizontal terhadap alam sekitar.
Penghuni alam bawah diwakili oleh Para Bhuta Kala dalam bentuk upacara Bhuta Yajna menjelang puncak karya.

Hubungan dengan sesama dilakukan dengan upacara mapedanan/Medana-dana. Penghuni alam atas diwakili
oleh para Dewa, terutama Ista Dewata dalam bentuk upacara Mendaksiwi.
(d) Tahap keempat setelah Istadewata di-sthana-kan di tempat suci maka dilakukan upacara penyucian yang
bersifat

Antropomorfis,

yaitu arca,

pratima, dimandikan

(disucikan)

dalam

bentuk

upacara Melis/Mekiis/Melasti/Malelasti. Umumnya dilakukan di tepi laut karena laut diyakini sebagai sumber air
suci. Upacara ini juga dapat dilakukan di sumber-sumber air yang disucikan (pabejian/pasiraman).
(e)

Tahap kelima dilaksanakan kegiatan puncak pada hari upacara (Anambut karya) berupa upacara yang

bertema menumbuhkan kekuatan suci (Mamungkah) dalam bentuk mengumpulkan sumber-sumber kekuatan
suci (Pangusabhan) serta mengukuhkan kedudukan sumber-sumber kekuatan suci (Ngenteg Linggih).
(f)

Tahap keenam dilakukan upacara penyuburan sumber-sumber kekuatan suci (Ngeremekin). Jika upacara

yang dilaksanakan tergolong besar maka disusul upacara pelengkap (Negepang Karya) yang meliputi upacara
bertema pertumbuhan (Mekabat Daun), upacara pemenuhan (Ngebekin) dan upacara penyatuan (Ngingkup).
(g)

Tahap terakhir dilaksanakan upacara kunjungan ke tempat kekuatan suci diperlakukan, baik dengan

hubungan vertikal (Nyenukin) maupun secara horizontal (Tegal Linggih). Dilakukan juga kunjungan ke tempat
kekuatan suci berasal dalam bentuk upacara Nuku dan Mapajati.
Setelah upacara pengadaan tempat suci dilaksanakan maka secara berkala dilaksanakan upacara pemeliharaan
sumber kekuatan suci (Ista dewata) yang telah di-sthana-kan di tempat suci ini. Upacara tersebut merupakan
upacara peringatan terhadap hari tumbuhnya atau lahirnya (pawedalan/piodalan) tempat suci dan dilaksanakan
dengan mempersembahkan berbagai sesajeni(Pujawali). Demikianlah upacara rangkaian Dewa yajna yang
dilaksanakan dalam kaitannya dengan pembuatan tempat suci (pura). Upcra dalam maknanya sebagai tata cara
keagamaan bukan hanya dilakukan dalam prosesi yang besar dan kompleks, tetapi berbagai bentuk tata cara
agama

yang

dilakukan

sehari-hari

misalnya, sembahyang,

maturan,

mesaiban, dan

lain-lain

juga

merupakan dewa yajna.


(2) Rsi Yajna
Upacara-upacara yang tergolong dalam Rsi Yajna pada prinsipnya ada dua, yaitu penghormatan kepada orang suci
dan prosesi menjadi orang suci. Dalam Agama Hindu yang disebut dengan orang suci adalah Pinandita dan
Pandita

dengan

tingkat

penyucian

yang

berbeda. Pinanditaadalah Ekajati yang

disucikan

lewat

upacara Pawintenan, sedangkan Pandita adalah Dwijati yang disucikan lewat upacara Padiksan.
Pertama, penghormatan kepada orang suci dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada Beliau. Dalam
agama Hindu di Bali dikenal upacara Rsi Bhojana, yaitu memberikan suguhan makanan kepada para Wiku. Dalam

dimensi sosio-religius para Pandita dibebaskan dari kegiatanayah-ayahan desa, ini juga merupakan bentuk
penghormatan terhadap orang suci. Umat yang akan mengundang seorang Pinandita dan Pandita untuk
menyelesaikan (muput) sebuah upacara, biasanya menghaturkan Banten Pangoleman, yang pada intinya juga
wujud penghormatan kepada orang suci.
Kedua, prosesi

menjadi

orang

seorangWiku/Pandita. Upacara

suci

dibedakan

penyucian

untuk

untuk

seorang Pinandita/Pamangku, dan

menobatkan

seorang Pinandita dinamakan

upacaraPawintenan. Pada saat mulai belajar dilakukan Pawintenan Saraswati, sedangkan setelah melalui proses
belajar dan mulai menjalankan swadharma sebagai Pinandita dilakukan upacaraPawintenan khusus, antara
lain Pawintenan

di

Bunga,

Mahawisesa. Kekhususan
jenis lontas yang

pada

Pawintenan

Mentah,

Pawintenan

upacara Pawintenan untuk Pemangku tertentu


ditempatkan

Ranteng,dan Pawintenan
juga

tampak

di sanggar sebagai

upacara pawintenan.Misalnya, Pamangku menggunakan Lontar

pada
sarana

Kusumadewa dan Sangkul

Putih, Dalang

menggunakan Lontar Dharma Pawayangan, sedangkan Balian menggunakan Lontar Usadha.


Sementara

itu,

upacara

untuk

menjadi

seorang Dwijati disebut

upacara Padiksan atauMapodgala. Upacara Mediksa dilakukan oleh Guru Nabe yang disebut Napak. Kemudian
dilanjutkan dengan upacara Ngelinggihang Puja atau Ngelinggihan Weda, dalam waktu yang telah ditentukan
oleh Guru

Nabe karena

karya. Seorang Wiku/

menandakan

Pandita yang

bahwa

sang Wiku/Pandita telah

telah Ngelinggihan

Puja sudah

diperkenankan
berwenang

untuk muput

melaksanakan Loka

Palasraya atau pelayanan kepada umat, baik dalam hal muput karya atau dengan memberikan pencerahan
keagamaan.
(3) Pitra Yajna
Upacara-upacara yang berhubungan dengan Pitra Yajna sesungguhnya terdiri atas tiga upacara pokok, yaitu
perlakuan terhadap mayat, perlakuan terhadap tulang, dan perlakuan terhadap arwah. Upacara terhadap mayat
disebut sawa wedana atau lebih populer disebut Ngaben.Upacara terhadap tulang disebut Asti Wedana yang
lebih populer disebut Ngasti. Sedangkan pacara terhadap arwah dinamakan Atma Wedana yang lebih populer
disebut dengan Nyekah.
Upacara perlakuan terhadap mayat (Sawa Wedana) dimulai dengan upacara Nyiraman Layon(memandikan
jenasah), Ngeringkes (membungkus jenazah) dengan upacara sakral dan penuh simbolis sebagai persiapan akan
pergi jauh (luas doh) dan diharapkan pada saat kembali akan menjelma menjadi orang yang lebih baik. Kemudian
apabila mayat tidak langsung diupacarai dalam sistem Pangabenan maka dilakukan upacara menitipkan mayat,

baik dengan cara menanam (Makingsan di Perthiwi) atau membakar (Makingsan di Gni). Karena diawali dengan
penitipan

maka

masa

penitipan

ini

diakhiri

dengan

upacara Panebusan

(Nebusin) sebelum

upacara Pangabenan dilaksanakan. Setelah masa penitipan berlaku maka dilakukan upacaraPangabenan yang
pembukaannya diistilahkan dengan upacara Ngendag. Selanjutnya dilaksanakan upacara antropomorfis dengan
tema utpati, sthiti, dan pralina yang disebutNgaskara. Upacara Ngaben disudahi dengan upacara pembakaran
(Ngeseng).
Upacara terhadap tulang diawali dengan upacara mengambil tulang yang sudah terbakar dengan supit sehingga
dinamakan upacara Nyupit. Selanjutnya, tulang-tulang ini diletakkan teratur sesuai dengan pembagian denah
yang mewakili tiga bagian tubuh manusia (tri sarira) sehingga upacara ini disebut Ngereka. Kemudian tulang
tersebut dihancurkan lalu dimasukkan ke dalam nyuh gading dalam upacara Nguyeg. Setelah berbentuk Puspa
Asthi maka kini dilakukan upacara Ngirim yang disudahi dengan membuang abu tulang (Nguncal) sesuai dengan
tradisi, baik mengenai tempat pembuangan maupun tata cara dalam rangka pembuangannya.
Setelah upacara Ngaben dan Ngasthi dilaksanakan maka kini dilakukan upacara Nyekah sebagai upacara
penyucian Atma (Atma Wedana). Diawali dengan membuat perwujudan atma dengan menggunakan bermacammacam

bunga

sehingga

upacara

ini

dinamakan sekah atau Puspa

sarira, sedangkan

upacara Ngajum. Selanjutnya

dilaksanakan

Gunung. Upacara nyekah menurut

tingkatannya

mendapat

nama

upacara

upacaraNyekah. Perwujudan atma ini

mewujudkan Puspa

upacaraNgutpati,
ada

beberapa

macam,

Sarira dinamakan

Nganyut, dan Nyegaraantara

lain Nyekah,

Maligya,

Ngeluwer. Setelah semua upacara ini selesai maka puncak dari upacara Pitra Yajna adalah men-sthana-kan arwah
(Dewa Pitara)

di Sanggah

filsafati, pitra yang

dipuja

Kemulan yang dikenal dengan nama Ngelinggihang Dewa Hyang. Secara


di Sanggah

Kemulan (rong

telu)

adalah Dewa

Siwa dalam

wujudnya

sebagai Pitara, atau Siwa Pitaram Rupam.


Dalam kehidupan nyata di dunia ini, upacara Pitra Yajna semestinya tidak hanya dimaknai dengan bentuk
upacara kematian. Akan tetapi Pitra Yajna dapat dilakukan pada saat orang tua masih hidup, yaitu dengan
memberikan pelayanan, penghormatan, dan membahagiakan kehidupan Beliau. Semua pendahulu yang telah
berjasa pada manusia sesungguhnya adalahpitara, yang oleh umat Hindu di Bali disebut Bhatara, patut untuk
dihormati.
(4) Manusa Yajna

Upacara Manusa Yajna pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan manusia, yaitu
dengan menyucikan setiap tahap perkembangan manusia mulai dari proses pembuatan, bayi dalam kandungan,
kelahiran, dari perkembangan sampai meninggal.
Upacara perkawinan sebagai langkah awal untuk meneruskan keturunan merupakan fondasi penting untuk
membentuk anak yang suputra. Dalam upacara perkawinan yang terpenting adalah mekala-kalaan, yang pada
hakikatnya bertujuan untuk menyucikan spermatozoa (sukla) dan sel telur (swanita). Dengan pembersihan ini
diharapkan agar sukla-swanita yang bertemu menghasilkan bibit yang berbobot. Kemudian dilanjutkan dengan
upacara bayi dalam kandungan yang pada prinsipnya membentuk diri sang bayi sehingga menjadi anak
yangsuputra. Upacara dalam kandungan sampai bayi lahir secara garis besar meliputi, nelubulanin(kandungan
berumur 3 bulan), pagedong-gedongan (kandungan berumur tujuh bulan). Saat bayi lahir ada upacara rare
wawu

embas (bayi

lahir), kepus

pungset (lepasnya

ari-ari), tugtug

kambuhan (bayi

umut

42

hari), nigangsasihin/nyambutin (bayi umur 3 bulan), mapetik(mencukur rambut pertama kali), otonan (bayi
berumur 1 oton), tumbuh untu (tumbuh gigi),maketus (gigi tanggal pertama), rajasinga dan rajasewala (lakilaki/perempuan meningkat dewasa), matatah/mepandes (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).
Upacara manusa yajna dilakukan secara terus menerus setiap hari kelahiran disebut denganotonan. Di samping
itu secara sosiologis, manusa yajna adalah menghargai sesama manusia, memberikan pelayanan terhadap sesama
karena melayani sesama manusia sama artinya dengan melayani Tuhan (Manawa Sewa, Madhawa Sewa).
Dengan demikian upacara manusiayajna bukan saja berbentuk ritual, tetapi dapat diaplikasikan dalam wujud
yang lebih nyata dalam hidup sehari-hari.
(5) Bhuta Yajna
Ikang Bhuta Ngarania Kapujaning ring atuwuh (yang dimaksud Bhuta Yajna adalah kurban untuk seluruh
makhluk hidup). Menurut Lontar Sundarigama tersebut bahwa yang dimaksud dengan Bhuta yajna, bukan hanya
terhadap jenis makluk gaib (bhuta kala), melainkan seluruh alam semesta ini untuk menghadirkan keselarasan,
keseimbangan, dan keharmonisan alam. Oleh sebab itu tergolong dalam upacara bhuta yajna antara
lain mecaru (menurut jenis dan tingkatannya), sad kertih (manusa kertih, atma kertih (dilaksanakan dalam
upacara Pitra Yajnadan Manusa Yajna), danu kertih, bhuwana kertih, samudra kertih, dan wana kertih), dan
semua upacara tumpek (tumpek bubuh, tumpek kandang, tumpek landep, tumpek wayang, dan tumpek
kuningan).
Upacara Bhuta yajna yang rutin dilaksanakan di Bali adalah segehan, mulai dari segahan kepel putih dengan lauk
bawang, jahe, sampai dengan segahan agung yang menggunakan penyamblehyang pada umumnya berupa siap

selem (ayam hitam). Kemudian caru yang berdasarkan jenis dan tingkatannya meliputi Eka sata, Panca sata,
Panca

sanak,

Panca

Kelud, dan caru

Rsigana.

Caru dalam

wujud

yang

lebih

besar

disebut

dengan Tawur. Perbedaannya adalah Tawur selalu menggunakan minimal kebo sebagai wewalungan yang harus
dipersembahkan. Tawur menurut tingkatannya meliputi Tawur Balik Sumpah, Tawur Labuh Gentuh, Tawur
Panca Wali Krama, danTawur Eka Dasa Ludra.
Desa Pakraman sebagai Pelaksana Panca Maha Yajna
Pada hakikatnya, semua yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali khususnya merupakan jalan untuk
menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini
dikenal dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruan aspek Tri Hita Karana ini diimplementasikan dalam
kehidupan Desa Pakraman, yang ditandai dengan adanya Kahyangan Tiga.
Wilayah Desa

pakraman dibagi

dalam

tiga

wilayah

(Tri

Mandala), yaitu uttama

mandala,

madhya

mandala, dan nista mandala. Uttama Mandala adalah adanya Parahyangan (Kahyangan Tiga) diyakini sebagai
wilayah

sakral. Madhya

Mandala adalah

pemukiman,

yaitu

wilayah

yang

berada

antara sakral dan profan, sakral ditandai dengan adanya pamerajan, profan karena menjadi tempat aktivitas
rumah

tangga. Nista

Mandala adalah

pekarangan,

sawah, teba, dan

sebagainya,

merupakan

wilayah profan, tempat manusia melakukan aktivitas pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya. Desa Pakraman
sebagai satu kesatuan wilayah parahyangan, pawongan, dan palemahan merupakan wadah pelaksanaan agama
Hindu dan kebudayaan Bali, serta menjadi filter bagi masuknya kebudayaan asing.
Oleh karena Desa Pakraman adalah suatu kesatuan adat yang didalamnya mengatur sekelompok masyarakat adat,
maka diperlukan aturan adat yang disebut awig-awig. Pada prinsipnya awig-awig desa adat mengatur tiga hal
utama, yaitu Sukertaning Parahyangan, Sukertaning Pawongan, dan Sukertaning Palemahan. Dengan demikian
jelas bahwa Desa Pakraman bertujuan mewujudkan kebahagiaan krama dengan melaksanakan aturan-aturan
yang baik (sukerta) terkait dengan pelaksanaan kegamaaan, kemasyarakatan, dan lingkungan. Dalam hal
keagamaan, Desa Pakraman merupakan tempat pelaksanaan Panca Maha Yajna.Dalam hal kemasyarakatan, Desa
Pakraman merupakan wadah hidup bermasyarakat, dengan dasar paras paros sarpanaya, sagalak sagilik
salunglung sabayantaka. Dalam hal palemahan Desa Pakraman merupakan institusi yang menjaga tetap
terpeliharanya konsep Tri Mandala.Mengingat keseluruhan Panca Maha Yajna sebagai identitas keberagamaan
Hindu di Bali dilaksanakan dalam kehidupan Desa Pakraman, maka eksistensi Desa Pakraman sangat signifikan
bagi Agama Hindu dan Kebudayaan Bali.
Oleh Nanang Sutrisno, S.Ag, M.Si

DAFTAR PUSTAKA
Gorris, R. 1984. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhatara Karya Sastra
Koentjaraningrat. 1986. Sejarah Antropologi I dan II. Jakarta: UI-Press
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.
Pendit, Nyoman S, 1994, Bhagavad Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.
Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana
Kehidupan Beragama, Denpasar.
Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.
Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Denpasar: Upada sastra.
. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.
Sura, I Gde,dkk.2000. Siwatattwa. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan.
_____________. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana
Kehidupan Keagamaan.

Upacara lainnya yang juga secara berkala dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali ialah
Upacara Nyambutin. Tujuannya untuk melakukan pemujaan dan permohonan kepada
Tuhan Yang Maha Esa supaya sang jabang bayi diberkati dan supaya jiwa si bayi benarbenar menyatu dengan raganya. Upacara ini juga sekalian dalam memohon izin kepada
Bumi Pertiwi supaya diperkenankan menginjakkan kaki di tanah.

Secara bahasa, kata Nyambutin berasal dari


kata sambut. Sehingga bila diuraikan lebih jauh lagi, Nyambutin memiliki makna
memberikan ucapan salam, atau selamat datang kepada jabang bayi. Dalam kepercayaan
leluhur masyarakat Bali ada yang disebut dengan Sekala (terlihat) dan Niskala (tidak
terlihat). Kelahiran bayi ke dunia, dipercaya tidak sendirian melainkan bersama temannya
namun tidak terlihat sehingga dinamakan Niskala.
Kapan dilakukannya?

Upacara ini dilakukan ketika umur si bayi


105 hari atau 3 bulan. Mengapa demikian? Karena pada usia 3 bulan sang bayi sudah
mulai belajar duduk, dimandikan, sehingga sudah dianggap siap untuk menginjak bumi
(belajar jalan). Dan dalam tahapan menjelang bayi berkenalan dengan bumi itulah
orang tuanya harus menggelar upacara untuk meminta izin kepada Sang Bumi.

Pelaksanaannya sendiri dipimpin oleh


seorang pemangku yang biasanya digelar didepan rumah dengan sesajen yang diletakkan
di sebuah meja kecil. Sebelum upacara berlangsung, bayi dan orang yang mengikuti
kegiatan upacara duduk dibelakang pimpinan upacara, lalu disiapkan daun dadap, benang
dan kapas putih. Ritual upacara pemujaan ini di tujukan kepada Bhatara Surya, ini
bermakna agar si bayi mendapat berkah, persembahan ini juga diberikan untuk para
dewa, adapun dewa tersebut I Ratu Taksu Pengijen, I Ratu Gede di Dasar dan I Ratu
Gede.
Demikian juga, persembahan diperuntukkan bagi dewa yang berada di bumi yaitu I Ratu
Bagus Blangsingan, persembahan yang terakhir di berikan kepada Dewa Rajapati, dewa
yang menjaga Plasenta (ari-ari) si bayi, semua persembahan ini mempunyai tujuan agar
sang bayi mendapat perlindungan dan keselamatan dari Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa) lewat menifestasinya Bhatara Surya.

Anda mungkin juga menyukai