Anda di halaman 1dari 29

1

AGAMA HINDU DI BALI DAN PENGARUHNYA TERHADAP


SISTEM AGAMA ADAT DAN BUDAYA HINDU

Sesuai dengan sifat Sejarah, bahwa pengetahuan


mengenai kedatangan Hinduisme di Bali didasarkan atas
fakta yang dapat dikumpulkan. Menurut hasil penelitian
para ahli sejarah, bahwa Hinduisme yang datang di Bali,
ada yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera dan ada juga datang dari Thailand. Kapan
mulai masuknya Hinduisme di Bali ? menurut bukti-bukti
dalam Stupika Buddha yang terdapat di Pura
Penataran Sasih di Pejeng, bahwa dalam abad ke 8 di
Bali telah terdapat Hinduisme dalam wujud agama
Buddha Mahayana dan agama Siwa. Juga prasasti
tembaga yang tersimpan di desa Sukawana Kintamani
tahun 882 Masehi sudah menyebutkan nama-nama
Bhiksu Siwa Nirmala, Bhiksu Siwa Praja dan Bhiksu Siwa
Kangsita. lni berarti keberadaan agama Siwa dan agama
Buddha di Bali adalah pada kurun waktu yang
bersamaan.

Dari data-data sejarah Bali Kuna, diperoleh keterangan,


bahwa raja-raja Bali Kuna sebelum kedatangan Gajah
2

Mada ke Bali tahun 1343 Masehi, adalah memeluk


agama Buddha Mahayana. Agama Buddha Mahayana di
Bali dianut oleh raja-raja dan para pejabat tinggi
pemerintahan Bali Kuna dahulu, sedangkan agama Siwa
dianut oleh masyarakat.

Perluluhan agama Siwa dengan Buddha secara intensif


di Bali, dimulai sejak akhir abad ke 10, ditandai dengan
perkawinan Dharma Udayana raja Bali Kuna yang
beragama Buddha Mahayana dengan Mahendradatta
putri raja Jawa Timur yang beragama Siwa. Sejak itu
agama Siwa berkembang secara meluas di Bali dan
agama Buddha tidak mengembangkan dirinya,
melainkan lu1uh ke dalam agama Siwa (baca : Hindu).

Pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu di Bali


(abad ke 11), datanglah Empu Kuturan dari Jawa Timur
ke Bali. Be1iau berkedudukan di Silayukti Padangbai
sekarang. Empu Kuturan datang ke Bali, mengajarkan
konsepsi pemujaan Tri Murti dan diterapkan pada
masing-masing desa pakraman. Beliau juga
mengajarkan tentang Upacara Ngaben Swasta, tentang
3

upacara Manusa-Yajna (Dharmakahuripan), tentang


cara membuat meru di Besakih, tentang pedagingan
pa1inggih dan mendirikan Sad Kahyangan Jagat Bali
serta beberapa Kahyangan lainnya lagi dan lain-lainnya.
Disamping itu beliau juga menyempumakan kehidupan
agama Hindu di Bali dari sebelumnya serta menghimpun
beberapa sekte agama Hindu yang telah ada di Bali
seperti : sekte Kala, sekte Sambhu, sekte lndra,
sekte Brahma, sekte Waisnawa dan sekte Saiwa.

1. Kala paksa : mengajarkan tentang upacara untuk


tanam-tanaman (pertanian).
2. Sambhu paksa : mengajarkan tentang
mengupacarai jagat (bhuwana), mengadakan tawur
dan caru kepada Panca maha bhuta.
3. Indra paksa : mengajarkan tentang mengupacarai
laut, gunung, merebu bumi ngenteg linggih
(Dewahara).
4. Agni paksa : mengajarkan tentang mengupacarai
atma atau rokh manusia serta sekalian mahluk
(sarwa prani).
4

5. Waisnawa paksa : mengajarkan tentang


mengupacarai danau, sawah, ladang dan segala
pembersihan lahir bathin.
6. Saiwa paksa : mengajarkan tentang
mengupacarai manusia dalam bentuk upacara-
upacara Janmaprawerti dan Dharmakahuripan.

Singkatnya :

Sambhu paksa :  mengajarkan Jagatkrtih

 lndra paksa:  mengajarkan Samudrakrtih

Agni paksa  :  mengajarkan Atmakrtih

Waisnawa paks:  mengajarkan Danukrtih

Kala paksa     : mengajarkan Wanakrtih

Siwa paksa       :  mengajarkan Janakrtih

Ajaran tersebut diatas disebut Sad-Kertih yang


menjadi dasar dari bentuk-bentuk upacara agama Hindu
5

di Bali yang akhimya disempumakan dan dicakup ke


dalam Panca Yadnya, disertai paham Tantrayana.

Pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong di


Gelgel (1460-1550 Masehi), datanglah Dang Hyang
Nirartha dari Kediri Jawa Timur Ke Bali. Kedatangan
beliau ke Bali bertujuan ganda yaitu :

1. Mempertahankan Bali dari desakan paham baru


(baca : Islam) yang telah meruntuhkan Majapahit.
2. Meningkatkan dan menyempurnakan cara-cara
hidup beragama Hindu di Bali menuju kepada
kemurniannya.

Beliau mengajarkan tentang Tripurusa dalam konsepsi


Siwa Sidhanta yaitu : Siwa, Sada Siwa dan Parama
Siwa yang diidentikkan dengan Tri Murti. Beliau juga
mengajarkan membuat palinggih Padmasalla sebagai
linggih Hyang Widhi. Beliau melakukan Karya
Ekadasarudra di Besakih, guna memohon kesentosaan
rakyat Bali. Selain itu beliau juga mengajarkan tentang
Panca Yadnya yang disempurnakan di Bali dan juga
menyusun Weda yang dipakai pegangan oleh para
6

Pedanda sekarang di Bali. Beliau adalah sastrawan besar


dan berbagai karya sastra beliau diwariskan di Bali
sekarang seperti : Dharmasunya, Nitisastra,
Ekapratama, Usana Bali, Ampik, Sebun Bangkung
dan sebagainya. Perjalanan beliau sebagai dharmayatra
di Bali banyak diabadikan dalam Pura, seperti :
Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti Tenget,
Uluwatu, Sakenan, Air Jeruk, Ponjok Batu dan
sebagainya. Beliau berdharmayatra sampai ke Lombok
dan Sumbawa dan akhimya moksa di Uluwatu.

Dalam periode ini pula datanglah Dang Hyang Astapaka


dari Jawa Timur ke Bali. Beliau adalah seorang pendeta
Buddha dari keturunan Dang Hyang Angsoka yang
beraliran Wajrayana dengan pemujaan yang terutama
kepada Wairocana yaitu Dhyani Buddha yang di
tengah dalam susunan Panca Tatagatha Buddha.
Keturunan beliau sekarang terdapat di desa Budha
Keling Karangasem, di desa Batuan-Gianyar dan juga
tempat lain.
7

Pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali yang


berasal dari Majapahit menerapkan tradisi yang berlaku
di Majapahit seperti dalam upacara-upacara agama
yang besar dipimpin oleh pendeta Siwa dan Buddha,
sebagaimana diuraikan didalam Negarakertagama
yang kita warisi sekarang ini di pulau Bali dan
berkembang menurut desa, kala dan patra.

Dalam perkembangan lebih lanjut, bahwa sejarah


mencatat terjadinya perubahan sistem kenegaraan di
Indonesia. Dengan dijajahnya Indonesia oleh Belanda,
maka mulailah diterapkan pendidikan klasikal di
Indonesia, dengan sistem pendidikan baru. lni
mengakibatkan berkembangnya pemikiran intelektual di
masyarakat termasuk dikalangan umat Hindu. Dengan
demikian maka ajaran-ajaran agama Hindu mulai dikaji
secara mendalam dengan menggunakan pendekatan
ilmiah dan analisis-analisis rasional. Hal yang demikian
itu dipelopori oleh orang-orang Hindolog yang berhasil
menyelesaikan pendidikannya di India. Mereka mulai
memperkenalkan Kitab Bhagawadgita dan Kitab-kitab
Upanisad yang sebelumnya kurang dikenal di
8

Indonesian. Pandangan-pandangan rasional


bermunculan dan secara perlahan-Iahan menggugah
hati nurani Umat Hindu untuk memperdalam
pengetahuan serta keyakinannya terhadap agama
Hindu. Ini adalah proses awal terbentuknya Parisada.

Sekarang Umat Hindu telah tersebar di seluruh propinsi


di Indonesia, lebih-Iebih lagi di Jawa Tengah dan di
Jawa Timur. Berkembangnya kembali Umat Hindu di
Indonesia yang pemah mengalami masa kejayaan di
Indonesia jaman Majapahit, bukanlah berarti
menyebarkan agama baru, melainkan mereka sendiri
dengan penuh keyakinan untuk kembali menganut
agama Hindu yang dianut oleh nenek moyangnya
dahulu.

II.  PENGERTIAN TANTRAYANA

Tantrayana berpangkal pada Konsepsi-Dewi (Mother


Gooddes) yang bukti-buktinya terdapat di Lembah
Sidhu. Dari Konsepsi-Dewi itu muncullah Saktiisme
yaitu suatu ajaran yang mengkhususkan pemujaannya
9

kepada Sakti, yaitu kekuatan dari Dewa, terutama sekali


pemujaan terhadap Dewi Durga. Golongan pemuja Sakti
disebut Sakta. Perkembangan lebih lanjut dari
Saktiisme itu munculan Tantrisme. Golongan itu
memuja Sakti secara Ekstrim dan mereka disebut
Tantrayana. Tantra berasal dari kata Tan artinya
memaparkan (memaparkan kekuatan dari Sakti itu).
Dari Tantrisme ini muncullah suatu pada Bhairawa
yang artinya Iwhat. Paham Bhairawa itu secara khusus
memuja kehebatan daripada Sakti itu, dengan caracara
yang spesifik. Mereka melaksanakan barata lima MA,
yaitu: mamsa, matsya, madhya, maituna dan
mudra yang disebut Panca Tattwa. Praktek ajarannya
pada waktu malam diatas kuburan serta ditempat yang
angker dan mereka menggunakan masker. Kegunaan
dari pada ini adalah untuk mendapatkan kharisma yang
tinggi yang diperlukan dalam suatu pengendalian
pemerintahan. Maka dari itu aliran ini hanya diikuti olh
Raja dan Staf Pejabat Tinggi saja jaman dahulu.
Bhairawa ada tiga macam yaitu : Bhairawa Heruka,
Bhairawa Kalacakra dan Bhairawa Bhima. Aliran ini
10

mempunyai tendensi politik dalam suatu pemerintahan


dalam menghadapi musuh.

Di Bali, perkembangan dari Konsepsi-Dewi itu nyata


sekali yaitu pemujaan Dewi/Bhatari lebih menonjol dari
pada pemujaan Dewa/Bhatara, misalnya pemujaan
terhadap Dewi Saraswati, Dewi Durga, Dewi Sri, Ibu
Pertiwi dan sebagainya. Di dalam sistem kekeluargaan
di Bali, banyak sekali dijumpai Pura Ibu.

Perkembangan Saktiisme di Bali, menjurus kepada dua


aliran yaitu : Pangiwa dan Penengen. Kelompok
Pangiwa memunculkan : Leyak, Desti, Teluh Taranjana
dan Wegig. Kelompok Panengen memunculkan
Kawisesan dan Pragolan. Pangiwa berasal dari sistem
Niwerti dalam Bhairawa, sedangkan Panengen berasal
dari sistem Prawerti dalam Bhairawa.

III.   CAKUPAN SUBSTANSI AGAMA HINDU DI


BALI

3.1 Alam Pikiran Lokal


11

Alam pikiran (baca : Bali) adalah bersifat fleksibel dan


elastis yaitu mau menerima unsur-unsur pengaruh luar
secara selektif untuk memperkaya pemikiran di Bali dan
memberikan warna tersendiri serta mengembangkannya
menurut alam pikiran Bali, sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan sifat-sifat dan kepribadian
masyarakat Bali. Pandangan yang luwes itu melandasi
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial,
budaya dan agama Hindu di Bali, sehingga mampu
beradaptasi dengan produk-produk pemikiran dari luar,
tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kepribadian
masyarakat Bali.

Sebelum kedatangan agama Hindu di Bali, Bali (baca :


Indonesia) telah memiliki unsur-unsur kebudayaan yang
bemilai tinggi yang di dalam bahasa populernya disebut
local genious, disamping juga memiliki alam pikiran
kerohanian dalam wujud religi yang bemilai tinggi. Alam
pikiran inilah yang disebut alam pikiran lokal yang telah
ada sebelum datangnya pengaruh Hindu di Bali.
12

Setelah datangnya pengaruh Hindu di Bali dalam wujud


sosial, budaya dan agama, maka terjadilah akulturasi
kebudayaan dan sinkritisme kepercayaan antara alam
pikiran lokal di Bali dengan pengaruh Hindu yang
selanjutnya berproses sedemikian rupa dan muncullah
tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di
Bali. Oleh karena kualitas alam pikiran Hindu lebih tinggi
daripada alam pikiran lokal di Bali, maka dalam proses
akulturasi dan sinkritisme itu alam pikiran lokal menjadi
dasarya dan pengembangannya diwamai oleh alam
pikiran Hindu. Dengan lain perkataan, bahwa tatanan
kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali
sekarang adalah agama Hindu yang dilandasi oleh alam
pikiran lokal di Bali.

Terjadinya hubungan harmonis antara alam pikiran lokal


dengan alam pikiran Hindu di Bali disebabkan oleh dua
hal yaitu :

1. Alam pikiran lokal mau menerima alam pikiran


Hindu secara selektif dan menyesuaikannya dengan
alam pikiran lokal yang hidup di Bali.
13

2. Alam pikiran Hindu yang masuk ke Bali tidak


bersifat kaku, melainkan menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi alam pikiran lokal di Bali. Hal itu
disebabkan karena adanya konsep : desa, kala,
patra dan nista, madya, utama dalam alam pikiran
Hindu. Inilah menyebabkan mengapa agama Hindu
dapat hidup sepanjang zaman sehingga selalu up to
date.

Beranjak dari analisis ini, maka tidak semua pengaruh


Hindu diserap secara utuh di Bali, melainkan diambil dan
dipilih yang sesuai dengan alam pikiran lokal di Bali
(baca : Indonesia), Catur Weda, Manawadharmasastra,
Nawadarsana, Ajaran Sekte, Tata Kemasyarakatan,
Seni-Budaya, upacara dan lain-lainnya. Dari sini dapat
diketahui bahwa dalam banyak hal kehidupan agama
Hindu di India berbeda dengan agama Hindu di Bali,
kecuali sumbernya yang sama yaitu Weda.

3.2  Sinkritisme Substansi Sekte

Di dalam bahasa Weda, sekte itu disebut paksa yang


artinya bagian. Sekte-sekte itu telah ada sejak zaman
14

Reg Weda. Munculnya sekte-sekte itu karena


penonjolan pemujaan kepada Dewa-Dewa tertentu.
Dewa-dewa yang terkenal di dalam Reg Weda antara
adalah : agni, Indra, Marutha, Rudra dan lain-lainnya.
Perkembangannya kemudian terutama zaman Upanisad,
sekte-sekte itu bertambah banyak, bahkan banyak
muncul sub-sekte antara lain : Saiwa, Waisnawa,
Brahma, Saura patha, Indra, Wayu, Kala, Tantrayana
dan sebagainya. Sekte Saiwa terbagi menjadi 4 aliran
yaitu : Ganapatha, Linggayat, Pasupatha dan Siwa
Sidhanta. Demikian pula sekte yang lain juga terbagi
menjadi aliran-aliran.

Sekte-sekte ini masuk ke Indonesia dan ke Bali pada


tahap awal kedatangan pengaruh Hindu ke Indonesia
dan Bali. Dr. R. Goris menyatakan ada 9 sekte agama
Hindu di Bali yaitu : Siwa-Sidhanta, Pasuphatha,
Bhairawa, Waisnawa, Buddha, Brahmana, Resi,
Ganapatha dan Sora. Tetapi di dalam lontar Sad Agama
disebutkan ada 6 sekte agamaHindu di Bali yaitu :
Brahma, Waisnawa, Saiwa, Bauddha, Kala dan Bayu.
Apabila diteliti secara seksama, baik di dalam tradisi,
15

maupun didalam prasasti dan kesusastraan, dapat


disimpulkan sekte-sekte agama Hindu yang ada atau
pemah ada di Bali adalah:

1. Brahma : Homatraya dan Agenisala


2. Waisnawa    : Danukrtih;
3. Linggayat     : Pemujaan Lingga;
4. Ganapatha  : Pemujaan Gana;
5. Pasupatha   : Pemujaan Pasupati ;
6. Siwa-Siddhanta : Pemujaan Tripurusa
7. Tantrayana : Pemujaan Durga dan Dewi;
8. Indra :  Pemujaan Akasa dan mohon hujan;
9. Kala     :    Mengupacarai Gunung dan Lautan ;
10. Sambhu   :    Mengupacarai Jagat ;
11. Bayu :    Pemujaan terhadap kekuatan (pramana)
12. Saurapatha    :    Pemujaan Surya;
13. Bauddha  :    Pemujaan Wairocana ;

Sekte-sekte ini mengalami perluluhan atau sinkritisme


antara yang satu dengan yang lain. Proses
perluluhannya adalah sebagai berikut :
16

1. Perluluhan pertama terlihat pada prasasti Canggal


tahun 732 di Jawa Tengah dimana Brahma- Wisnu-
Siwa dipuja dalam kesatuan vertikal dengan
mentokohkan Dewa Siwa sebagai pujaan yang
utama.
2. Perluluhan kedua terlihat pada prasasti Klurak
tahun 762 M di Jawa Tengah antara agama Hindu
(baca : Tri Murti) dengan agama Buddha
Mahayana. Perluluhan Siwa-Buddha ini makin kuat
di Jawa Timur mulai Zaman pemerintahan raja
sendok dan berlanjut sampai zaman Singosari dan
zaman Majapahit serta ke Bali.
3. Perluluhan ketiga terjadi secara intensif di Bali
dimulai dari periode Empu Kuturan di Bali tahun
l039 M, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat,
Ganapatha, Pasupatha dan Siwa-Sidhanta)
luluh dan menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.
2. Sekte-sekte yang lain (selain Bauddha) luluh
menjadi satu yaitu : Tri Murti yang terdiri dari :
17

Brahma- Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu


kesatuan vertikal.
3. Konsepsi Tri Murti di Bali luluh dengan
Konsepsi Tripurusa yang merupakan hakekat
dari pada ajaran Siwa-Sidhanta dengan
menonjolkan Paramasiwa sebagai Sang
Hyang Widhi.
4. Konsepsi Tripurusa seperti, luluh dengan
Konsepsi Buddha Mahayana dengan
menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca
Dewata dalam agama Hindu. Di dalam
perluluhan Siwa-Budha ini, Siwaisme lebih
dominan dari pada Buddhisme.

Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu


menjadi satu konsepsi agama Hindu dan ditopang oleh
nilai-nilai alam pikiran lokal di Bali yang hidup di
masyarakat. Inilah gambaran kehidupan agama Hindu di
Bali yang telah belangsung harmonis secara turun-
temurun dalam tatanan masyarakat Hindu di Bali.
18

Berbeda halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu


berdiri sendiri dan sulit terjadinya perluluhan antara
sekte yang satu dengan sekte yang lain, bahkan
bertentangan antar sekte banyak sekali.

3.3  Menghayati Agama Secara Utuh

Agama harus dihayati, dicamkan, direnungkan dan


diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Agama bukan hanya diomongkan, melainkan
dilaksanakan dengan penuh keyakinan yang bermuara
pada logika dan rasa batin (atmanastuti). Ada dua
komponen yang terpadu dalam agama yaitu: rasa dan
rasio. Didalam perpaduan ini, rasa (baca : rasa batin)
mendominasi, karena Sang Hyang Widhi tidak
membedakan orang yang pintar dengan orang yang
bodoh, melainkan membedakan orang yang batinnya
suci dengan orang yang batinnya kotor. Dalam hal ini
ada dua istilah yang dapat diangkat, yaitu: ahli agama
dan agamawan. Ahli agama belum tentu agamawan,
tetapi agamawan sudah tentu tahu agama walaupun
19

sangat minim. Karena itu agamawan lebih tinggi nilainya


dari pada akhli agama.

Metoda yang baik untuk mewujudkan dalam kehidupan


adalah melaksanakan Catur-Marga (bhakti-marga,
karma-marga, jnana-marga dan yoga-marga) secara
utuh, karena hal itu merupakan suatu kesatuan.
Tidaklah dibenarkan apabila Catur-Marga itu
dilaksanakan secara terpisah-pisah, karena kualitas
sumber daya manusia umat tidak sama kuatnya, maka
adanya penonjolan salah satu marga itu dapat
dipahami, namun harus tetap dalam konteks kesatuan
Catur-Marga itu secara utuh.

Kita memahami, bahwa agama Hindu memiliki tattwa,


susila, upacara dan acara. Inipun harus diwujudkan
secara nyata didalam kehidupan sehari-sehari, karena
semuanya itu merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Apabila menonjolkan tattwa (baca: filsafat)
saja tanpa diwujudkan dengan susila, ini akan dapat
memunculkan kemunafikan. Apabila menonjolkan susila
saja tanpa melaksanakan upacara (dalam arti luas), ini
20

sulit menamakan apakah mereka beragama atau tidak.


Apabila upacara saja tanpa disadari tattwa dan susila,
ini dikatakan dogmatis. Demikian pula apabila
melaksanakan acara (tradisi) saja tanpa didasari tattwa
dan susila, ini dikatakan buta.

Maka dari itu kewajiban kita umat Hindu haruslah


melaksanakan agama secara utuh, mencakup tattwa,
susila, upacara dan acara, sehingga suatu
kesempurnaan akan dapat dicapai didalam kehidupan
ini. caranya adalah : tattwa harus dicamkan, susila
harus dijadikan pedoman dan arahan berperilaku,
upacara harus dilakukan atas dasar Catur-Marga, dan
acara harus dihormati sebagai nilai luhur warisan
budaya bangsa. Dengan demikian kesejahteraan batin
dan kemantapan rohani serta kestabilan jiwa akan dapat
dicapai dalam kehidupan.
21

IV. KOMPARASI KEHINDUAN DI INDIA DENGAN


BALI

4.1 Sosial, Budaya dan Agama Hindu

4.1.1. Sosial:

Masyarakat Hindu di India terdiri dari beberapa


ethnis dan tribes seperti: Dravida, Arya, Naga, Sikh
dan lain-lain (Agama Sikh adalah campuran Hindu
dengan Islam) yang masing-masing menampakkan
kharakternya sendiri-sendiri. Di sana ada
perkampungan-perkampungan seperti desa di Bali
yang disebut Asrama. Srama yang besar atau
kumpulan beberapa Srama disebut Pura yang
berarti kota semacam Kota Kecamatan di Bali.
Kehidupananya sangat kumuh dan kotor berbaur
dengan ternak sapi yang diperliharanya dan banyak
sekali sapi liar yang berkeliaran di jalan-jalan.

Keadaan perkonomian masyarakatnya sangat lemah dan


mundur serta banyak pengemis yang berkeliaran di
jalan-jalan. Pada umumnya tanah-tanah dikuasai oleh
tuan-tuan tanah dan banyak rakyat kecil yang tidak
22

mempunyai tanah. Hal ini mungkin disebabkan


penduduk India sangat padat ± 900 juta jiwa,
disamping juga karena dampak politik swadesi dan
satyagraha yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi yang
menyebabkan ketertutupan India dari pengaruh  dunia
luar.

Suatu hal yang menarik perhatian dan merupakan suatu


ironis adalah murahnya harga kain sutra dan woll.
Demikian pula buku-buku yang bagus berstandar
internasional sangat banyak dan murah harganya bila
dihitung dengan rupiah Indonesia. Makanan pokok
sehari-hari adalah susu dan tepung beras dan gandum
yang diramas sedemikian rupa dicampur gula dan
bumbu-bumbuan yang pedas. Jenis makanan yang
paling umum di India adalah capati (seperti jajan
kering) dan tali (semacam jajan dicampur kentang dan
sayur-sayuran). Orang India sebagian besar vegetarian,
lebih-lebih lagi di daerah Resikesh dan Haridwar di India
Utara yang menerapkan kehidupan full vegetarian dan
juga didalam kehidupan Ashram-Ashram.
23

4.1.2. Budaya

Pada umumnya orang India pandai bersilat lidah, kikir


dan sulit dapat menepati janji. Mereka sangat
berorientasi kepada nilai-nilai spiritual dan agaknya
menyampingkan nilai-nilai kehidupan duniawi, sehingga
tampaknya kurang seimbangnya antara kehidupan skala
dan niskala.

Produk budaya dalam wujud ilmu pengetahuan,


teknologi, kesusastraan dan filsafat, sangat maju di
India. Demikian pula arsitektur bangunan suci seperti
Mandir, misalnya memakai style Gotic dan iconografi
style Hellen memancarkan wujud yang anggun dan
megah.

4.1.3. Agama

Di India terdapat penganut agama Hindu (?) yang


mayoritas, dan penganut agama Sikh serta penganut
agama Islam yang sedikit jumlahnya. Situasi kehidupan
antar umat beragama di India, menampakkan suasana
yang tidak rukun dan sangat mudah munculnya
bentrokan antara yang satu dengan yang lain.
24

Setelah memperhatikan buku-buku yang dikeluarkan


oleh Sekte Saiwa, sekte Waisnawa, sekte Tantrayana
dan Budhis serta buku-buku dari berbagai aliran dan
paham di India, Ashram di India, dapat disimpulkkan
bahwa di India tidak ada yang disebut agama Hindu
sebagai suatu kesatuan di India. Di India tidak ada satu
lembaga umat yang mengkoordinasikan dan membina
masyarakat Hindu seperti parisada di Indonesia. Di India
ada Parisad (baca : Parisada), namun lembaga itu
bukanlah lembaga atau majelis umat, melainkan
merupakan suatu parlemen yang bersifat lembaga
politik dalam  negara sekuler.

Untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan


agama di India, disini diangkat hal-hal yang menonjol di
India seperti berikut ini:

1. Keagamaan di India bersifat Sektarian. Sekte yang


menonjol ada tiga, yaitu : Saiwa, Waisnawa dan
Tantrayana, disamping juga adanya banyak sekte
yang lain. Pemujaan terhadap Brahma juga ada,
namun keadaannya tidak seperti pemujaan
25

terhadap Siwa, Wisnu dan Durga. Pemujaan Tri


Murti disana dilakukan horizontal dan masing-
masing Dewa dipuja terpisah secara tersendiri oleh
pemujanya masing-masing. Disamping itu disana
ada banyak Ashram yang mengajarkan sistem
pendidikan kerohanian sendiri-sendiri dengan pola
orientasi dan arahan sendiri pula.
2. Theisme atau Konsepsi Ke-Tuhanan di India
agaknya kabur antara pemujaan terhadap Dewa
dan Dewi dengan pemujaan terhadap individu yang
suci seperti terhadap : Rama, Krishna, Hanoman
dan lain-lain. Juga terjadi kekaburan antara
personel dengan impersonal dalam imaginasi
perwujudan Dewa dan Dewi. Demikian pula
pentokohan terhadap seorang Guru Suci adalah
sangat penting di hati para pengikutnya. Guru Suci
inilah yang berperan sangat besar dalam kehidupan
kerohanian di India seperti Swami Wiwekananda
misalnya. Peran pemerintah di bidang keagamaan
tidak begitu besar, karena India merupakan suatu
Negara Sekuler
26

3. Aktivitas keagamaan menonjolkan doa-doa dan


pujian-pujian dalam bentuk Hymne daripada
upacara ritual yang ceremonial.
4. Prasarana keagamaan terlihat dalam wujud Mandir
dan Arca-Arca, sedangkan sarana pemujaan yang
digunakan hanyalah: bunga, air dan api.
Penggunaan bunga dan air dalam pemujaan adalah
berasal dari kebudayaan bangsa Arya, sedangkan
penggunaan api adalah berasal dari kebudayaan
bangsa Dravida. Suatu hal yang menarik perhatian
adalah pada setiap tempat suci terdapat Arca
(image) yang menjadi fokus konsentrasi pemujaan.
Secara konseptual rupa-rupanya personifikasi
Tuhan yang abstrak atau impersonal itu sangat
dominan didalam imaginasinya.
5. Kehidupan yang tidak seimbang. Orang-orang di
India lebih menitikberatkan orientasi kehidupannya
kepada sunyata dan mengesampingkan nilai-nilai
sekala atau duniawi. Mereka dalam kesehariannya
sebagian besar waktunya disita untuk merenung
dan berdoa serta memuji-muji tokoh kerohanian
27

yang dipujanya. Oleh karena itu tampaknya mereka


kurang bersemangat meningkatkan kualitas
kehidupan duniawinya. Disana sulit membedakan
antara orang Sanyasin dengan orang peminta-minta
yang sangat banyak berada disekitar tempat-
tempat suci. Selain itu sifat mengkultuskan sapi
sangat berlebihan di India.

4.2.   Sosial, Budaya dan Agama di Bali

Kita patut bersyukur, bahwa kita diwarisi suatu tatanan


kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu yang telah
mantap dan konseptual. Aktivitas agama Hindu di Bali
cukup semarak dan meriah serta konseptual, karena
ditopang oleh adat yang kukuh dan elastis, seni budaya
yang kreatif serta bernilai tinggi. Agama Hindu
menyinari kehidupan sosial budaya yang memberikan
orientasi dan arahan di dalam kehidupan, sedangkan
sosial budaya menopang dan mewujudkan ajaran
agama dalam kehidupan masyarakat, sehingga
menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat
28

socio-religius yang mantap dan etis-moralis serta


dharmais.

Konsep kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di


Bali adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama
(Jagadhita) melalui keseimbangan antara kesejahteraan
pisik (sekala) dengan kesejahteraan rohani (niskala),
sesuai dengan hakikat daripada Rwabhnieda yang
mencanakangkan suatu konsep monodualis.

Kita mengakui, bahwa memang benar agama Hindu di


Bali berasal dari India dalam arti konsepsi, pokok-pokok
ajaran dan sumber kerohanian namun sosialisasi dan
penerapannya di masyarakat Bali adalah berbeda
dengan di India. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai
kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu di Bali, telah
memiliki akar yang kuat dalam kepribadian bangsa
Indonesia khususnya Bali, sehingga menampilkan
identitasnya tersendiri. Maka dari itu adalah tidak pas,
apabila konsep-konsep pemikiran India di terapkan
secara utuh di Bali, tanpa terlebih dahulu mengkajinya
secara mendalam dan menerapkannya tanpa
29

penyesuaian dengan alam pikiran dan kultur masyarakat


Bali yang telah mantap secara turun- temurun.

Apabila keadaan ekonomi memungkinkan, akan sangat


baik apabila kita datang ke India untuk menyaksikan
kehidupan sosial, budaya dan agama di India serta
merasakan getaran kesucian kerohaniannya. Setelah
berada di India, maka lihatlah Bali milik kita sendiri.
Kita  akan memperoleh kesan, bahwa sesungguhnya
kehidupan sosial, budaya dan agama Hindu serta
getaran kesucian kerohaniannya di Bali adalah jauh
lebih baik daripada di India. Hal ini telah diakui oleh
beberapa orang India sendiri yang telah berkunjung ke
Bali.

Anda mungkin juga menyukai