Anda di halaman 1dari 12

TRADISI MEBOROS I BULU PANGI (KIJANG) DALAM RANGKA

UPACARA NGUASA DESA ADAT KEKERAN.

TUGAS 1 SEMESTER BAHASA INDONESIA

KADEK ARIMA DEWANTARA


FILSAFAT HINDU
SEMESTER ( 1 )
TRADISI MEBOROS DALAM UPACARA NGUSABE
DESA ADAT KEKERAN KAJIAN FILSAFAT HINDU

AWAL MULA MUNCULNYA TRADISI MEBOROS.


Awal mula tradisi meboros masyarakat desa adat kekeran berawal dari keberhasilan desa
Busungbiu dalam pembangunan pura desa Puseh. Berkisah tentang kedatangan Gusti Patih Cili
Ularan bersama 200 orang prajurit dan 2 (dua) orang penasehat, dari Suweca Pura ke Tabanan,
langsung ke Wong Ayu, dari sana ke Puncak Kedato Watukaru. Setelah sekian lama mengembara,
Gusti Patih Cili Ularan saat itu sampai di suatu tempat bernama Gedang Janur atau Busungbiu.

Lantas Ia bertemu dengan pimpinan desa yang saat itu dipimpin oleh Gede Mariada dan tokoh
agama Ida Pranda Sakti Sinuhu. Kedatangannya sangat disambut baik di desa Gedang Janur, saat
itu hanya 66 orang prajuritnya yang menemani Gusti Patih Cili Ularan. Dari latar belakang itulah
mulai tergugah untuk membangun Pura Puseh desa, yang pada saat itu desa busungbiu masih
kecil dan dihuni oleh beberapa orang saja.

Akhirnya Gusti Patih Cili Ularan menetap di Gedang Janur, mulailah beliau membangun pura
puseh desa dimana tokoh agama pada saat itu Ida Pranda Sakti Sinuhun akan memberikan I Bulu
Pangi (kijang) sebagai sarana upacara. Pada saat rahina pernamaning kapat penanggalan Bali
tepatnya sekitar tahun 1500, upacara piodalan pertama dilaksanakan, dan menggunakan sarana
kijang sebagai sesajen upacara.

Semenjak saat itulah masyarakat selalu menggunakan kijang sebagai sarana upacara dan
melaksanakan tradisi meboros untuk mendapatkan I Bulu Pangi (Kijang) Banyak makna yang
terkandung dalam cerita awal mula pelaksanaan tradisi meboros, serta sebagai pegangan
masyarakat untuk mempertahankan keberadaan tradisi meboros. dan mulai lah di ikuti oleh desa
disekitarnya salah satunya desa adat kekeran.

Masyarakat desa pun sangat percaya bahwa setiap melaksanakan upacara keagamaan harus
manggunakan I bulu pangi (Kjang) sebagai salah satu sarana upacara, dan selalu memohon doa
restu kepada leluhur karna itu sangat penting, agar diberikan kemudahan dalam pelaksanaan
meboros. Begitu juga ketika mereka ingin mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan,
Bahkan bila tidak ada kidang yang dikorbankan, pelaksanaan Ngusaba desa adat kekeran ini juga
bisa diundur waktunya. Karna I Bulu Pangi (Kijang) sangat penting dalam pelaksanaan ngusaba
desa atau upacara butha yadnya.
Hari dimana pelaksanaan Meboros di laksanakan akan menjadi hari yang di sucikan oleh semua
warga. Dan merupakan hari yang di tunggu-tunggu dalam salah satu rangkaian upacara ngusabe
desa adat kekeran. Semua kerame dese akan selalu berpegangan pada tetuah atau bebesen para
orang tua atau penua, dan selalu berpegangan pada wejangan (prinsip) bahwa: “Jangan menyapu
dulu nanti tidak dapat kidang, karena masih melaksanakan proses meboros.” dari tetuah itu.
Setiap persembahan kidang harus wajib dilakukan saat ngusabe dese adat kekeran, bahkan
sedikitnya menggunakan 2 ekor kidang.

TUJUAN DARI PELAKSANAAN TERADISI MEBOROS I BULU PANGI (KIJANG).

Tujuan dari pelaksanaan tradisi meborosI adalah untuk mencari I bulu pangi (Kijang) yang akan
di gunakan sebagai persembahan caru pada saat upacara ngusabe desa adat kekeran, sekaligus
menjadi salah satu rangkaian pelaksanaan ngusaba desa adat kekeran, di samping itu, tujuan dari
pelaksanaan teradisi meboros ini juga memiliki tujuan sebagi upaya melestarikan budaya leluhur
yang memiliki nilai religious, dengan adanya teradisi ini masyarakat menjadi bersatu dan
bergotong royang untuk kelancara tradisi meboros dan upacara ngusabe desa data kekeran agar
bisa berjalan dengan lancar. Selain itu semua, yang paling penting meboros juga memiliki tujuan
untuk mendapat seekor kijang yang akan dijadikan sarana upacara ngusabe desa adat kekeran.

MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM PELAKSANAAN TRADISI MEBOROS I BULU


PANGI (KIJANG).

Makna Kebersamaan
Dalam kegiatan apapun rasa kebersamaan harus selalu dipupuk dalam diri maupun dalam
masyarakat. Pada pelaksanaan meboros Kidang Dalam Rangkaian Upacara ngusabe desa Di Pura
Desa, Desa adat kekeran konsep kebersamaan tersebut selalu diterapkan
oleh masyarakat setempat.

Dengan Tradisi Meboros masyarakat mempersiapkan segala sesuatu sarana yang dibutuhkan
pada saat Tradisi tersebut berlangsung. Dengan demikian secara tidak langsung teradisi meboso
Kidang ini dapat meningkatkan nilai solidaritas kebersamaan didalama bermasyarakat.

Makna Kesucian
Kesucian dapat terlihat pada sarana banten yang digunakan pada Upacara ngusabe desa,
menggunakan sarana banten yang menggunakan kidang sebagai pelengkap pada banten caru
tersebut. Penggunaan Kidang digunakan sebagai suatu pengorbanan suci yang dilandasi dengan
kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih.Caru kidang merupakan simbol kesucian dalam
upacara ngusabe dasa adat kekeran yang bisa dikatakan bahwa merupakan salah satu sarana
wajib.

Mengandung banyak makna dalam Penggunaan Kidang karna tidak seorang pun bisa untuk
mempersembahkan dan mempersiapan Caru dengan baik dan benar selain pemangku dan serati
banten serta orang yang mengetahui olahan Caru tersebut, tetapi orang yang sudah bersih dalam
artian seseorang itu sudah melaksanakan persembahyangan dan sudah memohon ijin untuk
mengolah caru kidang.

Makna Keharmonisan dan Keseimbangan


Makna keharmonisan, dan keseimbangan pada waktu upacara keagamaan yang menyebabkan
karya atau aktivitas kerame desa pada suatu upacara yang lengkap dan memenuhi syarat. Syarat
yang dimaksudkan adalah keagungan dan kesucian melalui bentuk persembahan yang bersifat
tulus ikhlas, bukan diukur dari besar kecilnya upakara yang dihaturkan tetapi yang paling penting
adalah kesucian, dan ketulus ikhlasan yang tumbuh dari hati nurani bukan merupakan suatu
paksaan dari orang lain.

Makna dari Penggunaan Kidang Dalam Rangkain Upacara Piodalan Di Pura Desa adat kekeran
yaitu untuk mengharmoniskan umat manusia dengan manusia yang disebut dengan pawongan
yang mana dalam pelaksanaannya diikuti oleh semua masyarakat Desa baik dari kecil hingga
dewasa baik itu tua maupun muda agar menumbuhkan dan mempererat rasa kebersamaan, dan
adanya sikap toleransi antar sesama manusia serta merasa senasib dan sepenanggungan

FUNGSI I BULU PANGI (KIDANG) DALAM UPACARA NGUSABE DESA ADAT


KEKERAN.

Setiap kegiatan memiliki fungsi. Secara umum upacara dalam Agama Hindu berfungsi sebagai
pelayanan yang diwujudkan dalam bentuk hasil kegiatan kerja untuk dipersembahkan atau
dikorbankan kehadapan yang dihadirkan dalam suatu upacara yang diselenggarakan. Begitu pula
setiap upacara di Bali mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Adanya perbedaan fungsi tersebut
disebabkan oleh faktor Desa, Kala, Patra dan adat istiadat setempat.

Demikian pula dengan Penggunaan Kidang Dalam Upacara Piodalan Di Pura Desa, selain sebagai
wujud persembahan dan pelengkap upacara juga mempunyai fungsi dan memegang peranan
yang sangat penting.Penggunaan Kidang Dalam Upacara Piodalan yaitu: fungsi religius, fungsi
sosial dan fungsi pelestarian budaya.
Fungsi religius
menyatakan bahwa religi dan upacara memang merupakan suatu unsur dalam kehidupan
manusia, keyakinan religi berhubungan dengan konsepsi manusia mengenai sifat-sifat Tuhan,
wujud alam gaib, terjadinya alam semesta dan doktrin religi yang mengatur tingkah laku manusia.
Kehidupan beragama bagi umat Hindu di Bali terdapat pada hari-hari besar keagamaan yang
sangan berkesan menyangkut kehidupan duniawi dan rohani.

Hari-hari besar keagamaan tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Memperingati keagamaan tidak hanya untuk sekedar berkumpul dan kemeriahan
semata, namun memiliki makna tertentu dalam melaksanakan hari raya tersebut. Selain itu,
mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan sebagai mana yang tertuang dalam
hari raya tersebut.

Fungsi religi pada Penggunaan Kidang Dalam Rangkaian Upacara Piodalan Di Pura Desa, Desa
Kekeran Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng dapat ditinjau dari sistem atau rangkaian
upacara. Adanya sistem kepercayaan pada masyarakat yang meyakini tentang keberadaan
Tradisi Moboros untuk Penggunaan Kidang Dalam Rangkaian Upacara Piodalan Di Pura Desa,
Desa Kekeran Penggunaan Kidang ini digunakan setiap Upacara Piodalan.

Agama Hindu di Desa Kekeran mengajarkan kepada umatnya untuk selalu senantiasa
mengamalkan ajaran bhakti dalam berbagai bentuk ritual keagamaan atau yadnya.
Pelaksanaan yadnya ini untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi mayarakat di Desa
Kekeran maka diadakan upacara yadnya yang disebut dengan Upacara Piodalan yang
dilaksanakan di Pura Desa. Di Pura ini berstana Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai manifestasi
dari Bhatara Brahma.

Dalam penggunaan Kidang diyakini sebagai simbol untuk penyucian skala maupun niskala dalam
Upacara Tersebut, karena penggunaan Kidang sebagai bentuk sasajen kepada bhuta yadnya agar
secara skala tidak ada gangguun dari roh-roh halus.
Sedangkan secara niskala dengan melaksanakan Upacara Piodalan dengan Penggunaan Kidang
diyakini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan dalam kehidupan.

Fungsi Sosial
Manusia dalam kehidupannya tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia adalah makluk
sosial yang sepanjang hidupnya bersosialisasi dengan orang lain dalam proses interaksi. Interaksi
sosial menghasialkan banyak bentuk soaialisasi dapat berupa interaksi antar indivisu, interaksi
individu dengan kelompok, dan interaksi antar kelompok.
Sedangkan syarat terjadinnya interaksi sosial adalah terjadi kontak sosial adalah suatu hubungan
antara dua individu atau lebih yang saling mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya bahwa Fungsi sosial dari pelaksanaan upacara
Penggunaan Kidang Dalam Rangkaian Upacara Piodalan Di Pura Desa, Desa Kekeran Kecamatan
Busungbiu adalah konsep gotong royong yang dilaksanakan sebelum upacara
dilaksanakan.Dalam istilah Hindu disebut dengan Ngayah.
Selain itu, juga sebagai jalan silahturahmi dengan semua masyarakat yang jarang bertemu.
Terkait dengan penelitian ini, sosial adalah hubungan antara manusia dengan manusia didalam
pelaksanaan Penggunaan Kidang Dalam Rangkaina Upacara Piodalan Di Pura Desa, Desa Kekeran
Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng.
Keadaan dimana sebuah masyarakat Desa Kekeran dapat berkumpul dan saling membantu untuk
menyukseskan Upacara Piodalan Di Pura Desa, Desa Kekeran yang hasil dari upacara itu adalah
untuk kedamaian bersama.

Fungsi Pelestarian Budaya


Maksud dari fungsi pelestarikan budaya merupakan sebuah cara untuk perbuatan melestarikan
yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat untuk menjaga keutuhan atau
kelestarian yang diturunkan dari generasi ke generasi serta agar kebudayaan yang ada di
Indonesia tetap bisa dinikmati dan dikembangkan dari generasi ke generasi tanpa mengubah
esensi dasar dari sebuah upacara.

Penggunaan Kidang Dalam Rangkain Upacara Piodalan Di Pura Desa, Desa Kekeran Kecamatan
Busungbiu Kabupaten Buleleng merupakan sebuah upacara yang mewujudkan pelesatarian
budaya yang dilaksnakan sejak dulu. Fungsi pelestarian budaya sendiri dapat dilihat dari terus
dilaksanakannya Tradisi Meboros kidang, untuk sarana Penggunaan Kidang Dalam Rangkain
Upacara Piodalan Di Pura Desa, Desa Kekeran.Sehingga dengan demikian tradisi ini terus terjaga
dan tidak punah.

ATURAN DALAM PELAKSANAAN TRADISI MEBOROS I BULU PANGI (KIJANG).

Tradisi meboros juga memiliki aturan yang harus di ikuti dan dipercaya oleh kerame dese yang
akan melaksanakan tradisi meboros, mulai dari tidak di perbolehkannya membawa bekal atau
takilan berupa daging-dagingan karena kerame desa percaya konon katanya jika membawa bekal
atau takilan berupa daging-dagingan akan tercium oleh I bulu pangi (Kijang). Dan jika I bulu pangi
mencium adanya bau daging-dagingan I bulu pangi akan menjauh dari tempat pelaksanaan
meboros.

Selain tidak diperbolehkannya mebawa bekal daging-dagingan kerame desa juga tidak
diperbolehkan untuk bersuara keras pada saan menuju atau dalam perjalanan menuju ketempat
pelaksanaan meboros, karna kerame desa percaya jika I bulu pangi (Kijang) mendengar suara
yang sangat keras maka I bulu pangi (Kijang) akan terbangun dan berlari menjauh dari tempat
pelaksanaan meboros.

Kerame dese juga sangat percaya jika selama masih dalam perjalanan menuju tempat atau pun
sudah di tempat pelaksanaan meboros tidak di perbolehkannya mencuri atau pun memakan
curian tersebuat selama masih dalam proses meboros dan belum mendapatkan I bulu pangi
(Kijang), kerame desa tidak boleh mencuri buah ataupun sejenisnya, karna kerame desa percaya
bahwa tujuan dari meboros hanyalah satu mencari I bulu pangi (Kijang).

Selain itu juga kerame desa tidak diperbolehkan untuk berpikiran buruk apalagi berpikiran untuk
membuhuh I bulu pangi (Kijang) scara sadis karna kerame desa mensucikan I bulu pangi (Kijang)
dan selalu mengharapakan agar mendata I bulu pang (Kijang) dengan keaadaan hidup karna
tujuan utama mengkap bukan membunuh.

Kerame desa juga percaya dan selalu menyiapkan banten atau persembahan (Sesajen) kepada
sanghyang rare angon,persembahannya berupa banten yang berisi gangsing,kelereng dan
layang-layang, semua persembahan tersebut memiliki makna dan arti yang sangat erat dengan
tradisi meboros, arti dari gangsing dijadikan simbol bahwa pelaksanaan meboros memiliki tujuan
yang pasti atau memiliki tujuan bersama, dan kelereng di jadikan simbol kebulatan tekat dalam
pelaksanaan kegitan meboros, untuk layang-layang dijadikan simbol lambang keseimbangan
dalam pelaksanaan meboros.
Banten atau persembahan (Sesajan) akan di aturkan (dipersembahkan) ditempat pelaksanaan
meboros yang akan di lakukan oleh kerame dese, dan mepinunas (memohon) kepada sanghyang
rare angon agar diberikan kemudahan dan keselamatan dalama proses pelaksanaan meboros I
bulu pangi (Kijang).Selain itu kerame desa juga di wajibkan mempergunakan hiasan kepala atau
topi yang terbuat dari upih (daun pinang).

PEROSES PELAKSANAAN TERADISI MEBOROS I BULU PANGI (KIJANG) DARI AWAL


HINGGA AKHIR.

Yang petama diawali dengan Sangkepan kerame dese.


Sangkep kerame desa akan membahas mengenai perjalanan teradisi meboso yang akan di
laksanankan pada besok hari,Bertempat di salah satu tempat di pura puseh desa yang bernama
Bale lantang, selain itu kerame dese juga membahas tempat pelaksanaan meboros dan kapan
pelaksanaan meboros di lakukan. Setelah terjadi kesepakatan mengenai kapan tepatnya
pelaksanaan meboros ini dilaksanakan para pemimpin desa menyampaikan kepada kerame desa
Busungbiu. Sehari sebelum pelaksanaan tradisi meboros.

Berikutnya akan dilaksanakan teradisi ngajit (ngancuk bintak).


Warga desa beserta pimpinan desa wajib melaksanakan upacara Ngajit atau sering disebut
Ngancuk Bintang. Kegiatan ini bertujuan untuk memohon restu kepada leluhur agar diberikan
kemudahan dalam pelaksaan meboros dan juga mendapatkan hasil yng sesuai dengan harapan
kerame dese atau warga desa. Upacara ini berlangsung pada tengah malam tepat pada pukul
00:00 wita.hal ini di anggap penting oleh kerame desa karena teradisi ini merupakan rangkaian
dari pelaksanaan upacara keagamaan.

Pada pagi hari akan di lanjutkan dengan persembahyangan bersama.


Dilanjukan pada pagi hari tepatnya pada pukul 06:00 kerame desa atau masyarakat desa,
kerkumpul untuk melakukan persembahyangan bersama dan memohon agar di berikan
keselamatan kelancaran dan mendapat I Bulu pangi (Kijang). kerame dese pun menyiapkan alat-
alat seperti jaring,parang,sabit dan lain-lain, nantinya kerame dese akan pergi kehutan tepatnya
di pangkung biu dan pangkung lutung yang berbatasan dengan desa puncak sari.

Setelah persembahyangan dan persiapan kerame desa telah selelai kerame dese akan memakai
topi yang terbuat dari upih (daun pinang ), yeng bertujuan untuk melakukan penyamaran agar I
bulu pangi (Kijang) tidak mengenali kerame dese, kerame dese akan membagi menjadi tiga
kelompok yang terdiri dari penjaga atas, tengah, dan bawah hutan, yang mana masing-masing
kelompok memiliki tugasnya masing-masing.

Dilanjutkan dengan menghaturkan banten / sesajen.


Selanjutnya para pemangku desa akan mengaturkan banten / sesajen yang berisi buah buahan
dan yang paling penting dan juga unik yaitu layang-layang,gangsing dan kelereng juga ikut di
haturkan atau di persembahkan pada tempat atau hutan yang akan menjadi tempat kerame dese
melaksanakan tradisi meboros tujuan dari persembahan itu untuk memohon kepada sanghyang
rare angon agar diberikan sewece (anugrah) I bulu pangi (kijang).

Peroses perjalanan meboros hingga meboros selesai.


Jika semua persiapan telah selesai mulailah kerame desa berjalan menuju tempat memboros di
hutan yang bernama pangkung biu dan pangkung lutung yang bertempat di perbatasan desa
puncaksari,perjalanan kerame desa menuju tempat meboros di haruskan untuk tidak bersuara
keras agar tak terdengar oleh I bulu pangi (Kijang),setelah sampainya kerame dese di sekitan
hutan tempat pelaksanaan meboros, mulailah pembagian regu dilakukan dan pembetukan
pormasi melingkar.
Setelah pembagian regu dan pembetukan pormasi selesai mulailah kerame dese berjalan
mengikuti arahan pormasi yang sudah di sepakati oleh kerame dese,jika kerame dese sudah
membentuk pormasi melingkar teradisi meboros pun akan segera dimulai yang akan di tandai
dengan bunyi peruwit panjang yang di artikan bahwa pormasi sudah merapat di hutan tempat
pelaksanaan meboros yang sudah dikelilingi oleh kerame dese.

Mulailah kerame dese mekerab atau (berjalan maju) sambil berterika dengan keras agaur I bulu
pangi (kijang) terbangun dan berlari karna merasa terdesak oleh sura keras dan bergemburuh
yang di hasilkan oleh teriakan kerame dese, kerame dese pun sudah siap dengan segala peralat
memboros untuk menyergap I bulu pangi (Kijang) yang sudah merasa terdesak, kerame dese
akan terus berteriak keras dan berjalan maju sampai ada aba-aba sampun polih atau durung
polih.

Jika ada aba-aba sampum polih yang berarti I bulu pangi (Kijang) berhasil masuk perangkap atau
berhasil di lumpuhkan oleh kerame dese, sebaliknya jika ada aba-aba durung polih makan I bulu
pangi (Kijang) masih belum terperangkap atau belum di lumpuhkan oleh kerame dese, makan
kerame dese akan mencari lokasi meboros berikutnya, tradisi meboros akan terus di lakukan
sampai berhasil mendapatkan I bulu pangi (Kijang), jika dalam perjalan satu hari penuh kerame
desa masih belum menemukan atau mendapatkan I bulu pangi ( Kijang), tradisi meboros akan di
lanjukan besok harinya.

Jika sudah ada aba-aba sampun polih atau sudah berhasil mendapatkan I bulu pangi (Kijang)
makan kerame desa akan berkumpul untuk mengikat I bulu pangi (Kijang) diatas mambu dan
akan di arak sambil bersorak gembira atas keberhasilan mendapat I bulu pangi (Kijang), jika
tujuan pencarian I bulu pang (Kijang) sudah terpenuhi kerame desa akan berjalan menuju pure
puseh dese adat kekeran dengan bersorak ria dan mengangkat alat-alat berburu yang di bawa
pada saat melaksanakan perburuan I bulu pangi ( Kijang) seperti parang, sabit, panah, bahkan
pedang.

I bulu pangi (Kijang) akan di sambut oleh masyarakat desa adat kekeran menggunakan gembelan
dan di iringi tari-tarian di perbatan desa, semua masyarakat desa mulai dari anak-anak sampai
kakek nenekpun sangat bersemangat dalam penyambutan kedatangan I bulu pangi (Kjang), karna
ini menjadi keberhasilan suatau desa mendapat anugrah I bulu pangi (Kijang), kerame desa
percaya bahwa kijang yang didapan pada saat pelaksanaan meboros bukanlah Kijang biasa
ataupun sembarangan.

Jika sudah sampainya I bulu pangi ( Kijang) di pure puse dese adat kekeran, makan kijang akan di
bawa ke tempat persembelihan dan akan di sembelih lalu dijadikan bukakap, dan kijang tersebut
akan di hangatkan menggunakan api selama tiga hari, sama seperti proses pengawetan agar
kijang tidak mudah busuk pada saat di gunakan dadal upacara ngusaba desa adat kekeran, karna
kijang harus menunggu sampai tibanya hari ngusabe desa adat kekeran.

Menggunakan I bulu pangi (Kijang) tidak hanya sebagai sarana upacara ngusabe desa adat
kekeran juga sebebagai simbol keamanan masyarakat desa baik secara sekala maupun niskala.
Ini menyebabkan mengapa penggunaan I bulu pangi (Kijang) sangat penting dalam upacara
ngusabe desa desa adat kekeran,

CARA MASYARAKAT DESA KEKERAN MELESTARIKAN TRADISI MEBOROS TANPA


MERUSAK KELESTARIAN I BULU PANGI (KIJANG).

Masyarakat desa kekeran sudah menjalankan tradisi ini sudah dari zaman nenek moyang dan itu
sudah sangat lama. Tradisi meboros hanya dilakukan 2 (dua) kali dalam 5 (lima) tahun, dan
menggunakan 2 (dua) ekor kijang dalam rentan 5 (lima) tahun itu. Untuk menjaga kelestarian
hewan kijang agar tidak punah di daerah perburuan yaitu tepatnya di wilayah Pangkung Biu dan
pangkung lutung, masyarakat sangat dilarang untuk melakukan perburuan diluar konteks
meboros.

Sering kali kijang memasuki daerah perkebunan warga dan untuk mengusir cukup dengan
menakuti saja, dan tidak di bunuh. Masyarakat dan pihak desa tidak melakukan perlindungan
secara khusus, ini dikarenakan wilayah atau tempat perburuan yang berada di daerah perbukitan
yang masih sangat jauh dari pemukiman sehingga keberadaanya masih cukup lestari.
Hal ini yang menjadi pertimbangan bahwa didaerah itu masih banyak adanya hewan kijang,
sehingga belum ada upaya yang berlebihan dari pihak desa untuk menjada kelestarian hewan
kijang ini.

Selain itu setiap melakukan tradisi meboros selalu mendapatkan hasil buruan, ini membuktikan
mahwa keberadaan hewan kijang masih cukup lestari di daerah Pangkungbiu dan pangkung
lutung. Untuk melaksanakan tradisi meboros ini maka harus ada persetujuan dari pihak desa adat
kekeran karna pangkung biu dan pangkung lutung masuk kedalam wilah desa titab, harus ada
izin dari pihak desa titab untuk melaksanakan tradisi ini.

Tentu ada tahapan yang harus dijalankan oleh pihak desa adat mengenai proses perizinan ini,
salah satunya dengan melakukan pertemuan dari masing-masing perwakilan untuk memohon
izin atas kagiatan meboros yang akan dilakukan oleh desa adat kekeran. Pertemuan ini sudah
rutin dilakukan dalam setiap kegiatan meboros sehingga sudah sangat dipahami oleh pihak-pihak
tertentu maupun pihak desa adat.
Biasanya kami melakukan pertemuan di balai masyarakat,yang menghadirkan Babinsa dan
perwakilan dari desa adat masing-masing. Hal yang menjadi pembicaraan yaitu mengenai
perizinan pelaksanaan tradisi meboros dan memaparkan hal apa saja yang terkait dengan tradisi
ini sehingga kami dari pihak desa adat kekeran mendapat lampu hijau dari pihak desa titab untuk
melakukan teradisi meboros dalam pelaksanaannya pihak desa titab juga ikut terjun kelapangan
untuk mengawasi pelaksanaan tradisi ini.

Dalam pertemuan sangat dilarang ketika meboros membawa senjata api, dan senjata yang dapat
membahayakan peserta meboros. Selain itu, jumlah kijang yang diburu juga harus sesuai dengan
kesepakatan saat pertemuan dengan desa tibat, Jika dilihat dari apa yang disampaikan pihak
desa, sejauh ini masih belum ada upaya lain yang ditempuh untuk dapat melaksanakan tradisi
meboros tanpa mengurangi ekosistem kijang.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah penangkaran kijang. Penangkaran akan membantu
masyarakat dalam mendapatkan kijang dan sekaligus dapat menjaga populasi kijang di kawasan
Pangkung Biu dan pangkung lutung. Jika dapat diterapkan maka akan terjadi pengawasan dan
pengembang biakan kijang di desa adat kekeran yang tentunya sudah mendapatkan izin dari
pihak pemerintah.

Undang-undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosostemnya melarang adanya penangkaran yang secara langsung maupun tidak langsung
menguntungkan pribada sebagai pengelola penangkaran.
Maka dari itu penangkaran yang dilakukan harus mendapat persetujuan dari desa titab yang
menjadi tembat pemburuan dan diawasi pelaksanaanya.

Paling tidak keberadaan hewan kijang bisa lebih terjamin jika dibandingkan dengan tindakan
perburuan yang dilakukan. Jika dihadapkan pada pelaksanaan tradisi meboros pihak desa adat
dapat melaksanakan meboros secara simbolis. Hewan kijang dari hasil penangkaran secara
simbolih diburu di tempat yang telah dijadikan sebagai lokasi meboros.

Anda mungkin juga menyukai